Wednesday, July 15, 2009

19.00-#6

Aneh.

Terkadang takdir bisa menjadi begitu aneh. Di lain waktu mampu berubah menjadi tak terduga, dan di lain kesempatan dapat menghadirkan sesuatu yang begitu tak dapat dipercaya, sesuatu yang kau pikir tak akan pernah mungkin terjadi. Elemen kejutanlah yang membuat sesuatu bernama takdir menjadi amat unik, amat tak terprediksi, amat misterius dan memancing rasa penasaran, menuntun tiap-tiap pribadi menuju destinasi masing-masing. Tak terkecuali bagi setiap orang, termasuk bagi seorang gadis lima belas tahun bernama Amanda Steinhart. Malam ini, malam bersalju di awal bulan Desember, beberapa hari setelah ulang tahunnya tiba, sang takdir memutuskan untuk memberikan selarik nada kehidupannya dengan cara yang bahkan tak pernah terlintas di benak kecilnya. Aneh, ya. Mencengangkan. Namun juga menggembirakan. Sebuah permainan kehidupan dimana ia menjadi pemeran utama, memainkan lakon tanpa skrip terencana, tanpa persiapan dan tanpa aba-aba. Dimainkan begitu saja, seperti air sungai, tak tahu kemana menuju.

Masih terkepung sang waktu yang terus bergulir. Dalam diam. Hening lagi setelah pernyataan lugas tanpa pikir panjang terucap dari bibirnya. Apa yang Larry pikirkan? Apakah lagi-lagi ia melakukan kesalahan, eh? Seperti tahun lalu? Apakah sebenarnya anak lelaki di hadapannya memang bercanda? Hanya melontarkan lelucon tanpa maksud? Dan mungkin tengah tertawa dalam hati ketika mendapatkan kalimat aku-juga-suka darinya? Apakah begitu?

Tolong jawab dengan kata tidak. Ia mohon.

Well, siapa yang menyangka akan terjadi seperti ini? Mengingat awal mula dirinya menjejak menara tertinggi Hogwarts tak lebih dari dua puluh menit yang lalu--berawal dari teropong sang kakak, pencarian konstelasi bintang di langit kelabu yang tak menemukan hasil, kemudian melintasnya sebuah pesawat berbahan perkamen, disusul gerakan langkah yang membawanya berpindah tempat, keluar dari keremangan menara Ravenclaw dan menjejak di sini--dengan niat hanya untuk bertemu sang sahabat. Sesimpel itu. Siapa yang menyangka gurat ganjil kesedihanlah yang menyambutnya, berlanjut dengan percakapan absurd yang ia lontarkan mengenai ikatan kovalen dativ, lalu--begitulah. Begini. Tidak, sama sekali tidak protes. Terserah kalian akan berpikir apa, yang pasti adalah suatu kebohongan jika ia menyuarakan bahwa dirinya tak senang. Hanya belum bisa percaya. Itu saja.

Suara khas seorang Jonathan Larson Baned tak terdengar. Belum. Gadis Ravenclaw itu menarik nafas dalam, bersiap untuk segala kemungkinan--yang terburuk sekalipun. Jantungnya telah berdegup normal, namun kini mulai menunjukkan pertanda hendak berderap lagi. Sedekat ini, dear, dan yang timbul adalah kecanggungan, wajah yang memanas, lalu--

Pikirannya buyar. Benaknya mendadak kosong saat tubuhnya ditarik--dan sekali lagi, seperti saat di jembatan setahun yang lalu, ia tertegun ketika menemukan dirinya telah didekap, menjalarkan sensasi hangat dari kepala hingga kaki. For Merlin's sake, ini... Kembali terserang kestatisan total, Amanda terpaku untuk beberapa saat, kedua lengannya tetap berada di samping tubuh. Sebuah pelukan--lagi, menghadirkan rasa tercekat juga rasa nyaman dan aman, sama seperti waktu itu. Layaknya yang pernah benaknya ucapkan, hanya dua orang yang mampu menghadirkan ketiga perasaan itu. Leander--dan Larry. Mengapa bisa seperti itu, eh? Tidak tahu. Jangan tanya.

