Tuesday, April 28, 2009

Meja Hufflepuff-#1


(Timeline : 28 April 1981)


Jangan. Terburu-buru.

Gemeresak kertas terdengar beruntun. Mengiringi, gerakan cekatan sepasang tangan sang gadis mendominasi aktivitas yang berlangsung dalam ruangan berlabel kamar asrama tersebut, sedikit terlihat terburu. Sedikit... lagi. Beberapa langkah lagi dan selesai. Berhenti untuk berpikir sejenak, ia memandang hasil pekerjaan sementara, mengangguk samar kepada diri sendiri--tak terlalu buruk. Gunting di sini, rekat di sana. Tekuk, lipat dua kali--kertas biru tua yang menjadi objek utama menurut patuh, membungkus dua objek lain, berbentuk masing-masing balok persegi panjang dalam ukuran yang berbeda. Dirinya memotong pita perekat sekali lagi, melekatkannya di bagian terakhir sebagai penutup.

Done.

Amanda menghela napas dan tersenyum puas. Akhirnya. Satu jam penuh ia berkutat dengan benda yang kini telah terbungkus rapi di hadapannya, ck ck. Hanya dua buah benda, dan ia memerlukan waktu sedemikian banyaknya. Bukan profesional dalam membungkus hadiah, tentu saja. Gadis cilik itu melirik arloji yang tergeletak di atas meja di sisi tempat tidur, memicingkan mata untuk mencari tahu pukul berapa sekarang... 19.15. Astaga. Amanda melompat dari atas tempat tidur, meraup ceceran kertas yang bertebaran, meremas seluruhnya menjadi satu sebelum melemparkannya dengan tepat ke dalam tempat sampah di ujung ruangan. Kemudian ia menyambar segala peralatan yang sukses digunakan--hanya gunting dan pita perekat, meletakkan keduanya di tempat semula, laci meja samping tempat tidur. Tujuh lewat lima belas, duh, semoga Aula Besar belum mengakhiri kegiatan rutinnya. Makan malam. Setelah mengenakan sepatu dengan asal pakai, Amanda mengambil dua benda yang menjadi pemeran utama, tersenyum sekilas sekali lagi, lalu dengan bergegas memutar pegangan pintu kamar anak perempuan kelas tiga Ravenclaw. Here she goes.

Meja Hufflepuff
Rangkaian obor menyambutnya tiap beberapa meter, menciptakan pencahayaan pudar dengan siluet abstrak pada dinding lorong. Amanda menatap kedua benda dalam genggamannya silih berganti dengan pandangan kosong sementara sepasang kakinya melangkah cepat melintasi lorong lantai dasar menuju Aula Besar. Tepatkah apa yang ia pilih, eh? Tak terlalu yakin sebenarnya, hatinya sedikit tak puas. Lima puluh galleon, hanya sejumlah itu yang mampu dirinya keluarkan, hasil jerih payah sebagai pegawai magang Leaky Cauldron. Ya, hanya lima puluh galleon, sayangnya. Ia enggan meminta lebih kepada sang paman, meskipun ia yakin dengan sangat bahwa Paman Amethyst akan memberikannya dengan senang hati. Tidak, rasanya akan berbeda, membeli dengan hasil keringat sendiri dibandingkan membeli dengan uang hasil pemberian seseorang--opsi pertama lebih menyenangkan di hati. Dan tentu, merepotkan orang lain adalah sikap yang paling ia hindari.

Dua, bukan satu. Mengapa? Amanda sendiri tak tahu persis alasannya. Benda berbentuk balok persegi yang kini berada di tangan kanannya saat ini--itu--adalah buku Menaklukkan Bludger, satuan perkamen yang terpilih diantara sekian banyak panduan Quidditch lain. Di Diagon Alley awal term lalu, Amanda menghabiskan waktu hampir dua jam penuh di dalam Toko Quidditch, berputar-putar ke seluruh penjuru ruangan, berkutat dengan benaknya sendiri, mencoba menentukan mana yang sebaiknya ia beli. Sekumpulan sapu yang berjejer rapi di dekat counter utama benar-benar membuatnya kepingin, sebenarnya. Hanya saja, harga yang terpampang membuatnya menggerutu dalam hati, merutuki diri sendiri mengapa tak mengumpulkan uang sedari dulu. Dan--buku tersebutlah yang pada akhirnya dibawanya keluar toko, mengakhiri pencariannya akan hal-hal bertemakan Quidditch.

Tidak puas sama sekali, tak perlu ditanya, saat itu Amanda memutuskan untuk menelusuri pelosok Diagon Alley--disertai Nathaniel yang entah mengapa menjadi amat pemarah--dan, well, 'benda' itulah yang ia temukan. Arloji hitam terbaik yang terpajang di sebuah toko jam besar di pinggir jalan utama. Sebuah arloji dengan latar belakang yang mampu berganti seiring suasana hati, dilengkapi kompas sihir. Wew. Bahkan dirinya sendiri kepingin. Beli, tanpa basa-basi, merogoh koceknya hingga knut terakhir. Bukan masalah, dan ia berharap hadiahnya tak mengecewakan.

Sinar terang benderang menyambut sang gadis ketika kakinya menapak Aula Besar, hiruk pikuk ramai membuat telinganya berdengung. Kelihatannya makan malam baru saja dihidangkan--menilik meja-meja panjang yang masih penuh terisi makanan. Makan malam, itu nanti. Kedua lapis lensa beningnya menyusuri tiap jengkal ruangan, sedikit cemas seseorang yang dicarinya tidak ada.

Itu dia.

Amanda memutar langkah, melewati meja asrama kebanggaannya, Ravenclaw, tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang dengan bersemangat, namun ia tak berhenti. Terus berjalan hingga tiba di jajaran para musang menikmati hidangan. Ia tersenyum ketika akhirnya sampai di tempat dimana orang-yang-dicarinya duduk, napasnya terhela perlahan.

"Hai, Larry," ujar Amanda seraya mengacak rambut sahabatnya dan mengambil posisi duduk di tempat kosong di sebelah kanan anak lelaki tersebut. Kemudian ia menyodorkan kedua benda dalam dekapannya, nyengir. "Selamat ulang tahun."

Labels: ,


10:35 AM

Saturday, April 25, 2009

Shape of My Heart-#5


Apa lagi sekarang? Silahkan permainkan jalan hidupnya, wahai angin. Mengapa tak sekalian saja terbangkan dirinya--terjunkan ke jurang. Habis perkara, dan bahkan hal tersebut terlihat begitu menyenangkan saat ini, menawarkan solusi termudah untuk masalahnya.

Solusi terbaik bagi pribadi yang putus asa.



Teduh. Mega beriak, berformasi rapat dalam rangkaian elemen putih bergelombang, membentuk serakan abstrak tanpa cela. Kawanan tersebut berkompromi satu sama lain, bekerjasama dengan kooperatif--mengkover bumi dalam beberapa lapis, mengenyahkan sebagian sinar matahari pagi. Pukul sembilan lewat sekian waktu Inggris Raya, musim gugur 1980. Hu-uh, musim gugur, dilengkapi angin yang hiperaktif. Herannya, saat ini sebulir kristal bening mengalir perlahan melintasi pelipis sang gadis cilik, turun ke sisi wajah hingga leher. Peluh berlatarbelakang kesejukan pagi, eh? Tidak wajar. Gadis itu mengangkat lengannya, mengusap peluh tersebut--refleks. Tampaknya rasa lelah telah menyeruak keluar, terealisasikan dengan gamblang tanpa basa-basi dan pendahuluan. Capek. Ingin rasanya ia mengundang bumi untuk menelannya. Menghilangkannya dari muka dunia.

Amanda menggigit bibir bawahnya, kilatan redup di sepasang kelereng cokelatnya menyorot lurus, lagi-lagi memvisualisasikan kepasrahan kuadrat maksimal saat menatap carik perkamen tersebut mendarat amat dekat dengan seorang anak lelaki dan sesosok gadis senior disana. Dan--tak ada yang mampu ia harapkan lagi, Larry meraih lembaran tersebut, melanjutkan dengan tindakan yang tidak mungkin tidak dilakukan--melihat dan membaca. Apa yang akan dilontarkan sahabatnya itu sebagai respon? Apa? Terserah, apapun yang akan ia terima, tak peduli. Masa bodoh. Ia pun hanya terdiam, bergeming ketika pemuda musang itu bergerak menghampiri, menyodorkan perkamen si-biang-keladi.

"Selesaikan urusanmu."

Guratan samar terbentuk di kening Amanda. Urusan... apa? Berhubungan dengan isi perkamen? Itu berarti satu. Menyelesaikan urusan dengan Lazarus. Oh. Larry mendengar ucapannya, pengakuannya kepada anak lelaki Slytherin tersebut, tak diragukan lagi. Tetapi Amanda yakin, sahabatnya tak mendengar jawaban yang terlontar sebagai balasan. Tidak, tentu. Ia menerima perkamen tersebut, tertarik luar biasa untuk meremasnya detik itu juga. Urusannya disini telah selesai, mate. Mencapai titik akhir. Amanda ingin berbicara. Tapi untuk apa? Lihat. Bahkan sahabatnya--Jonathan Larson Baned--sama sekali tak perduli, membalikkan tubuh begitu saja. Tak ada yang perlu diperdulikan sih, benar. Tak ada yang penting mengenai dirinya. Sedikitpun. Sadar diri, lebih baik ketimbang tidak--hanya akan menyakiti diri sendiri. Namun, entah, tetap saja ada siluet kekecewaan yang menyerang hatinya.

"Kau tahu, Larry?" ujarnya lirih, "Urusanku sudah selesai." Yeah, tetap terucap. Tak tahu Larry akan peduli atau tidak, yang penting ia telah menjelaskan. Amanda menghela nafas lesu. Pertahanannya akan runtuh total kalau begini terus. Usaha untuk memaksa diri untuk kuat, untuk tak putus asa, untuk bersikap dewasa dan mandiri, segalanya mulai sia-sia. Gawat.

Ia... butuh Nathaniel. Ia butuh Leander. Butuh Paman Amethyst. Butuh--ia butuh seseorang... siapapun. Trixie mungkin. Vincent. Atau Phoebus, peri rumah kesayangannya pun ia tak keberatan. Namun lagi-lagi, tak ada seorangpun, rite?

Sebenarnya... ada. Seseorang di hadapannya. Tetapi seseorang itu tak tahu kalau ia membutuhkannya saat ini. Apakah ia harus mengucapkannya? Harus? Lagi-lagi dengan resiko yang terpampang jelas di depan mata. Resiko tetap dianggap tak penting. Bahkan lebih buruk, resiko menyadari bahwa tak ada yang memperdulikannya. Does she want to take the risk? Tergantung. Hati dan benaknya yang menentukan. Sanggup berdiri sendiri? Ya sudah, tidak perlu berbicara kalau begitu.

Pada kenyataannya ia tak sanggup. Tangan kanannya meraih lengan sahabatnya, sementara kepalanya menunduk dan ia menelan ludah dengan susah payah. "Jangan pergi, kumohon," suaranya berbisik serak dengan nada putus asa. Ia lemah. Payah. Cengeng. Memang. Tak sengaja sebenarnya--matanya mengerling ke samping, menatap tempat dimana Lazarus--

--dan Prefek Aza. Itu--mereka--

Tubuhnya terasa gamang. Terpaku. Tanpa tahu alasannya, nafasnya tersengal, dan secara spontan genggaman tangannya pada lengan sahabatnya mengerat. Bodohnya ia. Semuanya benar-benar jelas. Sejelas pandangan di musim panas. Seterang pencahayaan saat siang hari menjelang. Mengapa ia tak pernah tahu? Seorang Azaria McCafferty--tentu saja. Gadis yang begitu sempurna, begitu tak sebanding dengan dirinya. Karena itu, terimalah, Amanda. Terima kenyataan. Su... lit. Tapi harus. Perasaannya tak keruan, dan kakinya lemas, wajar. Imbas dari kenelangsaan, mungkin. Begitulah.

"A-ayo kita pergi, Larry," ujarnya terbata, masih tetap menggenggam lengan anak lelaki tersebut. Tak ada gunanya pula ia berada di sini. Hanya mencabik-cabik hatinya, menoreh benaknya. Pulang ke kastil, tidur. Simpel. Asal tidak lagi di tempat ini.

Yah. Pertahanannya sungguh-sungguh terjatuh. Menangis, kan. Amanda menutup matanya yang basah dengan sebelah tangan. Untuk yang terakhir kali, izinkan bagian terapuh dirinya menerobos keluar. Terakhir kali. Janji.

Labels: ,


10:49 PM


The Phoenix and The Turtle-#2


Berapa sih tingginya? Tak akan lebih dari dua ratus sentimeter--absolutely.

Sepasang lensa bening kecokelatan berkilat redup, menembus keremangan yang diciptakan oleh siluet bayangan rak-rak raksasa yang menjulang angkuh hingga ke langit-langit, saling berpadu padan dan bercampur satu sama lain. Seratus lima puluh dua sentimeter versus dua meter tepat, dan ia kalah? Hanya berbeda lima puluh senti, dan bahkan jemarinya tak mampu menyentuh papan rak hitam keenam dari lantai, tak peduli berapa jauhnya ia merentangkan tangan dan mengangkat tumitnya ke udara. Gadis itu mendesah, menatap buku incarannya dengan putus asa. Menyerah dan kembali berkutat dengan pekerjaan awalnya? Oho, paradigma menyerah tak pernah eksis dalam lingkup benaknya, tidak sebelum ia mencoba segala upaya.

Amanda menurunkan pandangan, tangan kanannya mengusap tengkuk beberapa kali. Pegal. Mendongak bukan aktivitas yang nyaman dilakukan terlalu lama, kalau kau belum tahu. Well, apa sesungguhnya yang membuatnya kukuh untuk meraih buku yang satu itu, eh? Tidak tahu. William Shakespeare bukan salah satu pribadi yang menjadi idolanya--tak ada yang mengumandangkan puisi-puisi berima di seantero rumahnya di London, tentu saja. Bahkan komunitas Muggle yang melatarbelakangi kehidupannya di Highbury Crescent nomor empat enggan menghadirkan kesusastraan dalam entitas lebih--bercampur dengan sikap individualisme yang menguasai masalah tetangga-antar-tetangga. Entah. Hanya penasaran akan syair yang terpampang di atas secarik perkamen lusuh yang kini tengah berada dalam genggamannya, mungkin.

