Wednesday, April 22, 2009

The Phoenix and The Turtle-#1



At the free time--perpustakaan senantiasa menjadi sahabat karib. For her, at least.

Well, ya, today is Friday. Hari terakhir pembelajaran dalam rentang waktu seminggu, dan dua hari kedepan akhir pekan menyambut, menawarkan segala hal bertajuk 'istirahat, istirahat, dan istirahat' bagi seluruh anak tanpa kecuali. Dan begitupun bagi seorang Amanda Steinhart, hatinya tak ayal bersorak saat waktu berharga seperti ini datang. Makan siang tanpa cela, perut penuh, cuaca pun memutuskan untuk bersikap kooperatif dengan memancarkan sinar terbaik mereka yang begitu teduh dan nyaman. Thank God, sedikit tak dapat dipercaya, di antara seabrek hari-hari yang penuh dengan aktivitas yang menguras kinerja otak sedemikian rupa, masih ada waktu-waktu menyenangkan yang mampu mengenyahkan penat yang tertimbun dalam benak. Great. Dan momen-momen tersebut amat tak layak untuk disiakan tanpa guna, dimanfaatkan hanya untuk termenung dengan pikiran kosong di tepi danau atau menghenyakkan tubuh di atas tempat tidur kemudian terpekur tanpa alasan yang jelas--seperti yang beberapa bulan terakhir ini seringkali ia lakukan. Tidak lagi. Lupakan hal-hal tak berguna yang terus menerus menginvasi hati dan benakmu selama ini, Amanda. Tentu--lagipula segalanya berjalan lebih mudah saat ini.

Ya, pagi hari di jembatan, beberapa waktu yang lalu--membuat masalah yang selama ini menyerang hatinya perlahan menguap.

Gadis cilik itu mengubah posisi duduknya, sedikit bergeser ke kiri sementara kepalanya tetap menunduk dan menelusuri kata demi kata yang terangkai di dalam buku yang membentang terbuka di hadapannya. Amanda menyelipkan uraian rambutnya ke belakang telinga, sesekali garis samar tergurat di keningnya. Penilaian Pendidikan Sihir di Eropa--tidak, buku ini berbeda dengan para modul wajib dengan jumlah halaman tanpa toleransi yang dimiliki tiap-tiap mata pelajaran di Hogwarts--hanya bacaan sampingan, dan belum selesai dibaca olehnya hingga saat ini. Masih banyak halaman yang tersisa, masih banyak bahan kajian menarik yang terhampar di dalamnya, mengulik rasa penasaran. Bahasa yang tertera tidak terlalu berat, sungguh, sehingga rasanya bosan pun enggan mampir. Tangan kanannya mulai bergerak, membuka halaman baru, mencoba mencari tahu bagaimana akhir perdebatan seru antara para penyihir Perancis dan Irlandia--dan gerakannya terhenti. Kali ini keningnya jelas-jelas mengerut, matanya mengerjap sekali. Secarik perkamen independen keruh terselip di perbatasan halaman dua ratus lima puluh tujuh dengan halaman dua ratus lima puluh delapan. Eh? Di atas perkamen tersebut tertulis bait-bait bersusun rapi dengan tulisan tangan kecil-kecil. Amanda meraih perkamen tersebut, kemudian membaca baris demi baris secara perlahan.

The Phoenix and The Turtle



Let the bird of loudest lay,
On the sole Arabian Tree,
Herald sad and trumpet be
To whose sound chaste wings obey

But thou, shrieking harbinger,
Foul pre-currer of the fiend,Augur of the fever's end,
To this troop come thou not hear



Well. Apa sih ini? Puisi? Apa yang dilakukan deretan puisi di tengah-tengah kepungan Pendidikan Sihir Eropa? Penasaran dan sedikit terpana dengan kata-kata yang digunakan dalam puisi tersebut, ia terus membaca. Kata demi kata, baris demi bait, hingga tiba pada dua bait terakhir.

Truth may seem, but cannot be :
Beauty brag, but 'tis not she;
Truth and beauty buried be

To this urn let those repair
That are either true or far;
For these dead birds sigh a prayer

William Shakespeare, 1601




Oke. I-ini... luar biasa. Amanda terkerjap, masih terpaku, lidahnya berdecak mengungkapkan kekaguman. Ia bukan seorang melankolis yang gemar kepada sesuatu bernama puisi, syair atau semacamnya, namun entah mengapa poem yang baru saja ia baca berhasil menghadirkan sensasi menggelenyar yang aneh pada tubuhnya. Aneh, ya. Sedikit... unik, mungkin, entahlah. Dan, um, William Shakespeare, rite? Sama sekali bukan nama yang asing sebenarnya. Muggle yang satu itu memiliki kesohoran tingkat jagat raya--berlebihan, oke, tetapi begitulah pendapatnya kurang lebih.

Amanda bangkit, menutup buku di hadapannya. Siapapun yang telah meninggalkan syair tersebut, orang itu berhasil memicu ketertarikan miliknya, sukses melambungkan niatnya untuk mengetahui lebih jauh mengenai seorang Shakespeare. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah tempat berlabel perpustakaan Hogwarts memiliki buku yang berkaitan dengan hal itu? Patut dicari tahu. Ia mulai melangkahkan kaki menelusuri lorong-lorong suram di antara rak-rak hitam yang berdiri angkuh, matanya terus bergerak, membaca satu persatu judul buku-buku lusuh yang berjejer alfabetik. Mantra... Transfigurasi... Sejarah... Herbologi... Bacaan ringan... Itu dia. Amanda mendongak, menatap seonggok buku berjudul Shakespearean Gleanings yang terselip di tengah rak keenam dari bawah. Duh. Gadis itu berjinjit, mengulurkan tangan sejauh yang ia mampu, mencoba menggapai buku tujuannya. Ti-tidak sampai. Amanda menghela nafas sejenak, kemudian kembali membiarkan tumitnya terangkat di udara, bahkan melompat sekali--tidak bisa. Ia berdecak kesal, kepalanya kembali menengadah, memandang sang buku dengan tatapan kepingin.

Argh, nasib menjadi gadis pendek.

(OOC : Credit to wikipedia. Klik di sini untuk melihat syair lengkap The Phoenix and The Turtle)

Labels: ,


12:15 AM