Dan ketika kesadarannya telah kembali, gadis itu menghembuskan nafas lega, kedua lengannya bergerak--balas memeluk anak lelaki Hufflepuff di hadapannya dengan sedikit ragu. Sudah cukup menjadi jawaban, ia rasa. Larry tidak sedang bercanda atau mengajukan lelucon. Tidak. Syukurlah.

Eh? Benarkah, katanya? Amanda tersenyum tipis. Tentu saja benar, astaga. Ah. Larry meragukannya? Seorang Steinhart pantang untuk berbohong, juga pantang untuk menjadikan sesuatu seserius ini sebagai bahan lelucon. Kata-katanya barusan diucapkan dengan amat sungguh-sungguh, dan serius.

Pertanyaan berikutnya yang bergaung hampir membuatnya tersedak. Be my girl, then--? Benaknya berputar cepat, abstrak, lagi-lagi tak terfokus, sementara rona merah mulai merambati wajahnya untuk kesekian kali. Mulai tak tahu mana yang nyata mana yang tidak. Amanda melepaskan pelukannya, perlahan, merutuki suaranya yang kembali pergi entah kemana. Tanpa alasan yang jelas, entah mengapa rasanya ia ingin menangis. "Err..." Ia membetulkan letak syal kuning-hitam yang membelit lehernya, menarik nafas dalam dan menelan ludah sekali. Tak ada keraguan sebenarnya, hanya saja ia butuh keberanian dan ketetapan hati untuk menjawab kali ini. Dirinya pun tak mengerti mengapa terasa begitu sulit. Menarik nafas. Lagi.

"With pleasure."

Keputusan yang tak main-main, dear. Amanda tahu. Apa kira-kira yang akan Leander dan Nathaniel katakan jika mendengar semua ini, hm? Bagaimana reaksi mereka? Well, tidak tahu, dan apapun yang akan mereka katakan-jika keegoisan diizinkan untuk berbicara saat ini-ia tetap tak akan berubah pikiran. Mengerling Larry dengan salah tingkah, ia tersenyum canggung. Ini aneh. Mengapa sikap mereka jadi begini? Tertawa kecil, Amanda kemudian bersuara. "Hei. Kenapa jadi canggung begini, eh?" Mengumpulkan segenap kesadarannya lagi, sang gadis masih tetap tersenyum simpul, kali ini memberanikan diri untuk menegakkan tatapan, memandang balik hazel milik sang anak laki-laki. Perasaannya bercampur aduk detik ini, tak terdefinisi dan sulit terdeskripsi. Kakinya lemas, ngomong-ngomong.

"Um..." Penutup? "Terima kasih banyak-" Tangan kanannya bergerak, menyentuh lengan pemuda di depannya, "-Jonathan Larson Baned."

Ya. Terima kasih. Untuk seluruh yang telah dilakukan. Untuk kebaikan hati yang telah diberikan. Karena selalu ada.

Dan--untuk segalanya.

Labels: ,


4:25 AM


Transfigurasi Kelas 3

Spanyol?

Pasti salah baca. Ha.

Dapat enam tiket final Piala Dunia FIFA, ngomong-ngomong. Awal juli kita berangkat ke Spanyol. Lebih dua tiket, ajak temanmu kalau mau. Aku mau nilaimu bagus, Gladstone, kalau tidak batal saja.

Kalau surat ini lelucon, sama sekali tidak lucu, Dad. Anak laki-laki itu masih terdiam dalam ketidakpercayaan, sejak pagi hari sejak sang perkamen surat melesat memasuki kamarnya hingga detik ini dimana ia terduduk kaku di dalam kelas transfigurasi. Ini--mustahil.

Baca baik-baik. Mungkin ada kata-kata yang salah ia mengerti?

Tidak ada. Nathaniel menghembuskan nafas, berusaha meredakan kardionya yang bergemuruh, tangan kanannya terangkat secara tak sadar, mengacak rambut hitamnya. Sebuah fakta mencengangkan sekaligus luar biasa menggembirakan. Ke Spanyol? Final Piala Dunia? Tidak dapat dipercaya. Anak lelaki empat belas tahun itu menghenyakkan punggungnya--membenturkan, lebih tepatnya--ke sandaran kursi, sepasang matanya berkilat cemerlang, tertumbuk pada satu titik di depan kelas, pada satu sosok wanita bernama Profesor McGonagall. Menatap, memang, namun tak terfokus sama sekali, benaknya melayang ke berbagai tempat dan waktu.