Think, Amanda. Pikir. Menilik panjang dan lebar dari rak-rak hitam identik yang berdiri dalam jarak yang sama di ruangan perpustakaan tersebut, dan melihat bahkan begitu banyak buku tergabung dengan jajaran level atas dalam masalah ketinggian, satu statement sudah pasti. Tak mungkin para pengunjung atau Madam Pince sekalipun mampu mencapai buku-buku tersebut tanpa bantuan, atau alat, atau apapunlah. Apa yang akan seorang penyihir lakukan dalam situasi layaknya saat ini? Tangga seperti yang digunakan Mr. Ollivander mungkin... Yang lain, err...

YA AMPUN. Ahahahaha.

Entah bagaimana Amanda tersedak, terbatuk kecil saat kesadaran itu tiba. Astaga, kealpaanmu sungguh tak dapat dipercaya, Steinhart. Gadis itu menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kebodohannya yang luar biasa. Oke, coba kita ingat kembali. Mantra Panggil termasuk dalam daftar mantra legal baginya, rite? Ya. Dan ia sama sekali lupa bahwa dirinya memiliki sesuatu bernama tongkat sihir terselip di balik jubahnya. Ayo tertawa, ia memang pantas ditertawakan, haha. Rowena Rawenclaw pun sepertinya akan tertawa melihat seorang penyihir--Ravenclaw pula--bisa-bisanya lupa bahwa dirinya penyihir. Amazing. Masih dengan keheranan terhadap diri sendiri, Amanda merogoh ke dalam saku jubah, mengambil tongkat Eldernya perlahan. Shakespearean Gleanings, Shakespearean Gleanings--

"Ini?"

Seseorang telah mendahuluinya. "Ah ya, terima kasih," ujar Amanda seraya tersenyum, kepalanya terangkat, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang berbaik hati menolong--

My God. I-ini. Di--hadapannya. Dewi fortuna ternyata tengah menyempatkan diri mengunjunginya. Harus gadis itu akui hatinya melonjak ketika tahu siapa yang berdiri di sampingnya. Ta-tanpa alasan yang jelas mengapa. Menghadirkan keterpakuan sejenak dalam beberapa detik. Tongkatnya berhenti di udara, sementara kedua kelereng cemerlangnya terkerjap sekali. Yang menolongnya itu... Itu--Prefek Balin Al-Kazaf. Seseorang yang dikaguminya. Beater favoritnya. Benarkah itu dia, eh?

Pertanyaan yang kemudian terlontar dari pemuda di hadapannya membuat Amanda tersentak sadar, cepat-cepat mengatupkan bibirnya yang sedikit terbuka. Jangan. Norak. Please. "Err... Ti-tidak juga... A-aku..." Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan benak dan hatinya ke taraf normal. Tenang, Amanda. Hanya seorang prefek Al-Kazaf. Hanya seorang kapten Al-Kazaf. Jangan bersikap tak normal seperti itu, bodoh.

"Hanya... penasaran sebenarnya, Senior--err, Prefek maksudku," ujarnya dalam sekali tarikan nafas, kemudian sedikit mengangkat tangan kirinya, menunjukkan carik perkamen syair yang menarik hatinya. "Aku..." Amanda menerima buku tujuannya perlahan setelah sebelumnya menyelipkan kembali sang tongkat ke balik jubah. "Terima kasih banyak," ucapnya dengan senyum canggung.

Sial--kenapa rasa gugup ini tak mau pergi, sih?

Labels: ,


9:57 AM

Thursday, April 23, 2009

The Comments (in The Coffee House)-Part #3


Kat a.k.a Jonathan L. Baned said:
ehem..

Saya-webe mau repp disini apaan. Ini tadinya sampe di draft dulu di Ms.Word-tapi tetep wae WB =)) =)) *diinjek* Udah baca postnya cha-lebih WB lagi untung belum baca penetram yang disinyalir akan membuat saya makin WB *diinjek lagi* Well-komen-oke dah.

Amanda Steinhart:
*lirik anak bungsu dulu sebelum ngetik* *grin*

Yep, Manda itu-chara yang pertama-tama saya perhatiin. LC, tret Hello! Flakier~ pas disitu post saya as jonah masih abalan-liat cha nyinggung Hello Plakier saya otomatis ngecek tret itu sekali lagi =)). Bener kata cha, banyak banget yang masuk disitu-mana pas saya lihat, RPnya pada kebut gitu-astaga-saya langsung mikir, ini yang masuk situ kaga kasian apa ya sama TS *dicekek*. Oke, BTT-saya lihat postnya Manda sementara chara saya nampak histeris di pojokan karena kecebong imutnya ketumpahan butterbeer. Entah ada magnet apa, saya langsung klik akunnya Amanda, yang emang pas itu udah keisi identitas ID yahoo!nya. sekali lagi, dengan nekad-saya klik YM, nyalain akun dan nge-add YMnya manda. Sesimpel itu-pertamanya, disusul dengan IM pertama dengan Manda yang saya sudah lupa apa isinya *dihajar*

Lepas Hello! Flakier~ saya sebenernya udah nggak terlalu intens lagi memperhatikan postnya Manda-kejer post juga waktu itu, soalnya =)). Baru merhatiin pas sampe Hogwarts. Pas seleksi, kalo nggak salah sempet nanya-nanya ke Manda juga mau masup asrama mana. Pengumuman seleksi keluar dan-BLAM! Lanjutin lagi ngestalkin si Manda.

Awal-awal di Hogwarts, postnya pendek-tapi berisi. Saya sampe cengo, pas tau Dini ngepost menggunakan media telepon seluler a. k. a Handphone. Niatan. Makin kesana makin mantep pulak. Makin panjang dan makin *tarik nafas* nggak nahan. Apalagi SoMH yang sukses membuat Chara dan PM mengalami krisis identitas yang berlebihan sehingga muncul keraguan untuk mengerepp tret tersebut. Deskripnya mantep banget. Nunjukkin kalau Manda itu-aah-apa ya? Cerdas ravenclaw benjet dan-begitulah. Tipe yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung, mungkin. Mana-visunya-aiih.. *diinjek chara* cakep luar dalem dah *shot*

Plot? Term depan yak =)) *lirik chara yang ngurek-ngurek tanah*

Nathaniel Gladstone:
Kalo Nat mah nggak bisa panjang-panjang =)). Lebih merhatiin Amandanya daripada Natnya, Din *shot* Nat itu-pokoknya hot-hotnya pas di 4-4-2. Aih, kenapa kesel sama Jonat? Apakah Jonat sebegitu menariknya untuk disiksa, dianiaya dan ditendang ke danau hitam? Tapi-saya menikmatinya kok *menghindar dari sambitan chara* Nat itu kerasa banget, kalo sayang sama Manda. Gryffin pulak. Maniak bola-nggak mau kalahan orangnya *diinjek* =)). Nat agak-agak sinis-apa Cuma perasaan saya aja yang agak jarang baca postnya Nat? Tidak tahu *uhukkomenmakinuhukkagakjelas*

Secara deskrip? Wah-jangan ditanya. Satu PM-jelas sama mantepnya dongs ah :*. Sifatnya bisa kerasa banget bedanya-kontras sama deskripsinya yang-aah-ajojig.

*lirik atas*

PM: Noh jadi-ajegile panjang yak? Post nih?
Jo: Post aja lah PM-ngapain nanya dulu?
Jonah: .... *blush*
PM: Lah itu adik elu
Jo: oh-ngerti *nyengir; sikut jonah*
Jonah: *ke pojokan; ngurek tanah; merutuki PM*
PM: *menghilang dengan kerennya, seret Jo; tinggalin Jonah*

Allesha Montez a.k.a Flavarel Montez said:
amanda_poldi_cannavaro: Dil, mampir diskusi krakter gw dil :D << bukti yang cukup jelas kalo lo nyuruh gw ngerepp disini, Mand =)) =)) *ditoyor*

Oke, langsung ke permasalahan *halah* Amanda Steinhart. Seperti biasa, FYI, gw dulu agak jarang ngestalking chara baru, kecuali kalo yang emang gw udah tau duluan sih kek Jonah gitu *ditabok* Ngemalesin soalnya. Kenapa? Gitu deehhh =)) Serius, gw gak liat postingan lo selama di Leaky Cauldron dan Diagon Alley gitu. Pokoknya sampe gw liat postan lo di dapur ituh-najis gw lupa judulnya apaan-gw langsung.. Najiskenapagwgakstalkingniorangdarikemarenkemareeeennnn~ =)) =)) Deskripnya mantep, Ravenclaw-ish-terserah deh ya mau nyebutnya apaan. Sifatnya juga gak muluk-muluk banget. Dan jujur sejujur-jujurnya, gw kaget banget liat postingan lo di Shape of My Heart. NEMBAK SYLAR, YA TUHAAANNN~ =)) =)) Ah udahlah, mantep banget.. Asli gw pengen RPan sama elu deh di The Phoenix and The Turtle yang sempet gw kira adalah tret berdua Manda sama Balin *digaplok Jonah* pake.. Arenne ;))

Arenne: Kok elu tau banget gw pengen RPan sama Manda sih, Dhill?
Dhilla: Loh? Iya tah?
Arenne: *bisik-bisik* Gw tertarik sama dia, Dhill.. *mesem-mesem*
Dhilla: HOOO~ Nah, terus si Akasha-gimenong? ;))
Arenne: Ah, Dhilla, Asha masih yang lebih menarik perhatian gw kok.. *blushing tingkat dewa*
Dhilla: *toyor anak bungsu*

Nathaniel Gladstone yak sekarang~ Tau gw si Manda bikin chara lagi, gw langsung kejar entah kemana lagi postannya. Abisan gw udah yakin, kalo chara orinya ajah udah bagus, pasti klonnya juga mantep tingkat dewa. Kek orang yang komen chara lu diatas gw *senggol Chajar sama Indra* =)) =)) Yep, lagi-lagi gw dibikin sukaaaa banget sama gaya postingannya yang mantep. Terutama yang pas maen sepakbola itu loh-gw juga lupa judulnya apa, astagaaaa =))

Intinya: dua-duanya mantep. :D

Labels:


7:21 PM


The Comments (in The Coffee House)-Part #2


mataripatrelli a.k.a Azaria McCafferty said:
suruhngisijugaamadini=))

PM: Bentar dulu, gw ngisi ini baru gw draft elu-elu pada. Janji.
Azaria: Tret Character Discussionnya Amanda sana Nat yak?
PM: Ho oh. Eh yak, menurut lu pada itu dua bocah gimana, hm?
Danielle: *usap-usap dagu* nggak pernah ngeplot sama Kak Amanda *nyengir innocence* Kalo Kakak Nat sih pernah sekali, di kelas kosong itu. Kereeeeen, good loking pula.
Nathan: *toyor Danielle* gw nggak pernah ngeplot juga. Jangan tanya gw.
Azaria: Ngg--ao ah *misuh-misuh inget plot jembatan*
PM: *ngakak geje* Udah yak, brb dulu *muter badan, balik ke leptop*

Huallo, Dear >:D<

Hmm, Amanda yah. Oke, pertama kali gw ngeliat ini chara itu--di Leaky Cauldron, tretnya si Jonah yang berjudul Hello, Flakier. Nyahahha. Waktu itu sih gw cuma ngeliat idnya doank--capek capeeek gw gara-gara di tret itu banyak beud yang ngerepp, jadi gw baca sekilas doank :)) *disodok golok* Gw magang juga di toko buku as Ngkep Winchester waktu itu, nah, saia juga melayani Anda, Miss Steinhart :)) Hanya lagi-lagi karena banyaknya pelanggan di toko Jubah Madam Malkin waktu itu, saia tidak membaca postan Anda secara menyeluruh *disodok golok lagih* =)) Nah yak, maapin gw karena gw nggak ngebaca postan-postan ente secara menyeluruh =)) Penyakit lama gw suka males ngebaca postan anak-anak baru >_> Kalo udah nyampe Hogwarts baru gw stalking dan seleksi alam pun mulai sehingga anak-anak baru itu keliatan mana yang aktipnya dan mana yang tidak :)) *gw ngomong apa seh*

Dan sampai pada akhirnya si Keket IM gw, katanya ada cewek yang mirip Jo. Hoe? Saha? Dijawab ama dia Amanda Steinhart =)) Hoooh, dari saat itu sih gw baru ngebaca-baca postannya si Amanda ini. Lagipula dilihat-lihat anak ini hiperaktif juga, jadi mungkin ntaran ampe Hoggy juga masih aktip. Hoho. Dan--yeah, postannya memang menarik. Bener kok. Keren.

Gw stalking-stalking lagi ini chara sampe sekarang--hoo, makin meningkat postannya. Makin keren :x Ceroboh-ceroboh dewasa, Raven banget dah pokoknya. Pemilihan gaya bahasanya juga suka, puncaknya gw spikles ngeliat postan ini bocah di SoMH, keren mampus =)) Gw minder sumpah, ampe jujur aja gw tadinya kaga jadi mau repp di sono--minder. Eaaah, sial Azaria ama Danielle karakternya kaga kayak Amanda karakternya *ketauan banget pengen nyolong deskripnya* *ditabok* =)) Pokoknya sip lah buat Amanda ini--tipe istri yang baek bener *lirik2 postan atas* =)) Jadi istri Nathan nyok *digorok Jonah* =)) *dilindes calon istri beneran* =))

Prefect, eh? >:) Haha, lihat saja nanti

Dan--sekarang ke Gladstone.

Seperti biasa--gw males stalker anak baru =)) Dan menunggu seleksi alam =)) Begitulah, sampai gw yah jujur kaga kenal ada chara bernama Nathaniel Gladstone di IH =)) *sungkem dini* Hem, ampe si dini IM gw katanya minta dibikinin siggy. Hoh? Gw kira minta bikinin buat Amanda--eah, nggak taunya buat klonnya. Si Nat ini--gw cek siggy request. OWEH, MANTAN PISNYA AVALON =)) CAKEP =)) *matiin caps* Langsung gw iyain dah buatin siggy meskipun hasilnya standar =))

Cuma sampe disitu aja gw kenal Nat--jujur. Gw belum sempet baca-baca postan Nat karena anak-anak gw banyak plot Summer waktu itu >.< Meskipun udah ada niat stalking sih.

