Saturday, August 29, 2009

Mantra Kelas 1 - Semua Asrama - #1

Memang sulit punya ayah seorang penyihir hebat. Nathaniel menghela napas dan menggerutu sepanjang perjalanan menuju Kelas Mantra, sesekali mengacak rambut hitamnya dengan sembarangan. Pertemuan kesekian kalinya dengan mata pelajaran yang satu ini entah mengapa selalu membangkitkan persepsi suram, membangunkan sisi gelap hatinya--seakan ada mantra modifikasi yang membolak-balik benaknya dan mengirimkan impuls ke otaknya untuk mengurungkan niat melanjutkan langkah menghadiri kelas kali ini. Tidak, ia bukannya tidak senang pada pendidikan mantra memantrai, hanya sedikit malas. Itu saja. Apakah belum cukup pelajaran mantra selama dua belas tahun ke belakang bersama ayahnya tercinta--yang seringkali menghabiskan waktu terlalu lama sehingga ia tak sempat berlatih sepak bola? Bosan, tahu tidak. Dad memang selalu meninggikan kepintaran akademik di atas hal lain, bahkan sedikit mengabaikan keinginan Nat dan Amanda untuk bermain bersama teman sebaya. Dan sialnya--atau untungnya?--Dad memiliki ilmu seluas dunia, seakan tak pernah habis. Fakta tersebut berarti mereka pun sepertinya harus terus belajar dan belajar, no matter what happen.

Well, itu terjadi sebelum mereka berdua terdaftar sebagai siswa Hogwarts. Setelah terdaftar? Ck, tidak jauh berbeda. Hampir setiap hari ia ditempa dengan hal-hal yang 'katanya' amat penting untuk diketahui dan dipelajari seorang penyihir, hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. "...agar kau dapat tumbuh menjadi seorang penyihir hebat, Son." Ya, hanya itu. Hanya kalimat itu yang menjadi bekal Nat untuk melawan segala kemalasan dan ketidakinginannya mempelajari sihir. Huft, mimpi besar memang membutuhkan kerja keras dan kesungguhan yang besar pula.

Sampai. Nat melangkah memasuki ruangan kelas, menjawab dalam hati ketika Profesor Flitwick mengucapkan selamat pagi. Sebuah kursi paling depan di bagian terkanan ruangan kelihatan strategis. Ia menghenyakkan diri di atas kursi yang dimaksud, merogoh saku dan mengeluarkan tongkat Eldernya. Firasat barusan melintas. Bakal praktek. "Nah, nah, anak-anak... Seperti telah kujanjikan pada pertemuan sebelumnya, hari ini kita akan mencoba mantra-mantra yang telah kalian pelajari teorinya. Masih ingat?" ujar sang Profesor. Oke, ternyata bukan firasat. Alam bawah sadarnya hanya mengantarkan memori samar tentang sesuatu yang ia lupakan. Jadi hari ini praktek? Bagus. Tidak akan semembosankan biasanya. Silangkan jari, Nat, dan berharaplah. Matanya mengerjap ketika sebuah gembok dan sehelai bulu angsa mendarat dengan mulus di atas meja di hadapannya. Sebentar. Mantra yang diajarkan pada pertemuan sebelumnya adalah... Err...

"Baik, kita akan melakukan praktik hari ini secara bertahap. Jangan ada yang mencoba mantra lain selain yang aku perintahkan! Atau-" Nat terbatuk pelan ketika melihat perubahan mimik sang profesor saat mengucapkan kalimat tersebut. Matanya yang salahkah atau memang ada sebersit seringai mengerikan di wajah itu? "-kalian akan dihadiahi ganjaran setimpal untuk yang tidak patuh, apalagi berbuat onar." Fine. Lagipula ia tidak berniat untuk membuat onar. Tak ada gunanya. Anak laki-laki berambut hitam itu memasang telinga baik-baik, mencermati tiap-tiap instruksi dengan seksama. Baiklah, mari kita coba. Ia menggulung lengan jubahnya sedikit, memantapkan genggaman tangannya pada sang tongkat, berusaha berkonsentrasi. Colloportus. Mantra Pengunci, rite? Sudah pernah diajarkan kalau tidak salah. Tinggal mempraktekkan saja, tidak sulit. Nat mengangkat tongkatnya, kemudian dalam sekali helaan napas ia menyerukan mantra yang diinstruksikan tepat ke arah gembok di hadapannya, "Colloportus!" Secara perlahan gembok tersebut melakukan pergerakan, besinya bergeser ke arah yang semestinya, dan... Locked. Suara berdecit keras membuat Nat sedikit berjengit, namun jengitan tersebut berubah seketika menjadi senyuman puas. Done. What's next?

Labels: ,


8:27 PM


Kelas 1 - Semua Asrama - #2

“Mengajakku sekelompok? Oke, tapi kita masih kurang dua anak lagi—“ Oke. Itu kata yang sedari tadi Nat tunggu. Dua orang lagi, eh? Tidak harus, kan? Profesor Sprout menjelaskan bahwa kelompok terdiri dari 2 sampai 4 orang, tidak lebih, tetapi boleh kurang dari empat. Ia tidak mau menunggu lebih lama la--

Well, ada Sullivan. Anak laki-laki itu mengajukan diri untuk turut bergabung. Bagus. Entah mengapa setelah bertemu untuk pertama kali dengan Sullivan pada saat insiden gadis-berambut-api-jatuh-dari-langit di danau, Nat seringkali bertemu lagi dengannya di waktu dan tempat yang berbeda. Yang kedua di halaman, bahkan mereka sempat bertanding sepakbola 5 on 5, dan kali ini adalah yang ketiga. Bukannya keberatan, tidak sama sekali, ia hanya heran atas kebetulan yang terjadi.

Seorang gadis lain--Maraschine memanggilnya dengan sebutan Glo--juga turut bergabung. Sudah cukup, rite? Ayolah, ia ingin cepat-cepat menyelesaikan kelas Herbologi. Nat mengerling Maraschine ketika gadis itu bertanya mengenai Jerat Setan. Jerat Setan. Anak laki-laki berambut hitam tersebut menunduk, memandang perkamen dari Amanda, mencari tahu apakah informasi mengenai Jerat Setan tertulis disana. Yeah, ada. “Ini, dan kali ini ayo kerjakan sama-sama.” Sebuah perkamen disodorkan. Ia turut melempar senyum pada Maraschine. Hm, sepertinya kesan pertama yang didapatkan Nat mengenai gadis yang satu ini tidak salah. Maraschine merupakan tipe anak perempuan baik-baik, suka menolong, tidak sombong dan rajin menabung. Tidak ada alasan untuk waspada terhadapnya. Dengan begitu Nat bisa lebih bersahabat dan terbuka.

Nathaniel berdeham, tak ingin membuang waktu, ia mulai membaca barisan kalimat yang tertera di perkamen pemberian sepupunya, "Jerat Setan, salah satu tumbuhan paling fenomenal di dunia sihir, memiliki kemampuan untuk membatasi pergerakan mangsanya dengan cara membelit atau mencekik menggunakan sulur-sulurnya. Tanaman ini menganut prinsip 'serang-balik', dalam artian akan mengencangkan belitannya jika mangsa atau sesuatu yang berada di atasnya melakukan perlawanan.
Jerat Setan amat sensitif terhadap cahaya dan api--akan berhenti bergerak di lingkungan yang penuh dengan cahaya terang, dan akan mundur jika bertemu dengan api."
That's it. Ia memicingkan mata, menelusuri perkamen sekali lagi dari atas sampai bawah, mencoba mencari apakah ada yang terlewat. Tidak ada. Well, masih kurang ia rasa. Nat mengangkat alis kepada ketiga teman kelompoknya, mengajukan pertanyaan 'bagaimana, eh?" non-verbal. Atau mungkin untuk Jerat Setan dicukupkan sajalah. Masih ada topik lain yang harus dibahas.

Nat mendekatkan perkamen kosong pemberian Maraschine ke arah ketiga personil kelompok. "Ada yang bersedia menulis?" Serius, ia capek. "Ngomong-ngomong, mengenai Aconyte dan Eucalyptus, mungkin aku bisa sedikit membantu," ujar Nat, kemudian ia meletakkan perkamen dari Amanda di atas meja, sedemikian rupa sehingga mereka berempat dapat membacanya.

Quote:

Eucalyptus
Eucalyptus merupakan penghuni asli benua Australia, namun dapat juga ditemukan di belahan dunia selatan, seperti di Filipina, Indonesia, dan Papua Nugini.
Berguna sebagai pewangi dan pembersih karpet, makanan koala, bahan furnitur mini, serta minyak essens untuk disinfektan. Nektar dari daun Eucalyptus berguna untuk menghasilkan madu monofloral berkualitas tinggi. Kayu Eucalyptus dapat digunakan sebagai hiasan rumah di dalam maupun di luar, timer, kayu bakar dan kayu pulp.
Minyak Eucalyptus yang telah didistilasi kukus dari daunnya bahkan dapat digunakan sebagai suplemen makanan (dalam jumlah yang sedikit tentunya). Minyak tumbuhan ini juga memiliki sifat menolak serangga, dan telah digunakan sebagai bahan dari penolak nyamuk komersial.
Tanaman ini sangat mudah terbakar. Dalam cuaca panas, tanaman ini dengan mudah terpanggang sinar matahari dan terbakar. Dan apinya dengan mudah menyebar. Beberapa jenis pohon Eucalyptus dapat meledak. Di dalam cuaca panas itu pula, minyak Eucalyptus yang menguap dapat memberi kesan kabut biru.
Satu hal penting yang harus diingat, tanaman ini beracun. Dilarang keras melahap Eucalyptus mentah-mentah, kecuali kau terserang depresi akut dan ingin mati cepat.

Cukup sepertinya, rite? Mari bahas tiga yang lain.

(OOC : Credit to wikipedia, Sellabloompicers, dan banyak sumber lain. Esai mengenai Aconyte dapat dilihat di postingan Nathaniel sebelumnya. CMIIW =9)

Labels: ,


7:29 PM


Snowball Fight!

[Invited]
"Ayo cepat buka, Nat."
Nathaniel melempar tatapan sabar-woi kepada sepupunya, sementara kedua tangannya sibuk membuka bungkusan di hadapannya dengan perlahan--tidak ingin merusak bungkusnya. Jeh. Lama. Akhirnya ia mempercepat gerakan, membiarkan kertas yang membungkus benda itu terkoyak menjadi serpihan. Peduli amat. Sebuah kotak. Hitam, seratus persen kayu dengan pengait keemasan di bagian luar. Nat bertukar pandang dengan Amanda, kedua alisnya terangkat, mencari tahu apakah sepupunya tahu apa itu. Gadis itu mengangkat bahu. Well, jadi satu-satunya cara untuk tahu adalah dengan membukanya, rite. Baiklah. Nat menatap kotak itu sejenak, meraba tekstur yang berseliweran abstrak di seluruh permukaan kotak, kemudian setelah sekali lagi mengerling Amanda sekedar untuk meminta persetujuan, tangan kanannya melepaskan pengait--tanpa sadar ia menahan napas--dan membukanya.