Kabar tersebut dapat mengartikan amat banyak hal. Mendapatkan enam tiket tentu bukan hal yang mudah, dan kemungkinan besar didapatkan sang ayah berkat relasinya dengan beberapa kolega--well, keluarganya memang berkecukupan, tetapi bukan termasuk ke dalam jajaran marga yang mampu mendapatkan apapun yang mereka inginkan hanya dengan menjentikkan jari. Lagipula taruhan, ia yakin seorang Amethyst Gladstone lebih senang berjerih payah dibandingkan berpangku tangan dan menitah orang lain. Kembali kepada tajuk semula, mungkin juga Leander yang memegang andil, entah. Kakak sepupunya itu tentu tak akan sungkan melakukan apapun untuk merealisasikan permintaan seorang Amanda Steinhart--keuntungan baginya, yeah. Mengakhiri perasaan was-was yang melanda selama sebulan belakangan akibat kepesimisan dominan mengenai berhasil atau tidaknya ia menyaksikan pertandingan puncak piala dunia, permohonan terbesarnya. Bahkan pemuda Gryffindor itu tak lagi mengindahkan segala rasionalisme yang selalu ia junjung, dan mempraktekkan mitos 'Senbazuru' di danau. Ck. Whatsoever, satu hal hadir dan sedikit menyentak hatinya. Satu bukti, Dad masih peduli pada apa yang ia inginkan, ternyata. Tak dapat dipungkiri, kelebatan kemungkinan tersebut menghadirkan setitik impuls kegembiraan baginya, meskipun sedikit tertekan oleh kalimat terakhir yang tergurat di dalam surat. Nilai bagus, atau batal. Hah. Tak tahukah kau betapa sulitnya merealisasikan hal tersebut?

Lamunannya buyar dalam sepersekiam detik ketika suara khas wakil kepala sekolahnya bergaung, merilis rangkaian kata penanda kelas dimulai. Memaksa sarafnya untuk bersatu dan berkonsentrasi penuh, Nathaniel menegakkan tubuh di tempat raganya duduk, sepasang hazelnya telah bertemu dengan sang fokus. Benaknya tak boleh berkeliaran lagi, tidak. Ia punya kewajiban untuk meraih poin memuaskan, dan ia sadar akan hal tersebut. Harus. Bisa.

Dan materi apa hari ini? Inanimate to animate, she said. Kebalikan dari tahun lalu. Mengubah benda mati menjadi makhluk hidup yang bernafas--tampak lebih rumit. Eh? Harus Nat akui, ia terkejut saat mendengar penjelasan tak ada mantra yang digunakan, hanya membutuhkan konsentrasi. Ah, tidak, tentu akan lebih rumit tanpa mantra, tak akan ada indikator yang menjelaskan dimana letak kesalahan yang ia lakukan jika nanti transfigurasinya tak berhasil. Terserahlah, apapun bisa terjadi, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba. Nathaniel membungkuk, menyambar piala jatahnya dari bawah dan meletakkannya dalam satu gerakan ke atas meja. Let's try. Konsentrasi. Menggenggam eldernya lebih erat, ia menatap piala di hadapannya lekat-lekat.

Konsentrasi. Piala--dunia. Harus bisa. Spanyol.



Salah. Bukan itu yang harus kau pikirkan, bodoh.

Konsentrasi. Piala. Harus bisa. Jadi marmut. Piala. Jadi marmut. Piala--dunia. Spanyol.



Masa bodoh dengan apa yang ia pikirkan. Nat melambaikan tongkatnya, dengan yakin menunjuk objek pelajarannya hari ini--tidak terjadi apapun. Menghela nafas jengkel, ia memilin sang tongkat sihir dengan sorot mata bingung. Kan. Ada yang keliru, dan ia tak tahu apa. Lagi, deh. Sang tangan kembali terangkat, bersamaan dengan memicingnya sepasang manik kecokelatan miliknya.

