Sunday, June 28, 2009

19.00-#4

What's wrong with me?
What's wrong with us?
What's wrong with we?



Ada yang tidak beres.

Untuk kedua kalinya harus terucap di dalam hati--ada yang salah disini. Bukan hanya satu hal, lebih, dan sama sekali tak terdefinisi apakah kesalahan itu buruk atau sebaliknya. Salah, ya--dua poin.

Poin satu. Ada yang mampu menjelaskan mengapa hatinya mencelos terus menerus? Mencelos saat menyadari seorang Jonathan Larson Baned berada di dekatnya, beriring dengan berlarinya sang kardio tanpa aba-aba disertai desiran asing yang anehnya terasa--menyenangkan. Apa sih ini? Seseorang, siapapun, tolong beritahu gadis itu, karena ia tak mengerti. Sindrom penyakit baru, mungkin, muncul jika bertemu dengan pribadi tertentu. Atau ada masalah dengan sistem sarafnya, mengakibatkan gejala peningkatan tempo detak jantung dan menimbulkan desiran abnormal dalam aliran darah. Atau, kemungkinan lain, diafragmanya tak bekerja dengan baik, menghadirkan efek paralel menuju organ lainnya, mencelos disana, berderap disini, berdesir di tempat lain. Tidak tahu, dan ia sama sekali tak berpura-pura bodoh.

Hah. Bohong.



Fine, benak, kau menang. Ia bohong? Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan seperti itu. Yang benar adalah, dirinya menyanggah. Ya, karena jika gadis lima belas tahun itu boleh mengungkapkan kejujuran, perasaan seperti ini pernah ia rasakan, sekali. Perlukah ia membahasnya lagi? Rasanya tidak, sudah cukup. Perasaan ini--sama seperti setahun yang lalu. Sayangnya, apa yang ia lakukan saat itu dengan gemilang telah berhasil menghujamkan kenelangsaan menyesakkan. Sang perasaan telah berkhianat, dear. Dan setelah semua fakta yang telah menghampirinya, apakah kalian pikir ia mampu untuk jatuh sekali lagi, mengundang seluruh elemen bumi untuk menertawakannya, dan terperangkap dalam kepungan kesedihan--lagi? Tidak, terima kasih banyak. Karena itu, bukankah lebih baik jika ia memilih untuk tertawa saja ketika rasa itu hadir? Mengasumsikan bahwa apa yang merambati hatinya hanya ilusi belaka, berbisik kepada sang benak untuk sadar... bahwa Larry hanyalah teman dekatnya, sahabat baiknya. Tidak lebih, dan amat tidak pantas jika ia berharap begitu. Sanggah. Itu yang terbaik.

Amanda masih bergeming dalam posisinya, menyodorkan syal kuning-hitam dalam genggaman sementara tatapannya tetap tertuju lurus, tak berani mengangkat wajah. Angin tajam kembali menyapa, bertiup kejam. Tengkuknya meremang, tetap ngilu, menjalar menuju seluruh tubuh hingga kepala. Pening. Ravenclaw macam apa ia, pergi keluar asrama di malam bersalju dengan hanya mengenakan sehelai kaus tipis, dan dengan bodohnya menolak secarik syal dari sahabatnya, hm? Tipikal Amanda Steinhart, keras kepala dan amat enggan terlihat lemah. Berujar kepada diri sendiri bahwa tubuhnya tak kedinginan, tak perlu syal, tidak sama sekali. Tampaknya pemuda di hadapannyalah yang membutuhkan sang syal--pendapat. Karena itu ia ingin Larry saja yang mengenakannya.

Tidak usah, terima kasih, katanya? Sudah Amanda duga. Kali ini ia mengerling sang anak lelaki, menghela nafas. Sama-sama keras kepala. Sama-sama menampik fakta bahwa udara begitu dingin. Nice. Kompak sangat. Jadi, apa yang harus dilakukannya? Mengenyahkan kekeraskepalaannya dan mengenakan syal tersebut, atau menjunjung tinggi rasa gengsinya dan menyerahkan kembali benda itu kepada pemilik asli?

"Kau-belum mengerti?"

Mendongak secara keseluruhan kali ini. Ah, ya. Kembali kepada masalah awal, lupakan tentang syal sejenak. Menahan diri untuk tak mengerjap, ia memberanikan diri untuk menatap dua lapis hazel milik sahabatnya, menelan ludah saat menangkap gurat kekecewaan disana. Ah, maaf, seorang Amanda Steinhart memang bodoh. Perlahan dengan ragu, ia menggeleng. Poin kedua, apa yang telah ia lakukan sehingga pertanyaan bagaimana-kalau-aku-tidak-mau-lagi-jadi-sahabatmu terilis, eh? Jika mengangkat tajuk mengerti atau tidak, secara samar yang dimengertinya hanyalah, Larry tak ingin menjadi sahabatnya lagi karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan fatal--ya kan? Tentu saja, apa lagi. Mungkin karena Larry bosan bersahabat dengannya, atau akibat Amanda meminta anak lelaki itu untuk menceritakan masalahnya-

-atau...

Apa yang melesat di benak detik berikutnya sukses membuat sang gadis terperangah. Melihat dari sudut pandang positif. Mungkinkah...?

Ahahaha. Pikiran macam apa itu? Sinting. Kau terlalu berharap, Amanda.

Sadarlah. Ia tertawa dalam hati, mencemooh dirinya sendiri yang dengan 'cerdasnya' mampu menghadirkan kelebatan spekulasi seperti itu. Tak perlu diungkapkan, sungguh. Toh itu mustahil. Menghela nafas lagi, ia bersyukur suaranya telah pulang. "Ada apa sih, Larry?" Masih menatap manik cemerlang itu sejenak. Hanya sejenak, kemudian berpaling. Amanda menggigit bibir, tangannya bergerak, terangkat dan dengan cepat menyampirkan syal dalam genggaman ke atas bahu sahabatnya. So, sang gengsi menang.

"Kau saja yang pakai." Ia mundur selangkah, berharap dengan begitu dentum kardionya dapat mereda. Tetap tidak, astaga. Bagaimanapun, ia memutuskan untuk bergeming di tempatnya, menanti penjelasan. Penjelasan mengapa Larry tak mau lagi menjadi sahabatnya, itu satu-satunya hal yang ia butuhkan saat ini, tak peduli seburuk apapun jawaban yang akan terlontar ke udara.

Semoga yang terbaik. Amin.


(c) What's Wrong (Go Away) by Jennifer Hudson

Labels: ,


10:13 PM


Watching Movie-#2

Benar tidak sih?

Masih penasaran triple kuadrat, sungguh. Sekali lagi, terkalahkan oleh rasa ingin tahunya, sang gadis turut menoleh kembali--bersamaan dengan anak lelaki di sampingnya. Kedua lapis cerulean miliknya bergerak abstrak, menembus kepekatan remang yang menyelimuti, mengandalkan siluet cahaya yang terpancar dari layar super besar yang terpampang di sisi depan. Pupilnya mengecil, kedua sisi kelopaknya menyempit. Tidak diragukan lagi, keriting gimbal itu hanya milik seorang Danielle Monteraz. Dan--bahkan dirinya pun heran akan kemampuan sang indera penglihatan yang mampu merekam siluet-siluet pribadi lain di baris atas, wajah-wajah yang tak asing tersapu oleh pandangannya, sedikit membuatnya tercengang. Let's see... Siapa lagi, eh? Sekali lagi matanya memicing, berusaha mengenali--oke, ada dua orang junior lainnya, seorang gadis dan--itu, Drake Lazarus?

Percaya tidak? Nama belakang itu tak berarti apa-apa lagi. Seriously.

Seseorang yang rasanya ia kenali lagi--Mallandrt. Kali ini mulutnya terbuka beberapa inchi, imbas dari rasa tak percaya yang menghampiri. Istvan, Lazarus, Mallandrt, Danielle, juniornya yang lain, dan mungkin ada lagi? Hm, Sloane Square, Royal Court Theatre lebih tepatnya, telah menjadi tempat liburan para siswa Hogwarts, eh? Tidak akan menimbulkan keheranan jika memang mereka telah mengadakan perjanjian satu sama lain, membuat rencana untuk menghabiskan masa-masa akhir liburan bersama--entah, namun baginya kemungkinan tersebut tak memiliki presentase keakuratan yang tinggi, melihat kombinasi jenis pribadi yang mengambil peran. So, ambil kemungkinan dari sisi lain--pertemuan, gathering hari ini tidak disengaja. Jika memang benar itu yang terjadi, well... luar biasa. Tujuh siswa Hogwarts bertemu muka di Sloane Square tanpa rencana--wajar. Tujuh murid Hogwarts memiliki pikiran yang sama, pergi ke Royal Court Theatre? Tidak aneh. Tujuh penyihir muda memutuskan untuk pergi menonton sekuel kedua Superman pada waktu yang bersamaan tanpa sengaja--err... oke. Ketiga fakta diatas masih berada di garis rata-rata kewajaran, fine. Tetapi, lihat--tujuh pelajar Hogwarts, atau mungkin ada lagi, entah, berada di studio yang sama, duduk di baris yang SAMA dan berdekatan--kenyataan yang mengerikan.

Hogwarts itu kompak. Wow.

"Nonton saja, Amanda."

Ya. Gadis cilik itu menghenyakkan tubuh dengan semestinya di atas tempat duduk, tertawa kecil. Nonton bareng--sama sekali tak menolak. Dikelilingi sekumpulan orang yang ia kenal selalu menghadirkan rasa nyaman tersendiri, kembali membawa angin semilir menyejukkan yang berbisik--ia tidak sendirian. Statement yang selalu membesarkan hatinya saat kelebatan Mum dan Dad mengukung benak.

Hei. Mikir apa sih?

Amanda melirik bungkusan yang baru ia sadari masih tergenggam di tangan kiri, mengeluarkan isinya--popcorn ukuran besar dan sekaleng soda, kemudian menyerahkan keduanya kepada Larry sementara kaleng miliknya diletakkan begitu saja di bagian kiri tempat duduk. "Kau--yang pegang popcorn-nya, ya?" ujar gadis itu, melempar cengiran khasnya kemudian bergegas mengalihkan pandangan ke depan, menantang layar. Sudah sampai mana? Sepertinya kesibukan memperhatikan pengunjung sekitar--dengan kata lain teman-temannya--memberi konsekuensi ketinggalan bagian awal film. Ia bersandar, membenamkan diri ke punggung kursi, berusaha mencari posisi yang nyaman, serta melepas topi birunya. Topi--kemungkinan besar akan mengganggu ruang lingkup penglihatannya, rite? Akan menjadi durasi yang panjang, menurut prediksinya, so, menontonlah senyaman mungkin.

