Thursday, April 9, 2009

Le Papillon#1

BRAK!
BRUKK!
GABRUK!
Tiga. Tambah satu deh.

Buku terakhir--yang ketiga, FYI--terlempar ke atas lantai, tertimpa kemudian dengan lembaran Daily Prophet terbaru yang telah lusuh, terlihat jelas telah dibaca berulang kali. Nathaniel mendecakkan lidah, menatap tumpukan miris buku-buku tebal yang terserak begitu saja di kaki tempat tidurnya, satu sama lain bertumpang tindih dalam formasi abstrak. Oke, cara yang bagus untuk merusak buku pribadi, melemparnya tanpa pikir panjang. Nice. Terserah kau hendak berkata apa, yang pasti kelima satuan perkamen tersebut tak mampu menghilangkan kebosanan luar bisa yang mendera Nat saat ini.

Pemuda cilik tersebut mempertahankan posisinya--berbaring terlentang menatap langit-langit kamar--hanya saja kini ia menaruh lengan kanannya di atas dahi serta memejamkan mata. Wajar sih bila ia tak terkesan. Tiga buku tebal mengenai Quidditch--Amanda yang memberikannya, entah untuk apa. Ralat, mungkin sedikit banyak ia dapat menerka apa alasan sepupunya secara tiba-tiba memberikan tiga buah buku tebal bertajuk olahraga pujaan dunia sihir. Masih berniat membuatnya tertarik pada Quidditch, eh? Bermimpilah.

Namun akibat luapan rasa penasaran yang hadir tanpa diundang, mau tak mau Nat membuka beberapa halaman, membaca sekilas. Sapu. Bola. Terbang. Tak tertarik sama sekali tuh. Yang timbul hanya kerutan di kening dan acakan di rambut. Jujur, ia sendiri pun heran akan fakta bahwa hatinya senantiasa tertutup bagi Quidditch, bahkan tak memberikan celah sekecil apapun bagi jenis olahraga di luar sepakbola untuk memikat benaknya. Kelihatannya rasa cintanya telah habis, tercurah hanya kepada sepakbola. Dan kepada musik, tentu. People talk, people ask. Banyak celetukan yang sempat tertangkap telinganya, positif maupun negatif, namun yang lebih dominan adalah disebut belakangan, actually. Kata mereka ia lebih cenderung berpihak kepada Muggle, tak menghargai olahraga milik bangsa sendiri...

Omong kosong.

Berbicaralah seenak perutmu, people. Come on, this is not about it...! Ini hanya mengenai selera dan kebiasaan yang telah mendarah daging, bukan karena Nat tak memiliki respek sama sekali kepada Quidditch. Terserah. Tak ada gunanya juga mendebat.

Nat bangkit, kemudian beringsut duduk di tepi tempat tidur. Pagi hari di akhir pekan, amat tak pantas dihabiskan dengan mendekam di dalam asrama Gryffindor, menyia-nyiakan waktu dan membiarkan diri sendiri tak melakukan apa-apa sementara di luar sana segalanya bertambah buruk. Melirik Daily Prophet yang teronggok di dekat kakinya, ia mendengus sarkastik. Serangan dan kecaman, kekalutan dan atmosfer mencekam. Segala hal mengkhawatirkan sudah menjadi hal yang lumrah saat ini, tersebar dengan kecepatan cahaya. Hm, alangkah baiknya jika waktu luang dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan, baik dalam segi proteksi maupun offense, rite? Oke.

Tetapi tidak hari ini. Nat tidak sedang dalam mood yang baik. Anak lelaki dua belas tahun itu berdiri, menyambar bola sepak dan sepatu olahraganya, lalu melangkah menuju pintu.

Let's have some practice.

Halaman
Juggling. Seperti biasa. Nat melontarkan sang bola berulang kali tanpa terputus sementara kedua matanya menatap kosong ke rerumputan beberapa meter jauhnya di depan sana. Tempat ini. Tempat pertandingan sepakbola lima lawan lima berlangsung tepat setahun yang lalu. Ah, seandainya tahun ini ia dapat melangsungkan kembali momen seperti itu.

Nat melambungkan bola setinggi dada, kaki kirinya mengambil ancang-ancang. Dengan sekuat tenaga ia menendang, bermaksud melontarkan benda hitam putih tersebut jauh ke angkasa, sekaligus mengukur kekuatan tendangannya. Sumpah, ia tak menyadari bahwa dirinya tengah berdiri di bawah pohon Chestnut rindang dengan dahan rapat. Nat menengadah, menunggu. Bolanya tidak turun lagi. Astaga, dasar bodoh.

Menggeleng tak percaya ketika tahu bahwa benda kesayangannya tersangkut di atas pohon, Nat berjongkok dan melepas sepatu putihnya, kemudian mulai meraih dahan terendah. Mau tak mau ia harus memanjat. Ck. Perlahan, Nat mengangkat tubuh ke atas, memperhatikan baik-baik struktur dahan serta tekstur kulit kayu, memilah bagian mana yang tepat untuk dipijak. Bolanya belum kelihatan. Naik semakin tinggi, jantungnya sedikit berdebar. Hati-hati, Nat, hati-hati. Belum juga? Oh yang benar saja. Naik lebih tinggi lagi, ia dapat merasakan bulir peluh menetes di pelipisnya. Oke, itu dia. Mencondongkan tubuh ke depan, sementara tangan kanannya mencengkeram dahan terdekat erat-erat, ia menggapai sang bola dengan ujung jemarinya. Got it.

Dan pada saat yang bersamaan sesuatu mendarat di hidungnya, membuatnya terkejut setengah mati. A--apa yang... Astaga. Apa sih yang menarik di hidungnya sehingga seekor makhluk mungil dengan sepasang sayap indah memutuskan untuk beristirahat disana?

Itu--kupu-kupu.

Kekagetannya berdampak luar biasa buruk. Jantung Nat berhenti berdetak saat tubuhnya mulai oleng, dirinya kehilangan keseimbangan dan pegangan. What the-- Bola sepaknya terlepas dari genggaman, meluncur ke bawah. Dan kau tahu apa?

Anak lelaki tersebut menyusul.

Terbelalak tak percaya, tangan Nat menggapai-gapai dengan panik. Tubuhnya melayang, terjun bebas dari ketinggian empat meter. Great, tak lama lagi ia akan mati.

Tuhan masih sayang padanya. Nat tersentak, tubuhnya berhenti tiba-tiba dua meter di atas permukaan tanah, tangan kirinya berhasil meraih salah satu dahan. Selamat. Ia masih hidup. God, setelah ini dirinya akan berpikir dua kali sebelum memanjat pohon.

Labels: ,


4:40 AM