Hening. Ini--apa sih ini? Di dalam kotak tergeletak sebuah benda bulat keemasan, empat besi kecil menahan keempat sisi--tiap seperempat diameter maksudnya, lingkaran tidak punya sisi--seakan untuk mencegah benda tersebut terbang dan kabur. Anak laki-laki berambut gelap itu memutar posisi kotak seratus delapan puluh derajat agar Amanda dapat melihat, siapa tahu gadis itu tahu apa sebenarnya it--

"Ya ampun, Nat!" Nat mengerutkan kening ketika melihat sepasang mata sepupunya berbinar, kelihatan senang sekali. Kenapa sih? "Ah ya, aku yakin kau tak tahu apa ini. Ini Snitch, Nat. S-N-I-T-C-H." He? Apa pula itu? Ia mendengarkan dengan seksama saat Amanda mulai berceloteh menjelaskan. Oke, Snitch itu bola. Digunakan dalam permainan Quidditch. Bisa terbang. Menyadari mulutnya sedikit terbuka, Nat cepat-cepat mengatupkan bibir, kemudian menunduk untuk mencari surat, kartu, atau apalah itu dari sang pengirim. Siapakah yang kurang kerjaan mengirimkan benda--ah ini dia.

Quote:


Bermain Quidditchlah sekali-sekali.
JANGAN SAMPAI HILANG. MAHAL.

Your Dad



Idih. Tidak jelas amat sih Dad. Bermain Quidditch, eh? Tidak tertarik, tuh. Nat melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Wogh, terlambat. Diaconu pasti marah deh, ck. Ia bangkit, mengantungi kotak pemberian ayahnya, menghabiskan jus labu, kemudian berujar pada Amanda bahwa ia harus segera pergi. Kedua kakinya melangkah lebar-lebar melintasi Aula Besar. Ke halaman.

Halaman
Sebenarnya apa sih tujuan ayahnya memberikan Snitch padanya? Nat tahu ayahnya tahu bahwa ia tidak peduli pada olahraga lain selain sepakbola. So? Mungkin Dad ingin agar ia bisa melupakan olahraga favoritnya, menggantikannya dengan Quidditch. Kalau benar begitu--well, jangan harap.

Mata kecokelatannya menangkap siluet kedua temannya, Diaconu dan Ravn, tengah... err, melempar bola salju? Beberapa anak lain--kelihatannya sepantaran--entah, sepertinya semua sedang sibuk sendiri. Satu hal yang bisa Nat tangkap. Perang bola salju. Tangan di saku, ia melangkah menghampiri Diaconu, sedikit berjengit, khawatir terkena lemparan, dan berujar, "Memanggilku ke halaman, eh, Diaconu? Ada apa?" Dari sudut matanya ia melihat seorang anak laki-laki menabrak anak laki-laki lain. Nat menggelengkan kepala--kalau jalan lihat ke depan, boy.

(OOC : Lemparin Nat donk =9)

Labels: ,


7:07 PM


Kelas 1 - Semua Asrama-#1

Tongkatnya bagus, ia baru sadar. Nathaniel memelintir tongkat kayu eldernya, mengamati setiap lekuk yang terpeta di kulit cokelat kehitamannya. Elegan. Kelihatan hebat dan tak terkalahkan. Wohoo, sejak kapan ia jadi perhatian terhadap sesuatu begini? Tangan kanan Nat memutar tongkat dalam genggamannya ke segala arah. Tongkat sempurna untuk penyihir sempurna. Ia menyeringai, kedua kakinya melangkah santai memasuki Rumah Kaca nomor 1, secara spontan berbelok ke kanan dan duduk di tempat yang kosong. Kelas Herbologi. Sudah tentu sama tak menariknya dengan Kelas Ramuan. Nat menguap, dengan mata sedikit berair--ngantuk--ia menatap ke depan sambil bertopang dagu setelah sebelumnya menyelipkan tongkat miliknya ke balik jubah. Entah mengapa otaknya menjadi tertarik dengan masalah pertongkatan--tidak penting, ya, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kelas hari ini. Tidak perlu bawa tongkat juga sebenarnya, mengingat presentase digunakannya benda tersebut tak akan lebih dari lima puluh persen. Sok tahu kau, Nat.

Sang Profesor, yang memperkenalkan diri dengan nama Pomona Sprout, mengucapkan selamat pagi dan selamat datang, kemudian menjelaskan pengertian serta hal-hal dasar dalam pembelajaran Herbologi secara panjang lebar. Selesai dengan pidatonya, Profesor Sprout melambaikan tongkat ke arah papan tulis, tulisan terukir begitu saja seakan digoreskan dengan kapur tak kasat mata. Mendeskripsikan, eh? Jeh. Kalimat tersebut sama saja dengan 'baca sampai rabun lalu salin ulang' hanya saja diungkapkan dengan cara lebih halus. 6 jenis tanaman pula. Nat memandang tangan kanannya. Oh, tanganku sayang, tanganku malang--well, fine, ternyata berkelompok, berempat. Mungkin tidak akan terlalu buruk. Nathaniel merogoh saku, mengeluarkan pena bulu, botol tinta dan dua buah perkamen kusut. That's it, hanya itu yang ia bawa ke dalam rumah kaca. No book, no other things. Bukan apa-apa, masalahnya adalah tas yang biasa ia gunakan sedang dipinjam Amanda dan sialnya--sepertinya hilang. Jadi beginilah. Tapi ia tidak perlu cemas sih, karena sebagai permintaan maaf, sepupunya telah 'mewariskan' materi pelajaran Herbologi tahun lalu miliknya, yang notabene sama persis dengan materi Nat sekarang. So, he is a lucky boy.

Benarkah? Lihat saja. Yow, mari kita mulai. Nat membentangkan perkamennya di meja--yang kosong tentu saja, membuka tutup botol tinta, mencelupkan pena bulunya ke dalam botol tersebut dan dengan berisik membuka perkamen yang satu lagi. Ah. Dasar Amanda. Materi yang tertulis di atas perkamen ternyata tidak lengkap. Masih banyak yang kurang. Ck. Ya sudahlah. Berarti ia memang harus mencari kelompok. Tangan kanannya mulai bergerak, menggores perkamen dengan pena bulu.

Quote:

Aconyte
Aconyte, sering juga disebut Wolfsbane, Monkshood, Blue Rockets, Friar's Cap, Auld Wife's Huid, atau Devil's Helmet, merupakan sejenis tumbuhan beracun, terkenal karena merupakan bahan utama ramuan Wolfsbane, ramuan khusus para manusia serigala. Daunnya berbentuk mengari dengan tiap daun terdiri dari 5-7 bagian. Mereka dapat dibedakan dengan adanya satu dari lima kelopak daun yang berada di bagian belakang yang biasa disebut Galea yang berbentuk helm berbentuk silinder. Aconyte mempunyai 2-10 daun bunga, 2 di bagian atas berbentuk besar. Memiliki sebuah taji cekung yang berada di puncak paling atas yang memuat nektar. Tumbuhan ini akan terbelah dua jika sudah matang. Aconyte memiliki batang di bawah tanah yang lancip di bawah akar. Mahkotanya atau sebagian dari bagian atasnya merupakan cikal bakal dari tanaman yang baru. Jika tersentuh ujungnya akan mengakibatkan keadaan mati rasa dan perih.
Tanaman ini menjadi makanan dari sebagian spesies Lepidoptera seperti ngengat tikus. Akar Aconitum ferox menjadi bahan dari racun Nepal yang disebut Bikh, Bish, atau Nabee. Beberapa spesies Aconyte digunakan sebagai racun pada anak panah.
Sedangkan di dunia sihir, seperti yang telah saya sebutkan di atas, Aconyte terkenal sebagai bahan utama ramuan Wolfsbane. Ramuan tersebut membantu para manusia serigala untuk tetap berpikiran dan berhati manusia saat bertransformasi.

Eucalyptus
Eucalyptus merupakan penghuni asli benua Australia, namun dapat juga ditemukan di belahan dunia selatan, seperti di Filipina, Indonesia, dan Papua Nugini.
Berguna sebagai pewangi dan pembersih karpet, makanan koala, bahan furnitur mini, serta minyak essens untuk disinfektan.

Sebentar. Pegal. Nathaniel meluruskan tangan kanannya ke depan, sekedar beristirahat sejenak. Huah, masih banyak. Tidak boleh buang-buang wak-- Argh! Ia berseru kaget ketika melihat tangannya tanpa sengaja mendepak botol tintanya. Botol itu terguling, menumpahkan isinya tepat di atas perkamen yang telah ia tulisi dengan susah payah.

Shocked. Yang. Benar. Saja.

Seluruh permukaan perkamen telah hitam seluruhnya. Oh my. Nat memejamkan mata kesal, kemudian menarik perkamennya dan mengibaskan benda itu kuat-kuat, siapa tahu tinta yang menyelimuti masih bisa terhapus. Alhasil, cipratan tinta melesat kemana-mana, juga ke perkamen milik seorang anak di sampingnya. Nat menoleh. Well, anak itu ternyata Izarra. Ia mengerang kesal, dan tanpa basa-basi berujar, "Punya perkamen lagi tidak, eh?" Semoga Izarra punya. Masalah minta maaf nanti sajalah. Oh. Ia punya ide yang lebih bagus. "Err... Begini deh, keberatankah jika aku sekelompok denganmu?" Jawab tidak, please. Ia tidak mampu menulis ulang. Capek.

(OOC : Credit to Wikipedia dan Sellabloompicers. Izarra, sekelompok ya?)

Labels: ,


6:47 PM


4-4-2-#5

[Wasit]
"Tidak, Amanda." He? Tidak boleh? Dia tidak boleh ikut main? Amanda membuka mulut untuk protes, namun segera mengatupkannya kembali saat mendengar Nathaniel melanjutkan kalimatnya, "Dan please, aku sedang tidak ingin berdebat, oke?" Gadis itu memandang sepupunya tak percaya. Kenapa tidak boleh? Ia merengut, melipat kedua tangan di dada, kaki mengetuk-ngetuk rerumputan. Kesal. Kemampuannya bermain sepakbola tidak jelek-jelek amat. Well, tapi begitulah. Ia tidak pernah mampu membantah Nat. Ralat, bukan tidak mampu, hanya saja ia memang sudah terbiasa mengalah. Ya sudah.