Ah ya, sebelum lupa. Amanda menelengkan kepala ke kanan, berbisik kepada sahabatnya, "Larry. Seandainya aku tertidur di tengah-tengah film, bangunkan ya." Tersenyum sepintas, ia meraup segenggam popcorn, lalu kembali memfokuskan perhatian pada film di hadapannya. Hari ini, kali ketiga bagi seorang Amanda Steinhart bertandang ke bioskop, dan kebiasaan buruknya tak akan terulang. Dua kesempatan sebelumnya, ia sama sekali tak pernah tuntas menonton seluruh durasi film--selalu tertidur di tengah penayangan. Payah. Tetapi tidak kali ini. Tidak akan.

Karena film kali ini adalah Superman.


"Memangnya seru, Paman?"
"Seru, menurutku."
Gadis cilik itu mengerutkan kening, tidak terlalu tertarik. Apa yang seru dari sebuah kisah fantasi tak berdasar seperti itu?
"Mau ikut nonton Superman tidak, Amanda?"
"Superman itu apa sih? Film muggle, aku tidak terlalu tertarik, Nathaniel."
Ia mendongak menatap pamannya, kemudian hanya mengangkat bahu.
"Well, itu film favorit kedua orangtuamu, lho."
Tersentak. Gadis itu terdiam, memandang sang paman yang barusan berbicara. Benarkah?
"Aku ikut."




Karena itu film favorit kedua orang tuanya. Ia tidak tahu sesungguhnya Superman itu makhluk apa. Bahkan dirinya tak dapat menyingkirkan dengusan tak percaya saat melihat adegan tak realistis yang diangkat dalam film tersebut. Tetapi, bagaimanapun ia ingin mengetahui sisi menarik dari film yang satu ini, ia ingin memahami alasan Mum dan Dad memilih sang Superman sebagai tokoh favorit mereka. Apa? Jujur, selama ini ia selalu gagal menemukannya. Coba kita lihat, apakah kali ini ia berhasil.

Backsound berdentum, durasi berderap melintasi waktu. Amanda bergeming, begitu serius memperhatikan alur, seraya berkali-kali merogoh popcorn di samping. Astaga, tetap saja ia tak mampu menemukan sesuatu yang spesial dari tayangan film yang tengah terpantul di lensa kecokelatannya. Hanya seorang--atau apa? Entah--yang mampu terbang tanpa sapu, baik hati, suka menolong dan rajin menabung--oke, yang terakhir tidak serius. Tolong beritahu ia dimana letak keistimewaannya, please.

Well, setidaknya sudah setengah jalan.

Rasanya lama sekali Amanda telah duduk di dalam sini, berkutat dengan ketidakmengertian yang menderanya. Gadis cilik itu memeluk tubuhnya sendiri. Dingin. Temperatur di dalam sini berbeda jauh dengan di luar, dan faktor ini turut mendukung kebodohannya untuk hadir--lagi. Ia merutuki diri, saat sinar lensa kecokelatannya mulai meredup, matanya berulangkali tertutup. Ayolah, Amanda. Tuntaskan dulu.

Ia tahu ia tak akan pernah berhasil.

Kepala gadis itu terkulai ke samping kanan--ke atas bahu sahabatnya, nafasnya terhela teratur sementara sepasang matanya tertutup. Salahkan keegoisan tubuhnya yang letih, yang sukses mengalahkan keinginannya. Terulang lagi, kan.

Payah.

Labels: ,


9:52 PM

Friday, June 26, 2009

The Saxophone-#2

Menarik.

Sepasang hazelnya kembali mengerling sang alat musik disana, tangan dalam saku. Antik, terlihat jelas dalam sekali pandang, dan itu menjadi daya tarik lebih baginya. Nathaniel bergeming di tempat dalam diam, mencermati tiap jengkal struktur yang mampu tertangkap oleh indera penglihatannya. Saksofon milik Holmquist--bagus. Kali ini ia tak berkeberatan untuk berkata jujur, sungguh. Saksofon miliknya juga tak kalah bagus, tentu saja, namun sebuah kata 'antik' mampu menambah esensi keindahan sang alat musik, menyiratkan nilai tambah--dan ia yakin gadis Slytherin di hadapannya tak mengetahui hal tersebut.

Dengar kan? Nat mengangkat sepasang alisnya, menahan diri untuk tak mendengus. Ya, tentu saja, bahkan Holmquist tak tahu bagaimana cara memainkannya. Tak perlu heran kalau begitu. Sebentar--rongsokan? Kau pasti bercanda. Ia hanya melempar senyum tipis, sedikit tak percaya akan apa yang telinganya tangkap barusan. Sebuah saksofon tak akan pernah bisa menjadi rongsokan, nona manis, kau saja yang tak mengerti. Dan menilik kalimat terakhir yang terilis, benaknya dengan mudah mengambil dua kesimpulan. Pertama, saksofon tersebut merupakan sebuah pemberian, tak mungkin sang gadis membeli jika ia tak mengerti sama sekali--apa itu saksofon pun mungkin ia tak tahu. Benar atau tidak, well, tak terlalu peduli juga, whatever. Kesimpulan kedua, sebenarnya tak perlu diungkapkan pun telah banyak yang mengetahuinya, ia yakin--Slytherin memang cerdik, harus ia akui. Mengambil keuntungan dalam tiap kesempatan yang hadir dan mampu menelisik celah yang tercipta. Tak berbeda dengan seorang Isla Holmquist, nampaknya. Memasang plang 'DIJUAL' dan duduk menunggu pembeli, eh? Lucu. Serius. Tidak pernah melihat pemandangan unik seperti ini sebelumnya, ngomong-ngomong.

Kardionya sejenak terlonjak saat secara tiba-tiba sebuah tangan mengait lehernya dari belakang--seseorang yang tak asing, bisa ditebak. Pemuda empat belas tahun itu memutar leher, mengalihkan kedua matanya dari objek terdahulu. Kim, siapa lagi. Nat mengedikkan kepala dan menyeringai samar, melepaskan diri dari teman seasramanya. "Oi, Kim," ucapnya singkat, kemudian kembali menumbukkan tatapan ke arah gadis dan alat musik di hadapannya. Sejak kapan Kim memanggilnya anak muda? "Tidak sedang ngapa-ngapain." Tetap menatap lurus saat kalimat kembali terdengar dari mulut Kim, dan kali ini kening Nat berkerut. Apa maksudnya menggantungkan ucapan seperti itu, ha? "Tidak mengerti maksudmu," ujarnya kepada anak laki-laki berparas Asia di sampingnya, mengerling dengan kerutan masih tergurat di dahi. Aneh. Bagaimana kalau apa?

Dan Holmquist pun berpikiran sama dengannya. Seorang JoongBo terkadang memang memiliki pikiran yang sulit dipahami--atau memang dirinya yang payah? Terserahlah. Pertanyaan konfirmasi dari gadis di hadapannya terlontar. Ada yang mau membeli saksofon tersebut--tua namun kualitas bagus, harga bisa nego. Oh, man. Masih bersikukuh untuk menjual, rupanya, sama sekali tak mengindahkan sarannya. Membeli saksofon itu? Tertarik, sebenarnya. Hanya saja, sayang sekali saksofon perak miliknya masih baik secara keseluruhan, sama sekali tak menunjukkan tanda perlu digantikan oleh benda sejenis yang baru. Saksofon antik tak dapat ditemui dengan mudah di tepi jalan atau toko loak di London, ia amat tahu itu, dan toh masalah uang tak perlu dipermasalahkan. Sialnya, yang jadi permasalahan--satu-satunya dan yang terbesar--adalah : Dad. Apa yang akan dilakukan sang ayah jika mengetahui alat musik yang paling ia hindari untuk dilihat malah berkembang biak menjadi dua alih-alih menghilang sesuai keinginannya? Kemarahan tingkat tinggi, tak diragukan lagi. Dan kemarahan seorang Amethyst Gladstone merupakan hal terakhir yang ia cari. So-

-lupakan ide untuk membeli.

"Sudah kubilang, kan-" Nathaniel membungkuk, meraih saksofon yang tergeletak begitu saja di atas rerumputan, "-jangan dijual." Detik berikutnya sang alat musik mulai bersenandung, melontarkan nada-nada sebagaimana mestinya. Edelweiss, lagu favoritnya juga Mum. Kali kedua ia melantunkan nada yang sama di dalam Hogwarts--tetap saja hatinya mencelos selama beberapa saat, teringat lagi akan seorang wanita bernama Antoinette Gladstone. Ibunya.

Sial.

Hanya sesaat, lalu berhenti. "Saksofon itu menarik, Holmquist, kalau kau belum tahu." Nat turut mengambil tempat duduk di bawah pohon, bersila. "Well, kelihatannya kau memang tak tahu."

Labels: ,


7:16 AM

Thursday, June 25, 2009

19.00-#3

Ia cerdas?

Tidak. Selalu terlontar dari berbagai penjuru, namun mereka tak tahu bahwa kalimat tersebut tak tepat jika ditujukan padanya. Tidak cerdas. Pintar--sebagai seorang Ravenclaw, mungkin. Hanya pintar dalam mengingat, dear. Namun tak cerdas dalam bertindak. Tak pandai dalam memilih kata-kata yang terucap. Tak handal berpikir cepat maupun mengontrol benak, selalu mengalah kepada perasaan. Itulah Amanda Steinhart. Dan itu--fakta.

Bukti?

Apakah peristiwa yang telah terjadi selama ini tak cukup untuk menunjukkan sang elemen bertajuk bukti? Ia rasa cukup. Setahun lalu--jika ia diizinkan untuk kembali membahas insiden 'aneh' di jembatan--semua terjadi akibat kebodohannya, kelalaiannya dalam menahan ucapan, hati kecil yang begitu mendominasi, dan lain-lain, dan lain-lain. Tanpa keraguan, dan apakah kalian masih menganggapnya gadis Ravenclaw yang pintar? Jangan, sarannya. Ia bukan Ravenclaw sejati, dan nampaknya tak akan pernah bisa. See, dan malam ini kebodohan itu terjadi lagi. Terjadi lagi akibat kelugasan sang indera bicara, dan tercipta tanpa membolehkan saraf otaknya berpikir dua kali.

Kuharap persahabatan kita juga seperti itu.