Dan--jujur lagi, gw baru baca postan Nat di 4-4-2. EAH, GW SUKAA, SUKAAAA *injek caps lagi*

Deskripsinya itu--aaaah, cowo banget sumpah. Cowok gripi :x Cakep lagi *dijotos lagi* Perbedaan deskrip Amanda sama Nat, beda--gw suka. Ciri khasnya beda juga. Pokoknya sukaaa. Cowo banget, suka bola awww. *mule kumat* =)) Cara dia deskripsiin maen bola juga. Sep markosip lah pokoknya. Bahkan di SoMH meskipun Nat cuma ada di plesbek dan piguran *digaplok* itu udah menarik, gw kebayang Nat sama Leandernya :x Aaah, pokoknya keren ah.

Azaria: Oy oy, jangan senyum-senyum ndiri depan leptop, oy.
PM: *getok chara* berisik ah
Danielle: Woee, reppin gw di Lion Sleep.

Nah, denger? Chara gw udah protes, gw ciao dulu yak =)) Oke? Dadaaaah. Pokoknya udah sip. ;)

Skupie a.k.a Nathan K. Harvarth said:
diancem pake piso biar ngerep disini *ditoyor*

*liat komen di atas yang panjang2*
ASTAGA, din =)) Udah dibilangin gek gw belum pernah RP-an ama si Amanda, sama si Nat juga baru sekali seinget gw... Munyung, harus ngomong apa juga gw bingung (ketauan jarang merhatiin tret yang lain =))
)

Yak, kalau si Amanda, sih... dari pengamatan saia yang cuma seadanya, sepertinya tipikal yang kalem, ya? Jarang nyari masalah dan kayaknya mengalir begitu... sungguh beda sama PM-nya yang gila *digorok*

Kalau si Nat... yang pertama kali gw komentarin adalah... UNTUNG GAK JADI MAKE NAMA INI BUAT NATE *ehem* Yak, FYI, awalnya chara saia punya rencana dinamain antara nathan/nathaniel/nathanael. Berhubung menurut Menye Nathan aja, jadilah... Ah, kalau namanya sama kan aneh juga ya... *ketip2in Cha* =)) *ehem oot* Kesan pertama dari karakter ini, sih, ini beneran anak gripin? Abisnya jarang ada anak gripin yang kalem-tenang paling2 si hakurai yang nyasar atau si LOCK yang karakternya khas bikinan Ajur (iya, gw tau sekarang yang megang rhea). Emang ini mau dimasupin gripin apa sebenernya nyasar? :3

....saya beneran jarang liat, maafkan ketidak tahuan saya. Tapi dari post2nya yang panjang, saya bisa menyimpulkan kalau rp anda pasti bagus *ditoyor* =))

Labels:


7:05 PM


The Comments (in The Coffee House)-Part #1


Post kali ini OOC sebenarnya :3 Dipost disini sebagai motivasi jika seandainya sewaktu-waktu gue mengalami krisis kepercayaan diri OTL Di bawah ini adalah komen-komen di The Coffee House dari teman-teman IH yang baik hati, hiks *menyusut air mata**diinjek*
Pokoknya BIG THANKS for all of you, guys!

marvilapin a.k.a Aurore Petrabella Marvil said:
Naaaaathanieeeel ma darling~~

*ditendang*

Ah, saya suka mereka berdua :x

Amanda yang baik hati, Nathaniel yang seksi cool~ :x :x

Deskrip keren, gampang dicerna dan ngena... UGYAAAA BIKIN IRIIIIII! XDDDDD

dark a.k.a Darkest Dawghew said:
Amanda.. cewe yang keterlaluan kalemnya :))

Menurut saya, cewe-cewe tuh harusnya yang kek Amanda gini. Terpelajar, cerdas, kaga banyak cincong =)) *disepelet anak sendiri*

Bikin ngiri, ah.. :-*

Nathaniel.. hmm..

Kalau masih sayang nyawamu, jangan jadi anak manja. --> Darkie.

=))=))

Permainan sax yang sangat menghibur, Nak. Saya suka musisi, fyi ;))

Chaos Code a.k.a Tristain F. Steinegger said:
Amanda Steinhart... gw sih pernah RP sekali doang sama tuh Chara...

First Impression, Deskrip yang bagus dan kurang lebih overall... nice. Gw bisa lihat penjiwaan chara yang kalem dan mungkin keibuan? Entahlah tapi yang pasti tipe tipe ravenclaw yang bagus... lebih kearah sosok yang mungkin menjadi prefect dkk... tapi who knows right =))

R. Betelgeuse a.k.a Rhea Cygnus Betelgeuse said:
*disuruhngisidisinisamaamanda* diniiiii~ =))

Amanda mah jangan ditanya, deskripnya udah mantep banget, din *acungin seribu jempol, minjem jempol tetangga* gw suka minder kalo baca deskrip lw. Apalagi yang di SoMH *baru baca* paling mantep itu.

*lirik2 atas* Pasti kelas 5 nanti Amanda bakalan jadi Prefect ;)) ramalan gw biasanya bener loh din ;))

Kalo Nathaniel yang uhukgantenguhuk *dirajam Ro* deskripnya juga udah bagus. Bilang Trixie cantik lagi :"> jadi malu =)) *digiles Ro* kapan-kapan maen sama Trixie yuk Nat ;;)*ketip-ketip* *ditabok Ro Dean* =))

Pokoknya gw suka Amanda sama Nathaniel :x :x :x

Chara yang mantep sama kaya PMnya ;))

Labels:


4:39 AM

Wednesday, April 22, 2009

The Phoenix and The Turtle-#1



At the free time--perpustakaan senantiasa menjadi sahabat karib. For her, at least.

Well, ya, today is Friday. Hari terakhir pembelajaran dalam rentang waktu seminggu, dan dua hari kedepan akhir pekan menyambut, menawarkan segala hal bertajuk 'istirahat, istirahat, dan istirahat' bagi seluruh anak tanpa kecuali. Dan begitupun bagi seorang Amanda Steinhart, hatinya tak ayal bersorak saat waktu berharga seperti ini datang. Makan siang tanpa cela, perut penuh, cuaca pun memutuskan untuk bersikap kooperatif dengan memancarkan sinar terbaik mereka yang begitu teduh dan nyaman. Thank God, sedikit tak dapat dipercaya, di antara seabrek hari-hari yang penuh dengan aktivitas yang menguras kinerja otak sedemikian rupa, masih ada waktu-waktu menyenangkan yang mampu mengenyahkan penat yang tertimbun dalam benak. Great. Dan momen-momen tersebut amat tak layak untuk disiakan tanpa guna, dimanfaatkan hanya untuk termenung dengan pikiran kosong di tepi danau atau menghenyakkan tubuh di atas tempat tidur kemudian terpekur tanpa alasan yang jelas--seperti yang beberapa bulan terakhir ini seringkali ia lakukan. Tidak lagi. Lupakan hal-hal tak berguna yang terus menerus menginvasi hati dan benakmu selama ini, Amanda. Tentu--lagipula segalanya berjalan lebih mudah saat ini.

Ya, pagi hari di jembatan, beberapa waktu yang lalu--membuat masalah yang selama ini menyerang hatinya perlahan menguap.

Gadis cilik itu mengubah posisi duduknya, sedikit bergeser ke kiri sementara kepalanya tetap menunduk dan menelusuri kata demi kata yang terangkai di dalam buku yang membentang terbuka di hadapannya. Amanda menyelipkan uraian rambutnya ke belakang telinga, sesekali garis samar tergurat di keningnya. Penilaian Pendidikan Sihir di Eropa--tidak, buku ini berbeda dengan para modul wajib dengan jumlah halaman tanpa toleransi yang dimiliki tiap-tiap mata pelajaran di Hogwarts--hanya bacaan sampingan, dan belum selesai dibaca olehnya hingga saat ini. Masih banyak halaman yang tersisa, masih banyak bahan kajian menarik yang terhampar di dalamnya, mengulik rasa penasaran. Bahasa yang tertera tidak terlalu berat, sungguh, sehingga rasanya bosan pun enggan mampir. Tangan kanannya mulai bergerak, membuka halaman baru, mencoba mencari tahu bagaimana akhir perdebatan seru antara para penyihir Perancis dan Irlandia--dan gerakannya terhenti. Kali ini keningnya jelas-jelas mengerut, matanya mengerjap sekali. Secarik perkamen independen keruh terselip di perbatasan halaman dua ratus lima puluh tujuh dengan halaman dua ratus lima puluh delapan. Eh? Di atas perkamen tersebut tertulis bait-bait bersusun rapi dengan tulisan tangan kecil-kecil. Amanda meraih perkamen tersebut, kemudian membaca baris demi baris secara perlahan.

The Phoenix and The Turtle



Let the bird of loudest lay,
On the sole Arabian Tree,
Herald sad and trumpet be
To whose sound chaste wings obey

But thou, shrieking harbinger,
Foul pre-currer of the fiend,Augur of the fever's end,
To this troop come thou not hear



Well. Apa sih ini? Puisi? Apa yang dilakukan deretan puisi di tengah-tengah kepungan Pendidikan Sihir Eropa? Penasaran dan sedikit terpana dengan kata-kata yang digunakan dalam puisi tersebut, ia terus membaca. Kata demi kata, baris demi bait, hingga tiba pada dua bait terakhir.

Truth may seem, but cannot be :
Beauty brag, but 'tis not she;
Truth and beauty buried be

To this urn let those repair
That are either true or far;
For these dead birds sigh a prayer

William Shakespeare, 1601




Oke. I-ini... luar biasa. Amanda terkerjap, masih terpaku, lidahnya berdecak mengungkapkan kekaguman. Ia bukan seorang melankolis yang gemar kepada sesuatu bernama puisi, syair atau semacamnya, namun entah mengapa poem yang baru saja ia baca berhasil menghadirkan sensasi menggelenyar yang aneh pada tubuhnya. Aneh, ya. Sedikit... unik, mungkin, entahlah. Dan, um, William Shakespeare, rite? Sama sekali bukan nama yang asing sebenarnya. Muggle yang satu itu memiliki kesohoran tingkat jagat raya--berlebihan, oke, tetapi begitulah pendapatnya kurang lebih.

Amanda bangkit, menutup buku di hadapannya. Siapapun yang telah meninggalkan syair tersebut, orang itu berhasil memicu ketertarikan miliknya, sukses melambungkan niatnya untuk mengetahui lebih jauh mengenai seorang Shakespeare. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah tempat berlabel perpustakaan Hogwarts memiliki buku yang berkaitan dengan hal itu? Patut dicari tahu. Ia mulai melangkahkan kaki menelusuri lorong-lorong suram di antara rak-rak hitam yang berdiri angkuh, matanya terus bergerak, membaca satu persatu judul buku-buku lusuh yang berjejer alfabetik. Mantra... Transfigurasi... Sejarah... Herbologi... Bacaan ringan... Itu dia. Amanda mendongak, menatap seonggok buku berjudul Shakespearean Gleanings yang terselip di tengah rak keenam dari bawah. Duh. Gadis itu berjinjit, mengulurkan tangan sejauh yang ia mampu, mencoba menggapai buku tujuannya. Ti-tidak sampai. Amanda menghela nafas sejenak, kemudian kembali membiarkan tumitnya terangkat di udara, bahkan melompat sekali--tidak bisa. Ia berdecak kesal, kepalanya kembali menengadah, memandang sang buku dengan tatapan kepingin.

Argh, nasib menjadi gadis pendek.

(OOC : Credit to wikipedia. Klik di sini untuk melihat syair lengkap The Phoenix and The Turtle)

Labels: ,


12:15 AM

Saturday, April 18, 2009

Shape of My Heart-#4


Bagi sang gadis cilik berambut kecokelatan itu--saat ini jurang yang terhampar di bawah jembatan terlihat begitu menarik.

Kelihatannya menerjunkan diri ke bawah sana tak akan terlalu menyakitkan. Setidaknya ia akan mati secara langsung. Terserah, Amanda tak keberatan. Apapun. Apapun asal ia dapat keluar dari situasi dimana dirinya terjebak saat ini. Apapun yang mampu menolongnya untuk pergi dari kungkungan rasa malu yang menghujam ulu hatinya. Apapun yang bisa menghilangkannya dari muka bumi.

For God's sake, apa yang telah ia lakukan? Apa yang telah ia katakan barusan, hah? Tolong beritahu padanya bahwa tiga kata itu tak pernah meluncur keluar dari bibirnya, tak pernah bergaung di udara, dan Lazarus tak pernah mendengarnya. Ya, kan? Beritahu dirinya bahwa itu tak pernah terjadi.

Well, Steinhart. Pada kenyataannya itu semua benar terjadi. Kau telah mengucapkannya, anak malang.

Lidah, kau jahat. Sangat. Kau juga, akal. Kau diam. Tak bertindak. Tak kuasa mengontrol sang batin yang tengah berada pada tingkat kewarasan di bawah nol. Memaksa Amanda untuk menghadapi konsekuensi yang tengah menghampirinya, seorang diri. Memaksanya bertahan menunggu tanggapan--entah apa--yang akan terlontar dari mulut pemuda di hadapannya. Menunggu dengan perasaan tak keruan dan galau, komplikasi antara rasa kesal terhadap diri sendiri dengan kekhawatiran luar biasa. Sudah terlanjur, kawan-kawan, mau bagaimana lagi. Yang bisa ia lakukan hanya diam. Pasrah. Menunggu. Tanpa harapan, kalau ia boleh jujur.

Dengusan, dengar? Pertanda buruk. Amanda tak berani bergerak, tangan kirinya mencengkeram pagar jembatan dengan erat. Ia tak lagi mampu berpikir saat ini. Benaknya kosong, sepasang kelereng kecokelatannya balas menatap manik cemerlang milik Lazarus dengan hampa. Tepatkah apa yang telah dilakukannya barusan--mengatakan secara lugas? Tidak tahu. Tidak tahu. Yang ia tahu hanya satu : tak peduli tindakannya beberapa detik yang lalu itu benar atau tidak, yang pasti keberaniannya mulai bangkit. Sebuah beban telah terangkat dari lubuk hatinya, menghadirkan rasa nyaman yang begitu melegakan. Ba-baguslah. Dan satu lagi. Ia bukan pengecut, see?