Amanda melempar pandang ke sekeliling lapangan. 5 anak laki-laki termasuk Nat. Seorang anak lelaki berbaju biru dan celana pendek putih datang, berkata bahwa ia ingin ikut serta. Mata Amanda melebar tak percaya ketika mendengar Lazarus mengucapkan 'aku ikut'. Serius nih? SERIUSS? Oke, berlebihan. Tidak mengherankan sih jika seorang anak laki-laki berminat untuk bermain sepakbola. Yang akan membuat permainan sepakbola kali ini akan menjadi seru adalah keikutsertaan Larry dan Lazarus. Apa jadinya ya? Prediksinya, mereka berdua tidak akan mau bekerja sama. Eh, ataukah sebaliknya--seperti di kelas astronomi? Kita lihat saja.

Ada Arvid. Mallandrt. Ah, senior Theo juga. Ditambah Marius. Great. Amanda mengulum senyum. Sepertinya bakal seru. Dalam waktu singkat para pemuda cilik di hadapannya telah membentuk tim dan formasi. 5 orang tiap tim, eh? Cukup, mengingat ukuran halaman berumput yang terhampar tak terlalu luas, bahkan sepertinya tidak mencapai 25 kali 15 meter--ukuran standar minimal sebuah lapangan futsal. Tak lama kemudian seluruh personil pertandingan telah mengambil posisi masing-masing, Nat dan Arvid sebagai sentral. Fine, let's see. Jika dilihat dari sini, yang dapat Amanda tangkap adalah : sepupunya akan bertanding bersama Arvid, Lazarus, Mallandrt, dan senior Theo. Ck ck, Slytherin mendominasi. Sementara tim seberang terdiri dari sahabat baiknya, Larry; dua orang berparas Asia, junior dan senior; anak lelaki berbaju biru dan Marius. Gadis itu terdiam, memperhatikan Nat yang terlihat bersiap melakukan kick off. Ah, ia iri. Ia ingin ikut main...

Keningnya berkerut saat melihat sepupunya berlari ke arahnya alih-alih memulai pertandingan. Ada yang tertinggal? "Amanda. Kau. Jadi wasit, oke? Oh, but please, just stay here." Wasit? Dia? Jadi wasit? Amanda bengong, menatap peluit hitam yang kini berada di tangannya. Yang benar saja. Sejak kapan Nat jadi otoriter begini sih? Sama sekali tak memberi kesempatan padanya untuk menolak. Huft, calm down, Amanda. Lagipula kekecewaan Nathaniel adalah hal terakhir yang ingin ia lihat. Menyadari bahwa para pemain sudah siap, ia mengangkat peluit, menghela napas pasrah, dan meniup benda itu keras-keras.

PRIIIITT!

Just let the match begins. Para pemain bersenang-senang, sedangkan ia susah. Huh. Bukan, bukan karena ia tak mengerti peraturan sepakbola, atau kesulitan karena harus memancangkan mata mengamati pertandingan tanpa berkedip, bukan itu. Lebih cenderung kepada tekanan batin sebenarnya. Ditilik dari pembagian tim, satu statement sudah jelas. Nat versus Larry. Kalau begini yang akan terjadi adalah Amanda akan diam saja, berpura-pura jadi patung. Daripada dianggap memihak dan di akhir pertandingan harus menerima tatapan sinis dari salah satu dari mereka. Atau bahkan dari keduanya. Argh, Amanda tidak akan tahan jika benar itu yang akan terjadi. Tapi. Nathaniel sudah memberikan kepercayaannya, rite? Otomatis anak laki-laki tersebut telah memikirkan akibat baik dan buruk yang akan timbul atas keputusannya menjadikan Amanda wasit. Yah, baiklah. Do her best saja deh. Doakan agar ia tidak memihak. Amin.

Well, kembali ke pertandingan. Operan pertama diberikan kepada Arvid, dan diteruskan kepada Mallandrt. Ah. Amanda hampir saja meniup peluit ketika melihat sang senior Asia men-tackle Mallandrt, membuat bola terlepas dari penjagaan siswa Slytherin itu untuk sesaat. Ternyata tacklenya bersih. Bukan pelanggaran. Bagus. Entah bagaimana caranya kini bola telah berada di kaki Lazarus, pemuda tersebut menendang--asal-asalan, mengharuskan Nat kembali ke belakang untuk menjemput bola. Dan... sepupunya menendang. Ditangkap dengan mudah oleh Marius. Sial. Hei, hei, tuh kan. Ya, ya, tidak boleh memihak.

Marius menggiring bola--membuat Amanda menaikkan kedua alisnya, tidak menyangka--dan melakukan tendangan lambung. Yang menerima adalah... Larry. Wohoo. Sahabatnya menendang, tepat menuju gawang. Oh. So, what's next? Semuanya kini ada di tangan senior Theo.

(OOC : Maaf, Amanda nggak merhatiin penonton =9)

Labels: ,


6:24 PM


4-4-2-#4

[Tim Myself Nat - Midfielder]
Nostalgia. Hm... Apakah benar dapat dikatakan begitu? Well, yang pasti semangat yang tengah dirasakan Nathaniel saat ini hampir sama dengan semangatnya saat bertanding dan berlatih di akademi--dulu. Catat, hanya hampir, tak ada yang dapat menggantikan saat-saat berharga tersebut, apapun itu. Ia tersenyum puas ketika melihat operannya diterima dengan baik oleh seniornya--si pegawai magang--dan diteruskan kepada rekannya yang lain--seorang gadis kelihatan berseru memanggil namanya. Mallant, eh? Atau Mallandrt? Masa bodohlah.

Ah. Sial. Nat mendecakkan lidah ketika melihat Chiaki berhasil memotong pergerakan Mallandrt dan menguasai bola--untuk sesaat. Seringai kembali bertengger di wajah anak laki-laki itu saat bola entah bagaimana caranya sukses digulirkan tepat menuju Lazarus. Fine, sampai sini sudah benar. Sekarang masalahnya adalah, mampukah senior ular tersebut mengontrol bola dengan baik? Tampang datarnya amat tidak meyakinkan. Nat memicingkan kedua matanya, mengamati dengan sedikit harap-harap cemas. Oh ya, Lazarus mampu, ia dapat melihat itu. Tapi--for God's sake--kemampuan menendang bola pemuda tersebut ternyata lebih buruk dari kemampuannya menerima. Bola meluncur menyusur rumput tak jelas tujuannya. Gawat. Nat mendesah, menyadari bahwa ia harus kembali ke belakang lagi untuk menjemput bola. Ia berlari menghampiri bola yang tak bertuan, kemudian tanpa basa-basi kaki kanannya menyambar sang benda keramat dengan cekatan, bersyukur tak ada seorang pun yang mendahuluinya. Dari sudut matanya Nat melihat siluet beberapa gadis tengah berdiri di tepi area permainan, dekat pohon, salah seorang dari mereka mengangkat sebuah--kertas? Tidak, ia tak sempat membaca tulisan yang tertera disana. Wohoo, banyak yang menonton, eh? Ia baru sadar.

Nat memutar tubuh. Dan memulai sprint seraya mendribbling bola. Yeah, this is what he call football, dude. Dengan lincah ia bergerak, berlari dengan cepat sementara kedua kakinya sibuk memberikan sentuhan putus-putus pada bola, mempertahankan agar kuasanya terhadap benda itu tak hilang. So, what's next? Kedua matanya bergerak liar mencari celah di antara para pemain lawan, celah untuk... meneruskan bola. Sayangnya striker timnya, sang pegawai magang--Corleone namanya, ia baru ingat--tengah dijaga ketat oleh Joong dan Sullivan. Mau ambil resiko? Jadikan itu pilihan terakhir. Coba cari opsi lain. Mallandrt tengah bebas, namun posisinya tak menguntungkan, terlebih lagi Chiaki masih eksis di dekatnya. Nat mengerjapkan mata, menatap penjaga gawang lawan dengan tatapan setengah bingung. Berpikir cepat, Nat. Lawan dapat mengambil tindakan tak terduga kapan saja.

"Dengarkan aku, Gladstone. Pengambilan keputusan adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh para pemain, dalam kasus ini adalah dirimu. Dalam permainan sepakbola, pemain yang dengan cepat mengambil keputusan dan benar, akan menjamin aliran bola yang cantik dan cenderung akan menyulitkan lawan. Apakah kau mengerti, Nak?"
"Ya, Pelatih. Tapi, Sir... Bukankah keadaan akan menjadi sulit saat pemain lawan menghadang?"
"Semua tergantung padamu. Percayakah kau pada dirimu sendiri? Keragu-raguan sama dengan sebuah kekalahan telak, camkan baik-baik kata-kataku, Gladstone."
Nat terpekur, mengangguk. Right, that's the question. Percayakah ia?


He must make a desicion. Nathaniel melempar pandang bergantian ke arah penjaga gawang beberapa meter jauhnya di depan sana dan bola di kakinya. Come on, mana yang kau pilih? Pass? Or... Shoot? Pilihan tak pernah tidak berkawan dengan resiko, begitupun kedua pilihan tersebut. Pass memiliki resiko yang lebih tinggi, mengingat bek lawan sepertinya telah menguasai peran mereka dengan baik. Sedangkan shoot? Oh, well, ia ingin--tapi bagaimanana kalau...

Baiklah. Menghela napas, Nat mendribble bola dua langkah ke depan, berkonsentrasi pada area di sekeliling kiper, mencari titik yang dapat dituju. Ah, gawang tidak tersedia. Hal ini sungguh mempersulitnya untuk memprediksi jangkauan tendang, keraguan menelusup jauh lebih dalam. Tetapi bagaimanapun situasinya, he must do this. Kaki kanannya menjejak rerumputan dengan kuat, kaki kirinya terangkat ke belakang--oh ya, ia pemain kidal. Ancang-ancang telah diambil, mate. Dan detik berikutnya, tendangan melambung telah dilaksanakan, bola meluncur lurus ke arah sang penjaga gawang. Nathaniel menahan napas. Masuk-kah?

(OOC : Menendang langsung ke gawang, dari jarak sekitar 8 meter.
Mengenai gawang: maap, gw baru inget meskipun tidak ada gawang, area gawang adalah 2,5 meter panjang alas, 2 meter tingginya. Silahkan bayangkan sendiri. Atau mungkin bagi para penjaga gawang dapat menciptakan gawang sendiri atau memberikan batas? =9 CMIIW)

Labels: ,


4:26 PM


4-4-2-#3

"Ha--hai--Naaat."

