Saturday, April 11, 2009

Lidahnya masih kelu. Sedari tadi yang mampu ia lakukan hanya membuka dan menutup mulut berkali-kali, tergagap seraya menelan ludah serta menahan nafas, mencoba meredakan detak jantung yang mulai tak normal. Di hadapannya kini telah berdiri sosok yang entah--memang ia inginkan berdiri di sana atau sebaliknya, amat ia inginkan kepergiannya. Seperti yang biasa Amanda saksikan di berbagai kesempatan bertatap muka dengan pemuda itu, alis Lazarus kali ini tak ayal kembali terangkat, sepasang kelereng gelapnya menghujam tepat di titik fokus kedua lensa kecokelatan milik sang gadis. To-tolong jangan menatapnya seperti itu, Lazarus. Ia mohon...

Tatapan khas seseorang yang tak percaya. Amanda tahu. Ia dapat melihat itu. Kalimatnya yang mendeklarasikan bahwa tidak ada yang perlu dijelaskan memang hanya merupakan sebuah kebohongan belaka, kedok payah yang sengaja ia pasang di bagian muka agar pemuda tersebut tak mengetahui apa yang sebenarnya hendak diutarakan olehnya saat tangan kanannya bergerak perlahan untuk menulis surat itu--tadi malam. Tetapi sepertinya sang kedok tak terpasang dengan sempurna, sehingga celah-celah berhasil terbentuk, mengizinkan Lazarus melihat apa yang berada di baliknya dan melontarkan terkaan. Ya kan? Well, bagaimanapun terkaan tetaplah terkaan, kecurigaan semata, tak terbukti, tak dapat dikatakan benar sebelum pemeran utama mengangguk dan mengiyakan. Kelas tiga--sekitar tiga belas tahun, dan bisa dikatakan hampir mustahil jika Slytherin di hadapannya mampu menguasai Legilimens. Amanda tak perlu khawatir kalau begitu. Rahasianya akan tetap terkubur dalam-dalam, tak akan ada yang mampu menemukannya, asal--pikiran nekat yang akhir-akhir ini seringkali menyergap benaknya mampu dienyahkan. Pikiran nekat dan sinting untuk mengungkapkan segalanya.

No way. Itu. Tidak. Boleh. Terjadi.

Pertanyaannya sekarang adalah, mampukah Amanda bertahan dengan rahasia itu? Bertahan selamanya, berkawan dengan perasaan tertekan yang menyesakkan? Alam sadarnya menyatakan bahwa ia mampu. Pasti mampu. Harus mampu. Namun ia sadar, hati kecilnya tak setegar itu. Sugesti yang terus terdoktrin sepanjang hidupnya bahwa seorang Steinhart tak boleh lemah dan harus memiliki keyakinan di setiap hal yang ia lakukan, kemungkinan besar tak akan mempan terhadap bagian terdalam hatinya. Kalau sudah begitu bisa gawat.


"Siapa namanya? Siapa? Oh, ayolah, beritahu kakakmu ini, Amanda."
"I-itu... tidak penting, Leander. Lupakan."
"Beritahu saja, Amanda. Apa susahnya sih."
"Oh, diamlah, Nathaniel," ujar Amanda, kedua matanya mengerling sepupunya penuh arti.
"Ah ya, Nathaniel. Kau bisa memberitahuku, rite? Siapa?" tanya Leander seraya mencondongkan tubuh ke arah anak lelaki dua belas tahun di seberang meja, wajahnya memajang mimik penasaran.
"Nathaniel Gladstone," desis Amanda, "Don't."
Nat menyeringai jenaka, menjulurkan lidah kepada sang gadis, kemudian berkata, "Lazarus. Sylar Lazarus, Leander."
Sebuah bantal melayang, dengan sukses menimpa kepala anak lelaki Gryffindor yang kini tengah tertawa terpingkal itu, disusul pukulan bertubi-tubi di bagian punggung.
"Ya ampun, kenapa harus marah, dear, Amanda?" ucap Leander dengan tawa berderai, menghentikan gerakan Amanda yang tengah bersiap dengan pisau dapur--wohoo, bercanda. "Memiliki perasaan spesial pada seseorang bukanlah suatu kesalahan," lanjut Leander lagi. Amanda tertegun. Benarkah? Benarkah hal tersebut bukan suatu kesalahan?
"So--mengapa tak kau katakan saja padanya?"



Itu dia. Cikal bakal yang menghadirkan pikiran-pikiran nekat di benaknya. Kalimat yang diucapkan dengan begitu ringan oleh Leander, terdengar bagai petir di siang bolong bagi Amanda, kalau kau mau tahu. Gila--tapi sialnya--juga masuk akal. Katakan saja. Haha. Tidak mungkin.

Amanda terpaku saat Lazarus meraih tangannya, mengembalikan lembaran perkamen yang menjadi biang keladi, kemudian memutar langkah setelah mengucapkan sebuah statement penuh ketidakpedulian. Terserah katanya. Dengar, kan? Lazarus sama sekali tak peduli, Amanda. Apa lagi yang kau harapkan? Bagus. Pergi saja sana.

Hei. Sadar, gadis kecil. Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali.


Apa? Kesempatan apa? Bertemu Lazarus dan tak ada orang lain sehingga ia dapat mengutarakan isi hatinya? Dirinya masih waras, maaf saja.

Oh, tidak berani? Betapa pengecutnya kau, Steinhart.


Jangan. Pernah. Menyebutnya. Pengecut.

Kenapa? Memang benar kan?


Frustasi. Marah kepada dirinya sendiri, tanpa sadar dan tanpa berpikir lagi, detik berikutnya Amanda telah berseru, "Tunggu sebentar, Lazarus."

Fine. Pelatuk telah dipicu, kawan-kawan.


Yang pernah baca tulisan di atas, komen donk :| Emang ngena banget? Bukannya narsis, gue cuma bingung. *yang bikin sama sekali gak ngeh*

Labels: ,


7:24 AM