Jantungnya seakan berhenti berdetak saat Lazarus mencondongkan tubuh, mempersempit jarak di antara mereka. Amanda merasakan tubuhnya meremang, sensasi menggelitik merambati telinganya saat bisikan tersebut akhirnya terdengar. The answer?

"I wish I can feel the same."

Guratan samar terbentuk di kening sang gadis. A... pa maksudnya itu? Positif? Ataukah negatif? Mulutnya telah terbuka beberapa inci, hendak merilis pertanyaan, namun urung ketika--

"-but I'm not."

But I'm not. But he's not. But Lazarus's not. Begitu. Jawaban yang telah Amanda duga sejak lama. Segalanya sudah jelas. Great.

Sudah menduganya, eh? Lalu KENAPA saat ini ia merasakan langit runtuh dan menimpanya? MENGAPA tubuhnya seakan kehilangan pijakan dan sepasang kakinya lemas? APA yang kini menyebabkan relung hatinya sesak dan mencelos? Hati tak dapat berbohong, Amanda. Hatimu tak mampu berbohong. Apapun sugesti yang berusaha ia tanamkan ke dalam hatinya untuk 'menerima' kenyataan, buktinya ia tak bisa. Penolakan terang-terangan telah dihempaskan kuat-kuat, menghantam dirinya tanpa toleransi. Tetapi bagaimanapun, betapa sulitnya, ia harus mampu. Harus. That's the final decision.

Amanda mengangkat wajahnya, mengangguk samar seraya melempar senyum lemah kepada Lazarus. "Terima kasih," ucapnya lirih, "dan maaf." Berhasil mengaktifkan kembali neuron geraknya, gadis itu memutar langkah, membalikkan tubuh dan berjalan dengan sedikit terhuyung, menjauhi sang anak lelaki Slytherin, sekaligus turut mati-matian mengenyahkan kenelangsaan yang melanda. Kepalanya menunduk--dan kristal bening itu hadir juga di kedua pelupuk matanya tanpa mampu dicegah, mengaburkan pandangan. Hei, apa-apaan, ha? Jangan cengeng, Amanda. Terima segala konsekuensi, ingat? Ia ingat. Ia tahu, itu janjinya. Tapi merealisasikan apa yang telah diucapkan tak semudah yang kalian duga. Sungguh.

Ada seseorang di sampingnya. Eh? Gadis itu menoleh beberapa derajat, cukup untuk mengenali siapa gerangan orang tersebut. Larry? Ga-gawat. Cukup sekali sahabatnya itu melihatnya menangis. Tidak untuk kedua kali. Amanda memodifikasi gerakan menghapus air mata dengan gerakan mengucek, berpura-pura menyalahkan para debu. "Hai, Larry," serunya dengan suara serak, kakinya tetap melangkah silih berganti. Ada perasaan lega yang mendarat di hatinya saat mengetahui sahabatnya berada disini, mengindikasikan bahwa dirinya tak sendiri. Amanda butuh seseorang. "Apa kabar?" Jangan salahkan keminiman kosakatanya, please. Otaknya tak dapat bekerja dengan benar saat ini. Sebuah seruan familiar terdengar, menghentikan laju sepasang kakinya. Amanda menoleh, mendapatkan senior McCafferty telah berada didekatnya, memanggil Larry, menyodorkan... buku. Oh. Sepertinya Larry punya urusan lain. Mungkin memang sebaiknya ia pergi. Mungkin memang sebaiknya ia melewati ini semua sendirian.

"Sampai jumpa, Larry," gumamnya lirih, kepalanya kembali tertunduk, kakinya kembali bergerak. Namun lagi-lagi terhenti saat sang angin sekali lagi menginterupsi, menerbangkan 'lagi' perkamen dalam genggamannya, berlawanan arah dengan arah kemana kakinya menuju. Perkamen itu terbang dengan anggun, menghampiri... Senior McCafferty. Perfect. Seniornya itu akan tahu. Atau jangan-jangan Larry dan sang senior telah mendengar ucapannya pada Lazarus, eh?

Matilah Amanda.

Labels: ,


9:42 AM

Friday, April 17, 2009

Le Papillon-#3


Then the unnamed feeling
It comes alive...



Thank God Amanda tak berada di sini. Entah apa yang akan sepupunya itu lakukan dan katakan jika menangkap basah dirinya sedang berada dalam posisi mencengangkan seperti ini, salah tingkah, dilengkapi wajah yang merona dengan semburat kemerahan. Jangan sampai, jangan sampai. Bisa-bisa gadis itu mengganggunya sepanjang libur musim panas, menghujaninya dengan celotehan dan tawa berderai seraya memaksanya untuk bercerita macam-macam. Setiap hari sepanjang liburan. Dan pastinya akan ditimpali oleh Leander--tidak diragukan lagi--dengan tepukan di bahu serta nasihat, mungkin? Cih, yang benar saja. Tipikal Steinhart. Kalau sudah begitu, hanya tinggal menunggu waktu hingga isu tersebut mendarat di telinga sang ayah. Kalau sudah begitu--gawat tingkat dewa.

Nathaniel masih berkutat dengan sang kancing, yang luar biasa menjengkelkan karena tak jua setuju untuk bekerja sama, properti keperakan itu tetap kukuh bersarang pada jalinan benang milik kerah baju gadis dihadapannya. Apa yang salah sih? Well, sebenarnya Nat dapat menyelesaikan masalah ini dalam sekejap mata--tarik paksa, putuskan untaian benang yang melintang, beres. Hanya saja ia tak berani.

Putra tunggal keluarga Gladstone, menimpa seorang gadis cilik hingga terjatuh, kemudian merusak bajunya.



Dad akan membunuhnya. Berlaku sopan kepada lawan jenis, prinsip yang telah mendarah daging dan tertanam di benaknya sejak dirinya mulai beranjak dewasa, hasil didikan keras-intensif sang ayah. Ia tak akan mengatakan bahwa segala apa yang diberikan Dad tak berguna--tentu saja tidak--harus ia akui seluruh prinsip dan peraturan tersebut bertujuan untuk menjadikan Nat seseorang dan pribadi yang lebih baik. Fine, ia mengerti, sangat mengerti. Hanya saja ada beberapa poin yang tak mampu ia terima dengan sukarela tanpa kerutan di dahi atau alis yang terangkat, tak mampu ia cerna dengan akal sehat, memancing pemberontak dalam salah satu sisi hatinya untuk meletup. Tetapi--tidak, berlaku sesopan yang ia mampu terutama kepada lawan jenis bukanlah salah satu prinsip yang ia abaikan. Laksanakan, meski dalam keadaan sulit. Like now.

Anak lelaki dua belas tahun itu dapat merasakan wajahnya memanas, kemudian merambat ke telinga ketika suara tawa Marvil terus terlontar beberapa saat tanpa henti. Astaga, cewek. Dalam kondisi seperti ini, yang biasanya akan secara spontan Nat lakukan adalah mendelik sembari mendengus sinis, menggelengkan kepala tak percaya. Ta-tapi, apa yang ia lakukan sekarang? Terdiam. Dengan kegugupan yang berusaha mati-matian ia sembunyikan dengan sebisa mungkin terlihat sibuk dengan kancing si biang keladi. Ada apa, hm, Nathaniel? Kau bertingkah aneh hari ini, Nak. Ya, memang. Amat sangat aneh. Sesuatu tengah menusuk-nusuk dadanya dengan pisau, perasaan janggal menggelayuti hatinya. Apa? Tidak tahu.

Karena Marvil, eh?



Pa-pardon? Karena gadis di hadapannya? Yang benar saja. Mustahil, haha. Mustahil, ya kan? Benar kan? Pastilah. Tidak mungkin.

Sialnya memang iya.

Oke, mengakui fakta bahwa dirinya bertingkah aneh dan nervous hanya karena seorang Aurore Petrabella Marvil memang sulit. Tapi... begitulah. Memangnya apa lagi? Tak ada alasan lain. Dan, well, percayalah, ini kali pertama Nat merasakan sensasi menyesakkan--sekaligus menyenangkan--mampir di benak dan batinnya hanya karena seorang gadis. Marvil, objek utama dalam kasus ini, memang berbeda dari gadis-gadis lain di Hogwarts--setidaknya bagi Nathaniel. Kontras. Unik, begitu polos meskipun terkadang tindakan dan jalan pikirannya tak tertangkap akal sehat. Ceroboh, memicu keinginan Nat untuk... melindunginya. Seperti dirinya melindungi Amanda, mungkin. Dan, satu hal yang paling menarik dari gadis ini adalah... ia sepertinya tak pernah sadar bahwa dirinya cantik. Interesting.

Ya Tuhan, apa yang barusan ia pikirkan? Astaga. Ingat, Nathaniel, kau-masih-dua-belas-tahun. Pikiran macam apa itu.

Lalu kenapa? Masa bodoh, ia tak peduli. Ia hanya mengungkapkan isi hati, tidak boleh?

Great. Akhirnya berhasil. Lilitan benang yang mengait pada kerah baju Marvil telah terurai dengan sukses. Huft. Nat menghela nafas lega. "Sudah selesai, Mar--"

Detik berikutnya anak lelaki itu telah terpaku di tempat, kaku tak mampu bergerak saat secara tiba-tiba Marvil memeluknya. Tubuh Nat meremang, jantungnya berpacu begitu cepat, sementara tanpa sadar ia menahan nafas. A-ada apa? Ke-kenapa?

"Nat-h-yel... U-usir... Usir dia..."

Dia? Nathaniel mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sesuatu atau seseorang yang berlabel 'dia' seperti yang dimaksudkan Marvil. Eh? Itu... Kupu-kupu? Hewan penyebab dirinya jatuh. Nat menurunkan tatapannya, mengerling gadis cilik yang tengah mendekapnya erat. Marvil takut kupu-kupu. Begitu. Masih berusaha meredakan detak jantungnya yang bertempo abnormal, ia mengibaskan tangan kanannya perlahan ke arah makhluk mungil bersayap tersebut. Sang kupu-kupu terbang dengan anggun, bergerak menjauh tanpa interupsi, menerabas angin dengan lembut. Nat menepuk pelan punggung Marvil dengan ragu. Ia membuka mulut, hendak menginformasikan bahwa objek antagonis telah pergi. Hm, atau lebih baik tidak usah ya? Kejadian seperti ini tak terjadi setiap hari--

Nathaniel Gladstone, kau...

Bercanda. "Kupu-kupunya sudah pergi, Ro."

(OOC : Credit to Metallica - The Unnamed Feeling)

Labels: ,


4:16 AM

Wednesday, April 15, 2009

Shape of My Heart-#3

Benci. Satu kata, mewakili segalanya. Satu kata, dan elemen bahasa tersebut berhasil mendeskripsikan serta menyentak keluar seluruh aspirasi hatinya. Ya, gadis itu benci--pada dirinya sendiri, untuk saat ini. Benci karena lidahnya selalu enggan berkompromi dan bermufakat dalam situasi menyesakkan seperti ini. Kedua kakinya turut bersekongkol, memutuskan untuk melipatgandakan bobot mereka seratus kali lipat, kemudian memakukan diri di atas lantai jembatan. Bagian intern dari sang leher terasa kering, memaksa gadis cilik tersebut untuk mengaktifkan kelenjar saliva setidaknya sekali per tiga puluh detik. Kardionya terus menerus menggedor dadanya tanpa ampun, begitu keras hingga detaknya tersampaikan kepada sang telinga. Jadi begitu, eh? Fine. Kalian semua... benar-benar tak setia kawan, wahai tubuh.

Ah, dan--ya. Amanda benci. Ia benci--tatapan itu. Tatapan yang terlontar dari kedua manik pemuda di hadapannya. Tatapan angkuh yang selalu serupa dalam setiap kesempatan. Tatapan yang seringkali membuat Amanda tak berkutik dan terkesiap. Ia sudah bilang, kan? Tolong. Tolong jangan menatapnya seperti itu, Lazarus. Please

"Apa lagi, Steinhart?"

Apa lagi? Tidak tahu. Dirinya tak tahu. Jangan tanya. Amanda melempar pandang kosong ke arah jurang jauh di bawah jembatan sekaligus membebaskan diri dan menghindari tatapan Lazarus. Benar, lalu apa sekarang? Salahkan dirinya yang begitu bodoh, tak mampu mengontrol sang mulut, mengundang kembali masalah yang hendak beranjak pergi beberapa detik yang lalu. Bodoh. Bodoh. Lihat, kan. Kini ia hanya mampu terdiam, terapung dalam penyesalan dan tenggelam dalam keputusasaan karena tak mampu mengulang kembali waktu yang telah berlalu dan membatalkan segala hal yang telah ia lakukan. Penyesalan--is nothing. Tak ada gunanya.

Amanda memiliki dua pilihan. Pertama, kembali memasang sang kedok, menuturkan jawaban serta alasan palsu sama seperti sebelumnya--dengan konsekuensi : menemukan guratan ketidaksabaran di wajah pihak di hadapannya tertoreh lebih dalam, dan menerima makian, mungkin? Opsi kedua, pilihan sinting--go ahead. Lanjutkan apa yang telah kau mulai, Amanda. Ralat, lanjutkan apa yang telah terlanjur kau mulai, sengaja atau tidak. Terima segala apa yang akan terjadi. Silangkan jari dan berharaplah untuk yang terbaik.

So. Pilih yang mana?

Kalimat berikutnya yang terucap dari bibir sang anak lelaki membuat engsel lehernya kembali berputar. Menjelaskan tentang isi perkamen, hm? Jika ia boleh berkata jujur... well, ia tak berani. Katakan saja ia payah, silahkan. Yang pasti, Amanda masih waras dan tentu, yang akan terpilih adalah pilihan pertama. Lupakan perkamen biang keladi tersebut, lupakan bahwa mereka pernah bertemu di tempat ini, lupakan bahwa ia pernah melontarkan kalimat 'tunggu, Lazarus'--ITU jalan terbaik. Amanda telah membuka mulut, mencoba menuturkan permintaan maaf, memberi penjelasan bahwa tak ada apapun, bahwa rangkaian kata yang tertulis di atas perkamen sama sekali tak berarti apa-apa... tetapi tak ada yang keluar. Suaranya tercekat bahkan sebelum tiba di leher, sesuatu menghambat perjalanannya. Oh, apa lagi sih? God, tolong ia, kali ini saja. She begs you.