Nat menoleh. Ah, akhirnya datang juga. Ia mengangguk ketika Joong meminta maaf karena terlambat. Well, ya sudah, mau bagaimana lagi memangnya? Marah-marah? Buang tenaga. "Yakin bisa memasukkan bola ke gawangku hari ini?" ujar Joong lagi. Nat mendengus, kemudian menyeringai dan melempar tatapan lihat-saja-nanti kepada teman Asianya itu. Belum tahu saja kau, Joong. Ia meneruskan juggling yang sempat tertunda karena kedatangan Joong, bahkan bersikap acuh ketika seorang anak lelaki berparas asia lain menghampiri, memperkenalkan diri sebagai Chiaki Lin, bertanya apakah ia boleh ikut bermain sepak bola. Nat mengacungkan ibu jari tangan kanannya tanpa menoleh. Silahkan saja kalau mau ikut.

Jugglingnya baru benar-benar terhenti ketika sebuah seruan mampir di telinganya, "OI KALIAN-- Sepak bola, hm? Aku ikut." Nat memutar leher mencari sang pemilik suara. Dan apa yang ia lihat? Hell. Jonathan L. Baned. Teman Amanda. Ralat. Sahabat Amanda. Oh, bukan. Pacar Amanda. Ngarang kau, Nat. Si Baned itu hanya teman biasa gadis itu, tidak lebih. Ya kan?

Cemburu, eh, Nat?



Nathaniel menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran yang-benar-saja itu dari kepalanya. Tidak, dia tidak cemburu--enak saja--ia hanya peduli pada sepupunya, khawatir jika gadis tersebut memilih teman yang salah. Itu saja. Anak lelaki berambut gelap itu mengangkat dagu, memandang Baned dengan sinis, tak terlalu memperhatikan saat seniornya tersebut mengatakan sesuatu seraya menunjuk pemuda lain di sampingnya. Ah. Nat tahu siapa pemuda lain itu. Tak dapat dipercaya memang, tetapi Amanda membawa banyak foto saat libur musim panas lalu, mayoritas merupakan foto-foto teman-temannya, dan diantara sekian banyak lembar foto yang ia tunjukkan, yang paling membuat Amanda bersemangat saat membicarakannya--setelah Baned tentu-- adalah pemuda yang satu ini. Sylar Lazarus. Cih, apa sih kelebihan ular satu itu sampai-sampai Amanda pernah bilang bahwa gadis itu su--

PUK!

Eh? Nat tersentak, sadar dari lamunan, dan mengerjapkan mata saat menyadari siapa yang kini berada di hadapannya sambil berkacak pinggang. Wohoo, sepupunya tercinta. Amanda Steinhart. Mata Nat berbinar ketika gadis itu mengangsurkan majalah yang telah lama ia tunggu. Great, akhirnya. "By the way, main bola? Aku ikut," ucap gadis itu. What? Ikut main? Wow, wow, tunggu dulu, ia tak ingin mengambil resiko sepupunya akan terluka, terlebih lagi yang akan menjadi lawan Amanda adalah para anak lelaki. No way. "Tidak, Amanda. Dan please, aku sedang tidak ingin berdebat, oke?" ujar Nat, kemudian ia segera melihat ke arah lain, benar-benar tak ingin melihat raut wajah gadis tersebut yang pastinya kecewa. Untuk kebaikanmu, Amanda, mengertilah.

Satu orang lagi--ah, Sullivan, anak yang pernah ia lihat di danau--datang dan ingin turut bergabung. Welcome, deh. "Aku ikut. Aku setim denganmu." Sebentar. Itu tadi... benar-benar Lazarus yang berbicara? Well, tidak ada salahnya juga sih. Fine, he got one. Seorang anak lelaki lain--oke, si pegawai magang di toko tongkat, Nat ingat--juga turut berminat setim dengannya. Got two. 2 orang menyusul, yang satu membicarakan tentang dua orang perempuan--Diana dan Susan--apa sih? Masa bodohlah. Yang satu lagi secara tiba-tiba merangkul bahunya, memperkenalkan diri sebagai Theo--jujur, Nat terkejut, but he got three. Or four? Terserah.

Satu orang lagi datang, menggenapkan jumlah mereka menjadi sepuluh. Enough, sudah terlalu banyak nih. Nathaniel mengangguk setuju ketika Joong menyarankan agar mereka bertanding lima lawan lima. Nice idea. Nat memungut bolanya, mengedarkan pandang ke seantero halaman. Hm, tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk dijadikan tempat bermain bola meskipun dengan konsep futsal. Ia mengedikkan kepala kepada seluruh anak laki-laki yang telah sepakat untuk turut bermain, mengisyaratkan mereka untuk beranjak ke tengah lapangan. Biarlah mereka menentukan sendiri posisi yang mereka inginkan.

Setelah yakin semuanya telah menempati posisi masing-masing, Nat menahan bola dengan bagian bawah sepatu kanannya, menoleh kesana kemari, mencari tahu apakah ada yang keberatan jika timnya yang memulai terlebih dahulu. Tidak ada? Bagus. Ayo kita mulai. Are you ready guys? Ah, tunggu. Ada yang terlewat. Nat berlari ke sisi lapangan--ke arah Amanda berdiri--merogoh saku, kemudian menyerahkan peluit yang telah ia siapkan kepada sepupunya. "Amanda. Kau. Jadi wasit, oke?" Ia mengedipkan sebelah mata, kemudian menambahkan, "Oh, but please, just stay here." Ia memberi tatapan tolong-jangan-membantah kepada Amanda sebelum kembali ke tengah lapangan, mengambil posisi lagi.

Siap? Baiklah. Setelah terdengar suara peluit, Nat melakukan first pass. Kick off!

(OOC : First pass to Arvid :3 Anggap Amanda sudah meniup peluit
- Tim Nat :
1. Arvid E. Corleone (striker)
2. Dean L. Mallandrt (striker)
3. Sylar Lazarus (Defender)
4. Theo P. Collin (Keeper)
- Bagi para personil tret ini, diharap menuliskan status di bagian atas post. Contoh, [Tim Nat] atau [Tim Kim] atau [Penonton], biar gak bingung, okeh...
- Alur : let it flow, skor pertandingan juga... =9
- Ketentuan dan peraturan lain lewat conf ^_^

Labels: ,


4:20 PM


4-4-2-#2

Ini-- Ah, mana sih Nat? Amanda mengedarkan pandang ke seantero Aula Besar, mencari wajah sepupunya. Tidak ada, yeah, seperti dugaannya. Semenjak tiba di Hogwarts, anak itu amat sulit ditemui, seakan melupakan Amanda. Gadis itu menghela napas, kemudian menatap tabloid Weekly Football di hadapannya dengan heran. Sepertinya pamannya salah kirim deh. Seharusnya majalah ini ditujukan untuk Nat--well, anak itu langganan kalau tidak salah. Ia menatap sampul depan majalah--menampilkan skuad tim nasional Jerman Barat--dengan antusias, kemudian membuka halaman demi halaman, mencari tahu apakah ada yang menarik. Oke, Piala Eropa, Piala Eropa dan Piala Eropa. Wajar sih, mengingat event besar tersebut akan diselenggarakan sebentar lagi, di pertengahan tahun 1980 di Italia. Semoga ia bisa menonton pertandingan final. Amin.

Ya sudahlah. Lebih baik sekarang ia mencari Nat, firasatnya mengatakan anak lelaki itu telah lama menunggu sang edisi terbaru. Amanda membelai burung hantu pamannya, Perseus, membiarkannya minum dari gelas miliknya sebelum burung itu pergi. Fine, saatnya berkeliling Hogwarts mencari sepupunya tersayang. Amanda menghabiskan sarapannya--jika bisa disebut sarapan, sekarang sudah pukul sepuluh--dengan cepat, bangkit, dan melangkah santai menuju pintu Aula Besar.

Halaman
Bagus sekali. Capek. Nat tidak ada dimana-mana. Di perpustakaan--tentu saja tidak ada, Amanda kurang kerjaan mencoba mencari kesana, di ruang rekreasi atau di kamar juga tidak ada--kata seorang junior kelas satu. Ia dengan bodohnya menyusuri tiap lantai dan juga jembatan sampai kakinya pegal, dan hasilnya nihil. Ah, masa bodoh kalau begitu. Majalah ini untuknya saja.

Halaman tampak lengang. Amanda berjalan perlahan sambil mendekap majalah di dada, mengamati aktivitas para siswa Hogwarts. Sedang tidak berminat untuk beraktivitas sih. Ia hanya ingin istirahat di bawah sebuah pohon jika mungkin, menuntaskan membaca tabloid dalam dekapannya tersebut. Kedua kakinya melangkah ke bagian jauh halaman, mencari tempat yang enak. Ah. Kan. Ck. Itu dia Nat. Mengapa tidak dari pertama saja ia mencari di halaman? Payah kau, Amanda. Sepupunya itu sedang ber-juggling ria, dengan dua anak lelaki berparas asia di dekatnya, serta 4 orang lain yang tengah berbincang tak jauh dari mereka bertiga. Tunggu. Sepertinya ia kenal...

Larry, Sylar, senior Carrera, dan Prefek McAfferty. Wow.

"Well, aku turun dari pohon di atas sana--karena telingaku menangkap beberapa suara yang mengatakan bahwa Jonathan dan Lazarus akan bermain Soccer bersama mereka." Eh? Amanda tertegun ketika mendengar ucapan sang prefek, terlebih lagi saat seniornya itu menunjuk ke arah Nat dan kedua temannya, mengindikasikan kata 'mereka' yang ia ucapkan. Oh my--serius? Larry dan Lazarus akan bermain sepak bola bersama Nat? Well, alamat bakal terjadi Perang Dunia ke-3. Prefek McAfferty mengatakan bahwa ia akan menemani senior Carrera menonton. Menonton. Menonton? Tidak, Amanda tidak mau menonton. Ia mau ikut main.

Gadis itu menghampiri mereka berempat, mengangguk kepada kedua seniornya, menatap Lazarus dengan sedikit salah tingkah--ya Tuhan, yang benar saja Amanda--kemudian nyengir kepada Larry, mengacak rambut sahabatnya. "Kau akan bermain sepak bola, eh? Great, Larry. Aku juga," ujarnya, mengedipkan sebelah mata, lalu mulai berjalan menjauh, kini menghampiri Nat. Amanda menepuk kepala sepupunya dengan majalah, berkacak pinggang, kemudian berkata, "Nat, kemana saja sih kau? Ini. Majalahmu. By the way, main bola? Aku ikut."

(OOC : Tenang, Amanda ga beneran ikut kok =9 FYI, setau gue, di Inggris itu sepak bola disebut 'football'. Soccer itu istilah di Amerika, sengaja supaya g ketuker dengan 'football America'. But, it's okay sih. CMIIW :3)

Labels: ,


4:16 PM


4-4-2-#1

You must let it go, Nat.