Naif. Gadis itu masih terpaku di tempat, sorot matanya kini terpancang tanpa fokus ke arah kepekatan di luar sana, membiarkan desau angin menusuk kulitnya dan menghempas helai kecokelatan yang jatuh di pipinya. Menggigit, nyaris beku. Namun bergeming, tak ada keinginan untuk menggubris syal dalam genggaman. Bukan enggan dan tak menghargai, bukan itu. Hanya saja benaknya terlalu sibuk tertawa, menertawakan sang diri atas statement yang meluncur begitu saja beberapa saat yang lalu. Kuharap--kata pengantar yang merujuk kepada harapan dan permintaan. Entah, ia sama sekali tak mampu memprediksi bagaimana tanggapan Larry, tetapi rasanya kalimat yang ia ucapkan barusan, yang kini berulang di dalam kepalanya, terdengar amat konyol. Terdengar memaksa, ya. Maaf, dirinya sama sekali tak bermaksud memaksa anak lelaki di sampingnya untuk berbagi, tidak--terserah Larry. So, mengapa pula ia melontarkan penjelasan panjang lebar layaknya tadi, hm? Dasar bodoh.

Belum tentu juga sahabatnya mengerti. Dan... belum tentu juga seorang Jonathan L. Baned berpikiran sama dengannya.

Hanya khawatir. Itu saja. Tak bolehkah? Salahkah ia jika mencemaskan sahabatnya? Salahkah jika hatinya hendak menawarkan bantuan?

Tubuhnya ngilu, ngomong-ngomong. Amanda mengangkat kedua tangannya, kembali menghembuskan nafas tepat ke arah jemarinya, berusaha mengenyahkan rasa dingin yang mengekang. Ck, payah.

Tersentak, kali ini. Respon itu akhirnya datang, berupa kalimat yang membuatnya terpaku di titik ia berdiri. Tak mau lagi... membentuk ikatan kovalen dativ? Amanda memutar tubuh sembilan puluh derajat, sepasang hazelnya mengerjap tak mengerti sementara guratan samar terbentuk di keningnya. Tertegun sejenak saat menyadari jarak antaranya dengan pemuda Hufflepuff telah bertambah dekat tanpa peringatan, ia merasakan dentum kardionya berjalan tak wajar.

Eh? Kenapa, Amanda?



Itu hanya Larry, dear, tak perlu gugup begitu.

Benar. Sang gadis menatap sepasang manik redup milik seseorang di hadapannya, melempar pandangan tak mengerti. Apa maksud pertanyaan itu?

Tak perlu berspekulasi terlalu lama, ternyata. Penjelasan konkrit mendarat bersamaan dengan pertanyaan kedua yang bergaung di udara. Dan hatinya mencelos. Pertanyaan yang satu ini--benar-benar terhempas kuat ke arahnya, membuat tubuhnya meremang, sensasi menyesakkan memenuhi rongga diafragmanya.

"Ke-kenapa?"

Spontan. Tak terpikir kata lain dalam benak. Kenapa? Ada apa? Kenapa Larry berkata seperti itu?

"Aku--salah apa?"

Jantungnya kian berderap cepat. Amanda menelan ludah, merilis nafas berembun yang tanpa sadar tertahan sejak tadi. Ada yang salah. Ia telah melakukan suatu kesalahan, ya kan? Sialnya, ia tak tahu apa. Ia tak sadar atau bagaimana--ia pun tak mengerti. Gadis Ravenclaw itu kini menunduk, menatap sepatunya sementara benaknya berputar cepat, membuka arsip memori yang tersimpan. Apa yang salah? Apa yang telah ia lakukan hingga Larry enggan bersahabat lagi dengannya? Terpekur, Amanda memilin syal dalam genggamannya, berbagai macam hal berkelebat dalam kepalanya. Ayolah, temukan satu alasan yang kira-kira menjadi penyebab.

Well, tampaknya kesalahannya memang banyak. Ingat--insiden di jembatan, yang nampaknya membuat Larry berubah sikap, entah mengapa. Dan ia baru sadar, dirinya telah banyak menyusahkan sahabatnya yang satu ini, merepotkan selalu. Atau mungkin, kesalahan utama terletak pada penjelasan ikatan kovalen dativ yang terpapar beberapa saat lalu? Mungkinkah?

Sama sekali tak tahu. Oh my. Ini buruk.

"Aku... minta maaf kalau begitu, Larry," ujarnya lirih, masih menunduk menatap sepatu olahraganya, dan detik berikutnya sang tangan kiri telah terayun, menyodorkan syal kuning-hitam kepada pemilik aslinya. "Ini. Kau saja yang pakai."

Action block. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Maaf.

Labels: ,


2:34 AM

Tuesday, June 23, 2009

Blind Date-#1

"SERIUS?!" Dan tawa berderai, melukis tekstur jengkel di raut sang pemuda.

"Kenapa tertawa?" tanyanya cepat, sarkastik.

Kali ini tak ada jawaban. Hanya terdengar suara tawa yang ditahan--namun tak terlalu berhasil. Sang anak laki-laki empat belas tahun mengerling sepupunya dengan jengah. Ah. Dugaannya tepat, kan. Tawalah yang akan timbul pertama kali sebagai respon. Sudah pasti.

"Iseng, Amanda."

Gadis di hadapannya mencibir, menyikut rusuknya pelan. "Hm? Yakin? Ah, sepupuku sudah dewasa rupanya." Sebuah tepukan di pucuk kepala. "Apa yang kira-kira akan Paman Amethyst katakan jika tahu sang Gladstone junior ikut kencan buta ya?"

Nathaniel mengerang. "Oh, please, Amanda--"

"Tidak, tidak, tenang saja. Rahasia. Janji." Gadis itu mengedipkan sebelah mata, mengambil sekotak cokelat kodok lagi. "Ngomong-ngomong, Nat, kukira kau hanya akan bersedia kencan dengan Marvil."

No response. Kalimat telak. Pemuda Gryffindor itu tertegun sejenak, menelan ludah sebelum mengangkat bahu. "Well... tidak tahu."





Tidak boleh menyesal.

Berjalan malas menyusuri koridor lantai empat, ia menatap batu pualam tempatnya berpijak, mengamati dengan seksama kemana langkahnya hendak bergerak dalam setiap jengkal, setiap depa. Ragu? Ya, saat ini rasa bimbang mengetuk benaknya, mempertanyakan keputusan yang telah dibuatnya. Blind date? Oh, man. Apa yang dipikirkannya waktu itu, sih? Siapa yang mengambil alih impuls sarafnya dan membuat tangannya bergerak, mendaftarkan diri? Tidak ada. It's just him, tetapi ketika saat yang ditentukan tiba, yang ada hanya kebingungan akut.

His first date is blind date. Dan itu terdengar buruk. Baginya.

Tapi tak ada yang bisa dilakukan, ha. Langkah enggannya terhenti tepat saat pintu tujuan telah terpampang di hadapannya, nafasnya terhela dengan berat. Hadapi saja--siapapun yang menjadi pasangannya, apapun yang akan terjadi, tak perlu terlalu dipikirkan. Toh hanya event iseng biasa, event asrama kebanggaannya, sekedar mengusir kepenatan dan rasa jenuh yang akhir-akhir ini sukses mendominasi. Rite? Benar begitu. Hanya begitu saja, Gladstone, tak perlu khawatir. Perlahan, masih dengan keraguan yang memeluk batin--serta keinginan kuat untuk memerintah kakinya agar berbalik dan berderap kembali menuju ruang rekreasi--ia membuka pintu kelas kosong. Dan masuk.

Dan terdiam.

Remang. Sapuan cahaya hanya menari di titik-titik tertentu, membentuk siluet-siluet yang saling menyapa abstrak, melayang dalam satuan jajar berpola. For Merlin's sake--apa yang ia saksikan, eh? Tak perlu bertanya, sebenarnya--candle light dinner. Very nice. Dirinya berbohong jika mengaku tak terkejut. Diluar prediksinya, jika boleh jujur, dan fakta ini membuat rongga diafragmanya kembali mencelos tak nyaman. Makan malam dengan gadis yang ia tahu-saja-belum-tentu sudah tampak buruk, dan sekarang ditambah dengan properti bercahaya redup dan setting tempat bak roman picisan? Great. Pasrah, Nat mulai bergerak gontai, manik kecokelatannya menelusuri tiap kartu yang melayang beberapa sentimeter di atas masing-masing meja, mencari nomor yang tertera dalam undangan miliknya.

Tiga. Disana.

Hanya kegiatan iseng, Gladstone, tenang saja./p>

Fine. Berterimakasihlah pada sang benak yang senantiasa mengingatkan, mengizinkan hatinya untuk merilis tawa tertuju kepada dirinya sendiri. Nathaniel mengambil posisi duduk dalam satu gerakan, kemudian bersedekap tanpa suara. Siapapun junior yang menjadi 'partner'-nya malam ini, gadis itu belum datang. Pandangannya kembali berputar, menatap satu persatu pribadi yang hadir--dan secara refleks mengerling setelan yang ia kenakan. Kontras. Salah kostum nampaknya--well, tak peduli. Nat mendengus samar saat menyadari pakaian apa yang ia pilih untuk event kali ini, so simple. Celana jins kelabu dengan T-shirt dan jaket hitam. Tak berlebihan. Sama sekali tak terlintas di kepalanya untuk mengenakan pakaian resmi--tidak, tentu saja tidak, ia tak seniat itu. Katakan ia payah, terserah. Toh tak ada yang spesial, dan hanya dilakukan hari ini, untuk Gryffindor. Sekali-sekali keluar dari jalan pemikirannya yang kaku dan monoton, tak ada salahnya, rite?

Benar. Tak menerima bantahan.

Apa sekarang?

Well, relakan diri kepada sang aktivitas menjengkelkan. Menunggu.

Labels: ,


7:31 AM

Tuesday, June 16, 2009

19.00-#2

Di tempat yang berbeda, sudut pandang turut berbeda. Berdiri pada koordinat yang berbeda pula. Kerlingan matanya kini terarah pada kepekatan sang penaung bumi di atas sana, berusaha mengabaikan para bulir putih bersih yang jatuh bebas, masih berharap dapat melihat setitik pendar keemasan mengerjap. Sama saja. Nihil. Perbedaan itu sama sekali tak berpengaruh. Bahkan menjejak di atas menara tertinggi pun tak mampu merealisasikan harapannya.

Hei. Itu tidak penting sekarang, Amanda.

Benar. Perhatiannya kali ini tertuju lurus, masih dan belum berubah, kepada wajah di hadapannya. Tidak suka. Gadis itu tak senang melihat relief wajah seperti itu. Katakan ia sok tahu, silahkan--tetapi seandainya kalian semua bersedia untuk percaya, gadis lima belas tahun yang tengah berdiri disana itu memiliki kemampuan untuk membaca mimik secara akurat. Dan tak ada gunanya kau berbohong--tertebak. Serius. Amanda mengerjap, menegakkan kepalanya dan menunggu. Ada apa dengan sahabatnya, hm?