Hei. Masih pagi. P-A-G-I. Oh, well, yeah. Pagi musim gugur. Identik dengan dedaunan yang meranggas, meninggalkan tempatnya bernaung, melambai dan meliuk menghampiri siapapun yang beruntung tengah berada tepat di bawahnya. Sang angin berbisik, berhembus dalam tempo tak terprediksi dan bermain-main dengan segenap komposisi bumi yang terserak. Burung gereja bercengkerama seperti biasa. Seperti biasa--tidak, tunggu.

Suara itu--berbeda sama sekali. Itu... tawa? Dedaunan melintas, merapat di telinga gadis Ravenclaw, bergesek dan terkekeh. A-apa? Bagaimana mungkin? Tuan angin menggelitik pipinya seraya mendesis lembut, menghantarkan ucapan menghujam.

Poor you, chicken Steinhart...



Ia bukan PENGECUT. Jangan. Pernah. Berani--

Burung gereja mungil itu menghampiri, menceracau ribut, seakan memberikan... semangat?

Selangkah lagi, gadis manis, ayo.



Bahkan dunia bekerja sama untuk mempermainkannya.

FINE. Hati terdalamnya memang tak pernah kalah. Hati kecilnya selalu berhasil mengambil alih, bahkan sukses menyingkirkan akal. Ya, dan kali ini mereka curang. Menggunakan fantasi tak berdasar, tak tercerna tetapi entah bagaimana berhasil menarik tuas yang tepat di pusat hati. Amanda menyerah. Ia akan melaksanakan apa yang telah ia mulai. Masa bodoh apapun yang akan terjadi. Terserah.

I'm here with my confession...



Menghela nafas berat, ia menatap lekat pemuda di hadapannya. Sebuah tindakan yang secara otomatis memicu sindron nervous, dan kali ini Amanda dapat merasakan telapak tangannya berkeringat. Cepatlah. Lima detik, dan semuanya selesai. "Err... sebenarnya..."

Got nothing to hide no more...



Kedua tangannya kini berada dalam saku, salah satunya menggenggam sang arloji kesayangan. Lehernya tercekat lagi, jantungnya kembali beraksi, menabuh dadanya dengan keras. Beri ia keberanian, God. Tolong. "A... Aku..."

I don't know where to start...



Apa yang harus ia katakan? Demi Leander, demi Nathaniel, dan demi semua orang yang ia sayangi, APA yang harus ia UCAPKAN? "Lazarus, a-aku..."

But to show you the shape of my heart...



"Aku suka padamu."

(OOC : Song credit to Shape of My Heart - Backstreet Boys)

Labels: ,


1:52 PM

Sunday, April 12, 2009

Set Adrift on Symphony Bliss-#2

Sekali lagi.

Anak lelaki itu membasahi bibirnya yang kering sebelum kembali memainkan sang alat musik, untuk kedua kalinya mengalunkan partitur yang sama. Edelweiss, Leontopodium alpinum, spesies makhluk hidup yang begitu mengagumkan, memikat hati pribadi yang menatapnya, melengkungkan seulas senyuman pada kontur wajah mereka yang menggenggamnya. Sang lambang kemurnian dan cinta abadi inilah yang menjadi sosok kesayangan Mom, juga menjadi bunga yang paling wanita itu senangi. Sejak Nathaniel kecil, filosofi mengenai Edelweiss telah tertanam hingga ke dasar benaknya--akibat begitu seringnya diperdengarkan--hingga turut menjadikannya salah seorang diantara para pengagum makhluk kecil anggun tersebut.

Pelajaran hidup, bagi penerus keluarga Gladstone adalah mutlak hukumnya, wajib diinjeksi dan didoktrinkan ke dalam cara berpikir masing-masing pihak tanpa terkecuali. Filosofi-filosofi kuno dan kolot, peraturan yang mendikte, semua hal tersebut telah menjadi bagian pokok dan anggota tetap dalam perjalanan kehidupan Nathaniel, berbagai prinsip telah tertulis dalam undang-undang yang tercetak pada lembaran perkamen 'Prinsip Gladstone's'. Ya, ya, kau tahu semua itu benar-benar menjemukan dan sungguh mengekang apapun yang ia lakukan--menyulutnya untuk memberontak sesekali. Nat lebih senang kepada sesuatu yang tidak kaku, tidak terpaku hanya kepada apa yang tertulis saja.

Well, ia beruntung karena Mom seakan mengerti apa keinginannya. Wanita itu dalam berbagai kesempatan selalu mendidik Nat dengan caranya sendiri, lemah lembut, pendekatan secara personal yang benar-benar dapat menyediakan rasa nyaman--amat bertolak belakang dengan Dad. Cara tersebut berhasil dengan gemilang, segala perkataan Mom mampu ia resapi tanpa sisa dengan senang hati. Termasuk salah satu kalimat yang sukses membuat hatinya berdesir sejak kali pertama ia mendengarnya.

Jadilah Edelweiss, dear Nathaniel.


Jadilah Edelweiss. Tentu, Mom, ia bersumpah bahwa ia akan berusaha menjadi sekuntum Edelweiss. Menjadi seseorang yang kuat, mampu bertahan bahkan di tempat-tempat tak terduga tanpa tercemari elemen buruk apapun yang mungkin mengelilinya--tetap bergeming dalam kemurnian. Kau dengar, Mom? Putramu bersumpah, sungguh. Apapun. Apapun yang dapat membahagiakanmu Mom, akan Nat lakukan. Untuk menebus kesalahan luar biasa fatal yang telah ia lakukan empat tahun lalu. Kesalahan fatal yang membuat anak lelaki itu tak mampu memaafkan dirinya sendiri hingga detik ini. Kesalahan seorang anak kecil delapan tahun yang begitu bodoh hingga menyebabkan sang ibu harus mendekam di suatu tempat yang amat tak pantas bagi wanita anggun tersebut.

St. Mungo.

Leher Nathaniel kembali tercekat, sekali lagi menghentikan nada yang tengah mengalun. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat dan menipis. Detik berikutnya ia kembali meniup sang saxophone, masih memainkan lagu yang sama--namun dengan emosi yang berbeda. Lagu riang, benar sekali, seharusnya begitu. Tetapi yang terdengar saat ini adalah melodi kemarahan, tempo yang digunakan berubah menjadi satu ketukan lebih cepat, alunan yang bergaung lirih dimainkan secara tersentak-sentak dengan sengaja. Terserah. Ia tak peduli lagi apakah ada yang mendengarnya atau tidak.

Kemarahan itu muncul lagi. Kemarahan, luapan amukan yang membawa hasrat luar biasa besar untuk menghukum diri sendiri. Jika dirinya tak begitu bodoh waktu itu, Mom tentu masih ada bersama mereka, menyambutnya dengan senyuman menyejukkannya saat libur musim panas. Jika ia tak melakukan kebodohan itu empat tahun yang lalu, Dad tak akan sekeras sekarang, ia pun dapat bermain saxophone di rumah dengan leluasa tanpa harus bersembunyi dari sang ayah. Seandainya saja pada saat itu Nat mendengarkan instruksi dengan baik, ramuan tersebut tak akan gagal. Seandainya saja pada saat itu ia berkonsentrasi penuh, Mom tak akan kehilangan seluruh ingatannya...

Dan apa yang mampu ia lakukan, hah? Menyesal? Menangis? Betapa lemahnya kau, Nathaniel Gladstone. Tak ada tindakan berarti yang pernah kau lakukan, kan? Hanya terdiam. Tak ada satu hal pun yang pernah ia lakukan untuk membalas apa yang telah Mom berikan selama ini. Lihat saja. Di hari ulang tahun ibunya--hari ini--ia hanya bisa mendekam di balik tembok Hogwarts, memberikan alunan lagu dari kejauhan. Cih, APA GUNANYA?

"Kau cukup mahir juga, rupanya, senior."

Lamunan Nat buyar. Terkejut setengah mati mendengar suara entah-siapa-itu, tubuhnya tersentak, lutut kanannya menyepak lampu minyak di samping kakinya dengan keras. Benda itu terlontar beberapa meter jauhnya, kaca pelindungnya pecah berkeping-keping, menimbulkan suara memekakkan yang bergaung ke seluruh penjuru ruangan. Kedua mata Nat membesar tak percaya ketika menyaksikan api dari lampu minyak telah menjalar, membakar sepasang kursi meja dengan. A-astaga.

Ia bergegas bangkit--saxophone tergenggam erat di tangan kanan--untuk menghindari api yang mulai bergerak ke arahnya--terlalu bergegas hingga pinggangnya terbentur ujung salah satu meja, diiringi suara berkelontang ganjil. Ugh. Nat mengerang, memegangi pinggangnya yang sakit, kemudian secara perlahan mengangkat wajah. For God's sake, yang benar saja. 5 orang? 5 orang lain telah berada di dalam ruangan yang sama dengannya--kemungkinan besar sedari tadi--dan ia sama sekali tak sadar? Gila.

Woi, api.

Ya ampun, api, ia lupa. Dengan panik Nat merogoh saku celananya, mencari keberadaan sang tongkat. Tertegun, ia terhenyak sesaat. Tongkatnya tak ada.

Labels: ,


6:17 AM

Saturday, April 11, 2009

Lidahnya masih kelu. Sedari tadi yang mampu ia lakukan hanya membuka dan menutup mulut berkali-kali, tergagap seraya menelan ludah serta menahan nafas, mencoba meredakan detak jantung yang mulai tak normal. Di hadapannya kini telah berdiri sosok yang entah--memang ia inginkan berdiri di sana atau sebaliknya, amat ia inginkan kepergiannya. Seperti yang biasa Amanda saksikan di berbagai kesempatan bertatap muka dengan pemuda itu, alis Lazarus kali ini tak ayal kembali terangkat, sepasang kelereng gelapnya menghujam tepat di titik fokus kedua lensa kecokelatan milik sang gadis. To-tolong jangan menatapnya seperti itu, Lazarus. Ia mohon...

Tatapan khas seseorang yang tak percaya. Amanda tahu. Ia dapat melihat itu. Kalimatnya yang mendeklarasikan bahwa tidak ada yang perlu dijelaskan memang hanya merupakan sebuah kebohongan belaka, kedok payah yang sengaja ia pasang di bagian muka agar pemuda tersebut tak mengetahui apa yang sebenarnya hendak diutarakan olehnya saat tangan kanannya bergerak perlahan untuk menulis surat itu--tadi malam. Tetapi sepertinya sang kedok tak terpasang dengan sempurna, sehingga celah-celah berhasil terbentuk, mengizinkan Lazarus melihat apa yang berada di baliknya dan melontarkan terkaan. Ya kan? Well, bagaimanapun terkaan tetaplah terkaan, kecurigaan semata, tak terbukti, tak dapat dikatakan benar sebelum pemeran utama mengangguk dan mengiyakan. Kelas tiga--sekitar tiga belas tahun, dan bisa dikatakan hampir mustahil jika Slytherin di hadapannya mampu menguasai Legilimens. Amanda tak perlu khawatir kalau begitu. Rahasianya akan tetap terkubur dalam-dalam, tak akan ada yang mampu menemukannya, asal--pikiran nekat yang akhir-akhir ini seringkali menyergap benaknya mampu dienyahkan. Pikiran nekat dan sinting untuk mengungkapkan segalanya.

No way. Itu. Tidak. Boleh. Terjadi.

Pertanyaannya sekarang adalah, mampukah Amanda bertahan dengan rahasia itu? Bertahan selamanya, berkawan dengan perasaan tertekan yang menyesakkan? Alam sadarnya menyatakan bahwa ia mampu. Pasti mampu. Harus mampu. Namun ia sadar, hati kecilnya tak setegar itu. Sugesti yang terus terdoktrin sepanjang hidupnya bahwa seorang Steinhart tak boleh lemah dan harus memiliki keyakinan di setiap hal yang ia lakukan, kemungkinan besar tak akan mempan terhadap bagian terdalam hatinya. Kalau sudah begitu bisa gawat.


"Siapa namanya? Siapa? Oh, ayolah, beritahu kakakmu ini, Amanda."
"I-itu... tidak penting, Leander. Lupakan."
"Beritahu saja, Amanda. Apa susahnya sih."
"Oh, diamlah, Nathaniel," ujar Amanda, kedua matanya mengerling sepupunya penuh arti.
"Ah ya, Nathaniel. Kau bisa memberitahuku, rite? Siapa?" tanya Leander seraya mencondongkan tubuh ke arah anak lelaki dua belas tahun di seberang meja, wajahnya memajang mimik penasaran.
"Nathaniel Gladstone," desis Amanda, "Don't."
Nat menyeringai jenaka, menjulurkan lidah kepada sang gadis, kemudian berkata, "Lazarus. Sylar Lazarus, Leander."
Sebuah bantal melayang, dengan sukses menimpa kepala anak lelaki Gryffindor yang kini tengah tertawa terpingkal itu, disusul pukulan bertubi-tubi di bagian punggung.
"Ya ampun, kenapa harus marah, dear, Amanda?" ucap Leander dengan tawa berderai, menghentikan gerakan Amanda yang tengah bersiap dengan pisau dapur--wohoo, bercanda. "Memiliki perasaan spesial pada seseorang bukanlah suatu kesalahan," lanjut Leander lagi. Amanda tertegun. Benarkah? Benarkah hal tersebut bukan suatu kesalahan?
"So--mengapa tak kau katakan saja padanya?"



Itu dia. Cikal bakal yang menghadirkan pikiran-pikiran nekat di benaknya. Kalimat yang diucapkan dengan begitu ringan oleh Leander, terdengar bagai petir di siang bolong bagi Amanda, kalau kau mau tahu. Gila--tapi sialnya--juga masuk akal. Katakan saja. Haha. Tidak mungkin.

Amanda terpaku saat Lazarus meraih tangannya, mengembalikan lembaran perkamen yang menjadi biang keladi, kemudian memutar langkah setelah mengucapkan sebuah statement penuh ketidakpedulian. Terserah katanya. Dengar, kan? Lazarus sama sekali tak peduli, Amanda. Apa lagi yang kau harapkan? Bagus. Pergi saja sana.