Cih, kalimat macam apa itu. Nathaniel mendecakkan lidah jengkel, tangan kanannya melambung-lambungkan bola sepak kesayangannya sementara tatapannya menerawang jauh tak terfokus. No, he can't and won't let it go. Dalam berbagai situasi, Nat selalu setuju kepada apa yang Amanda ucapkan, sepupunya itu selalu benar, ia akui. Tapi tidak kali ini.

Ah, sepak bola. Bagian terpenting dari hidupnya itu kini harus ia tinggalkan begitu saja demi sekolah ini. Demi Hogwarts. Pantaskah, eh? Entah. Ia belum yakin. Apa yang dapat Hogwarts tawarkan untuk mengganti hal berharga itu? Teman-teman akademi, keceriaan saat bertanding. Well, tentunya ia tak dapat menerima saat Amanda berujar just-let-it-go padanya, dengan kata 'it' sama dengan sepak bola dan karirnya di akademi. Is she kidding him? Tentu saja ia tak akan membiarkan sepak bola berlalu dan pergi dari kehidupannya. Tidak akan pernah. Apalagi hanya untuk sebuah sekolah sihir yang sama sekali tak sebanding.

Saat ini anak lelaki berambut gelap itu tengah duduk di bawah pohon Chestnut di bagian timur halaman dengan raut wajah jenuh. Di hadapannya terbentang rerumputan yang cukup luas. Sepi. Hanya ada beberapa orang berjalan di kejauhan. Mana sih Joong? Sudah lima belas menit beranjak dari pukul sepuluh, waktu yang mereka tentukan untuk bertemu. Ck, Nat paling benci jika harus menunggu. Ia menyandarkan kepala ke batang pohon di belakangnya, lutut kanannya ditekuk ke atas sementara tangannya menepuk-nepuk bola sepak yang kini berada di samping sepatu putih kanannya. Waiting is the worst thing ever. Tak ada kerjaan, pikiran Nat melayang, kalimat Amanda lagi-lagi terngiang di benaknya. "Calm, Nat. Kau akan mendapatkan pengganti sepak bola di Hogwarts. Quidditch. No doubt."

Quidditch.

Tidak, menurut Nathaniel olahraga kebanggaan kaumnya tersebut amat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sepak bola Muggle. Baginya, sepak bola lebih menantang dan menarik meskipun lebih menguras tenaga. Fine, mungkin argumen satu ini terlihat berat sebelah karena ia selalu berkutat dengan dunia sepak bola, tak pernah sekalipun ia melirik olahraga lain, termasuk Quidditch. Bermain pun tidak. Bahkan Nat menolak dengan halus saat sepupunya mengajak ia menemani gadis itu bermain Quidditch musim panas lalu, karena final Liga Champion Eropa tengah ditayangkan di televisi. Intinya, ia menjunjung tinggi sepak bola di atas olahraga lain, whatever other people say. Teman-teman penyihirnya seringkali mengatakan Nat itu terlalu Muggle, terlalu jauh dari kehidupan penyihir normal, tidak menjunjung dunia perolahragaan sihir, bla bla bla. Well, ia sama sekali tak bermaksud seperti itu, sungguh. Hanya saja ia memang dilahirkan di komunitas Muggle, menetap di teritori Muggle hingga saat ini. Wajar jika ia terbiasa dengan sepak bola yang notabene merupakan olahraga terfavorit mereka, right? Apa yang salah? Karena ia darah murni maka ia dicap abnormal? Yang benar saja. Jika memang orang-orang berkata seperti itu, Nat pun tak mau ambil pusing sih. Terserah.

Nathaniel bangkit, mengeluh. Bosan. Ia memungut bola sepaknya, kemudian melakukan juggling sederhana sambil menunggu. Bola bercorak segi enam hitam putih itu terlempar ke udara, kemudian ia pantulkan kembali dengan menggunakan lutut kiri sebelum bola itu menyentuh tanah. Satu, dua... Berpindah ke lutut kanan, kemudian melambung tinggi dan mendarat di kepalanya, bola tersebut kembali terpantul-pantul beberapa kali. Bagus. Kemahirannya mengontrol bola belum pudar. Hari ini ia bersama Joong akan melakukan sesuatu yang luar biasa menarik. Bermain sepak bola. Great. Semoga anak itu cepat datang. Nat sudah tak sabar.

(OOC : No one repp before Kim JoongBo. Oke, let me tell you about the rules of the game :
- Pertandingan akan dimulai setelah terbentuk dua tim, masing-masing tim terdiri dari lima orang termasuk Nat dan Joong.
- Pertandingan hanya untuk para anak lelaki. Anak perempuan silahkan masuk, tetapi hanya untuk menonton.
- No harmful, dan sebisa mungkin jangan menggunakan mantra, please.
- Bagi yang ingin join, PM or IM dulu ya... ^_^
- Jika ada yang kurang jelas, silahkan PM or IM.
EDIT TO ADD : Full untuk pemain :3
)

Labels: ,


4:13 PM


Semua Asrama. Kelas 1. 1979-1980

Sungguh suatu kebetulan yang menjengkelkan. Mengapa harus Ramuan yang menjadi mata pelajaran pertama sih? Pada tahun pertama ia menjadi siswa Hogwarts pula.

Nathaniel mendesah, mengacak rambut seraya menghenyakkan tubuh ke atas sofa ruang rekreasi Gryffindor. Ia memejamkan mata, mencoba membuat keputusan. Masuk kelas, tidak. Masuk kelas, tidak. Masuk kelas, tidak. Hatinya yang terdangkal tentu menolak mentah-mentah ide 'menjadi anak baik' dan memilih untuk tetap tinggal di sini atau pergi ke halaman untuk bermain sepak bola. Nice decision, of course. Namun sisi terdalam hatinya akan merasa bersalah jika ia membolos.

Anak lelaki berambut hitam itu membuka mata, kemudian melirik mencemooh ke arah buku Cairan dan Ramuan Ajaib oleh Arsenius Jigger yang tergeletak begitu saja di atas karpet di samping kaki kirinya. Satu-satunya hal yang ia senangi dari buku itu hanyalah kemiripan nama sang author dengan nama klub sepak bola pujaannya, Arsenal. Selain itu, nothing. Segala hal, apapun itu, yang berhubungan dengan ramuan, selalu membuat Nat mengerutkan kening dan memalingkan wajah. Tindakannya tersebut sesungguhnya hanyalah peralihan dari perasaan aneh yang melanda hatinya, seakan sesosok Troll meninju dadanya berkali-kali. Trauma, eh? Ia harap bukan. Peristiwa 4 tahun yang lalu seringkali kembali hadir di otaknya, membangkitkan rasa bersalahnya. Ah, Mum. Wanita yang paling disayanginya itu harus berada di St. Mungo hingga hari ini, semua gara-gara dirinya. Semua salahnya.

Pandangan Nathaniel menerawang. Tidak, ia harus mulai berpikir dewasa. Ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri, mulai saat ini. Nat berdiri, membungkuk dan menyambar buku panduan ramuannya, kemudian beranjak menghampiri lukisan wanita gemuk, mendorongnya hingga terbuka, dan menyusuri tangga menuju ruang bawah tanah. Well, mengikuti kelas ramuan mungkin bisa menjadi awal usahanya. Semoga.

Kelas Ramuan
Pukul sebelas lewat lima belas. Sial. Nat mempercepat langkahnya, bergegas memasuki ruang kelas dan mengambil tempat di sudut, tepat saat sang profesor berujar, "Untuk hari ini, membuat Ramuan Penyembuh Bisul sepertinya cukup. Kumpulkan dalam botol kristal kalian jika sudah selesai dan bawa ke depan." Bagus. Ramuan Penyembuh Bisul. Tidak terlalu sulit. Ia beruntung karena Dad pernah mengajarkan cara membuat ramuan yang satu ini, lima tahun yang lalu. Well, mudah-mudahan ia masih ingat.

Nat membolak-balik perkamen bukunya satu demi satu, dan tepat sebelum kedua matanya sakit melihat tulisan kecil-kecil di seantero buku, halaman yang dicari akhirnya terbuka. Ia membaca sekilas halaman tersebut.

Quote:


Bahan :
Jelatang yang sudah dikeringkan
Taring ular yang sudah dihaluskan
Siput bertanduk yang sudah direbus
Duri landak
Air

Cara Membuat :
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Isi kuali dengan air, kira-kira setengah kuali. Rebus sampai mendidih.
3. Masukkan 450 gram siput bertanduk ke dalam kuali.
4. Selagi menunggu rebusan, tumbuklah taring ular sampai halus. Kemudian, takarlah bubuk taring ular itu 6 gram.
5. Setelah rebusan mendidih, masukkan taring ular dan 3 lembar jelatang.
6. Aduk ramuan 15 kali searah jarum jam. Ramuan akan berubah warna menjadi hijau tua.
7. Tambahkan adukan berlawanan arah jarum jam 3 kali, ramuan akan memucat. Teruskan hingga ramuan menjadi encer dan berwarna hijau amat pucat.
8. Matikan api. Diamkan sebentar, lalu masukkan duri landak.
9. Dinginkan ramuan. Setelah didinginkan, ramuan siap digunakan.



Fine, let's do it fast, kumpulkan, keluar. Done, right? Nat mengambil seluruh bahan dan alat yang diperlukan dari atas rak-rak di sisi kelas, kemudian mengisi kuali dengan air dan menjerangnya di atas kompor. Tunggu mendidih. Ck. Lebih baik ia menumbuk taring ular sambil menunggu. Diraihnya alat penumbuk, lalu dibenturkannya kuat-kuat ke arah si taring ular. Namun, alih-alih hancur, taring ular tersebut bergeming, sementara tangan kanan Nat terasa dialiri listrik. Refleks, ia terlonjak, meringis dan memijat tangannya yang kebas. Damn.

Mendecakkan lidah kesal, ia membanting taring ular tersebut ke lantai, kemudian menginjak-injaknya. Oke, cukup berhasil. Tanpa membuang waktu, ia beralih pada timbangan, menakar 450 gram siput bertanduk dan 6 gram bubuk taring ular--well, miliknya tidak berbentuk bubuk juga sih--kemudian menceburkan kedua bahan tersebut ke dalam kuali, disusul 3 lembar jelatang. Ia mengaduk 15 kali searah jarum jam sesuai instruksi, dan menyeringai puas saat melihat warna ramuan miliknya perlahan berubah menjadi hijau tua. Great. Sampai sini sukses. What's next?

Matikan api. Nat mematikan kompor, menunggu sebentar sebelum memasukkan duri landak. Ramuan di hadapannya berdesis, menguarkan asap kelabu. Tunggu. Sepertinya ada yang janggal. Nat membaca ulang instruksi. Ah. Langkah nomor tujuh terlewat. Bodoh kau Nat. Dengan cuek Nat menambahkan 3 kali adukan berlawanan arah jarum jam. Apa jadinya, eh? Masa bodohlah.

