Wednesday, April 15, 2009

Shape of My Heart-#3

Benci. Satu kata, mewakili segalanya. Satu kata, dan elemen bahasa tersebut berhasil mendeskripsikan serta menyentak keluar seluruh aspirasi hatinya. Ya, gadis itu benci--pada dirinya sendiri, untuk saat ini. Benci karena lidahnya selalu enggan berkompromi dan bermufakat dalam situasi menyesakkan seperti ini. Kedua kakinya turut bersekongkol, memutuskan untuk melipatgandakan bobot mereka seratus kali lipat, kemudian memakukan diri di atas lantai jembatan. Bagian intern dari sang leher terasa kering, memaksa gadis cilik tersebut untuk mengaktifkan kelenjar saliva setidaknya sekali per tiga puluh detik. Kardionya terus menerus menggedor dadanya tanpa ampun, begitu keras hingga detaknya tersampaikan kepada sang telinga. Jadi begitu, eh? Fine. Kalian semua... benar-benar tak setia kawan, wahai tubuh.

Ah, dan--ya. Amanda benci. Ia benci--tatapan itu. Tatapan yang terlontar dari kedua manik pemuda di hadapannya. Tatapan angkuh yang selalu serupa dalam setiap kesempatan. Tatapan yang seringkali membuat Amanda tak berkutik dan terkesiap. Ia sudah bilang, kan? Tolong. Tolong jangan menatapnya seperti itu, Lazarus. Please

"Apa lagi, Steinhart?"

Apa lagi? Tidak tahu. Dirinya tak tahu. Jangan tanya. Amanda melempar pandang kosong ke arah jurang jauh di bawah jembatan sekaligus membebaskan diri dan menghindari tatapan Lazarus. Benar, lalu apa sekarang? Salahkan dirinya yang begitu bodoh, tak mampu mengontrol sang mulut, mengundang kembali masalah yang hendak beranjak pergi beberapa detik yang lalu. Bodoh. Bodoh. Lihat, kan. Kini ia hanya mampu terdiam, terapung dalam penyesalan dan tenggelam dalam keputusasaan karena tak mampu mengulang kembali waktu yang telah berlalu dan membatalkan segala hal yang telah ia lakukan. Penyesalan--is nothing. Tak ada gunanya.

Amanda memiliki dua pilihan. Pertama, kembali memasang sang kedok, menuturkan jawaban serta alasan palsu sama seperti sebelumnya--dengan konsekuensi : menemukan guratan ketidaksabaran di wajah pihak di hadapannya tertoreh lebih dalam, dan menerima makian, mungkin? Opsi kedua, pilihan sinting--go ahead. Lanjutkan apa yang telah kau mulai, Amanda. Ralat, lanjutkan apa yang telah terlanjur kau mulai, sengaja atau tidak. Terima segala apa yang akan terjadi. Silangkan jari dan berharaplah untuk yang terbaik.

So. Pilih yang mana?

Kalimat berikutnya yang terucap dari bibir sang anak lelaki membuat engsel lehernya kembali berputar. Menjelaskan tentang isi perkamen, hm? Jika ia boleh berkata jujur... well, ia tak berani. Katakan saja ia payah, silahkan. Yang pasti, Amanda masih waras dan tentu, yang akan terpilih adalah pilihan pertama. Lupakan perkamen biang keladi tersebut, lupakan bahwa mereka pernah bertemu di tempat ini, lupakan bahwa ia pernah melontarkan kalimat 'tunggu, Lazarus'--ITU jalan terbaik. Amanda telah membuka mulut, mencoba menuturkan permintaan maaf, memberi penjelasan bahwa tak ada apapun, bahwa rangkaian kata yang tertulis di atas perkamen sama sekali tak berarti apa-apa... tetapi tak ada yang keluar. Suaranya tercekat bahkan sebelum tiba di leher, sesuatu menghambat perjalanannya. Oh, apa lagi sih? God, tolong ia, kali ini saja. She begs you.

Hei. Masih pagi. P-A-G-I. Oh, well, yeah. Pagi musim gugur. Identik dengan dedaunan yang meranggas, meninggalkan tempatnya bernaung, melambai dan meliuk menghampiri siapapun yang beruntung tengah berada tepat di bawahnya. Sang angin berbisik, berhembus dalam tempo tak terprediksi dan bermain-main dengan segenap komposisi bumi yang terserak. Burung gereja bercengkerama seperti biasa. Seperti biasa--tidak, tunggu.

Suara itu--berbeda sama sekali. Itu... tawa? Dedaunan melintas, merapat di telinga gadis Ravenclaw, bergesek dan terkekeh. A-apa? Bagaimana mungkin? Tuan angin menggelitik pipinya seraya mendesis lembut, menghantarkan ucapan menghujam.

Poor you, chicken Steinhart...



Ia bukan PENGECUT. Jangan. Pernah. Berani--

Burung gereja mungil itu menghampiri, menceracau ribut, seakan memberikan... semangat?

Selangkah lagi, gadis manis, ayo.



Bahkan dunia bekerja sama untuk mempermainkannya.

FINE. Hati terdalamnya memang tak pernah kalah. Hati kecilnya selalu berhasil mengambil alih, bahkan sukses menyingkirkan akal. Ya, dan kali ini mereka curang. Menggunakan fantasi tak berdasar, tak tercerna tetapi entah bagaimana berhasil menarik tuas yang tepat di pusat hati. Amanda menyerah. Ia akan melaksanakan apa yang telah ia mulai. Masa bodoh apapun yang akan terjadi. Terserah.

I'm here with my confession...



Menghela nafas berat, ia menatap lekat pemuda di hadapannya. Sebuah tindakan yang secara otomatis memicu sindron nervous, dan kali ini Amanda dapat merasakan telapak tangannya berkeringat. Cepatlah. Lima detik, dan semuanya selesai. "Err... sebenarnya..."

Got nothing to hide no more...



Kedua tangannya kini berada dalam saku, salah satunya menggenggam sang arloji kesayangan. Lehernya tercekat lagi, jantungnya kembali beraksi, menabuh dadanya dengan keras. Beri ia keberanian, God. Tolong. "A... Aku..."

I don't know where to start...



Apa yang harus ia katakan? Demi Leander, demi Nathaniel, dan demi semua orang yang ia sayangi, APA yang harus ia UCAPKAN? "Lazarus, a-aku..."

But to show you the shape of my heart...



"Aku suka padamu."

(OOC : Song credit to Shape of My Heart - Backstreet Boys)

Labels: ,


1:52 PM