Hei. Sadar, gadis kecil. Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali.


Apa? Kesempatan apa? Bertemu Lazarus dan tak ada orang lain sehingga ia dapat mengutarakan isi hatinya? Dirinya masih waras, maaf saja.

Oh, tidak berani? Betapa pengecutnya kau, Steinhart.


Jangan. Pernah. Menyebutnya. Pengecut.

Kenapa? Memang benar kan?


Frustasi. Marah kepada dirinya sendiri, tanpa sadar dan tanpa berpikir lagi, detik berikutnya Amanda telah berseru, "Tunggu sebentar, Lazarus."

Fine. Pelatuk telah dipicu, kawan-kawan.


Yang pernah baca tulisan di atas, komen donk :| Emang ngena banget? Bukannya narsis, gue cuma bingung. *yang bikin sama sekali gak ngeh*

Labels: ,


7:24 AM

Friday, April 10, 2009

Astronomi-#1

"Please, bantu aku, Amanda."
"Tidak. Cukup Herbologi dan PTIH saja, Nat."
"Sekali lagi saja. Ayolah. Aku sama sekali tak mengerti Astronomi."

Nathaniel menatap lekat sepupunya, berusaha memasang tampang dan mimik mengiba, tangan kanannya mengguncang lengan sang gadis, mengindikasikan 'please, please, boleh ya' secara non verbal. Hiruk pikuk Aula Besar begitu memekakkan, beberapa kali ia mendelik tajam ke arah kerumunan siswa yang berseru-seru tak jelas serta sekumpulan gadis yang terkikik nyaring berkali-kali. Apa-apaan itu. Dasar cewek.

Saat ini mereka berdua tengah melaksanakan ritual harian penting yang dilakukan untuk menunjang kehidupan dan mempertahankan kesinambungan populasi manusia : makan malam. Nat berteriak dalam hati saat melihat gadis di hadapannya menghela nafas, merogoh tas hitamnya dan mengeluarkan secarik perkamen lusuh. Tersenyum puas, anak lelaki itu menerima sang perkamen dengan sukacita, membaca sekilas apa yang tertulis disana. Sip. Uraian materi Astronomi kelas 2. Kalender, eh? Apapun itu, ia tak peduli. Yang penting bekal untuk mendapatkan nilai sudah di tangan. Wohoo, picik sekali kau Gladstone. Kira-kira apa yang akan Dad lakukan dan katakan jika mengetahui putra semata wayangnya mendapatkan nilai bagus dari hasil jerih payah sepupunya? Memberikan raut kecewa campur marah? Pasti. Hukuman juga, mungkin. Ceramah panjang lebar, tak diragukan lagi. Lalu--tahu begitu apakah Nat akan mengurungkan niatnya? Tentu tidak.

Oh, please, diamlah kau benak. Jangan ikut campur.

Melipat perkamen dalam genggaman dan memasukkannya ke dalam saku jubah, ia menghabiskan suapan terakhir kentang rebus miliknya, meneguk tandas limun jahe, kemudian bangkit setelah menyambar arloji Amanda dari atas meja. Kelas Astronomi, lima menit lagi. "Terima kasih banyak, Sepupu. Love ya." Nat tersenyum jenaka, mengembalikan arloji kepada pemilik aslinya seraya bangkit dan berjalan melintasi koridor yang terbentuk antara meja panjang asrama elang dan musang. Langkah kaki ringannya teredam oleh celotehan lima orang junior Hufflepuff yang sepertinya tengah meributkan tongkat siapa yang lebih hebat. Tercengang sejenak, Nat menggelengkan kepala tak percaya sebelum kembali mengayunkan kedua kakinya. Ck ck, yang benar saja. Dasar junior.

Kelas Astronomi
Astronomi. Salah satu--ralat, satu-satunya--mata pelajaran yang selalu berhasil membuat kepalanya secara tiba-tiba menjadi kosong, blank, dan yang mampu ia lakukan hanya menatap hampa Profesor Sinistra dengan mulut sedikit terbuka. Tidak mengerti sama sekali. Serius. Entah mengapa materi astronomi tak pernah meraih posisi manapun dalam daftar 'pelajaran yang menarik', semakin menyurutkan semangatnya untuk mengenyahkan ketidakmengertian serta membasmi kebodohan yang senantiasa mampir saat kakinya menginjak Menara Astronomi. Tetapi tidak kali ini. Nat melangkah melintasi pintu kelas, mengerjap sekali saat melihat langit siang hari telah menggantung di bagian atas kelas, amat kontras dengan langit malam asli yang menampakkan rupanya melalui jendela. Wew. Layout kelas baru. Mengambil posisi di bawah langit cerah berburung--what the--ia membuka telinga lebar-lebar, berusaha menangkap segala penjelasan yang meluncur dari bibir sang profesor.

Benar kan. Kalender. Solar, Lunar dan Lunisolar. Pilih salah satu? Fine. Itu semua tergantung kepada apa yang tertulis di perkamen pemberian Amanda. Nat merogoh sakunya, membentangkan lembar kecokelatan tersebut di atas meja. Solar ternyata. Baiklah.

Sebentar. Kalau ia tidak salah dengar, berpasangan, eh? Ah. Sial. Tak terlalu memperhatikan siapa yang duduk di sampingnya, Nat mengerling ke samping, mencari tahu sia-- For God's sake, you must be kidding him.

Holmquist. Gadis di kereta. Nathaniel berdecak tak percaya. Bukan hari keberuntungannya ternyata. Namun ada yang berbeda kelihatannya. Gadis itu terlihat pucat, raut wajahnya seakan... err--sedih? Well, bukan urusannya. Terpaksa deh. "Sst, Holmquist," ujarnya pelan seraya menggeser sang perkamen. "Bagaimana jika kita membahas Kalender Iran?"


Kalender Solar adalah kalender yang didasarkan dari musim & pergerakan matahari. Berikut akan kami jelaskan secara singkat mengenai salah satu contoh Kalender Solar, yaitu : Kalender Iran.

Kalender Iran adalah Kalender Hijriah Solar (kalender Hijriah dengan perhitungan matahari). Selain berlaku di Iran, kalender ini juga dipakai di Afghanistan dan Tajikistan sebagai sesama rumpun bangsa Persia.

Kalender Iran diciptakan Raja Cyrus tahun 530 SM, dan dibuat lebih akurat pada awal abad ke-12 oleh ahli matematika dan astronomi yang juga sastrawan, Umar Khayyam (1050-1122). Tahun baru (Nawruz) selalu jatuh pada awal musim semi. Nama-nama bulan adalah Farwardin, Ordibehest, Khordad, Tir, Mordad, Shahriwar, Mehr, Aban, Azar, Dey, Bahman, Esfand. Enam bulan pertama 31 hari dan 5 bulan berikutnya 30 hari. Bulan terakhir, Esfand, 29 hari (tahun biasa) atau 30 hari (tahun kabisat).


Terputus sampai disitu. Nat mengerutkan kening. Selesai di situkah? Yah, setidaknya tiga paragraf tak terlalu buruk. "Sisanya bagianmu, Nona," ujarnya, menyeringai. Kata-kata ironi.

Labels: ,


10:56 AM

Thursday, April 9, 2009

Le Pappilon-#2

Bertahan, Nathaniel. Come on.

Lagi-lagi, setetes peluh mengalir melintasi pelipisnya, turun menuju leher. Nat mencoba mengatur nafasnya yang mulai menderu, seraya meredakan detak jantungnya yang begitu keras hingga membuat dadanya sakit. Ia masih hidup. Oke. Tulangnya tidak patah. Kabar bagus. Ia dapat merasakan pergelangan tangan kanannya berdarah dan kemejanya robek di bagian bahu kiri akibat terinvasi kumpulan ranting yang ia lewati dengan terpaksa dan brutal saat terjatuh dua menit yang lalu, namun itu tak sebanding dengan keselamatan yang ia dapatkan. Well, jatuh dari ketinggian 6 meter memang tak akan membunuh seseorang secara langsung, tentu. Hanya akan mematahkan beberapa tulang--dan kemungkinan besar adalah tulang di bagian bawah alias kaki. Dengar? Mematahkan kaki. No way. Kaki is the most important part of his body, ever. Seandainya terjadi sesuatu pada kakinya, karir serta hobinya di dunia sepakbola bisa hancur. Dan jika itu terjadi--lebih baik ia mati.

Nat mendongak, memandang dahan yang telah terpilih sebagai tempatnya bertahan--sebuah bonggol kayu ramping berwarna kecokelatan keruh yang sama sekali tak kelihatan kokoh. Gawat. Bahkan sepertinya hembusan angin yang cukup kuat dapat mematahkan dahan bercabang yang satu ini. Keberuntungan biasanya tak mampir secara beruntun. So, ia harus menyelamatkan diri by himself.

Dalam kondisi dimana ia terjebak dan saat posisinya berada di ujung tanduk seperti ini, memilih dan mengambil keputusan yang tepat adalah satu-satunya jalan keluar. Masalahnya, memilih dan mengambil keputusan sama sekali bukan hal yang mudah. Oke, pilihan pertama : nekat menjatuhkan diri dengan resiko salah satu bagian tubuhnya terkilir, terluka, atau bahkan patah--tidak, tidak, berlebihan--atau, opsi kedua : berusaha bergerak mendekati batang utama pepohonan, turun tanpa kesulitan layaknya seperti saat ia mendaki tadi, dengan RESIKO dahan yang ditumpanginya akan patah jika dirinya banyak melakukan gerakan. Pilih mana? Abstain tak termasuk ke dalam opsi.
Seorang Gladstone pasrah dan menunggu seseorang menyelamatkannya? Cih, enak saja. Tentu saja tidak. Ia mampu membawa dirinya sendiri keluar dari masalah, tak peduli apapun itu. Termasuk masalah yang tengah dihadapinya saat ini.

Well, sepertinya pilihan kedua lebih meyakinkan dan lebih bermartabat dibandingkan opsi pertama. So, Nat mulai menggeser genggamannya dengan perlahan, menjauhi ujung dahan dan menghampiri pangkal. Sudah setengah jalan ketika--

KRAAK!

Mampus. Pasi menjalari wajah Nat, jantungnya kembali berpacu. Tidak, ia belum jatuh, kedua tangannya masih melekat pada dahan. Tak lagi berani bergerak, anak lelaki berambut kecokelatan tersebut sedikit menengadah, seraya menahan nafas melirik ke arah dahan di atasnya, mencari tahu apa sebenarnya yang menimbulkan suara mengerikan tersebut. Lihat. Dahan yang menjadi harapannya memang patah sedikit di bagian atas. Gawat. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ada yang menyerukan namanya. Masih tersengal karena panik, Nat memutar engsel lehernya, menatap hamparan rerumputan hijau di bawah. Itu--Marvil? Astaga. Marvil lagi? Sudah berapa kali ia berjumpa dengan gadis itu dalam posisi yang benar-benar tak menguntungkan, eh? Dan apa pula yang anak perempuan itu teriakkan--memetik? Mulut Nat terbuka beberapa senti, tak mengerti. Sungguh, gadis yang satu ini memang benar-benar mencengangkan.

Angin sedang mengambil peran antagonis saat ini. Elemen dunia itu secara tiba-tiba berhembus tanpa ampun, bahkan Nat terdorong beberapa derajat ke belakang. Fine. Jadi begitu. JADI BEGITU, wahai Angin?

KRAKK!

Tak ada harapan lagi. Si dahan yang menjadi pemeran utama akhirnya memutuskan untuk memerdekakan diri dari sang induk, dengan cuek membiarkan Nat terjun bebas. Silangkan kedua jarimu, boy, dan berharaplah yang terbaik yang akan terjadi.

BRUUK

Ugh. Mengerang, Nat merasakan nyeri menjalari bahu serta pergelangan tangannya yang berdarah. Tunggu. Dirinya masih hidup? Tak ada yang patah? Tak percaya akan keberuntungan yang ternyata masih menyelimutinya, ia berusaha memfokuskan pandangan, mencoba mengetahui posisinya...

Hell. Marvil berada tepat di bawahnya.

"Ma--Maaf." Terkejut luar biasa, Nat cepat-cepat mengangkat tubuhnya, berniat untuk berdiri--namun gerakannya terhenti di udara, terhambat oleh sesuatu. Apa lagi? Ya ampun.

Entah bagaimana kancing kemejanya tersangkut di kerah baju Marvil. What the-- "A-ayo, kubantu berdiri," ujar Nat, kemudian ia sedikit mengangkat kedua bahu gadis di hadapannya. Berdiri lebih baik ketimbang duduk--mengingat posisi mereka sekarang. Setelah berdiri sempurna, Nat menunduk, berusaha mengurai jalinan benang yang mengaitkan kancingnya dengan baju gadis di hadapannya. Ia beruntung karena kemeja yang ia kenakan longgar, sehingga posisi mereka--tak lebih parah.

Sungguh, jarak yang terentang di antara mereka kini begitu dekat. Nat merasakan wajahnya memanas, sementara jemarinya sibuk berkutat dengan kancing yang tak jua mau bekerja sama. Ada apa sih dengan kancing ini? Ck. Di tengah kesibukannya, masih dalam keheningan, ia mengerling ke arah Marvil, penasaran akan respon gadis itu. Tetapi yang ia temukan malah--

Terpana. Gerakan tangannya terhenti sejenak, kardionya mulai memukul dadanya lagi. Ia baru sadar. Sungguh, ia baru menyadari bahwa seorang Aurore Petrabella Marvil, sang gadis unik yang begitu ceroboh itu... Cantik luar biasa. Dalam artian sebenarnya.

God, wajahnya pasti semerah Chimaera saat ini.

Labels: ,


8:55 AM


Sorry--Accidently

"Ayolah Nat, sebentar saja."

