Saturday, April 25, 2009

The Phoenix and The Turtle-#2


Berapa sih tingginya? Tak akan lebih dari dua ratus sentimeter--absolutely.

Sepasang lensa bening kecokelatan berkilat redup, menembus keremangan yang diciptakan oleh siluet bayangan rak-rak raksasa yang menjulang angkuh hingga ke langit-langit, saling berpadu padan dan bercampur satu sama lain. Seratus lima puluh dua sentimeter versus dua meter tepat, dan ia kalah? Hanya berbeda lima puluh senti, dan bahkan jemarinya tak mampu menyentuh papan rak hitam keenam dari lantai, tak peduli berapa jauhnya ia merentangkan tangan dan mengangkat tumitnya ke udara. Gadis itu mendesah, menatap buku incarannya dengan putus asa. Menyerah dan kembali berkutat dengan pekerjaan awalnya? Oho, paradigma menyerah tak pernah eksis dalam lingkup benaknya, tidak sebelum ia mencoba segala upaya.

Amanda menurunkan pandangan, tangan kanannya mengusap tengkuk beberapa kali. Pegal. Mendongak bukan aktivitas yang nyaman dilakukan terlalu lama, kalau kau belum tahu. Well, apa sesungguhnya yang membuatnya kukuh untuk meraih buku yang satu itu, eh? Tidak tahu. William Shakespeare bukan salah satu pribadi yang menjadi idolanya--tak ada yang mengumandangkan puisi-puisi berima di seantero rumahnya di London, tentu saja. Bahkan komunitas Muggle yang melatarbelakangi kehidupannya di Highbury Crescent nomor empat enggan menghadirkan kesusastraan dalam entitas lebih--bercampur dengan sikap individualisme yang menguasai masalah tetangga-antar-tetangga. Entah. Hanya penasaran akan syair yang terpampang di atas secarik perkamen lusuh yang kini tengah berada dalam genggamannya, mungkin.

Think, Amanda. Pikir. Menilik panjang dan lebar dari rak-rak hitam identik yang berdiri dalam jarak yang sama di ruangan perpustakaan tersebut, dan melihat bahkan begitu banyak buku tergabung dengan jajaran level atas dalam masalah ketinggian, satu statement sudah pasti. Tak mungkin para pengunjung atau Madam Pince sekalipun mampu mencapai buku-buku tersebut tanpa bantuan, atau alat, atau apapunlah. Apa yang akan seorang penyihir lakukan dalam situasi layaknya saat ini? Tangga seperti yang digunakan Mr. Ollivander mungkin... Yang lain, err...

YA AMPUN. Ahahahaha.

Entah bagaimana Amanda tersedak, terbatuk kecil saat kesadaran itu tiba. Astaga, kealpaanmu sungguh tak dapat dipercaya, Steinhart. Gadis itu menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kebodohannya yang luar biasa. Oke, coba kita ingat kembali. Mantra Panggil termasuk dalam daftar mantra legal baginya, rite? Ya. Dan ia sama sekali lupa bahwa dirinya memiliki sesuatu bernama tongkat sihir terselip di balik jubahnya. Ayo tertawa, ia memang pantas ditertawakan, haha. Rowena Rawenclaw pun sepertinya akan tertawa melihat seorang penyihir--Ravenclaw pula--bisa-bisanya lupa bahwa dirinya penyihir. Amazing. Masih dengan keheranan terhadap diri sendiri, Amanda merogoh ke dalam saku jubah, mengambil tongkat Eldernya perlahan. Shakespearean Gleanings, Shakespearean Gleanings--

"Ini?"

Seseorang telah mendahuluinya. "Ah ya, terima kasih," ujar Amanda seraya tersenyum, kepalanya terangkat, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang berbaik hati menolong--

My God. I-ini. Di--hadapannya. Dewi fortuna ternyata tengah menyempatkan diri mengunjunginya. Harus gadis itu akui hatinya melonjak ketika tahu siapa yang berdiri di sampingnya. Ta-tanpa alasan yang jelas mengapa. Menghadirkan keterpakuan sejenak dalam beberapa detik. Tongkatnya berhenti di udara, sementara kedua kelereng cemerlangnya terkerjap sekali. Yang menolongnya itu... Itu--Prefek Balin Al-Kazaf. Seseorang yang dikaguminya. Beater favoritnya. Benarkah itu dia, eh?

Pertanyaan yang kemudian terlontar dari pemuda di hadapannya membuat Amanda tersentak sadar, cepat-cepat mengatupkan bibirnya yang sedikit terbuka. Jangan. Norak. Please. "Err... Ti-tidak juga... A-aku..." Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan benak dan hatinya ke taraf normal. Tenang, Amanda. Hanya seorang prefek Al-Kazaf. Hanya seorang kapten Al-Kazaf. Jangan bersikap tak normal seperti itu, bodoh.

"Hanya... penasaran sebenarnya, Senior--err, Prefek maksudku," ujarnya dalam sekali tarikan nafas, kemudian sedikit mengangkat tangan kirinya, menunjukkan carik perkamen syair yang menarik hatinya. "Aku..." Amanda menerima buku tujuannya perlahan setelah sebelumnya menyelipkan kembali sang tongkat ke balik jubah. "Terima kasih banyak," ucapnya dengan senyum canggung.

Sial--kenapa rasa gugup ini tak mau pergi, sih?

Labels: ,


9:57 AM