Sunday, April 12, 2009

Set Adrift on Symphony Bliss-#2

Sekali lagi.

Anak lelaki itu membasahi bibirnya yang kering sebelum kembali memainkan sang alat musik, untuk kedua kalinya mengalunkan partitur yang sama. Edelweiss, Leontopodium alpinum, spesies makhluk hidup yang begitu mengagumkan, memikat hati pribadi yang menatapnya, melengkungkan seulas senyuman pada kontur wajah mereka yang menggenggamnya. Sang lambang kemurnian dan cinta abadi inilah yang menjadi sosok kesayangan Mom, juga menjadi bunga yang paling wanita itu senangi. Sejak Nathaniel kecil, filosofi mengenai Edelweiss telah tertanam hingga ke dasar benaknya--akibat begitu seringnya diperdengarkan--hingga turut menjadikannya salah seorang diantara para pengagum makhluk kecil anggun tersebut.

Pelajaran hidup, bagi penerus keluarga Gladstone adalah mutlak hukumnya, wajib diinjeksi dan didoktrinkan ke dalam cara berpikir masing-masing pihak tanpa terkecuali. Filosofi-filosofi kuno dan kolot, peraturan yang mendikte, semua hal tersebut telah menjadi bagian pokok dan anggota tetap dalam perjalanan kehidupan Nathaniel, berbagai prinsip telah tertulis dalam undang-undang yang tercetak pada lembaran perkamen 'Prinsip Gladstone's'. Ya, ya, kau tahu semua itu benar-benar menjemukan dan sungguh mengekang apapun yang ia lakukan--menyulutnya untuk memberontak sesekali. Nat lebih senang kepada sesuatu yang tidak kaku, tidak terpaku hanya kepada apa yang tertulis saja.

Well, ia beruntung karena Mom seakan mengerti apa keinginannya. Wanita itu dalam berbagai kesempatan selalu mendidik Nat dengan caranya sendiri, lemah lembut, pendekatan secara personal yang benar-benar dapat menyediakan rasa nyaman--amat bertolak belakang dengan Dad. Cara tersebut berhasil dengan gemilang, segala perkataan Mom mampu ia resapi tanpa sisa dengan senang hati. Termasuk salah satu kalimat yang sukses membuat hatinya berdesir sejak kali pertama ia mendengarnya.

Jadilah Edelweiss, dear Nathaniel.


Jadilah Edelweiss. Tentu, Mom, ia bersumpah bahwa ia akan berusaha menjadi sekuntum Edelweiss. Menjadi seseorang yang kuat, mampu bertahan bahkan di tempat-tempat tak terduga tanpa tercemari elemen buruk apapun yang mungkin mengelilinya--tetap bergeming dalam kemurnian. Kau dengar, Mom? Putramu bersumpah, sungguh. Apapun. Apapun yang dapat membahagiakanmu Mom, akan Nat lakukan. Untuk menebus kesalahan luar biasa fatal yang telah ia lakukan empat tahun lalu. Kesalahan fatal yang membuat anak lelaki itu tak mampu memaafkan dirinya sendiri hingga detik ini. Kesalahan seorang anak kecil delapan tahun yang begitu bodoh hingga menyebabkan sang ibu harus mendekam di suatu tempat yang amat tak pantas bagi wanita anggun tersebut.

St. Mungo.

Leher Nathaniel kembali tercekat, sekali lagi menghentikan nada yang tengah mengalun. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat dan menipis. Detik berikutnya ia kembali meniup sang saxophone, masih memainkan lagu yang sama--namun dengan emosi yang berbeda. Lagu riang, benar sekali, seharusnya begitu. Tetapi yang terdengar saat ini adalah melodi kemarahan, tempo yang digunakan berubah menjadi satu ketukan lebih cepat, alunan yang bergaung lirih dimainkan secara tersentak-sentak dengan sengaja. Terserah. Ia tak peduli lagi apakah ada yang mendengarnya atau tidak.

Kemarahan itu muncul lagi. Kemarahan, luapan amukan yang membawa hasrat luar biasa besar untuk menghukum diri sendiri. Jika dirinya tak begitu bodoh waktu itu, Mom tentu masih ada bersama mereka, menyambutnya dengan senyuman menyejukkannya saat libur musim panas. Jika ia tak melakukan kebodohan itu empat tahun yang lalu, Dad tak akan sekeras sekarang, ia pun dapat bermain saxophone di rumah dengan leluasa tanpa harus bersembunyi dari sang ayah. Seandainya saja pada saat itu Nat mendengarkan instruksi dengan baik, ramuan tersebut tak akan gagal. Seandainya saja pada saat itu ia berkonsentrasi penuh, Mom tak akan kehilangan seluruh ingatannya...

Dan apa yang mampu ia lakukan, hah? Menyesal? Menangis? Betapa lemahnya kau, Nathaniel Gladstone. Tak ada tindakan berarti yang pernah kau lakukan, kan? Hanya terdiam. Tak ada satu hal pun yang pernah ia lakukan untuk membalas apa yang telah Mom berikan selama ini. Lihat saja. Di hari ulang tahun ibunya--hari ini--ia hanya bisa mendekam di balik tembok Hogwarts, memberikan alunan lagu dari kejauhan. Cih, APA GUNANYA?

"Kau cukup mahir juga, rupanya, senior."

Lamunan Nat buyar. Terkejut setengah mati mendengar suara entah-siapa-itu, tubuhnya tersentak, lutut kanannya menyepak lampu minyak di samping kakinya dengan keras. Benda itu terlontar beberapa meter jauhnya, kaca pelindungnya pecah berkeping-keping, menimbulkan suara memekakkan yang bergaung ke seluruh penjuru ruangan. Kedua mata Nat membesar tak percaya ketika menyaksikan api dari lampu minyak telah menjalar, membakar sepasang kursi meja dengan. A-astaga.

Ia bergegas bangkit--saxophone tergenggam erat di tangan kanan--untuk menghindari api yang mulai bergerak ke arahnya--terlalu bergegas hingga pinggangnya terbentur ujung salah satu meja, diiringi suara berkelontang ganjil. Ugh. Nat mengerang, memegangi pinggangnya yang sakit, kemudian secara perlahan mengangkat wajah. For God's sake, yang benar saja. 5 orang? 5 orang lain telah berada di dalam ruangan yang sama dengannya--kemungkinan besar sedari tadi--dan ia sama sekali tak sadar? Gila.

Woi, api.

Ya ampun, api, ia lupa. Dengan panik Nat merogoh saku celananya, mencari keberadaan sang tongkat. Tertegun, ia terhenyak sesaat. Tongkatnya tak ada.

Labels: ,


6:17 AM