Marmut. Marmut. Marmut. Piala jadi marmut. Mar--



KABOOM!>

Astaga. Kali ini engsel lehernya berputar, mencari sumber suara pemecah konsentrasi. Mobbrenette. Sigh. Tak perlu dihiraukan, Gladstone. Buang seluruh elemen yang berpotensi mengganggu, tutup telinga rapat-rapat. Nilai bagus. Keberhasilan. Harus. Untuk yang ketiga kalinya Nathaniel mengeratkan genggaman pada sang elder, menghela nafas--jangan panik. Coba sekali lagi.

Piala itu adalah marmut. Marmut. Marmut dari piala. Piala jadi marmut. Piala-dunia.



Argh.

Berhasil, ngomong-ngomong. Lensa cemerlangnya mengerjap tak percaya saat piala di depannya mulai melentur, berputar di tempat dan menghilang pada detik berikutnya. Sebagai pengganti, kini telah bergelung seonggok kelinci--serius, kelinci, bukan marmut. Amat mirip dengan kelinci milik Amanda, Mimzy, namun ini... bermotif. Bulunya bercorak segi enam hitam putih. Oh man. Sepakbola. Luar biasa.

Setidaknya ia berhasil. Bahkan lebih baik. Seekor kelinci, mate, lebih besar dari marmut. Mendengus tertawa, ia bangkit, membawa kelinci ciptaannya ke depan kelas dan memasukkannya ke dalam kandang. Puas, lumayan.

Mengenai nilai--berharap saja.

Labels: ,



19.00-#5

Apakah tadi ia berkata 'sama'?

Ralat. Berbeda. Tentu saja. Entitas utamanya memang sama, tetapi--rasa yang timbul tidak serupa.

Masih menunggu dan bergeming. Nafas berembun terhembus tak nyaman melalui rongga faringnya, jemarinya saling bertaut satu sama lain. Musim dingin tengah tak bersahabat, dear. Lebih tajam dari biasanya. Amanda mengerling sekilas ke arah lautan pekat di luar sana, ke arah langit mendung tak berkonstelasi. Salju benar-benar telah menampakkan diri, bergulir dalam kawanan dan berputar lembut menghujani ambang jendela, menjejak, merebahkan diri, menciptakan hamparan karpet polos. Sang gadis kali ini menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan rasa tercekat yang memenuhi rongga dadanya akibat hembusan angin utara tanpa toleransi, juga mencoba mengusir rasa kebas dari kedua lengannya. Bertahanlah, Amanda. Sebentar saja, tak lama, hanya untuk mendengarkan alasan apa sebenarnya yang mendasari masalah besar yang tengah terangkat ke udara. Setelah itu ia dapat melangkahkan kaki menuruni tangga pualam sang menara tertinggi, kembali menuju asramanya, menghampiri perapian dan menghangatkan diri disana. Juga kembali menata hatinya lagi, mungkin--well, semua tergantung Larry. Apakah persahabatan mereka akan berakhir hari ini? Hanya sampai disini dan selesai begitu saja? Oh my. Tidak mau.

Selalu begitu. Mengapa selalu membiarkan kepesimisan tertawa lebar, eh?

Sepasang manik kecokelatannya bergerak canggung, tak tahu harus memandang kemana. Dan saat sorot cemerlang itu bertemu dengan hazel di hadapannya, tak sengaja--ia tahu. Berbeda, seperti apa yang telah ia katakan di awal. Jauh berbeda dengan apa yang ia rasakan tahun lalu. Saat itu tatapan yang ia terima begitu dingin, begitu datar dan kaku, menusuk--milik seorang Lazarus. Membuatnya selalu dirundung kecemasan ketika memandangnya. Tidak kali ini, yang ia temukan adalah tatapan teduh yang selalu menemaninya selama empat tahun terakhir, tatapan yang selalu membuat hatinya nyaman dan tenang saat melihatnya. Mengapa ia baru sadar? Mengapa impuls sarafnya baru menyentaknya detik ini, dengan informasi sederhana yang seharusnya sudah ia ketahui sejak lama? Kau memang bodoh, Amanda Steinhart. Ya, ia memang pantas dirutuki. Segalanya terlihat begitu terang dan jelas saat ini dalam benaknya, dan gadis itu luar biasa heran mengapa fakta itu baru menghampiri saat ini.