Asap kelabu semakin menjadi, membuatnya terbatuk, matanya perih. Argh. Nat menyambar botol kristalnya, kemudian memasukkan sampel ramuan ke dalamnya secepat yang ia bisa. Setelah beres, ia menutup botol dengan tutup gabus, melangkah ke depan kelas, mencari celah di antara kerumunan siswa lain yang tengah berdiri di sekeliling meja Profesor Slughorn, dan meletakkan ramuannya di meja. Done. Nat menghela napas lega. Huft. Omong-omong, warna ramuannya tadi kuning, bukan hijau pucat. Well, tidak peduli.

(OOC : Credit to Potion Cauldron)

Labels: ,


3:56 PM


Small Trouble

Langit biru itu.

Nathaniel membuka bungkus permen karet miliknya, kemudian melemparkan isinya ke dalam mulut, mengunyahnya sembari memelintir bola sepak di tangan kirinya dengan kelima jari. Hogwarts. Pendapat Amanda mengenai sekolah ini tak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Kira-kira satu minggu ia berada di sini, cukup untuk mengerling pribadi macam apa sajakah yang terdaftar di akademi sihir tersebut, mengisi otaknya dengan segala argumen yang tak tersampaikan. Sepupunya selalu bilang, Hogwarts-lah yang terbaik, Nat, kau akan menemukan buktinya bahkan saat kau baru menjejakkan satu kakimu di halamannya. Satu-satunya respon yang terlontar dari Nat adalah sebuah dengusan tak percaya. Gadis itu memang senang mengungkapkan segala sesuatu secara berlebihan. Fine, di luar segala kesinisan yang selalu dilemparkan Nat kepada sekolah yang satu ini, benarkah apa yang diucapkan Amanda itu?

Well, sampai saat ini ia masih belum yakin. Apa yang ia lihat, apa yang ia tangkap, dan apa yang ia dengar, secara keseluruhan hanya mampu membuat kedua alisnya menghilang dan menyatu dengan rambut hitamnya, atau sebelah sudut bibirnya terangkat, menyeringai. Penyihir cenderung memiliki satu karakter khusus dalam masing-masing diri, membedakan mereka dengan penyihir lainnya, dan terlebih lagi--membedakan mereka dari Muggle, tentu. Sayangnya--entah karena kebetulan atau apa--kebanyakan siswa yang Nat lihat dan amati hingga hari ini, laki-laki maupun perempuan, beberapa diantaranya memiliki kepribadian yang membuatnya sedikit muak. Perlu dicatat, yang ia maksudkan disini adalah beberapa anak, bukan seluruhnya. Oke, Nat akan menyebutkan secara spesifik jika tak ada yang keberatan--para pure-blood, darah murni itu, entah mengapa seakan-akan menganggap diri mereka paling tinggi, meremehkan mereka yang tak memiliki status yang sama, apalagi terhadap makhluk yang diberi label Muggle.

Anak lelaki bermata cokelat itu meneruskan langkah menuju danau, kepalanya sedikit terangkat, pandangannya menerawang menatap langit biru di atas sana. Ya, langit biru itu. Langit biru yang sama, warna menyejukkan yang seringkali ia lihat bersama teman-temannya saat mereka berlari dengan bersemangat dalam sesi latihan di lapangan milik akademi sepak bola tempat Nat bernaung. Teman-teman Mugglenya. Kau tahu? Seluruh keluarga Gladstone dan keluarga Steinhart adalah darah murni. Tetapi ia tak pernah keberatan bersahabat dengan Muggle, toh baginya tak ada bedanya. Bahkan, suasana riang dengan komunitas non-penyihir itulah yang selalu Nat rindukan, alih-alih berada di tengah sekumpulan penyihir yang sibuk membusungkan dada untuk membanggakan darah mereka, repot memilah-milah teman yang mereka inginkan. Cih, apa-apaan.

Well, sudahlah Nat. Tak akan ada habisnya jika ingin membahas masalah tersebut.

Danau terlihat ramai, tak seperti kehendak anak laki-laki itu. Ia menghela napas. Berlatih sepak bola di tempat ini sepertinya bukan ide cemerlang. Tapi, well, sudah terlanjur, biarkan saja. Siapa tahu ia bisa menemukan raut wajah sepupunya yang belum Nat lihat lagi hingga detik ini. Ah, kemana sih anak itu? Menghilang tanpa terdengar lagi kabarnya. Bikin khawatir saja.

Nathaniel kini mengedarkan pandang ke seantero area danau mencoba menemukan satu tempat yang--mungkin--tepat dan nyaman. Langkah kakinya telah sampai di bawah sebuah pohon rindang, matanya mengerling seorang gadis yang tengah berdiri serta seorang anak laki-laki yang tengah berbaring, buku menutupi sebagian wajahnya. Tidur siang, eh? Suara berkeresak nyaring membuat kepalanya mendongak, menatap bagian atas pohon, mencari tahu... What the-- Sesosok gadis terlihat meluncur ke bawah dengan cepat, tepat menuju ke arah si anak laki-laki yang tengah berbaring. Refleks, Nat melangkah cepat, dan menangkap tubuh gadis tersebut dengan kedua lengan. Wew, ia tak menyangka tindakan spontannya akan berhasil, but--yeah, ia berhasil.

Berat tubuh gadis itu menyentakkan lengannya ke bawah, membuat luka di bahunya--akibat peristiwa di kereta--kembali berdenyut. Nathaniel meringis. Sial. Kemudian, ia bergegas menurunkan tubuh gadis tersebut ke tanah dan bergumam, "Lain kali hati-hati, Nona."

Menyadari bahwa bola sepaknya telah raib dari genggaman, dengan panik Nat mencari, matanya melebar ketika melihat bola itu meluncur dengan mulus, bergulir turun... dan dengan sukses masuk ke dalam danau. Nat mengerang, mendelik ke arah gadis yang 'tanpa sengaja' ditolongnya, menatapnya dengan dingin. Nice. Sekarang ia harus bersusah payah mengambil benda kesayangannya. Damn.

(OOC : Ah, maaf, gak baca reppan Vanessa. Aneh? PM aja)

Labels: ,


3:50 PM


Seleksi Asrama(1979-1980)

"Sampai ketemu di kastil, Nat."

Nathaniel membalas lambaian tangan Amanda, matanya terus menatap sepupunya hingga gadis itu menghilang di kejauhan. Menghela napas, ia kemudian bergabung ke dalam barisan para calon siswa kelas satu berjalan, membiarkan dirinya terseret arus. Anak-anak sebayanya, laki-laki dan perempuan berdesak-desakan, berkompetisi untuk saling mendahului. Well, akhirnya sampai. Nat menguap. Great, entah mengapa ia merasa amat lelah, sepanjang perjalanan ia tak bisa tidur, situasi dalam kompartemennya amat sangat tak mendukung. Ia menyentuh bahu kirinya--yang dengan suksesnya tertimpa kopernya yang luar biasa berat, meringis ketika merasakan nyeri menjalari tangannya. Fine, unfortunate day for him. Untung saja bukan kakinya yang terluka. Kaki adalah bagian tubuh paling berharga bagi dirinya--mengingat karirnya sebagai seorang atlet sepakbola Muggle.

Langkahnya turut terhenti ketika iring-iringan mendadak berhenti. Mata kecokelatannya membesar ketika melihat sebuah sosok menjulang di hadapannya, sebuah sosok raksasa. Well, kata 'raksasa' terasa berlebihan sih, lagipula dalam benak Nat, seorang raksasa pastinya memiliki postur yang lebih besar. Apapun itu, sosok tersebut memimpin mereka semua--para calon siswa tahun pertama--menuju tepi danau dimana berpuluh-puluh perahu telah menanti. Naik perahu ke kastil. Nice.

Sepanjang perjalanan, Nathaniel termangu, pikirannya menerawang. Hogwarts. Sekolah yang menghujaninya dengan dilema. Memilih untuk menerima bahwa ia adalah seorang siswa Hogwarts dan berangkat kesini, itupun berarti ia harus mengorbankan banyak hal. Karirnya di tim nasional junior Inggris, teman-teman Mugglenya, dan--yah, meninggalkan ayahnya sendirian di rumah. Dalam situasi dunia sihir seperti ini. Ah, benar-benar pilihan yang sulit. Di sisi lain, jika ia memutuskan menolak bersekolah di Hogwarts, itu berarti ia harus membiarkan Amanda sendirian di Hogwarts. Well, tidak sendirian juga sih--tetapi tetap saja rasa cemas akan menggelayuti hatinya. Baginya, gadis itu adalah segalanya.

Sejak 6 tahun yang lalu, dimasa kelam saat Amanda harus menjadi seorang yatim piatu, Nat telah bertekad dan berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga sepupunya tersebut, apapun yang terjadi. So, bagaimana ia bisa merealisasikan janjinya tersebut jika ia tak turut berangkat ke Hogwarts? Dan satu lagi, bersekolah di sebuah sekolah sihir yang--katanya sih--luar biasa hebat, merupakan satu jalan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan sihirnya, menjadikannya seorang penyihir yang hebat, yang dapat melindungi seluruh anggota keluarganya dari hal-hal yang tak diinginkan.

Nathaniel terus termenung, sehingga saat ia sadar, dirinya ternyata telah berada di sebuah koridor, di hadapannya menjulang pintu kayu besar. "Selamat datang di Hogwarts!" Nat menjulurkan kepala, berusaha menemukan sang pemilik suara. Seorang wanita tua, tipikal penyihir sejati dengan jubah hitam menutupi tubuhnya. Wanita itu mengenalkan dirinya sebagai Profesor Minerva McGonagall, wakil kepala sekolah. Tak berapa lama kemudian, pintu kayu di hadapan Nat terbuka dengan suara debam yang membahana, mempersilahkan mereka semua untuk masuk.

Tercengang melihat pemandangan yang tersaji di dalam ruangan tersebut, Nat cepat-cepat menutup mulutnya ketika menyadarinya terbuka. Amanda benar, dunia sihir yang sesungguhnya memang luar biasa. Di rumah, yang notabene terletak di komunitas para Muggle, tak akan pernah ia menemukan ratusan lilin melayang tanpa suatu apapun menahannya. Panji-panji bergambar singa, musang, gagak dan ular terbentang di belakang para guru duduk. Keren.