Oho, kedutan di bibir seperti itu tak perlu kau lontarkan, Jonathan. Sang gadis tertegun sejenak, sepasang alisnya merapat saat melihat sosok di hadapannya melepas syal yang dikenakan kemudian-- memberikannya? Eh? Selama beberapa detik ia hanya terdiam, menatap syal dan pemiliknya secara bergantian, lensa kecokelatannya berpendar tak mengerti. Apakah barusan ia mengungkapkan bahwa dirinya kedinginan? Rasanya tidak. So, dua kemungkinan, Larry berspekulasi, atau--gestur tubuhnya menunjukkan seperti itu? Ia tak merasa, sungguh. Well, apapun itu, ada yang aneh--kegugupan itu hadir. Tanpa alasan yang jelas dan tanpa bisa dicegah. Amanda menunduk, menatap sepatunya sekilas, kedua tangan di dalam saku. Jadi, hendak membiarkan saja tangan Larry terulur, dear? Atau bahkan menolak? Ia tahu, itu bukan sikap yang baik. Menolak niat baik seseorang itu bukan sikap yang tepat--tetapi benaknya terus berbisik, memberi sebuah sugesti yang telah seringkali timbul di beberapa momen dan telah terpatri dalam. Jika dirinya menerima syal tersebut... ia akan terlihat lemah. Payah, dingin pun mampu mengalahkannya. Tapi--

Oh ayolah, Amanda. Akankah kau menolak untuk kedua kali? Seperti saat insiden di danau tiga tahun yang lalu?

"Larry, err--maaf... Aku... sudah mengenakan jubah... um, see?"



Seperti itukah? Tidak. Tidak lagi. Amanda menggerakkan tangannya perlahan, menerima benda khas asrama musang tersebut dengan sedikit ragu. Senyum lemah terlukis. "Terima kasih." Kemudian diam. Hanya digenggam, tak dipakai. Ia tidak kedinginan, kok. Tidak terlalu.

"Aku oke. Kenapa ada disini?"

Oke, katanya. Sang gadis memperkecil pupil miliknya, melempar tatapan menyelidik. Oh my, Larry, kau bohong. Seorang Amanda Steinhart tak dapat dibohongi, dear. Ia menghela nafas, membiarkan keheningan kembali memimpin sejenak. Kau tahu apa artinya itu? Bahkan sahabatnya tak percaya padanya. Hal yang wajar--ia bukan pendengar terbaik. Bukan tempat yang tepat untuk menumpahkan segala keluh kesah. Juga bukan sahabat yang baik. Begitukah? Ah, ya, dan mengenai pertanyaan yang terlontar... Kenapa, Amanda? Kenapa kau kesini? Itu--

Untuk bertemu denganmu, Larry, apalagi.



"Err... Langit disini... sepertinya bagus." Apakah benar ia yang berbicara barusan, ha? Terdengar aneh, sangat, nada gugup itu masih melekat. Ia tak pandai berbohong, ternyata.

"Bisa tolong temani-sebentar? Ahaha."

Amanda mengerjap, menatap manik sang pemuda Hufflepuff, tak kuasa menahan senyum heran. "Tentu. Mengapa tidak?" ujarnya gamblang, kemudian langkahnya berputar menuju ambang jendela. Boleh jujur? Ia tengah merutuki dirinya sendiri detik ini. Bertanya dan protes karena tak menemukan jawaban mengapa sensasi berdesir itu merayapi hatinya. Sensasi menyenangkan--jangan tanya kenapa. Gadis dengan surai kecokelatan itu mengangkat wajah, untuk yang kesekian kalinya menelusuri langit malam penuh kesuraman tanpa titik cerah, sadar sepenuhnya bahwa peneropongan bintangnya hari ini gagal total, berganti tujuan. Menemani sahabatnya. Hm...

Masih ada yang mengganjal di hati. Ia belum tahu ada apa dengan Larry, rite? Tidak bisa begitu. Sama sekali tak bisa. Namun dirinya juga tak memiliki hak untuk memaksa--terlebih jika menilik sikap sang sahabat yang terlihat begitu enggan memaparkan dan menjelaskan. Ya... oh, Larry harus dengar sesuatu.

"Hei, Larry," panggilnya lirih, pandangan tak beralih, tetap lurus ke atas sana, kepada sang maha langit. Ada sesuatu--yang tiba-tiba terlintas. "Apakah kau pernah mempelajari kimia? Materi muggle, yeah, memang. Menarik tapi, bagiku." Jeda sejenak, menarik nafas dan menghembuskannya cepat. "Ada satu... yang selalu kuingat hingga detik ini sejak pamanku menjelaskan panjang lebar--satu, yang selalu kujadikan perbandingan." Amanda menunduk, tercenung sebentar, kemudian menoleh dan menatap sahabatnya, lagi. "Apakah kau pernah mendengar istilah... ikatan kovalen dativ, eh, Larry?"


"Ti...dak mengerti, Paman. Haha."

"Ck. Mudah kok. Dua molekul saling berikatan, erat, dan menggunakan elektron secara bersama-sama. Itu saja."

"Itu... namanya?"

"Ikatan kovalen."

Gadis cilik itu mengangguk, mulutnya membulat. "Yang ini? Sama saja, ya?"

"Tidak. Berbeda, dear. Itu ikatan kovalen dativ."

"Bedanya?"





Tak menunggu jawaban. "Kovalen dativ, istilah yang seringkali membuatku tersenyum--well... Persahabatan itu ibarat ikatan kovalen dativ, Larry--" Engsel lehernya kembali berputar, menatap keluar jendela tanpa fokus yang jelas, kemudian melanjutkan, "--mengikat, namun tak mengekang. Dan yang membuat mereka unik, berbeda dan menyenangkan--" Amanda menyelipkan rambut kecokelatannya ke belakang telinga, tersenyum, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. "--mereka selalu berbagi."

Hei. Melantur.

"Kuharap persahabatan kita juga seperti itu."

Mengertikah? Tidak juga tak apa. Detik berikutnya gadis itu tersentak, mendengus tak percaya. Untuk apa ia berujar seperti itu? "Ah, maaf, Larry. Lupakan."

Labels: ,


3:36 PM

Monday, June 15, 2009

Kelas 4-#2

Sometimes--we guard people from the truth to protect them from being hurt, but by doing that we only hurt them more in the long run...



Tepat. Kutipan itu--bagus. Tercetak dalam huruf tebal di halaman pertama novel muggle favoritnya. Menjadi kalimat yang secara spontan terlintas dalam benaknya saat ini, terkondisikan dan terpatri dalam, mengiringi rasa kesal yang masih hinggap. Bisikan 'sudahlah-Amanda' terus bergaung, namun kejengkelan itu tak jua surut. Ck. Seorang gadis bernama Amanda Steinhart memang memiliki kesabaran di atas garis normal--ia harap begitu--tetapi jika dirinya terlanjur dibuat kecewa, akan sulit meredakannya kembali. Sulit untuk memanggil kepercayaannya lagi--jika ia dibohongi. Dan emosinya tengah berada pada tingkatan tersebut saat ini. Bukan sesuatu yang baik. Percayalah.

Amanda menggelengkan kepala samar, benaknya berteriak, sugesti dilancarkan melalu impuls menuju sang batin--lupakan sejenak, dear. Waktunya belajar. Waktunya berdiskusi, lebih tepatnya. Jawaban yang terlontar dari pemuda di sampingnya secara otomatis menggerakkan tangan kanannya, mengangkat pena bulu, menggoreskan tinta di atas perkamen, memulai. Apa katanya? Departemen Hubungan Sihir Internasional? Gerakan tangan terhenti, benaknya berputar. Benar, lantai lima, dan mengurusi kerjasama sihir internasional di berbagai bidang, tentu saja. Apa lagi yang pernah dijelaskan Leander mengenai kementrian, eh?

"Sekarang giliranmu, babe!"

Ha? Dengusan terilis--oh my, tak bermaksud, sungguh. Amanda berusaha menahan tawa juga ketercengangan yang melanda saat kalimat tersebut tiba di telinganya. Babe? Oh, ridiculous. Sebenarnya tak akan menjadi sesuatu yang mengherankan jika kata itu terlontar dari mulut orang lain. Tapi ini? Seorang Fabios Dutie--aneh. Padahal Amanda telah mempersiapkan diri menghadapi kalimat sarkasme yang terbiasa diucapkan anak laki-laki Gryffindor tersebut, berjanji tak akan menggubrisnya seperti saat di kelas Pemeliharaan Satwa Gaib setahun lalu. Tapi--well, di luar prediksi.

"Oke. Yang kutahu--Departemen Hubungan Sihir Internasional..." Gadis itu mengetuk-ngetukkan pangkal pena bulu dalam genggamannya ke dagu, mencoba mengingat. Leander telah menjelaskan panjang lebar mengenai kementrian sihir, kalau ia tak salah ingat--dan fakta tersebut sungguh ia syukuri saat ini. "...terdiri dari 3 sub departemen, yaitu Badan Standar Perdagangan Sihir Internasional; Kantor Hukum Sihir Internasional dan Konfederasi Sihir Internasional, Kantor Pusat Inggris. Anggota sub departemen Konfederasi Sihir Internasional dipilih oleh sang menteri sihir dengan persetujuan Wizengamot, dan dikepalai oleh seseorang dengan gelar "Supreme Mugwump" atau pemimpin tertinggi. Yang pertama kali ditunjuk sebagai Supreme Mugwump adalah Pierre Bonaccord, namun penunjukkannya sempat ditentang oleh para penyihir di Liechtenstein, berkaitan dengan pendapatnya mengenai penghentian perburuan-Troll dan penentuan hak Troll. Err..." Amanda mengerling Dutie, sedikit merasa tak enak karena bicara panjang lebar. Hm, tak terlalu panjang lebar juga sebenarnya--banyak kalimat Leander yang tak mampu ia ingat. Fine, sepertinya cukup untuk departemen yang satu itu. Ia membubuhkan titik di akhir kalimat yang tertulis di atas perkamen, menghela nafas.

"Next. Departemen Transportasi Sihir." Semakin cepat selesai semakin baik. Ia mencelupkan pena bulu ke dalam botol tinta, seiring dengan gerakan menyelipkan rambut ke belakang telinga. Siap menulis lagi. "Yang kutahu, departemen ini mengatur segala hal yang berhubungan dengan transportasi sihir, baik itu hal-hal mengenai regulasi maupun aplikasi. Berada di lantai keenam kementrian, dan memiliki empat sub departemen." Berhenti sejenak untuk menarik nafas, gadis itu kemudian melanjutkan, "Yang pertama, Autoritas Jaringan Floo, mengatur dan mendata perapian mana sajakah yang terhubung dengan jaringan Floo. Hal ini tak dapat dilakukan bahkan oleh seorang penyihir berkualifikasi tanpa akses istimewa dan/atau peralatan sihir spesial. Pegawai Autoritas Jaringan Floo memiliki kemampuan untuk memonitor koneksi Floo dan mampu mendengar percakapan yang berlangsung melalui jaringan tersebut. Hm... Well, bagaimana menurutmu, Dutie?" Menoleh ke arah pemuda di sebelahnya, Amanda kini memuntir sang pena bulu, memainkan dengan jemarinya. Giliranmu, Dutie.