Tak sadarkah kau selama ini, Steinhart? Seorang Jonathan Larson Baned, yang kini tengah berdiri di depannya--anak laki-laki Hufflepuff itulah yang selalu ada untuknya. Selalu. Benaknya terjungkir ke masa lalu, membuka kembali album memorinya empat tahun terakhir. Diawali dengan insiden butterbeer featuring kecerobohannya--hal bodoh pertama yang ia lakukan di dunia sihir, tetapi kau tahu apa? Dirinya amat mensyukuri kebodohannya ketika itu, karena itulah kali pertama sosok Larry terekam dalam hidupnya, dalam ingatannya, mengawali persahabatan yang sebelumnya tak pernah terprediksi akan tercipta. Bergulir kembali, flashback kehidupannya di Hogwarts ditayangkan,kelebatan-kelebatan tanpa warna memenuhi kepalanya. Peristiwa aneh di danau--saat itu Larry menawarkan jubahnya, yang dengan bodohnya ia tolak. Nice. Kemudian, pesta dansa--event pertama yang sukses membuat kardio gadis sebelas tahun bermarga Steinhart berderap abnormal. Apa lagi? Peristiwa konyol di kelas transfigurasi, saat tikusnya tak berubah menjadi cangkir yang sempurna; setahun lalu, peristiwa jembatan, yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup; menginap di rumah Larry karena bahaya yang mengincar Leander; menonton Superman II di bioskop--siapakah yang berperan disana? Siapa? Jonathan Baned, dear, bukan Sylar Lazarus. Dan apa yang merasuki dirinya hingga sang hati berbisik bahwa ia menyukai sang pemuda Slytherin, seseorang yang bahkan sama sekali asing baginya? For Merlin's sake, hal tersebut merupakan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan selama lima belas tahun ia hidup. Terbesar. Dan terbodoh.

Lazarus, sebuah nama di masa lalu, penuh kebodohan, yang seharusnya tak pernah terjadi. Telah ia lupakan dan ia buang jauh-jauh, ngomong-ngomong. Yang ada saat ini hanyalah perasaan sebenarnya, perasaan yang memang seharusnya timbul sejak dulu, namun baru ia sadari belakangan ini. Untuk seorang Jonathan. Dan ia harap ia tak lagi melakukan kesalahan. Semoga.

Well, meskipun amat mustahil sang sahabat memiliki rasa yang sama dengannya. Ya kan?

"Kau mau tahu, kan?"

Amanda tersentak. Jiwanya kembali ke masa kini, terbangun dari lamunan, album kenangan miliknya kembali tertutup. Kedua matanya terkerjap, sementara bibirnya tetap terkatup. Rasanya ia tak perlu menjawab. Ia amat tahu Larry tahu apa jawabannya. Detik berikutnya efek luar biasa ganjil itu lagi-lagi memeluk segenap tubuhnya--hatinya mencelos, jantungnya menggedor dadanya keras-keras saat pemuda di hadapannya kembali meminimalisir jarak, melangkah maju. Oh my, kenapa harus mendekat? Amat sulit mengatur kardionya agar berjalan normal serta mengukung rasionalisme agar tetap berada dalam benak jika Larry berada sedekat ini. Ah, astaga. Gadis Ravenclaw itu menunduk, tak berani mengangkat wajah--lagi. Dan tertegun saat merasakan bahan lembut perlahan mendarat di sekeliling tengkuknya, berhasil membuat wajahnya memanas. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak tahu.

Disusul sebuah gumaman samar. Eh? Apa? Mendongak, kali ini. Amanda mengerutkan kening, tak mampu menangkap rangkaian huruf yang diucapkan barusan. Bahkan kerutan itu tergurat lebih dalam saat suara Larry kembali meluncur dengan terbata. Suka? Suka ap--

Oke. Firasatnya berteriak. Tidak, tidak, Amanda, tidak mungkin. Sudah seringkali diperingatkan, bukan? Jangan berharap. Singkirkan pikiran konyol itu dari benak. Realistislah. Mustahil. Haha.

"Aku-suka-kau. SALAH-Aku suka kau."

Apa?

Terperangah. Tak lagi berderap, kali ini sebaliknya, sang kardio seakan berhenti berdetak. Sebongkah batu besar terjun bebas dan mendarat di perutnya, merambatkan sensasi menyenangkan ke seluruh tubuh. Tidak mungkin salah dengar. Sejelas itu, dua kali. Amanda menghela nafasnya yang tercekat, cepat-cepat menutup mulutnya yang ia sadari sedikit terbuka, menelan ludah. Larry pasti bercanda. Pasti. Ya.