Profesor McGonagall memerintahkan mereka semua untuk berhenti, kemudin ia mengeluarkan sebuah bangku kecil berkaki tiga dan meletakkan sebuah topi kerucut lusuh berwarna hitam di atasnya. Nathaniel memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas apa tepatnya benda itu. Dan tersentak ketika secara tiba-tiba sebuah robekan membuka dari topi tersebut, dan benda itu mulai bernyanyi. Nat tahu apa yang dinyanyikan topi itu. Keempat asrama.

Setelah nyanyian selesai, sang profesor kembali maju, mengatakan bahwa kini saatnya acara seleksi. Ia memanggil nama tiap anak satu persatu, mendudukkannya di kursi dan meletakkan topi di atas kepala mereka secara bergantian.

"Gladstone, Nathaniel."

Great. Sudah tiba gilirannya. Nat melangkah maju dan duduk. Ia menahan napas. Dimanakah ia akan ditempatkan? Well, dimanapun itu, semoga pilihan sang topi tepat.

Labels: ,


3:44 PM


Kompartemen 15-#3

Tangan Nat masih terulur, menunggu sambutan dari si gadis egois. Well, sebenarnya ia optimis anak perempuan itu akan menolak. Pemuda berambut hitam itu menoleh ketika menyadari anak laki-laki yang membuat ledakan juga meringsek masuk ke dalam kompartemen, seraya mengatakan pada sang gadis bahwa ia cerewet dan tak akan mendapatkan teman jika memiliki sikap seperti itu. Yeah, he is absolutely right. Nathaniel setuju padanya. Seratus persen.

"Aku juga tidak butuh uluran tanganmu, tidak perlu berpura-pura baik seperti itu. Aku benci orang munafik," kalimat sinis terlontar dari gadis di hadapan Nat. What the-- Rahang Nat mengeras, tangannya yang terulur ia tarik secepat kilat. Anak perempuan ini benar-benar tidak tahu sopan santun. Rasa optimisnya terbukti, dan ia menyesal--amat menyesal mengapa tadi ia bersusah payah mengulurkan tangan. Dadanya bergolak akibat rasa kesal yang luar biasa, tatapannya menghujam kedua mata anak perempuan itu. Nat menghembuskan napas dan memejamkan mata untuk meredakan amarahnya. Sabar, Nathaniel. Ingat ucapan Amanda, ia harus menahan emosi.

Seorang gadis lain--senior sepertinya, melangkah memasuki kompartemen, menaruh barangnya di tempat penyimpanan, kemudian mengulurkan sehelai sapu tangan kepada anak laki-laki yang duduk di pojok. Fine, gadis yang baik, bukan tipe orang yang senang mencari keributan, semoga. Nathaniel menyandarkan punggungnya pada kursi kompartemen. Tidur sajalah. Ia tak ingin menghadapi sesuatu yang aneh lagi.

Baru dua detik Nat memejamkan mata, sebuah suara gaduh membuatnya tersentak, matanya kembali terbuka. Di hadapannya kini, si gadis egois telah terjatuh kembali, sebuah koper--bertuliskan Isla Holmquist-- menimpanya. Hah, jangan harap ia akan kembali membantu gadis itu lagi. Dengan sigap Nat bangkit dan berusaha menahan koper miliknya sendiri dan sebuah koper lain yang telah meluncur jatuh dari tempat penyimpanan. Damn, mengapa masalah selalu mendatangi kompartemen ini, eh? Namun usahanya tersebut tak berhasil sepenuhnya--koper entah-milik-siapa berhasil ia tangkap, tetapi tidak dengan koper miliknya. Ia mengaduh dan meringis ketika koper yang luar biasa berat itu menimpa bahunya dengan keras, kemudian terjatuh dengan mulus... dan menimpa anak lelaki lain di sudut. Great. Bahunya pasti kini telah terkilir--atau patah mungkin--dan kemungkinan besar anak laki-laki yang turut tertimpa itu juga akan terluka. Argh. Benar-benar kompartemen sial.

Labels: ,


3:42 PM


Kompartemen 15-#2

Nat menggerak-gerakkan kaki tak sabar, tangannya terlipat di dada. Oh, cepatlah, ia sudah lelah berdiri. At last, pintu kompartemen di hadapannya terbuka--tak sepenuhnya, hanya terbentuk sebuah celah kecil, wajah sang gadis menyembul keluar, sementara tubuhnya tetap memblokir jalan masuk. Nat mengangkat kedua alisnya, dan tercengang ketika anak perempuan itu mulai menyemburnya dengan kata-kata, "Kau tahu bahwa mengganggu orang yang sedang beristirahat itu tidak sopan, kan? Aku tidak peduli kau mau berkata bahwa kompartemen lain sudah penuh atau apapun, tapi kompartemen ini sudah tidak menerima pengunjung lainnya." Nat mendengus. Apa-apaan sih perempuan ini? Kompartemen ini sudah tidak menerima pengunjung lainnya? Sigh, are you kidding me? Seenaknya saja. Apa dia pikir kereta ini milik nenek moyangnya?

Gadis itu terus berceloteh panjang lebar, menyuruh Nat untuk mencari kompartemen lain, dan bla bla bla, apapun itu, kalimat terakhir yang terdengarlah yang membuat pemuda itu memicingkan mata, memandang lurus, tepat ke arah mata anak perempuan itu berada. Lemah dan manja dia bilang? Well, gadis ini benar-benar cari gara-gara. Nat mengubah posisi tubuhnya. Tangan kanannya bertolak di pinggang, sedangkan tangan yang kiri ia tumpukan pada pintu kompartemen. Ia menatap wajah menantang di hadapannya dengan lekat, kemudian berujar, "Well, Miss 'Egois', jika kau mengira aku akan pergi setelah mendengar seluruh omong kosongmu--kau salah besar. Sekarang minggir, atau aku akan menerobos masuk..."

Kalimatnya terhenti ketika sebuah ledakan terjadi tepat di sampingnya, membuatnya terhuyung ke samping. What the-- Seorang anak laki-laki dengan tongkat teracung telah berdiri di hadapannya. Oke, pastinya dialah penyebab ledakan tersebut. Ini--oh, masa bodoh, ia tak peduli. Ia mengerling ke arah pintu kompartemen, melihat bahwa sang gadis telah terjatuh. Nat menyeringai, mengambil kesempatan itu untuk membuka pintu kompartemen lebar-lebar, lalu menyeret kopernya masuk, mengacuhkan teriakan pengusiran si anak perempuan. Terserah, terserah, gadis itu mau bilang apa.

Nat mengangkat kopernya ke tempat penyimpanan barang, dan tanpa basa-basi menghenyakkan tubuh di tempat duduk. Nice. Akhirnya. Tak dapat sepenuhnya mengacuhkan seorang anak perempuan yang terjatuh, Nat mendengus kecil, mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. "Butuh bantuan?" ujarnya dingin. Perlu dicatat, ia membantu hanya karena ia masih punya etika. Itu saja.

Labels: ,


3:41 PM


Kompartemen 15-#1

Cool. He made it.

Nathaniel meraba dinding yang baru saja ia lewati. Padat. God, keren. Tiga detik yang lalu ia baru saja melewati sebuah tembok batu begitu saja, like a ghost. Sesuatu yang tak masuk akal seperti ini bukan hal yang mustahil dilakukan jika kau berada di dunia sihir. Setelah puas dan benar-benar yakin bahwa tembok yang baru saja ia lewati terbuat dari batu, Nat membalikkan tubuh dan melangkah menuju kereta, mendorong troli dengan perlahan. Di sekelilingnya, di pelataran stasiun, berbagai macam penyihir berlalu-lalang. Anak kecil dan orang dewasa, semuanya bercampur baur layaknya sebuah komunitas, terlihat jelas bahwa sebagian besar anak-anak dan remaja yang berada di sana merupakan siswa Hogwarts.

Nat melongokkan kepala kesana kemari, mencari Amanda. Dimana gadis itu? Tak juga berhasil menemukan sepupunya, akhirnya ia memutuskan untuk naik kereta lebih dulu. Firasatnya mengatakan bahwa Amanda telah berada di atas kereta. Yah, semoga saja. Setelah menurunkan segala barang bawaannya dari troli, Nat pun mengayunkan kaki menuju Hogwarts Express, menyeret kopernya di belakang dan menenteng sangkar Zenas di tangan kiri. Damn, kopernya terasa amat berat, dalam waktu singkat ia telah merasakan pegal di tangan kanannya. Tak heran sebenarnya, mengingat segala macam barang yang ia bawa. Bola sepak dan saxophonenya menjadikan kopernya menggembung, overload.

Di atas kereta keadaannya tak jauh berbeda seperti di bawah. Ramai. Bising. Beberapa kali ia mencondongkan tubuh ke samping untuk menghindari orang-orang yang mondar-mandir di koridor, seenaknya saja berlarian sambil berteriak-teriak. Cih, apa-apaan. Nat mengacak rambutnya, kakinya mulai menyusuri koridor sempit yang diapit oleh berpuluh-puluh kompartemen, mencari satu yang mungkin masih menyisakan tempat. Sebenarnya ia lebih suka mendapatkan satu kompartemen kosong, terlebih lagi ia harus mendapatkan tempat untuk Amanda juga. Well, tapi sepertinya sepupunya itu telah melupakannya, meninggalkan Nat begitu saja tanpa bilang sesuatu apapun. Anak lelaki berambut hitam itu menggerutu dan bersungut-sungut kesal. Fine, kalau begitu untuk apa pula ia mencarikan tempat untuk gadis itu.

Nat melihat ke sebuah kompartemen--melalui jendelanya. Great. Kompartemen tersebut baru terisi oleh seorang gadis. Tapi--terkunci, eh? Ia mengetuk pintu kompartemen seraya berseru, "Hei, boleh aku masuk? Tempat lain sudah penuh." Ck, seenaknya saja mengunci pintu.

Labels: ,


3:35 PM


Just Walk Through

"Jubah?"
"Sudah."
"Kuali?"
"Sip."
"Tongkat?"
"Beres."
"Zenas?"

Nathaniel bersiul lantang. Seekor elang terbang melintasi ruangan kemudian hinggap di bahu Nat, melipat kedua sayapnya dengan anggun. Great. Sepertinya anak lelaki itu mendapatkan burung elang yang tepat. Zenas--nama yang diberikan bagi sang elang--amat patuh, selalu berlaku sesuai perintah Nat seakan mengerti bahasa manusia.

"Nat. Tinggalkan benda itu. Dan itu juga. Kau mau membawa keduanya ke Hogwarts? Oh, yang benar saja," ujar Amanda. Sepupunya itu menunjuk dua benda kesayangannya. Bola sepak. Dan saxophone. Tentu saja ia akan membawa dua barang tersebut, terserah apa kata orang. Nat menggeleng, memasukkan seluruh perlengkapannya ke dalam koper, termasuk kedua benda favoritnya tersebut. Sedari tadi ia dan sepupunya tengah memeriksa ulang segala hal yang akan mereka bawa ke Hogwarts, menyisihkan yang tak perlu. Done. Nat menarik resleting kopernya hingga menutup, kemudian ia bangkit dan mulai melangkah menuju pintu. "Sepertinya kita harus bergegas, Amanda. Setengah jam lagi keretanya berangkat."