Omong-omong, ia baru sadar--ada Larry. Amanda menatap anak lelaki Hufflepuff di kejauhan, matanya mengerjap. Hari ini memang sedikit berbeda, dengan kekesalan yang telah muncul sejak awal, bahkan dirinya lupa mencari sahabatnya terlebih dahulu saat langkahnya menjejak kelas. Terbiasa berpartner dengan seorang Jonathan L. Baned, kau tahu. Tapi--ya, lagipula sahabatnya sudah dengan Windstroke. Ya sudah.

Perutnya terasa aneh. Sensasi ini--

Kenapa dear? Hm?



Ti-tidak. Hanya lapar. Mungkin.


Credit to http://www.hp-lexicon.org/about/books/op/rg-op28.htmlthis & http://harrypotter.wikia.com/wiki/Ministry_of_Magic

Labels: ,


1:46 AM

Saturday, June 13, 2009

19.00-#1

Here. Menara Ravenclaw.

Sirius? Nope.

Hanya satu--lapisan kepekatan tanpa pendar. Sigh. Gadis cilik itu menghela nafas, menurunkan sang properti utama. Benar, tidak ada Sirius. Canopus, Arcturus, atau Alpha Centauri mungkin? Tidak juga. Mereka kompak hari ini atau bagaimana? Detik berikutnya, sang telapak tangan kanan dengan patuh melaksanakan tuganya, menopang dagu gadis itu, gadis di tepi jendela, sikunya bertumpu pada ambang lengkung tanpa kaca di salah satu sisi menara. Payah. Benar-benar payah. Prediksinya salah--tak beruntung, ya, terlebih lagi disertai fakta bahwa sesungguhnya ia tak mengerti sama sekali mengenai konstelasi dan perbintangan. Sedikit mengangkat wajah, lensa kecokelatannya bergulir, berusaha menemukan setidaknya sesuatu--sesuatu yang dapat ia amati di atas sana. Tetapi tampaknya sang langit tetap bersikukuh menyembunyikan para pencipta cahaya yang biasa menyapa. Kecuali satu, tentu saja.

Bulan.

Well, teruntuk personil langit yang satu itu, alat dalam genggamannya tak begitu diperlukan. Amanda mengerling--teropong, atau teleskop, entah--apapun itu, yang berada di tangan kanannya, kemudian kembali melayangkan pandang ke luar jendela. Teleskop bintang, dear, benar, hadiah ulang tahun dari sang kakak yang tiba dua hari yang lalu. Hitam, dengan panjang awal sekitar sepuluh sentimeter namun dapat diperpanjang hingga satu meter, dan hanya diperuntukkan bagi satu sisi mata--nice, dan bukan teleskop biasa, tentu. Ia sama sekali tak mampu memprediksi apa yang berada di benak Leander hingga pemuda itu memilih sebuah teleskop sebagai hadiah, bukan sesuatu yang lain. Dirinya tak merasa pernah mengatakan bahwa ia penggemar mata pelajaran astronomi, atau seseorang yang senang memandang langit malam dengan seksama, tidak. Rasa bingung masih terselip di hati, namun rasa penasaran juga turut menyeruak ke baris terdepan, meyakinkan benaknya untuk berkompromi dengan sang raga--berangkat ke salah satu jendela di menara asrama, berharap dapat melakukan observasi singkat setelah berspekulasi asal bahwa malam ini adalah malam yang tepat. Tapi ternyata justru langit di atas sanalah yang enggan tersenyum saat ini.

Penyebab utama kegagalan telah ditemukan. Amanda membuka telapak tangan kirinya, menjulurkannya keluar--dan merasakan titik-titik lembut merebahkan diri dengan nyaman disana. Salju. Tak heran kalau begitu. Gadis itu mengangkat sang teleskop sekali lagi, mendekatkan mata kanannya dan menutup yang sebelah kiri--jangan putus asa. Dalam surat yang ditulis Leander, deskripsi serta cara penggunaan terjabarkan dengan jelas, membantunya memahami tiap-tiap bagian yang eksis pada tubuh sang teleskop. Dijelaskan, keterangan detail mengenai benda langit, apapun itu, akan muncul begitu sensor menangkap keberadaan sesuatu, memberikan informasi bagi penggunanya dengan akurat. Well, mungkin setidaknya benda ini dapat digunakan untuk mengangkat nilainya dalam mata pelajaran astronomi. Amin.

Masih bergerak--menjelajahi kepekatan tanpa titik cahaya. Amanda menggeser benda tersebut perlahan, meniti tiap jengkal langit yang terbentang jauh di hadapannya. Sudah lima belas menit, omong-omong, dan lehernya mulai pegal. Memutuskan untuk mengganti haluan, ia menurunkan sang teleskop, mengarahkannya ke objek yang berdiri dalam hening di bawah sana. Terlihat jelas dari sini--gubuk Hagrid dan hutan terlarang, desau angin teriring menghembus pucuk pepohonan. Lagi, bergeser lagi tanpa tujuan yang jelas. Tidak menarik. Tidak ada sesuatu yang dapat diama--eh? Sebentar. Itu--

Pesawat kertas?

Dahinya berkerut. Bukankah seharusnya tiap siswa tengah berada di Aula Besar untuk makan malam, hm? Ya, seharusnya sih begitu, termasuk dirinya--tidak lapar, dan Amanda enggan meneropong bintang jika banyak pribadi yang berlalu lalang di belakang punggungnya. Karena itulah, pukul tujuh dirasa tepat. Ternyata tidak. Siapa gerangan yang tidak lapar juga? Lipatan perkamen sedemikian rupa itu terus turun, turun, menghampiri hamparan pepohonan yang telah menunggu. Detik berikutnya fokus teleskop kembali berpindah. Kali ini mengarah tepat ke arah menara tertinggi--menara astronomi, there. Siapapun, atau apapun yang bertindak sebagai pencipta pesawat tersebut kemungkinan besar berada di sana, menurutnya. Tak perlu menekan tombol zoom seperti sebelumnya, menara astronomi telah terperangkap jelas dalam pandangannya, menampakkan sesosok anak laki-laki di salah satu jendela... dan gadis itu tersenyum lebar. Kenyataan yang sedikit mengherankan. Juga menggembirakan. Amanda melipat kembali teleskop hitam miliknya, memasukkan ke dalam saku, kemudian mulai melangkah. Ke menara astronomi, hendak menemui sang sosok disana.

Larry. Great.

[Menara Astronomi]
Satu hal lagi yang ia sesali. Tak ada jaket. Tak ada syal. Ck ck, Amanda. Derap langkahnya bergaung samar, meniti tiap anak tangga batu dalam keremangan. Gadis lima belas tahun itu menghembuskan nafas tepat ke arah kedua telapak tangannya, berusaha mengusir rasa dingin pekat yang menusuk. Perbedaan suhu disini dan di menara Ravenclaw cukup mencolok--tempat ini tak memiliki perapian, benar--sehingga ide untuk mengenakan baju hangat terlintas dengan amat terlambat.

Menjejak anak tangga terakhir, lengkung samar kembali terpeta di kontur wajahnya. Entah apa yang mendorongnya untuk hadir disini, ia pun tak mengerti. Mencari teman untuk meneropong bintang, mungkin? Ti--dak juga. Ingin bertemu sahabatnya, itu saja. Sepasang kakinya melangkah menghampiri sosok lain di salah satu ambang jendela, mengambil posisi di samping sang anak lelaki tersebut sebelum mengacak rambut sahabatnya--kebiasaan. "Hai, Larry." Senyumnya perlahan memudar, matanya mengerjap. Manik kecokelatannya berpendar, menatap lekat wajah pemuda Hufflepuff di sebelahnya. Boleh berpendapat? Ada sesuatu di relief wajah itu, guratan yang amat jarang ia temukan selama ini. Dan saat guratan itu hadir, rasa khawatir selalu memeluk hatinya. Larry--sedang sedih? Amanda menelengkan kepala. "Hei. Kau--" suaranya terilis lirih.

"--kenapa?"

Labels: ,


8:41 PM

Thursday, June 11, 2009

Preparing For...

"...yang mana? Yang itu atau yang ini?"

Angkat bahu.

"Anak pintar, jangan sungkan. Ayolah. Phineas atau Armando? Atau mungkin Albus?"

Oh, astaga.

Menghela nafas sekali lagi, disertai gerakan memejamkan mata sekilas. Berapa menit? Tiga menit. Sudah tiga menit berlalu semenjak sepasang kakinya menjejak di atas lantai pualam ini, disini. Ck. Kelereng kecokelatannya kembali terfokus, menatap satu titik di hadapan--Fat Lady. Lukisan itu--tengah dalam keadaan abnormal, kalau kau mau tahu. Nathaniel bersedekap, menyandarkan sebelah bahunya ke dinding terdekat, bola sepak di kaki. Sampai kapan ia harus menunggu, ha?

Deskripsi--baik. Pigura tak asing. Singgasana terbaik sang Nyonya Gemuk tentu tak pernah berubah dalam hal latar belakang. Hanya saja, saat ini personil karya seni itu telah bertambah. Seorang wanita usia lima puluh tahun-an dengan setelan zaman Perang Dunia kedua tengah bertamu, dan telah berceloteh tanpa henti semenjak lima menit yang lalu, memberi imbas luar biasa menjengkelkan bagi si anak lelaki Gryffindor disana. Kata kunci yang digaungkannya lebih dari tiga kali tak mendapatkan gubrisan sedikitpun. Nice. Dan detik ini sang wanita jaman-dulu itu melempar pandangan lekat ke arahnya, menunggu jawaban. For Merlin's sake, yang benar saja.

Ia berdeham. "Madam--"

"Ya? Ya?"

"Tidak tahu."

Desahan kecewa terdengar dari dua sisi bibir bergincu tebalnya. "Kalau begitu, jangan izinkan ia masuk, dear Fat Lady." Wanita tua itu melengos, dan taruhan, Nat melihat cibiran samar terpampang di wajah keriputnya. "...tidak ketiganya, mungkin, Lady. Hm, dengar-dengar sih, Sir Cadogan punya wajah jauh lebih tampan--"

Sudah. Cukup.