Nathaniel memutar kedua bola matanya, menghindari pandangan mengiba sepupunya. Ke Diagon Alley? Ngapain sih. "Mau apa memangnya, eh, Amanda?" tanyanya cepat, masih melempar pandang ke dinding polos di sebelah kirinya. Hanya pura-pura bertanya. Ia tahu betul apa alasan gadis itu hingga rela bersusah payah berangkat ke Diagon Alley, tempat berbelanja terpopuler sejagat dunia sihir Inggris. Tempat penuh sesak yang menghambatmu bernapas dan menguras keringat tanpa toleransi. Tempat yang tepat setahun yang lalu ia arungi dengan susah payah untuk mendapatkan segala keperluan Hogwarts saat term baru dimulai. Dan sekarang ia diminta untuk berkunjung ke sana sekali lagi, disebabkan suatu hal yang, jujur, membuatnya agak... kesal? Wohoo, tunggu dulu.

"Aku... err... ingin membeli sesuatu di... Toko Quidditch," jawab Amanda, cengiran tersungging di wajah manisnya. Hati Nat mengangguk. Ya, ia tahu. Pergi ke Toko Quidditch, dan menghabiskan uang untuk : membeli hadiah ulang tahun si Baned. Ya, ya. Bagus sekali.

"Well, kalau tidak mau juga tidak apa-apa."

Akhirnya kedua kelereng kecokelatan milik sang anak lelaki bergulir, meninggalkan dinding putih dan memancangkan tatapannya pada wajah sepupunya, menelusuri raut yang terlihat kecewa. Nat menghembuskan nafas samar, benaknya bekerja cepat, mencoba mengambil sebuah keputusan. Ikut. Tidak. Ikut. Tidak. Ikut membeli hadiah untuk Baned? No man. Lebih baik mengerjakan pekerjaan lain yang lebih berguna. Well, well, Gladstone, keegoisan itu menyeruak ke baris terdepan lagi, eh? Tidak, bukan sang egois kali ini. Mungkin akan lebih tepat jika dibilang bahwa ia iri. Tahun lalu Amanda tidak memberinya kado ulang tahun. Satu-satunya hadiah yang ia terima bersumber dari sang ayah. Selain itu--nothing. Bagaimana bisa ia tak merasa kesal? Sebut ia anak kecil. Terserah.

Nat mengerling ke arah seonggok koran yang terserak di atas meja tulis--Daily Prophet--dan merasakan sensasi tak nyaman di perutnya. Ah. Ia baru ingat. Kelebatan headline melesat di benaknya, terbang bersama impuls saraf menuju otak serta meresap ke dalam hati. Berita-berita super luar biasa mencengangkan, membuat segenap yang membacanya terhenyak sekaligus resah itu kembali terngiang--ck, menteri sihir yang malang. Hell, kemalangan sang menteri sihir kelihatannya turut memberi sinyal bahwa era kedamaian akan segera berakhir, serbuan ketidakberuntungan akan merundung dunia sihir dalam waktu yang tak singkat. Mencoba berprediksi, Nathaniel? Ya, berprediksi sekaligus menggantungkan harapan di langit agar prediksinya salah seratus persen.

B-a-i-k-l-a-h. Sudah diputuskan. Ia tak akan membiarkan Amanda berangkat sendirian, melepas gadis itu berjalan di suatu tempat yang tak memiliki jaminan keselamatan sedikitpun. Jangan harap. Sikap waspada khasnya harus dilipatgandakan. Segera.

Diagon Alley
Bayangkan, mate. Hitung berapa tahun, berapa bulan, berapa minggu, berapa hari, berapa jam, berapa menit dan detik yang telah berlalu semenjak kedatangannya terakhir kali kemari? Telah lewat satu tahun kalau kau tak keberatan untuk tahu, dan lihat--tumpukan sampah itu masih dengan setia bergeming di tempatnya. Di sana. Di depan sebuah toko bobrok anonim. Luar biasa. Amazing. Nathaniel berjengit dan mengerutkan hidung, tak percaya bahwa ia berhasil mengetahui ada seseorang yang begitu sibuk hingga kesempatan untuk membuang sampah dan membersihkan halaman toko miliknya sama sekali tak tersedia. Berani sumpah, tahun lalu tumpukan yang dimaksud sudah menampakkan diri dengan cueknya di tempat yang sama persis. Salut.

Tempat ini lebih buruk dari yang selama ini ia duga.

Meneruskan langkah--seraya merutuk diri sendiri karena telah dengan bodohnya membuang waktu untuk membahas sampah tak berguna--berusaha mengiringi langkah cepat Amanda, Nathaniel mengusap peluh yang mengalir di pelipisnya dengan menggunakan lengan kaus biru tua yang ia kenakan, tangan kanannya mendekap sang bola hitam putih di sisi pinggang. Setelai berbagai argumen berperang dalam dada, akhirnya raganya mampir juga di Diagon Alley, pasrah menerima siraman cahaya terik matahari. Demi Amanda, demi Amanda, tak perlu mengeluh. Retinanya menangkap siluet bangunan yang dituju, menyampaikan informasi secara paralel kepada para organ koordinasi sehingga hembusan nafas kelegaan dirilis sebagai pengiring. Syukurlah.

"Aku menunggu di sini saja," tutur anak lelaki dua belas tahun berambut hitam itu, senyuman singkat tersungging melihat sepupunya mengangguk, pandangannya baru ia alihkan setelah sosok Amanda menghilang di balik pintu toko. Lebih baik menunggu di sini, tentu saja. Memutuskan untuk ikut masuk sama saja dengan siap membangkitkan sifat kesal antagonis yang kini telah teredam. Apa yang akan Amanda berikan untuk Larry? Yang pasti bukan sesuatu yang jelek. Menggerutu sekali lagi, Nat memutar-mutar bola sepaknya di atas jari telunjuk, berkonsentrasi agar putaran yang tengah berlangsung tak serta merta berhenti. Bermain dengan benda favorit selama menunggu kedengaran menarik. Ia melambungkan sang bola, menerimanya dengan kepala, menggulirkannya ke perbatasan antara dahi dan ubun-ubun lalu melontarkannya ke atas berulangkali--juggling. Setelah yakin kemahirannya menyundul belum hilang, Nat membiarkan sang bola jatuh, agar ia bisa menerimanya dengan paha bagian atas, lalu kembali melontarkan--terlalu tinggi. Mengenai seseorang.

Dasar bodoh.

Labels: ,


4:56 AM


Shape of My Heart-#2

Kebetulan itu--nothing. Tidak ada.

Percayakah kau ketika sebutir apel jatuh dari pohon induknya dan menimpa kepalamu, itu bukanlah kebetulan? Atau ketika kau berpapasan dengan Filch dan kucingnya di koridor lantai tujuh saat kau memutuskan untuk mengabaikan peraturan dan berkeliaran di atas jam malam, hal tersebut juga bukan kebetulan semata? Atau ketika kau terkena mantra nyasar saat tengah berkonsentrasi merapal di dalam kelas mantra, itupun tak tepat jika disebut kebetulan?

Amanda tak percaya akan adanya sebuah situasi berlabel kebetulan. Tidak, tak ada yang namanya kebetulan dalam hidup--setidaknya begitulah doktrin yang telah tertanam dan berakar di benaknya sejak menginjak usia belia. Begitulah cara Paman Amethyst mendidiknya, mengajarkannya untuk senantiasa menangkap arti sesungguhnya dari suatu peristiwa yang terjadi, mempelajarinya, mencari sesuatu yang dapat memberi makna pada kehidupan serta agar kesalahan yang ada tak terulang lagi di kesempatan berikutnya. Camkan baik-baik, kawan-kawan. Kebetulan itu : tidak ada. Segala hal yang terjadi di kehidupan kita, secara keseluruhan telah diatur sejak awal. Orang-orang lebih senang menyebutnya dengan satu kata. Takdir.

Desau angin terus menerabas tubuh sang gadis, membuat rambut kecokelatannya terangkat dan menari abstrak. Menghela nafas, kedua matanya bergerak mengikuti perkamen surat yang masih berkutat dengan angin, pasrah kemanapun dirinya terbawa. Amanda tetap diam di tempat, tak ada niatan untuk mengekori benda tersebut ataupun mengejarnya--toh tak ada siapapun di tempat ini selain dirinya seorang, rite? Jadi tak perlu khawatir, hanya tinggal berharap perkamen itu diangkat oleh angin, berubah haluan sedikit ke timur, kemudian jatuh ke bawah jembatan. Nice, bahkan ia tak perlu melakukan hal itu sendiri. Masih menggenggam daun kering yang telah baik hati menemaninya saat ini, posisinya kini berbalik, punggung bersandar pada pembatas jembatan, tatapan tetap pada lembaran kecokelatan yang mengangkasa menjauhi dirinya. Kemana kau akan pergi, dear perkamen? Kemanapun, please asal jangan--

Takdir. Apa benar namanya takdir? For God's sake, kalau begitu saat ini sesuatu bernama takdir itu tengah mempermainkannya. Totally. Kejam, dan tanpa ampun.

Si daun kering jingga kembali terhempas ke udara, terombang-ambing dan jatuh perlahan ke lantai jembatan--terlepas dari genggaman tangan sang gadis berkaus biru. Daun itu bergeming, melekatkan diri pada kayu yang menjadi tempatnya berbaring, seakan memutuskan untuk setia berada di samping gadis Ravenclaw, menemaninya menghadapi kenyataan yang terpampang jelas di depan mata. Ya, kenyataan yang benar-benar tak dapat dipercaya. Kenyataan yang membuat Amanda kesulitan bernafas.

Murid Hogwarts tak mungkin kurang dari lima ratus orang, isn't it? Ratusan. Atau bahkan ribuan. Lalu--mengapa harus DIA yang datang? Mengapa harus anak lelaki ITU yang menampakkan batang hidung dan menjejakkan kaki di tempat dan waktu yang sama dengan sang gadis?

Kenapa harus Lazarus?

Amanda memandang ngeri ketika perkamen surat miliknya mendarat persis di wajah pemuda Slytherin tersebut. Oh, sungguh tak dapat dipercaya. Ga--gawat. Ia harus pergi, sekarang juga. Amanda mencoba melangkah mundur, berniat membalikkan tubuh, berlari sekencang-kencangnya, kemanapun. Asal ia tak berada di sini. Tetapi--tentu saja, kedua kakinya tak mau bekerja sama, seakan dipakukan di atas kayu secara permanen. Oke, sudah terlambat. Lazarus telah berdiri tepat di hadapannya, melontarkan kalimat yang telah ia duga akan bergaung di udara. Penjelasan.

Demi Leander yang benar-benar ia sayangi, bagaimana caranya Amanda dapat menjelaskan?

Ia telah berubah pikiran--tak ada pertemuan, tak ada yang perlu dibicarakan, rite? Dan keputusan itu tak berubah. Setidaknya untuk saat ini. Menelan ludah seraya memasang sikap datar seakan tak ada apa-apa--padahal kardionya berderap dalam satuan kecepatan cahaya--Amanda tergagap sejenak sebelum berujar dengan leher tercekat, "Ti... tidak ada yang perlu dijelaskan, Lazarus. Percayalah."

Labels: ,


4:45 AM


Le Papillon#1

BRAK!
BRUKK!
GABRUK!
Tiga. Tambah satu deh.

Buku terakhir--yang ketiga, FYI--terlempar ke atas lantai, tertimpa kemudian dengan lembaran Daily Prophet terbaru yang telah lusuh, terlihat jelas telah dibaca berulang kali. Nathaniel mendecakkan lidah, menatap tumpukan miris buku-buku tebal yang terserak begitu saja di kaki tempat tidurnya, satu sama lain bertumpang tindih dalam formasi abstrak. Oke, cara yang bagus untuk merusak buku pribadi, melemparnya tanpa pikir panjang. Nice. Terserah kau hendak berkata apa, yang pasti kelima satuan perkamen tersebut tak mampu menghilangkan kebosanan luar bisa yang mendera Nat saat ini.

Pemuda cilik tersebut mempertahankan posisinya--berbaring terlentang menatap langit-langit kamar--hanya saja kini ia menaruh lengan kanannya di atas dahi serta memejamkan mata. Wajar sih bila ia tak terkesan. Tiga buku tebal mengenai Quidditch--Amanda yang memberikannya, entah untuk apa. Ralat, mungkin sedikit banyak ia dapat menerka apa alasan sepupunya secara tiba-tiba memberikan tiga buah buku tebal bertajuk olahraga pujaan dunia sihir. Masih berniat membuatnya tertarik pada Quidditch, eh? Bermimpilah.

Namun akibat luapan rasa penasaran yang hadir tanpa diundang, mau tak mau Nat membuka beberapa halaman, membaca sekilas. Sapu. Bola. Terbang. Tak tertarik sama sekali tuh. Yang timbul hanya kerutan di kening dan acakan di rambut. Jujur, ia sendiri pun heran akan fakta bahwa hatinya senantiasa tertutup bagi Quidditch, bahkan tak memberikan celah sekecil apapun bagi jenis olahraga di luar sepakbola untuk memikat benaknya. Kelihatannya rasa cintanya telah habis, tercurah hanya kepada sepakbola. Dan kepada musik, tentu. People talk, people ask. Banyak celetukan yang sempat tertangkap telinganya, positif maupun negatif, namun yang lebih dominan adalah disebut belakangan, actually. Kata mereka ia lebih cenderung berpihak kepada Muggle, tak menghargai olahraga milik bangsa sendiri...

Omong kosong.

Berbicaralah seenak perutmu, people. Come on, this is not about it...! Ini hanya mengenai selera dan kebiasaan yang telah mendarah daging, bukan karena Nat tak memiliki respek sama sekali kepada Quidditch. Terserah. Tak ada gunanya juga mendebat.

Nat bangkit, kemudian beringsut duduk di tepi tempat tidur. Pagi hari di akhir pekan, amat tak pantas dihabiskan dengan mendekam di dalam asrama Gryffindor, menyia-nyiakan waktu dan membiarkan diri sendiri tak melakukan apa-apa sementara di luar sana segalanya bertambah buruk. Melirik Daily Prophet yang teronggok di dekat kakinya, ia mendengus sarkastik. Serangan dan kecaman, kekalutan dan atmosfer mencekam. Segala hal mengkhawatirkan sudah menjadi hal yang lumrah saat ini, tersebar dengan kecepatan cahaya. Hm, alangkah baiknya jika waktu luang dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan, baik dalam segi proteksi maupun offense, rite? Oke.

Tetapi tidak hari ini. Nat tidak sedang dalam mood yang baik. Anak lelaki dua belas tahun itu berdiri, menyambar bola sepak dan sepatu olahraganya, lalu melangkah menuju pintu.