Hei. Memangnya kapan Larry pernah bercanda?



Ti-tidak pernah, sejauh ini.

"Kau suka Lazarus. Aku tahu. Haha."

Bercampur aduk detik ini. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar pengakuan seperti itu, malam ini. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, ia berbohong jika mengatakan dirinya tak senang mendengarnya. Ia senang. Sangat. Kenelangsaan itu tak terulang lagi, terima kasih banyak. Tetapi--kenapa harus menyebut nama itu, eh? Kenapa?

"Aku..."

Menemukan suaranya kembali, Amanda menelan ludah sekali lagi, mengatur nafasnya agar terhela normal dan menahan diri untuk tak berteriak. Tolong beritahu apa yang harus lakukan. Tolong.

"Aku juga-"

"-suka." Sempurna. Tak ada rasionalisme saat ini. Hati tengah berbicara. "Larry," nafas yang terhembus kali ini cenderung merealisasikan rasa putus asa ketimbang gembira, "Lazarus sudah kubuang jauh-jauh. Seluruhnya. Tak berbekas."

Ia menyelipkan helai kecokelatan miliknya ke belakang telinga sebelum melanjutkan dengan lirih, "Tolong jangan sebut nama itu lagi."

Tak seperti musim gugur. Musim dingin adalah sahabatnya. Sahabat penuh senyum, memberikan hal terbaik bagi hidupnya.

Sekali lagi--terima kasih banyak.

Labels: ,


Tuesday, July 14, 2009

Senbazuru : 1000 Bangau

Mustahil, kata Amanda.

Gaung langkahnya bergerak. Menjejak menjauhi dapur dalam jarak teratur, siluet bayangnya mengiringi dalam diam. Sarapan eksklusif--terlambat bangun lagi untuk kesekian kalinya. Sigh. Kenapa jadi tak disiplin seperti itu, eh, Gladstone? Tidur pagi, seperti biasa. Entah mengapa itu menjadi kebiasaan akhir-akhir ini, padahal tak ada kegiatan yang berarti. Membaca buku panduan Rune Kuno tanpa mengerti benar apa yang sesungguhnya ia baca, atau membaca Weekly Football untuk entah keberapa belas kali, mencoret-coret perkamen bekas tanpa tujuan, atau hanya menatap langit-langit kamar asrama tak terfokus. Tak dapat dipercaya, memang. Tak berguna.

Dan tebak, opsi terakhirlah yang menjadi biang keladi hari ini. Tak dapat memejamkan mata hingga pukul tiga pagi hanya karena satu hal yang bersarang di pikirannya semenjak seminggu yang lalu. Seperti apa yang dituliskan dalam Weekly Football secara berulang-ulang, menjadi topik utama yang paling dibahas di dunia persepakbolaan muggle--prediksi, namun tanpa konfirmasi pun ia yakin perkiraannya benar--Piala Dunia akan segera bergulir. Di Spanyol. Event yang begitu ia tunggu bahkan sebelum tahun baru hadir, dan sekarang telah mengambang di depan mata, membangunkan segenap antusiasme dan harapan. Selama ini keinginannya tak pernah terpenuhi--menyaksikan langsung pertandingan pamungkas, final, FYI, dan itu terasa begitu mengecewakan.

Tahun ini harus bisa.

Tetapi statement yang dilontarkan sepupunya berhasil menguapkan sang harapan. Mustahil. Oh yeah, Amanda terlalu pesimis. Dan sialnya pesimisme tersebut mulai menggerogoti keyakinannya secara perlahan, meluapkan keraguan yang luar biasa menjengkelkan. Sepanjang yang seorang Nathaniel ketahui, ayahnya amat tak peduli dengan sebuah olahraga terbaik di dunia bernama sepakbola, sementara Leander tak mampu mengalihkan wajah dari tugasnya sebagai auror lebih dari dua hari. Lengkap sudah. Amat kecil kemungkinannya mereka berdua rela mengorbankan waktu untuk menonton pertandingan yang selama ini selalu mereka acuhkan, di luar negeri pula. Masalah dana tak pernah menjadi persoalan--bukankah ia sudah berkali-kali bilang?--karena itulah harapan itu masih ada. Dan segalanya kini bergantung kepada kemurahan hati sang ayah. Ck. ITU masalah terbesarnya.