Nathaniel mencabut tongkat sihirnya, berdeham sekeras yang ia mampu dan mengangkat Elder dalam genggamannya sejajar dengan dada, menatap tajam penuh arti ke arah kedua wanita dalam lukisan--ia sedang tak ingin bercanda. Dan ia benci menunggu. Serius. "Scaramoure." Bersyukurlah karena password asrama tak identik dengan mantra pengubahan dalam transfigurasi--jika tidak, mungkin tongkatnya telah bereaksi saat ini. Well, apapun. Yang terpenting, gertakannya mempan. Ia kembali menyelipkan tongkatnya ke balik saku, memungut bola dan melangkah seraya menyeringai saat lukisan di hadapannya--akhirnya--mengayun terbuka, disertai teriakan 'tidak-sopan-dasar-anak-zaman-sekarang' yang melengking membahana di belakangnya. Tidak dengar.

Memanjat lukisan dan mengacak rambut hitamnya, ia menghela nafas perlahan, merilis rasa lelah yang melanda--fatigue. Sedikit mengherankan, harus diakui. Hanya berlatih, FYI, juggling dasar, disertai percobaan swerve shot berulang kali. Itupun tak pernah ia kuasai dengan baik bahkan hingga senja menyentuh bumi--tetapi kakinya mulai memberontak, pegal luar biasa. Karena tak pemanasan atau bagaimana, eh? Tidak tahu. Yang ia tahu saat ini hanyalah tubuhnya berbisik ingin tidur, tak peduli dengan jam makan malam yang akan menyambut sebentar lagi.

Jejaknya melambat. Satu lagi yang membuat kejanggalan hari ini berada di atas titik normal--ruang rekreasi ramai. Penuh sesak. Ia ketinggalan sesuatu? Memutuskan untuk mematuhi rasa penasarannya, Nat melempar pandangan ke seantero ruangan dengan kerutan di dahi, mencoba menemukan sesuatu yang mampu memberinya informasi. Dan disana--siluet secarik perkamen terekat diatas sebuah lukisan layaknya pengumuman eksklusif, menawarkan apa yang dicarinya. Melangkah mendekat, matanya bergerak cepat membaca tiap-tiap kalimat yang tergurat, diiringi gerakan mengangkat kedua alis, semakin lama semakin tinggi. Ditutup dengan dengusan tak percaya. Blind date? Wohoo. Tersirat, semua warga Gryffindor wajib ikut. Hm.

Yang terpikir dalam benak? Marvil.



Dan mengapa hanya Gryffindor?

Oh my. Kau mulai sinting, Gladstone. Anak lelaki empat belas tahun itu menggelengkan kepala, menertawakan diri sendiri. Marvil tidak ada disini, bodoh. Sayang sekali. Ia berputar, bersandar pada dinding di belakangnya sementara jemarinya memutar sang bola sepak. Berpikir, Nak. Ikut, atau tidak? Well, kira-kira apa yang akan ia dapatkan jika tidak turut serta? Sebuah kerlingan lagi-lagi mendarat di atas perkamen di dinding--dan Nat menelan ludah. Ciuman senior Claymer? Oke, berpartisipasi dalam kencan buta nampaknya tak terlalu buruk.

Mengamati selama beberapa saat, Nat mengeluarkan selembar robekan perkamen kusam dari saku, juga sebatang pena bulu--kebiasaan buruk yang menguntungkan, menyimpan sampah perkamen dan lupa membuangnya--kemudian mengikuti apa yang orang-orang lakukan. Menulis. Dengan presentase keraguan lima puluh persen.


Nama : Nathaniel Gladstone
Gender : Male, of course
Kelas : Tiga

Dalam sekali sentak melemparkannya ke dalam kotak. Done. Mencoba sesuatu yang berbeda di tahun ketiga sepertinya menarik. Hope... so. Toh tidak akan melakukan apa-apa, rite? Keluar dari jalur pemikirannya yang kaku akan memberikan sesuatu yang tak mampu diprediksi. Dan itu yang tengah ia cari, mengenyahkan hari penuh kebosanan dan hal-hal datar. However--

--Amanda pasti menertawakannya.

Labels: ,


3:10 PM

Tuesday, June 9, 2009

The Amulet of Samarkand-#2

Tepatkah pendapatnya?

Kali ini tuan angin yang hadir untuk bermain. Hembusan, desau abstrak mengacak rambut kecokelatannya, membuat tangannya sesekali sibuk menyelipkan sang gerai ke belakang telinga atau sekedar merapikan helainya ke belakang. Dingin. Indah, harus ia akui, menyaksikan visualisasi hujan daun kering di depan mata, merasakan sensasi ketenangan yang berbisik di telinga serta gesekan elemen lembut di pipi--namun tetap, pendapat mengenai sang musim tak akan berubah. Indah, tapi menyembunyikan kenelangsaan di baliknya. Baginya.

Masih bersimpuh, sepasang lensa kecokelatannya terpancang lurus ke arah permukaan danau. Ke sana, tepat ke arah titik dimana prefek MacKenzie terlihat menceburkan diri. Menunggu. Sudah berapa lama, eh? Tujuh detik, mungkin. Atau mungkin sepuluh. Dan bahkan prediksi yang telah terlontar dari bibirnya barusan--prefek MacKenzie menyelam, ya kan?--tak mampu mengenyahkan rasa cemas yang mulai merambati benak. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada. Apakah senior tersebut benar-benar tenggelam atau hanya menyelam--mungkin mendapatkan kesulitan? Sigh, ketidakpastian akan suatu fakta penting jauh terasa lebih menyesakkan dibandingkan saat kau tahu apa yang kau hadapi. Satu alasan--kau tak tahu apa yang harus kau lakukan. Apa yang harus ia lakukan? Hanya diam menunggu disini, duduk di atas rerumputan?

Tidak bisa berenang itu sungguh menjengkelkan.

Gadis Ravenclaw tersebut menggigit bibir bawahnya, berpikir. Apa? Jujur, kecemasan itu telah hadir, kawan. Kepalanya tertoleh spontan, titik fokus tatapannya berpindah saat selarik mantra panggil bergaung di udara. Ah, ada senior Vandrea. Amanda tersenyum simpul, menatap gadis dewasa itu dengan binar tak terdefinisi di kedua hazelnya. Selalu ia kagumi, seorang Wina Vandrea itu. Gadis anggun yang luar biasa menarik--namun sayangnya kesan terakhir yang didapatkannya mengenai sang senior sedikit bergeser setelah peristiwa yang ia saksikan di pesta awal tahun. Tidak, tetap, kekaguman itu masih ada. Salut. Pandangannya masih terpancang pada objek yang sama, mengekori saat sosok itu terbang menghampiri Windstroke, berbincang sejenak--tidak terdengar dari sini, mate--dan detik berikutnya Amanda kembali tercengang saat menyaksikan sang senior terjun tanpa basa-basi dengan menggunakan sapunya sebagai pijakan awal. Eh? Turut juga? Well, sepertinya memang ada yang tidak beres.

Dan senior Vandrea pun ikut menghilang dari pandangan, meninggalkan riak lembut di titik dimana ia menceburkan diri beberapa saat lalu. Tebak? Irvine juga melakukan hal yang sama. Menghilangkan diri dari permukaan, ikut menyelam. Ah, kali ini Amanda benar-benar dibuat bingung. Apa yang bisa ia lakukan? Diam tanpa tindakan hanya membuatnya merasa amat tak berguna--terlebih jika ternyata memang benar ada sesuatu di bawah sana.

Terkerjap. Sepasang alisnya meninggi saat melihat Windstroke terbang menghampirinya. Lagi-lagi mantra panggil kembali berperan. Gillyweed? Oh my. Dan betapa herannya ia saat dua bungkus flora yang dimaksud datang menghampiri. Bukankah tumbuhan tersebut tak tersedia dengan mudah. Oh, ayolah, Amanda. Bukan waktu yang tepat untuk berspekulasi. Mungkin Windstroke memang memiliki Gillyweed? Tidak protes, ia bersyukur.

"Oke, Amanda. Naik."

Na-naik? Untuk apa? Ragu, namun sugesti akal sehatnya kali ini terjalahkan oleh dorongan untuk berbuat sesuatu--Amanda bangkit, dengan perlahan menaiki sang sapu dan menempatkan diri di belakang teman seangkatannya itu, masih tanpa keyakinan. Firasatnya sih--duh. Membiarkan dirinya diterpa angin sejenak saat dirinya mengudara, kardionya berdentum keras, tanpa sadar ia menahan nafas. Berhenti. Jaga sapu? Well, mungkin hanya itu yang mampu ia lakukan. Menjaga sapu. Tak... ada salahnya. Ia memperhatikan dalam diam saat Windstroke menelan separuh bagian Gillyweed dalam genggaman, kemudian menyerahkan separuh yang tersisa kepada dirinya. Kalimat yang kemudian bergaung di udara harus ia akui berhasil membuat hatinya tersentak sejenak. Karena, pertama, ia amat sangat tak yakin dirinya mampu bertahan lama di dalam air. Seorang Amanda Steinhart tak bisa berenang. Payah. Namun dengan Gillyweed dalam genggaman dan penuturan aku-akan-menjagamu-di-dalam-sana yang diucapkan Windstroke, kelegaan perlahan timbul. Amanda melempar senyum dan mengangguk, tatapannya mengikuti siluet sosok itu saat sang gadis Gryffindor terjun. Baik. Pilihan kini berada di tangannya. Putuskan.

Oke. Pertama-tama--ia mengambil alih sapu, terbang menuju sampan, yang kini dihuni oleh anak perempuan yang tadi dilihatnya berada di tepi danau dan--wew, ada senior Horowitz. Amanda mendarat, mengangguk seraya tersenyum kepada keduanya kemudian meletakkan sapu milik Windstroke di dasar sampan. "Mau turut menyelamkah, Senior? Sepertinya di bawah sana... ada sesuatu," ujarnya kepada pemuda di sampingnya, dengan selipan keraguan masih menemani. Tidak, sudah diputuskan. Egolah yang berbisik keras di benaknya saat ini--ia penasaran, sungguh, dan tentu saja tak akan puas hanya dengan berdiam diri di atas perahu. Akal sehatnya berusaha menyeruak mati-matian, mengingatkannya akan ketidakmampuannya untuk mengarungi perairan--ia tahu, amat tahu. Tapi lagi-lagi sosok Gillyweed dalam genggaman kembali mendorong keraguan ke pinggir. Bisa. Jika benar benda dalam genggamannya adalah Gillyweed, maka setidaknya ia dapat bernafas selama setengah jam di dalam sana. Tak perlu khawatir, kan?

