Thursday, April 9, 2009

Le Pappilon-#2

Bertahan, Nathaniel. Come on.

Lagi-lagi, setetes peluh mengalir melintasi pelipisnya, turun menuju leher. Nat mencoba mengatur nafasnya yang mulai menderu, seraya meredakan detak jantungnya yang begitu keras hingga membuat dadanya sakit. Ia masih hidup. Oke. Tulangnya tidak patah. Kabar bagus. Ia dapat merasakan pergelangan tangan kanannya berdarah dan kemejanya robek di bagian bahu kiri akibat terinvasi kumpulan ranting yang ia lewati dengan terpaksa dan brutal saat terjatuh dua menit yang lalu, namun itu tak sebanding dengan keselamatan yang ia dapatkan. Well, jatuh dari ketinggian 6 meter memang tak akan membunuh seseorang secara langsung, tentu. Hanya akan mematahkan beberapa tulang--dan kemungkinan besar adalah tulang di bagian bawah alias kaki. Dengar? Mematahkan kaki. No way. Kaki is the most important part of his body, ever. Seandainya terjadi sesuatu pada kakinya, karir serta hobinya di dunia sepakbola bisa hancur. Dan jika itu terjadi--lebih baik ia mati.

Nat mendongak, memandang dahan yang telah terpilih sebagai tempatnya bertahan--sebuah bonggol kayu ramping berwarna kecokelatan keruh yang sama sekali tak kelihatan kokoh. Gawat. Bahkan sepertinya hembusan angin yang cukup kuat dapat mematahkan dahan bercabang yang satu ini. Keberuntungan biasanya tak mampir secara beruntun. So, ia harus menyelamatkan diri by himself.

Dalam kondisi dimana ia terjebak dan saat posisinya berada di ujung tanduk seperti ini, memilih dan mengambil keputusan yang tepat adalah satu-satunya jalan keluar. Masalahnya, memilih dan mengambil keputusan sama sekali bukan hal yang mudah. Oke, pilihan pertama : nekat menjatuhkan diri dengan resiko salah satu bagian tubuhnya terkilir, terluka, atau bahkan patah--tidak, tidak, berlebihan--atau, opsi kedua : berusaha bergerak mendekati batang utama pepohonan, turun tanpa kesulitan layaknya seperti saat ia mendaki tadi, dengan RESIKO dahan yang ditumpanginya akan patah jika dirinya banyak melakukan gerakan. Pilih mana? Abstain tak termasuk ke dalam opsi.
Seorang Gladstone pasrah dan menunggu seseorang menyelamatkannya? Cih, enak saja. Tentu saja tidak. Ia mampu membawa dirinya sendiri keluar dari masalah, tak peduli apapun itu. Termasuk masalah yang tengah dihadapinya saat ini.

Well, sepertinya pilihan kedua lebih meyakinkan dan lebih bermartabat dibandingkan opsi pertama. So, Nat mulai menggeser genggamannya dengan perlahan, menjauhi ujung dahan dan menghampiri pangkal. Sudah setengah jalan ketika--

KRAAK!

Mampus. Pasi menjalari wajah Nat, jantungnya kembali berpacu. Tidak, ia belum jatuh, kedua tangannya masih melekat pada dahan. Tak lagi berani bergerak, anak lelaki berambut kecokelatan tersebut sedikit menengadah, seraya menahan nafas melirik ke arah dahan di atasnya, mencari tahu apa sebenarnya yang menimbulkan suara mengerikan tersebut. Lihat. Dahan yang menjadi harapannya memang patah sedikit di bagian atas. Gawat. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ada yang menyerukan namanya. Masih tersengal karena panik, Nat memutar engsel lehernya, menatap hamparan rerumputan hijau di bawah. Itu--Marvil? Astaga. Marvil lagi? Sudah berapa kali ia berjumpa dengan gadis itu dalam posisi yang benar-benar tak menguntungkan, eh? Dan apa pula yang anak perempuan itu teriakkan--memetik? Mulut Nat terbuka beberapa senti, tak mengerti. Sungguh, gadis yang satu ini memang benar-benar mencengangkan.

Angin sedang mengambil peran antagonis saat ini. Elemen dunia itu secara tiba-tiba berhembus tanpa ampun, bahkan Nat terdorong beberapa derajat ke belakang. Fine. Jadi begitu. JADI BEGITU, wahai Angin?

KRAKK!

Tak ada harapan lagi. Si dahan yang menjadi pemeran utama akhirnya memutuskan untuk memerdekakan diri dari sang induk, dengan cuek membiarkan Nat terjun bebas. Silangkan kedua jarimu, boy, dan berharaplah yang terbaik yang akan terjadi.

BRUUK

Ugh. Mengerang, Nat merasakan nyeri menjalari bahu serta pergelangan tangannya yang berdarah. Tunggu. Dirinya masih hidup? Tak ada yang patah? Tak percaya akan keberuntungan yang ternyata masih menyelimutinya, ia berusaha memfokuskan pandangan, mencoba mengetahui posisinya...

Hell. Marvil berada tepat di bawahnya.

"Ma--Maaf." Terkejut luar biasa, Nat cepat-cepat mengangkat tubuhnya, berniat untuk berdiri--namun gerakannya terhenti di udara, terhambat oleh sesuatu. Apa lagi? Ya ampun.

Entah bagaimana kancing kemejanya tersangkut di kerah baju Marvil. What the-- "A-ayo, kubantu berdiri," ujar Nat, kemudian ia sedikit mengangkat kedua bahu gadis di hadapannya. Berdiri lebih baik ketimbang duduk--mengingat posisi mereka sekarang. Setelah berdiri sempurna, Nat menunduk, berusaha mengurai jalinan benang yang mengaitkan kancingnya dengan baju gadis di hadapannya. Ia beruntung karena kemeja yang ia kenakan longgar, sehingga posisi mereka--tak lebih parah.

Sungguh, jarak yang terentang di antara mereka kini begitu dekat. Nat merasakan wajahnya memanas, sementara jemarinya sibuk berkutat dengan kancing yang tak jua mau bekerja sama. Ada apa sih dengan kancing ini? Ck. Di tengah kesibukannya, masih dalam keheningan, ia mengerling ke arah Marvil, penasaran akan respon gadis itu. Tetapi yang ia temukan malah--

Terpana. Gerakan tangannya terhenti sejenak, kardionya mulai memukul dadanya lagi. Ia baru sadar. Sungguh, ia baru menyadari bahwa seorang Aurore Petrabella Marvil, sang gadis unik yang begitu ceroboh itu... Cantik luar biasa. Dalam artian sebenarnya.

God, wajahnya pasti semerah Chimaera saat ini.

Labels: ,


8:55 AM