Nathaniel mengacak rambutnya, memicingkan mata sejenak saat sepasang kakinya tiba di Aula Depan. Kontras dengan keremangan ruang bawah tanah, dan pupilnya harus beradaptasi selama beberapa detik. Tak ada yang istimewa dengan hari ini, sama sekali, hanya satu hari biasa sama seperti hari-hari yang telah ia lalui. Monoton. Lurus-lurus saja, tak ada yang menarik, tak ada yang mencengangkan, tak ada yang keluar dari jalur. Seperti keinginan Dad, tentu saja. Well, dan saat ini langkahnya kembali berderap, melintasi jembatan, halaman, menuju danau. Tak ada tujuan pasti, hanya bosan mendekam di dalam kastil, terkepung dinding batu suram disana sini. Meretas rerumputan, kini pemuda itu telah berdiri di tepi danau dengan kedua tangan terbenam dalam saku, wajah kusut terpampang. Harus cari cara untuk membujuk sang Gladstone senior, apapun itu. Mengetahui keinginan terbesarnya kemungkinan besar akan gagal terpenuhi terasa amat sangat menyesakkan, kalau kau belum tahu.

Mengerling, sudut matanya menangkap siluet sekumpulan benda, terserak begitu saja di atas hamparan hijau di tepi danau. Eh? Penasaran memimpin, dan disinilah ia sekarang, bersila sementara lapis hazelnya berkerjap heran. Kertas lipat--origami? Aneh. Siapa pula yang tanpa sengaja-atau mungkin sengaja-meninggalkan tumpukan kertas tersebut disini, hm? Dilengkapi botol tinta pula. Guratan kalimat tertulis di salah satu kertas, ia baru sadar. Nat mengerutkan kening, membaca satu persatu rangkaian kata disana.

Senbazuru? Seribu bangau. Permohonan akan dikabulkan.

Oke. Pernah dengar mengenai Senbazuru kalau ia tak salah ingat. Mitos, kawan-kawan. Namun kali ini tak ada dengus tak percaya yang terilis, yang tercipta malah kilasan antusiasme. Ini yang ia butuhkan. Permintaannya akan terkabul, kan? Seperti anak perempuan, memang, percaya kepada hal-hal seperti ini, tetapi benaknya saat ini tengah menjunjung tinggi sang hati, bukan rasionalisme. Ia memang menginginkan sesuatu, tak perlu mengelak, dan baginya berdoa itu tak ada salahnya. Coba saja. Nathaniel meraih secarik kertas lipat, mengambil pena bulu dan mencelupkannya ke dalam tinta, kemudian berpikir selama beberapa detik sebelum mulai menulis.

Semoga Dad memberiku kesempatan untuk menonton final Piala Dunia sepakbola muggle di Spanyol bulan Juli nanti.

Sudah? Begitu saja. Ha, tidak, mengapa tak sekaligus saja?

Semoga Dad memberiku kesempatan untuk menonton final Piala Dunia sepakbola muggle di Spanyol bulan Juli nanti.
Semoga aku bisa menjadi seorang Gladstone sesuai harapan.
Semoga aku bisa menjaga Amanda dengan baik.
Semoga Marvil memiliki perasaan yang sama denganku.


Astaga, yang terakhir terdengar begitu konyol. Masa bodoh. Sudah terlanjur, dan tak tersedia penghapus. Tangannya kemudian bergerak cepat, sedikit ragu saat mulai melipat sang kertas menjadi bentuk bangau--sesuai instruksi, dan ia bersyukur langkah-langkah membuatnya pun tersedia. Done, sama sekali tak sempurna. Sekali lagi, ia tak peduli. Toh yang akan dilihat bukan bentuk, tetapi isi--itupun jika benar akan dikabulkan. Sigh. Detik berikutnya sang bangau telah berlayar, diiringi dengan seringai tipis di wajah pemuda empat belas tahun itu. Siapapun pemilik origami ini, orang itu pintar. Kertasnya tak basah? Great.

Seperti sudah diatur. Ha.
[out]

Labels: ,