Tetap saja khawatir.

Tetapi pilihan telah menjadi keputusan. Menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Amanda mengunyah Gillyweed--tidak enak, astaga--dengan sedikit susah payah, sementara tangannya berkutat melepas kedua sneaker yang membalut kakinya. Sulit, kalau kau mau tahu. Sampan itu oleng beberapa kali, membuat jantungnya berderap tak nyaman. Kau membuat terlalu banyak gerakan, dear Amanda. Ya, ia sadar. Sepasang sepatunya telah terlepas--bertepatan dengan guncangan yang menghapus keseimbangannya--

BYUR!

Bodoh.

Jatuh ke belakang, dan detak kardionya seakan terhenti. Buih-buih liquid menyambutnya dengan riang, tak peduli akan hatinya yang mencelos dan sepasang matanya yang membesar. Pada detik ini tubuhnya telah jatuh sepenuhnya, kepekatan menekan, mengaburkan pandangannya hanya dalam waktu sepersekian detik. For God's sake, ia akan tenggelam. Ia akan mati. Amanda menghentakkan kaki dengan putus asa--kebiasaan buruk, tak bisa tenang. Panik itu hanya mampu memperparah situasi, bodoh. Gadis itu tersedak, pasrah saat menyadari tubuhnya semakin turun, turun, dan ia tak bisa bernafas. Keputusannya salah?

Lalu sensasi membakar itu membelit lehernya. Amanda terbatuk saat merasakan kerongkongannya tercekat--luar biasa, tercekik lebih tepatnya. Ia menggelengkan kepala, tahu bahwa mungkin ia akan mati--tidak, tentu saja tidak, astaga. Dan, detik berikutnya lapis hazelnya terbuka, terkerjap tak percaya saat menyadari pandangannya berubah jernih. Nafasnya terhela dengan mudah. Gadis itu meraba lehernya, menemukan celah di kedua sisi, dan siluet tangannya yang berselaput membuatnya tertawa lega.

Ia cinta Gillyweed.

Tebak? Ia bisa berenang! Amanda berputar di tempat, luar biasa puas dengan apa yang didapatkannya, kemudian bergegas memutar kepala untuk mencari sosok-sosok tujuannya--ada, disana. Ia bergerak dengan lincah menghampiri Windstroke, tertawa lebar tanpa suara sekali lagi. Tangannya menepuk pundak rekan sebayanya itu, mengacungkan satu ibu jari dan memberi ucapan terima kasih, tentu juga tanpa suara. Di depan sana, sosok-sosok lainnya tampak. Syukurlah. Tak ada yang terluka, kan?

Err... mau ngapain sih, by the way?

Labels: ,


11:24 PM

Saturday, June 6, 2009

Gone with The Wind-#2

"Eh? Oh! Ungg.. tidak apa-apa, kak. Sepertinya cuma benjol saja. Aku sudah biasa kok."

Su-sudah biasa? Lagi-lagi sepasang hazelnya terkerjap sesaat, tatapannya lurus memandang gadis cilik itu, sekali mengerling memar yang tercetak di dahinya. Sudah biasa memar? Astaga. Entah harus merasa kasihan atau bagaimana. "Kau yakin? Baguslah kalau begitu," ujar Amanda, senyum simpul turut seperti biasa. Bertemu dengan gadis kecil yang sedikit ceroboh seperti itu seakan menyaksikan refleksi dirinya sendiri--seorang Amanda Steinhart yang begitu ceroboh, teledor, bahkan dapat jatuh akibat terselengkat kaki sendiri. Ck, ck. Dirinya memang seperti itu, dan ia bangga. Hoho. Bangga karena selipan peristiwa penuh kecerobohan yang seringkali hadir mampu melukis tawa lebar di wajahnya, meskipun diiringi oleh semburat kemerahan akibat rasa malu. However, that she is. Well, setidaknya saat ini sifat ceroboh tersebut telah mulai bosan menemaninya--sudah mulai sembuh, tak seakut dulu.

Duuk!

GUBRAK!

"Aw." Rasa nyeri mendarat di punggungnya selama sepersekian detik, melimbungkan tubuhnya yang tak siap--dan oh my, kali ini giliran dirinya yang jatuh tersungkur ke depan, menubruk sang gadis cilik di hadapannya pula. Amanda meringis, bergegas bangkit dari posisinya yang tertelungkup, duduk, bersyukur karena tempat ia berpijak adalah rerumputan, bukan bebatuan atau aspal. Ia melempar tatapan menyesal kepada gadis cilik yang tampaknya kembali terantuk batang pohon. Astaga, ia telah mencelakakan orang lain.

Sebentar. Tadi, ada sesuatu yang membentur punggungnya, kan?

Amanda membalikkan tubuh, mencoba mencari tahu--oke, seorang anak laki-laki, junior jika ia boleh berprediksi. See? Bahkan tubuh juniornya tersebut lebih besar dari tubuhnya, dan dalam sekali sentak mampu membuatnya terjatuh. Rasanya ia ingin tertawa. Memiliki postur tubuh kecil terkadang tak menguntungkan. Gadis Ravenclaw itu hanya mengangguk kecil saat sang anak laki-laki menuturkan permintaan maaf, mengindikasikan jawaban 'tak apa' secara non-verbal. Memangnya apa yang seharusnya ia lakukan? Marah? Tentu saja tidak. Toh pemuda itu tak sengaja. "Terima kasih, tidak usah," ujarnya seraya bangkit. Maaf, bukan bermaksud untuk menolak bantuan, Orland--itu namanya, eh?--hanya saja ia merasa sungkan, entah mengapa. Amanda menepuk bagian belakang celananya, mengangkat wajah saat suara familiar itu terasa dekat. Senior Al-Kazaf telah datang menghampiri, berbicara kepada Orland dan sang junior perempuan beremblem Hufflepuff itu, merilis nasihat agar mereka berhati-hati.

Hm, berhati-hati? Kalimat tersebut kembali membangkitkan memorinya--tiga tahun lalu, saat dirinya masih menjadi seorang newbie di Hogwarts, gadis cilik dalam artian sebenarnya, anak perempuan dengan keteledoran akut, sepertinya kalimat yang bergaung di udara barusan amat pantas dilontarkan kepadanya dalam setiap situasi. Masih ingat kali pertama seorang Amanda Steinhart menjejakkan kaki di Leaky Cauldron, eh? Ia tak pernah lupa--menumpahkan butterbeer ke atas baju seorang anak laki-laki sebaya yang membawa berudu dalam toples--pertemuan pertamanya dengan sang sahabat, Jonathan L. Baned. Benar-benar payah. Yang lain--terlemparnya pisau lipat yang tengah ia genggam tepat di hari ulang tahunnya, nyaris mengenai kaki Rainier. Hampir fatal, demi Merlin. Kemudian satu lagi, yang masih tercetak jelas di dalam benaknya adalah peristiwa di menara, saat ia dengan bodohnya membawa seluruh barang lelucon miliknya, membuat dua orang terkena ledakan Bom Kotoran serta dengan suksesnya meledakkan kembang api Fillibuster--wogh, betapa ceroboh dirinya saat duduk di kelas satu. Mencengangkan.

Ck, melantur.

Amanda tersenyum, binar di lensa kecokelatannya lagi-lagi hadir saat sang senior mengatakan bahwa kelincinya lucu. Memang! Mimzy memang lucu. Gadis empat belas tahun itu membelai Mimzy, tanpa alasan yang konkrit merasa amat senang. Leander hebat, tahu apa yang ia senangi.

"Ada yang mendengar sesuatu?"

Eh? Guratan samar terpampang di kening, dalam diam ia berusaha memfokuskan pendengarannya. Well, suara berkeresak dedaunan? "Ya, senior. Mungkin," ujarnya ragu. Tidak yakin apakah benar suara itu yang dimaksud. Detik berikutnya, ia tersentak saat Mimzy memberontak dan berhasil lolos dari dekapannya, melompat menjauh. Aneh. Ada apa? Amanda bergerak perlahan, mengikuti kemana kelincinya berpijak, tersenyum saat mengetahui dimana destinasi terletak. Larry. Ia membungkuk, memungut Mimzy dalam satu gerakan perlahan, kemudian kembali menegakkan diri dan mengedip kepada sahabatnya. "Sepertinya Mimzy menyukaimu."

Ngomong-ngomong, kenapa Mimzy lari, ya?


Mimzy =9

Labels: ,


2:54 AM

Friday, June 5, 2009

Kelas 3 - Nathaniel

Hoahm.

Memicingkan mata. Silau. Sambutan cahaya keemasan dari sang penguasa langit sukses membuat sepasang hazelnya sontak terkerjap. Nathaniel melangkah gontai, perlahan menapakkan kaki menyusuri koridor lantai tiga, membiarkan naungan dinding batu mengawal di kedua sisi. Sekali lagi anak laki-laki itu menutup mulut saat kuapan lebar kembali menyerang, kemudian menggelengkan kepala untuk mengenyahkan virus kantuk yang luar biasa mendominasi detik ini. Sudah siang. Ia tahu, tentu saja. Sudah siang, ya, tetapi tubuhnya masih lemas, sepasang matanya redup dengan kelopak yang begitu berat, merindukan tempat tidur di kamar anak laki-laki Gryffindor.

Tumben.

Well, tidak bisa dibilang tumben juga sih. Beberapa kali sindrom kantuk-di-siang-bolong seperti ini pernah menjangkitinya--tiga kali termasuk hari ini. Dan alasan yang mendasarinya lagi-lagi tak jauh berbeda. Lima huruf--esai. Sudah jelas, rite? Bagus.

Entah, bahkan dirinya sendiri merasa heran atas kesungguhan sang benak. Tadi malam adalah giliran Rune Kuno, salah satu mata pelajaran tambahan di tahun ketiganya, yang berbaik hati berperan sebagai seorang teman hingga pukul lima pagi, menyita segala perhatian, konsentrasi serta waktu yang tersedia. Tak dapat dipercaya memang, tetapi pada kenyataannya ia lebih memilih untuk tidak tidur, duduk bersila di atas tempat tidur dengan perkamen serta buku panduan tergeletak di hadapan, hanya dengan tongkat sihir sebagai penerangan. Berubah menjadi para elang Ravenclaw, eh, Gladstone? Tentu saja tidak, bodoh. Cukup sang sepupu saja yang mewakili entitas bernama 'kecerdasan' itu dalam keluarga. Anyway, dirinya tak cerdas--karena itu ia berusaha, setidaknya belajar, mengerjakan tugas--fine, tertawa saja, ia tak keberatan. Satu hal yang langka melihat seorang Gladstone mempelajari sesuatu dengan sungguh-sungguh, menekuni tugas tanpa tidur--ada alasannya, tentu, sudah bisa ditebak.