Let's have some practice.

Halaman
Juggling. Seperti biasa. Nat melontarkan sang bola berulang kali tanpa terputus sementara kedua matanya menatap kosong ke rerumputan beberapa meter jauhnya di depan sana. Tempat ini. Tempat pertandingan sepakbola lima lawan lima berlangsung tepat setahun yang lalu. Ah, seandainya tahun ini ia dapat melangsungkan kembali momen seperti itu.

Nat melambungkan bola setinggi dada, kaki kirinya mengambil ancang-ancang. Dengan sekuat tenaga ia menendang, bermaksud melontarkan benda hitam putih tersebut jauh ke angkasa, sekaligus mengukur kekuatan tendangannya. Sumpah, ia tak menyadari bahwa dirinya tengah berdiri di bawah pohon Chestnut rindang dengan dahan rapat. Nat menengadah, menunggu. Bolanya tidak turun lagi. Astaga, dasar bodoh.

Menggeleng tak percaya ketika tahu bahwa benda kesayangannya tersangkut di atas pohon, Nat berjongkok dan melepas sepatu putihnya, kemudian mulai meraih dahan terendah. Mau tak mau ia harus memanjat. Ck. Perlahan, Nat mengangkat tubuh ke atas, memperhatikan baik-baik struktur dahan serta tekstur kulit kayu, memilah bagian mana yang tepat untuk dipijak. Bolanya belum kelihatan. Naik semakin tinggi, jantungnya sedikit berdebar. Hati-hati, Nat, hati-hati. Belum juga? Oh yang benar saja. Naik lebih tinggi lagi, ia dapat merasakan bulir peluh menetes di pelipisnya. Oke, itu dia. Mencondongkan tubuh ke depan, sementara tangan kanannya mencengkeram dahan terdekat erat-erat, ia menggapai sang bola dengan ujung jemarinya. Got it.

Dan pada saat yang bersamaan sesuatu mendarat di hidungnya, membuatnya terkejut setengah mati. A--apa yang... Astaga. Apa sih yang menarik di hidungnya sehingga seekor makhluk mungil dengan sepasang sayap indah memutuskan untuk beristirahat disana?

Itu--kupu-kupu.

Kekagetannya berdampak luar biasa buruk. Jantung Nat berhenti berdetak saat tubuhnya mulai oleng, dirinya kehilangan keseimbangan dan pegangan. What the-- Bola sepaknya terlepas dari genggaman, meluncur ke bawah. Dan kau tahu apa?

Anak lelaki tersebut menyusul.

Terbelalak tak percaya, tangan Nat menggapai-gapai dengan panik. Tubuhnya melayang, terjun bebas dari ketinggian empat meter. Great, tak lama lagi ia akan mati.

Tuhan masih sayang padanya. Nat tersentak, tubuhnya berhenti tiba-tiba dua meter di atas permukaan tanah, tangan kirinya berhasil meraih salah satu dahan. Selamat. Ia masih hidup. God, setelah ini dirinya akan berpikir dua kali sebelum memanjat pohon.

Labels: ,


4:40 AM


Shape of My Heart-#1

She hates dilemma.

Daun yang satu itu terkepak. Sekujur tubuhnya bergetar, terombang-ambing oleh desauan angin pagi, berkibar serempak bersama teman-temannya di dahan yang sama, pada tangkai yang identik. Jingga yang menyelimutinya berkilat terbias tetesan embun, menimbulkan kemilau abstrak yang melebar. Bertahan. Bertahan. Setidaknya untuk sesaat. Namun harapan tetaplah harapan, kenyataannya sang daun menyerah begitu saja. Pasrah saat angin menebas leher tangkai, melepaskan dirinya dari kesatuan Oak yang berdiri tegak dan kokoh, membiarkannya terombang-ambing di udara. Sendirian. Berputar, terlipat, melenting, meliuk gemulai atas kuasa sang angin, melayang tanpa tujuan. Dan mendarat.

Amanda meraih sehelai daun kering yang mampir di pucuk kepalanya, melirik sekilas ke arah pohon Oak angkuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Musim gugur. Saatnya pepohonan meranggas sesuka hati mereka, menanggalkan apa yang harus mereka tanggalkan. Saatnya pasukan angin menghadirkan hembusan keruh, kering tak bertoleransi. Saatnya langit meredup, bunga-bunga memudar. Ditimpali dengan kejayaan Kau-Tahu-Siapa, lengkaplah sudah kenelangsaan dunia sihir. Gadis itu menghela nafas. Mungkin deskripsinya berlebihan. Memang. Komplikasi dari suasana hatinya, seems to be.

Ia menatap daun kering yang tergenggam di tangan kanan, terpekur tak terfokus seraya membelai sang daun perlahan dengan ibu jari. Detik berikutnya kedua matanya beralih, kini menatap secarik perkamen di tangan yang lain. Ya, dilema. Berikan atau tidak? Nekat sajakah? Amanda mendecakkan lidah, kesal pada dirinya sendiri karena tak mampu membuat keputusan. Hanya membuat keputusan, apa yang sulit?

Sulit, bodoh. Yang dihadapinya saat ini bukanlah hal yang mudah, asal kau tahu. Setidaknya baginya. Huft, maaf dunia, saat ini sang gadis cilik sedang berubah menjadi orang lain, bukan seorang Amanda Steinhart yang ceria seperti biasanya. Hatinya sedang kalut, kalau ia boleh jujur. Hanya karena sebuah alasan sepele. Ia sendiri tak percaya ketika menyadari penyebab utama dirinya sering melamun akhir-akhir ini. Mau tahu? Fine.

Satu kata. Cowok.

Tertawalah. Haha. Memang menggelikan melihat seorang Amanda tenggelam dalam kegalauan hanya karena seseorang. Anak laki-laki pula. Sulit untuk diterima, bahkan oleh dirinya sendiri. Namun kenyataan tak mampu diprediksi, dan mau tak mau ia harus menerima bahwa ia memang terpuruk gara-gara seorang pemuda. Terpuruk karena ia kini tahu apa yang selama ini ia rasakan, tetapi dengan terpaksa harus menguburnya dalam-dalam, hingga detik ini. Menyesakkan, tahu? Amanda membuka perkamen itu, membaca sekali lagi guratan-guratan pena bulu yang telah tertoreh.


To : Sylar Lazarus
Ada yang ingin kubicarakan. Danau, pukul 10 hari ini.

Amanda Steinhart




Singkat. Tetapi untuk menuliskan dua kalimat tersebut dibutuhkan waktu semalaman. Dan seharusnya perkamen a.k.a surat itu sudah sampai kepada sang penerima jika saja ia tak secara tiba-tiba berubah pikiran. Tadi malam ia telah membuat keputusan, ya, keputusan sinting dan nekat. Keputusan yang mungkin akan mengubah hidupnya. Keputusan yang ia anggap tepat untuk mengenyahkan sesak di hatinya. Tetapi lagi-lagi benaknya yang menang. Tidak, Amanda tak akan memberikan surat tersebut. Tidak akan ada pertemuan. Tidak ada yang perlu dibicarakan.

Karena ia terlalu pengecut. Katakan saja begitu. Karena ia belum siap menerima yang terburuk. Karena dirinya payah. Karena... Oh, terserahlah.

Amanda bersiap melepaskan perkamen itu, berniat untuk menjatuhkannya, membuang surat itu jauh-jauh ke bawah jembatan. Tak perlu ada yang tahu. Biarlah perasaan ini ia simpan sendiri, mengendap, dan perlahan menguap hilang. Amin. Harapan terbesarnya. Namun tepat pada saat itu angin memutuskan untuk berhembus, lebih kencang dari biasanya. Terkejut, ia tak mampu mencegah perkamen tersebut terbang, lepas dari genggamannya dan melayang ke tengah jembatan, ke arah jalan menuju kastil alih-alih jatuh ke bawah.

Oh my. Tolong jangan buat mood-nya bertambah buruk lagi. Please.

(OOC : Timeline : akhir pekan pukul 9. Judul credit to Shape of My Heart-Backstreet Boys)


One of my favorite post :x

Labels: ,


4:40 AM


Pemeliharaan Satwa Gaib - Kelas 3#1

Yow. Back to Hogwarts. Back to school. Back to study, and also--back to struggle. For her.

Bulir bening terhempas ke bumi, menimpa apapun yang eksis, yang berdiri di atas permukaan tanah. Benar, kan. Bodoh kau, Amanda. Sang gadis cilik menjejakkan kedua kakinya, silih berganti secepat yang ia mampu. Dalam waktu sepersekian detik, kepala, pundak, lutut-kakinya telah basah, tanpa pelindung, terinvasi oleh hujan serta terpercik genangan air dan titik-titik dingin yang bersatu dengan rerumputan. Yap, hujan. Cukup deras pula. Dan dengan bodohnya kini ia terjebak di dalamnya, kalang kabut berusaha mencapai Aula Depan sesegera mungkin. Catat, pelajaran pertama hari ini : sekali-sekali percayalah pada apa yang kau dengar. Kedua, sering-seringlah bertanya. Ketiga, selalu cek papan pengumuman kelas, mata pelajaran apapun itu. Ingat dan camkan baik-baik wahai siswa-siswi Hogwarts yang budiman.

Benar, kan. Menjadi seseorang yang memiliki pemikiran kritis memang baik, namun terkadang sang nasib sial memutuskan untuk mampir and ruin everything. Pertemuan perdana Pemeliharaan Satwa Gaib akan berlangsung di kelas kosong--kalimat tersebut terlontar dari mulut seseorang pada saat sarapan pagi tadi, mendarat di telinga Amanda, ya. Dan kau tahu apa? Ia tidak sepenuhnya percaya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, alih-alih bertanya, atau melihat papan pengumuman kelas, dengan yakinnya ia mengambil keputusan sendiri dan membawa kedua kakinya dengan nekat menerobos hujan, menghampiri Hutan Terlarang. Dari apa yang ia dengar selama ini, Profesor Kettleburn selalu melaksanakan praktek di tempat khusus ini. Tak perlu dijelaskan lagi apa yang ia temukan disana, rite? Nothing, tentu saja. Hanya desauan angin dan gemerisik dedaunan yang menyambutnya, melambai dengan santai serta tersentak tertimpa air hujan sesekali.

Percaya atau tidak, ia merasa ditertawakan.

Jejak sepatu membekas di lantai kelabu Aula depan, meneteskan air, membentuk genangan cekung di beberapa lokasi. Oh, bagus, kemarahan Filch telah berada di daftar tunggu--sempurna. Amanda tersengal, berusaha mengatur nafas seraya mengibaskan jubahnya. Tak terlalu kuyup, untungnya. Tangan kanannya merogoh saku, meraih arlojinya. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian. Ck, terima sajalah, Amanda. Kelas kosong berada di lantai empat, siapa tahu sesampainya disana jubahnya sudah kering. Siapa tahu. Tidak ada salahnya berharap.

Kembali melangkah, kali ini menuju tempat yang tepat, Amanda berjalan dengan sedikit jengah, jubahnya terasa kaku dan berat karena basah. Astaga, apa yang akan dikatakan sang profesor dan teman-temannya jika ia memasuki kelas dengan kondisi seperti ini? Semoga tak ada yang menyadarinya. Amin. Mengingat kecerobohan yang lagi-lagi ia lakukan kali ini, kelebatan menyesakkan bahwa ia tak pantas menjadi seorang Ravenclaw kembali menyeruak. Dua tahun, mate. Dua menuju tiga tahun di Hogwarts, tiga belas kali hari lahirnya terlewati, dan sifat bodohnya itu masih enggan untuk pergi, mengimplementasikan bahwa dirinya sama sekali belum pantas disebut seorang Ravenclaw sejati. Mampu atau tidak ia mengenyahkan elemen kecerobohan yang melekat, Amanda sendiri tak yakin. Well, bagaimanapun caranya, ia harus mampu. Harus. Seconded to Nathaniel--just have a little faith.

Fine.

Pintu berpelitur akhirnya muncul, menjulang dihadapannya dengan angkuh. Jangan terlambat, please. Amanda melangkah melewati ambang pintu yang terbuka, cepat-cepat menyelinap ke bagian belakang kelas, tepat saat Profesor Kettleburn menghampiri salah satu tirai dan menyentakkannya. Wohoo, ia tahu apa itu. Sesosok makhluk hitam berpostur mungil, identik dengan peri karena memiliki sepasang sayap di balik punggungnya, namun dilengkapi seringai bertaring. Doxy. Objek pelajaran hari ini, rite? Menarik. Kini ia mengerti mengapa diadakan pergantian lokasi di samping pengaruh faktor cuaca. Kelas kosong, tempat terbengkalai, minim perhatian dan pembersihan, tentu menjadi habitat menggiurkan bagi para hama seperti Doxy. Gadis berambut kecokelatan itu memperhatikan dengan seksama ketika sang profesor mempraktekkan langkah-langkah membasmi peri jadi-jadian tersebut dengan Doxycide sebagai pestisida utama. Hanya semprot? Easy.

Amanda mengangguk--lebih kepada dirinya sendiri--dan tetap berdiri di tempatnya ketika teman-temannya yang lain mulai maju satu persatu, masing-masing melaksanakan instruksi yang telah diberikan. Setelah yakin kawan-kawannya telah memilih teritori mereka dan disibukkan oleh Doxy-Doxy, barulah ia melangkah ke depan kelas, menyambar asal sebuah tabung semprot Doxycide, kemudian menghampiri salah satu tirai kusam berlubang di bagian kiri kelas. Oho, dan lihat siapa yang berdiri di sampingnya. Larry. Amanda tersenyum, namun kerutan segera tercetak di keningnya ketika menyadari bahwa sahabatnya tengah berbincang--bersitegang mungkin lebih tepatnya, jika mendengar nada sinis yang terlontar dari kedua belah pihak--dengan personil Gryffindor, Dutie. Ada apa, eh? Tak bermaksud memihak, namun sepertinya... Dutie yang memulai?

"Tak usah diladeni, Larry," bisik Amanda, tepat di samping telinga sahabatnya. Senyuman kembali terukir di wajahnya, mengiringi tangan kanannya yang bergerak meraih tirai. Dan menyentakkannya.

Here we go.

Labels: ,


4:36 AM