Peron 9 3/4
Stasiun King's Cross amat bising. Pria dan wanita berlalu lalang dengan terburu-buru seakan takut kehabisan waktu. Nathaniel mendorong troli miliknya, menguntit langkah Amanda. Ia mengedarkan pandang ke seantero pelataran, memperhatikan tiap-tiap wajah dengan seksama, bertanya dalam hati apakah seseorang itu merupakan siswa Hogwarts seperti dirinya atau bukan. Sepupunya berhenti secara mendadak, membuat troli Nat berdecit nyaring karena direm tiba-tiba. Ada ap-- Oh, rite. This is it. Di hadapannya kini telah menjulang sebuah dinding--pemisah peron 9 dan 10.

Tanpa suara ia mengangguk ketika Amanda mengedikkan bahu, memberi isyarat pada Nat untuk mengikutinya. Ia memperhatikan dengan seksama ketika Amanda mulai mempercepat langkah, dan dalam hitungan detik, gadis itu telah menghilang dari pandangan. Fine. Berarti sekarang gilirannya. Ia menghela napas dan mengacak rambut. Tenang saja, batinnya berujar. Perlahan, anak laki-laki itu mendorong trolinya, entah mengapa hatinya lebih nyaman jika kedua kakinya berlari. Maka ia pun meningkatkan tempo langkahnya, menghampiri dinding, semakin dekat, semakin dekat, selangkah lagi... Dan saat ia membuka mata, di hadapannya telah berdiri tegak Hogwarts Express. Cool. He made it.

Labels: ,


3:31 PM


Surat dari Hogwarts

"Pagi, semua." Nathaniel menguap kemudian mengucek matanya. Dua buah suara membalas sapaannya.

"Morning, Son."
"Lama sekali sih. Jangan biasakan bangun siang, Nat. Tidak baik untuk kesehatan. Dimana jam wekermu, eh? Sudah kubilang, kan, kalau...."

Nathaniel mencubit pipi 'sang pemilik suara kedua' agar gadis tersebut berhenti berceloteh. Ya, pemilik suara tersebut, siapa lagi kalau bukan Amanda Steinhart, sepupunya tercinta yang bawel minta ampun. Amanda menepis tangan Nathaniel, menjulurkan lidah, dan balas mencubit tangan anak lelaki itu. Nat mengaduh, mengusap-usap tangannya yang sakit. Ia meringis, kemudian melempar serbet di hadapannya ke arah Amanda, tepat mengenai wajahnya.

Amanda bersungut-sungut, meraih serbet miliknya, dan bersiap melempar ketika sebuah dehaman mengurungkannya. "Anak-anak, please." Nathaniel nyengir ketika mendengar seruan ayahnya, melempar pandang penuh kemenangan kepada Amanda. Sepupunya turut nyengir. Oke, waktu bertengkar sudah habis. Saatnya makan.

Seperti telah diberi aba-aba, ketiga orang tersebut secara serempak menyambar sepotong sandwich yang telah tersedia di meja, kemudian melahapnya dalam keheningan. Tak ada yang berbicara saat makan, peraturan nomor tujuh di kediaman keluarga Gladstone. Seluruh anggota keluarga telah terbiasa mematuhi segala peraturan yang berlaku, sehingga keadaan selalu tertib. Well, ralat, tidak selalu. Seringkali Nat 'secara mendadak' lupa akan peraturan yang ada. Kalau sudah begitu Mr. Gladstone, Sr. akan menegurnya, menatap Nat dengan pandangan menusuk selama beberapa detik. Sebenarnya trik seperti itu sudah tidak mempan, Nathaniel tahu ayahnya tidak bisa marah. So, ia cukup memasang tampang menyesal dan mendengarkan dengan sopan teguran yang hinggap di telinganya, dan setelah itu, done, masalah selesai. Ck, dasar Nat.

Acara sarapan beres. Nat menepuk perutnya yang kenyang. Ah, sandwich buatan Amanda memang yang terbaik. Selama ini, ketika sepupunya itu bersekolah di Hogwarts, Nat dan ayahnya selalu mendapatkan hidangan ciptaan si peri rumah, Phoebus. Rasanya tak terlalu nikmat.

"Ada yang bersedia mengambil surat hari ini?" Nathaniel menoleh ketika ayahnya bertanya. Ia kemudian memandang Amanda, melempar tatapan kau-saja-yang-ambil, namun segera menghela napas ketika menyadari sepupunya itu pura-pura tak melihat. Fine, ia yang mengalah. Nat bangkit dari kursi, kemudian menyeret langkah melintasi ruangan makan, melewati ruang keluarga menuju pintu depan. Beberapa surat terserak begitu saja di atas karpet dekat pintu. Ia memungut semuanya dalam sekali sambar, dan segera berbalik, berjalan kembali menuju meja makan. Diletakkannya seluruh berkas-berkas dalam genggamannya ke atas meja, tepat di hadapan ayahnya, lalu duduk di kursinya semula.

Tabloid Weekly Football--majalah mingguan Muggle yang khusus membahas mengenai sepak bola-- telah berada di atas meja, sepertinya Amanda telah selesai membaca majalah tersebut. Dengan antusias Nat menarik tabloid itu, mengerling sampulnya sekilas. Kevin Keegan. Great. Hanya dalam beberapa detik, anak laki-laki berambut hitam itu telah tenggelam dalam dunianya sendiri.

Di tengah kesibukannya, sebuah amplop terjatuh tepat di atas halaman yang terbuka, membuatnya tersentak. Nathaniel mengangkat wajah, terkejut ketika menemukan Amanda dan ayahnya tengah menatapnya lekat, senyuman tersungging di bibir mereka. Nat mengerutkan kening. Ada apa sih? Ia menunduk, memandang benda di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan, membalik amplop tersebut, mengamati emblem yang menyertainya. Ah, akhirnya datang juga. Ia berteriak dan memukul meja makan dengan girang.

"APA KUBILANG, Amanda! Pasti aku akan menyusulmu! Dan kata-kataku terbukti, right?" Ia tersenyum lebar dan memeluk sepupunya erat. Tahun ini ia akan menemani Amanda bersekolah di Hogwarts. Yeah. Nat membuka segel amplop dan dengan bersemangat membaca surat tersebut. Well, persis sama seperti tahun lalu.

Quote:


SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Kepala sekolah: Albus Dumbledore
(Order of Merlin, Kelas Pertama, Penyihir Hebat, Kepala Penyihir, Konfederasi Sihir Internasional)



Mr. Gladstone yang baik, Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan. Tahun ajaran baru mulai 1 September.

Hormat saya,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah

SEKOLAH SIHIR HOGWARTS


Seragam
Siswa kelas satu memerlikan:
1. Tiga setel jubah kerja sederhana (hitam)
2. Satu topi kerucut (hitam) untuk dipakai setiap hari
3. Sepasang sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
4. Satu mantel musim dingin (hitam, kancing perak)
Tolong diperhatikan bahwa semua pakaian siswa harus ada label namanya.

Buku
Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut:
Kitab Mantra Standar (Tingkat 1) oleh Miranda Goshawk
Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Ilmu Gaib oleh Adalbert Waffling
Pengantar Transfigurasi Bagi Pemula oleh Emeric Switch
Seribu Satu Tanaman Obat dan Jamur Gaib oleh Phyllida Spore
Cairan dan Ramuan Ajaib oleh Arsenius Jigger
Hewan-hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan oleh Newt Scamander
Kekuatan Gelap: Penuntun Perlindungan Diri oleh Quentin Trimble

Peralatan lain
1 tongkat sihir
1 kuali (bahan campuran timah putih-timah hitam, ukuran standar 2)
1 set tabung kaca atau kristal
1 teleskop
1 set timbangan kuningan

Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok

ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI



Fine. Rasa senangnya menyusut seketika saat ia teringat sesuatu. Sepak Bola Muggle. Menjadi seorang murid Hogwarts berarti mau tak mau ia harus meninggalkan akademi sepak bolanya. Selama tujuh tahun ke depan. Bagaimana ini?

Seakan dapat membaca pikirannya, Amanda menepuk bahu Nat dan berujar, "Kau tahu, Nat? Hidup adalah pilihan. You must make a right decision." Ya, gadis itu benar. Amat benar. Tapi apa yang harus ia pilih? Menjadi seorang penyihir sejati atau mendedikasikan diri pada dunia Muggle? God, kedua pilihan tersebut dapat dikatakan sebanding.

Pilihan pertama merupakan keinginan seluruh penyihir di dunia, rite? Begitupun dirinya. Dan Hogwarts merupakan tempat paling tepat untuk mengasah diri menjadi seorang penyihir hebat. Akankah ia menyia-nyiakan kesempatan ini? Namun di sisi lain, sepak bola adalah hidupnya. Kesempatan menjadi pemain tim nasional junior Inggris yang telah ia peroleh dua tahun yang lalu tak akan datang untuk kedua kalinya. Jika ia memutuskan untuk memilih Hogwarts, maka di saat yang sama ia harus merelakan karirnya.

Nathaniel menghela napas. Bingung. Oke, coba pikirkan baik-baik. Lihat dari aspek yang berbeda. Apabila ia menolak bersekolah di Hogwarts, maka Amanda akan tetap berangkat, sendirian. Lagi. Untuk enam tahun ke depan pula. Damn, tidak, tidak lagi. Keadaan sekarang tak seaman dahulu, jauh lebih berbahaya dengan Kau-Tahu-Siapa berkeliaran dengan bebas di luar sana. Kemungkinan terjadi sesuatu terhadap diri sepupunya tentu lebih besar. Dan ia tak mau itu terjadi. Nat telah bertekad untuk menjaga Amanda apapun yang terjadi. Itu janjinya. Fine, sekarang ia harus memilih, melanggar janji atau mempertahankan karirnya?

Akhirnya. Ia memilih untuk menepati janji.

"Baiklah, Amanda. Sebaiknya kita segera bersiap. Besok kita berangkat ke Diagon Alley," serunya. Nat tersenyum melihat sepupunya mengangguk dengan bersemangat. Tak apalah ia mengorbankan keinginanya, toh ia akan tetap berusaha mengakses segala informasi mengenai sepak bola Muggle. Huft, beginilah nasib seorang penyihir yang selalu berinteraksi dengan komunitas Muggle sepanjang hidupnya. Sejak saat ini hidupnya akan berubah.

Labels: ,


3:26 PM