Sure, Dad. Siapa lagi. Pemberian 'wejangan' selama dua jam penuh, dengan selipan kalimat-kalimat bertekstur ironi bahkan sarkasme--sudah cukup membuatnya muak, tahu. Cukup musim panas lalu saja telinganya berubah merah, bibirnya menipis disertai leher yang tercekat akibat menahan rasa kesal menerima hujan nasihat disertai genangan intonasi sinis disana-sini. Tidak akan terulang lagi, nope. Dan satu-satunya cara adalah dengan mengenyahkan huruf-huruf sial yang mendominasi laporan nilai miliknya term lalu--mensubstitusikannya dengan para entitas abjad kebanggaan para profesor. Tak berhasil? Masa bodoh. Setidaknya sang ayah tahu bahwa dirinya telah berusaha. Hopes so.

Dan kelas mantra--akan menjadi pembuktiannya yang pertama.

Gaung lemah tertinggal, berganti dengan hiruk pikuk ruang apik bernuansa--well, tak dapat mencegah sebelah alisnya untuk terangkat, Nat menarik langkahnya memasuki kelas. Hujan. Di dalam kelas. Great, dengan mudah dapat ditebak apa kegunaan jubah yang kini telah tersampir di tangan kanannya. Ia berjalan menuju sudut, sebisa mungkin tetap berada pada jalur kering, kemudian bersedekap saat suara melengking sang profesor mulai terdengar, samar dan sayup sesekali tersaingi gemuruh adiktif. Mantra Impervius, hm? Belum pernah mencoba--tak yakin sebenarnya, tetapi tak tersedia opsi penolakan dalam kelas, tentu saja. Anak laki-laki tiga belas tahun itu mencabut sang Elder, menyentuhkannya ke arah jubah seragam miliknya dan berseru tertahan, "Impervius!" Hanya begitu saja, kan? Segera, diloloskannya sang jubah melalu leher--mengenakan seragam tersebut dalam satu gerakan, kemudian melangkah menuju area kontra, membiarkan titik-titik air menyambutnya. Berhasil atau tidak--

No man.

Elemen liquid dari atas langit-langit sukses menelusup ke balik jubah, menetes membasahi pucuk kepalanya, bahu, merembes melalui kemeja. Nat bergerak kembali ke area kering sambil bersungut-sungut berdecak kesal. Payah. Ia melepas jubah--menatap pasrah kemejanya yang kini basah. Bahkan mantra yang diluncurkannya beberapa puluh detik yang lalu tak bekerja sama sekali. Sigh. Sekali lagi tangannya menyambar tongkat, merapalkan mantra, kali ini berusaha memusatkan konsentrasi sepenuhnya, "Impervius!" Let's see.

Melindungi bagian kepalanya dengan tudung, ia kembali menjamah serbuan air, diam tak bergerak selama beberapa saat. Well, sejauh ini berhasil. Seringai puas mengambang di wajahnya. Bagus. Pada percobaan kedua, tak terlalu mengecewakan--

Tes. Tes.



Ah. Nat berdecak jengkel saat merasakan dua tetes air menyapa bagian bahunya, disusul dengan tetesan berikutnya selang beberapa lama. Kebocoran di sektor strategis, ck. Hendak kembali ke tepi, mencoba memperbaiki untuk ketiga kalinya--namun urung saat kesadarannya menepuk benak. Sedang terjadi keributan di belakang punggungnya, dan ia sadar tahu sekarang. Nat berbalik, guratan dalam tercipta di keningnya saat menemukan apa yang terjadi. Oke, Dawne dan Sirius--baku hantam, hm? Nice. Membawa sepasang kakinya untuk mendekat, dengusan samar terilis tanpa sengaja. Dalam sekali pandang pun sudah jelas, karena Maraschine, eh? Wohoo, salut. Keadaan di dalam kelas berubah kacau sekarang, man. Ia hanya bersedekap, mendengarkan lontaran-lontaran kalimat peleraian yang terdengar riuh--lihat kan, ia tak perlu turut serta. Toh Flitwick akan datang sebentar lagi.

Well, ia tak tahan untuk tak berkomentar rupanya. "Hei, Sirius," serunya, cukup keras untuk didengar pemuda Slytherin itu, jaraknya dekat. "Memesan satu tiket detensi rupanya. Pintar."

Labels: ,


4:47 PM

Wednesday, June 3, 2009

The Amulet of Samarkand-#1

Musim gugur?

Well... Haha.

And how the swift beat of the brain
Falters because it is in vain,
In Autumn at the fall of the leaf
Knowest thou not? and how the chief
Of joy seems--not to suffer pain?



Semburat biru pudar--itu. Tergantung nyaman di atas dengan angkuh, melempar pandangan teduh dalam desau bisikan sayu sang angin. Saat ini terabstraksi dengan jingga, dear, sudah sore. Mega terhampar, tertawa dalam keheningan, berkejaran dalam transformasi indisiplin tanpa sadar, berperan sebagai latar belakang segalanya. Teman setia mereka untuk empat bulan menjelang--liukan dedaunan kecokelatan disana-sini, lihat. Apa lagi yang kau harapkan memangnya, hm? Tidak, bukan senyum dari para peri serbuk bunga di ladang rumput hijau ketika musim semi bertamu. Atau anggukan hangat sang penguasa siang yang selalu riang ketika musim panas berkunjung. Tidak. Hanya kering. Membawa tajuk kehampaan yang nyata. Percaya? Memang begitu.

Karena itu--ia tak suka musim gugur.

Langkahnya tak seringan biasanya. Gadis itu menoleh, menelengkan kepala beberapa derajat ke kanan, hazel kecokelatan miliknya memantulkan siluet suram riak pekat sang danau. Dalam diam, bibir terkatup rapat dan tatapan tanpa fokus. Alasan apa yang mendasari jejaknya tiba di tempat ini--entah, jangan tanya. Hanya jenuh dengan kastil, mungkin, salah satunya. Jenuh dengan kumpulan perkamen yang bersatu menghadirkan kalimat-kalimat pembelajaran rumit yang memusingkan, mungkin, salah duanya. Rasa gelisah yang tengah memeluknya tanpa izin, juga mungkin. Tidak tahu. Ada yang tahu?

Apapun itu, toh Amanda telah berpijak di atas area familiar itu. Tepi danau, dan sepasang kakinya masih gemar mendahului satu sama lain, tetap dalam tempo santai tanpa tergesa. Musim gugur, selalu sama, menghadirkan kelesuan yang amat sering menelusup jauh ke dalam relung benak serta batinnya, memberikan bayangan kenelangsaan yang sedemikian rupa. Sebagian besar sukses membuat senyumnya menghilang, mendatangkan kerutan samar yang menggurat keningnya, atau bahkan isak? Be--gitulah. Sedikit aneh jika menilik fakta bahwa kesedihan selalu menerpa di musim yang sama, ya, ia sendiri heran. Tapi memang begitu. Butuh bukti? Baik.

Sedikit berkelana menuju masa lalu, jika kalian tak keberatan. Hal pertama, peristiwa paling mengguncang yang pernah hadir dalam hidupnya--terjadi tepat dua bulan setelah sang musim gugur mengetuk pintu dunia dan masuk. Peristiwa yang hingga saat ini masih senantiasa bermurah hati mampir dalam tidurnya hanya untuk membuat sang gadis gemetar--ia kehilangan kedua orangtua saat musim gugur, mate, jangan dibahas lagi. Kemudian, beberapa tahun berselang, musim yang sama mengiringi kecerobohan fatal yang ia lakukan--keteledoran paling luar biasa yang pernah tangannya perbuat, menyebabkan ibu dari sepupunya terpaksa kehilangan memori serta ingatan dan harus berpindah domisili ke St. Mungo--dengan diagnosa teracuni ramuan yang salah dicampurkan. Bahkan rasa bersalah itu masih melekat kuat-kuat di hatinya, tak pernah pergi. Bibi Antoinette hilang ingatan secara permanen saat musim gugur. Nice. Yang berikutnya, belum lama berlalu. Jembatan, tahun lalu, melibatkan empat oknum--tidak ingin ia ungkit lagi. Seorang Amanda Steinhart terlihat begitu lemah, begitu bodoh, begitu payah dan cengeng, begitu--well, semua serempak mengambil setting musim gugur, kan? Membuatnya cenderung melempar rasa tak senang kepada musim yang satu ini, harus diakui. Mau bagaimana lagi. Sigh.

Pertanyaannya sekarang, apakah musim gugur 1981 akan meneruskan sang tradisi? Semoga tidak. Ia berharap, serius. Amanda menghentikan langkah, menghadapkan tubuh ke arah danau dalam satu gerakan, memandang satuan elemen liquid di hadapannya dengan tatapan redup, kedua tangan di saku. Sayangnya, kenyataan yang tengah berlangsung adalah, kegelisahan menerpa. Untuk banyak hal--nilai akademik, Nathaniel, Leander--bingung, banyak hal yang mengganjal di hati. Kerlingan matanya menangkap sesosok gadis di atas sampan, senior MacKenzie? Sang prefek tengah berkutat melepas atribut yang ia kenakan--syal, jubah, sepatu, kaos kaki--dan dalam selang waktu beberapa detik berikutnya, suara 'byur' nyaring bergaung di udara.

Eh?

Terperangah sesaat, Amanda terpaku di tempat dengan mulut sedikit terbuka. I-itu, apa yang dilakukan seniornya itu? Sosok lain--Windstroke, di atas sapu. Tidak, gadis Gryffindor itu tak terlihat melakukan apapun, hanya terbang rendah di atas danau. Menunggu kepastian atau bagaimana? Disusul ucapan seorang junior Hufflepuff yang berada tak jauh dari tempat Amanda berdiri. Dia... tidak ditolong? Ditolong, hm...

Oke. Irvine yang bertindak.

Amanda mengerjap saat percikan air melompat ke udara. Irvine--telah terjun ke danau, kawan-kawan. Keren.

"Kemana yang tenggelam? Aku tidak menemukan apapun."

Hei, Amanda, kau sedang tak peka atau bagaimana?



Tidak. Hanya berpikir. Ia melangkahkan kaki lebih dekat ke tepi danau, kemudian duduk bersimpuh dengan kedua tangan di atas rerumputan dan tubuh sedikit condong ke depan. "Hei, Irvine," serunya, cukup keras untuk didengar oleh pemuda itu, "Kurasa... Prefek MacKenzie tengah menyelam, bukan tenggelam."

Pendapat. Kesimpulan pribadi selintas pandang.


(OOC : Credit to Autumn Song by Dante Alighieri)

Labels: ,


6:48 PM