Thursday, April 9, 2009

Pemeliharaan Satwa Gaib - Kelas 3#1

Yow. Back to Hogwarts. Back to school. Back to study, and also--back to struggle. For her.

Bulir bening terhempas ke bumi, menimpa apapun yang eksis, yang berdiri di atas permukaan tanah. Benar, kan. Bodoh kau, Amanda. Sang gadis cilik menjejakkan kedua kakinya, silih berganti secepat yang ia mampu. Dalam waktu sepersekian detik, kepala, pundak, lutut-kakinya telah basah, tanpa pelindung, terinvasi oleh hujan serta terpercik genangan air dan titik-titik dingin yang bersatu dengan rerumputan. Yap, hujan. Cukup deras pula. Dan dengan bodohnya kini ia terjebak di dalamnya, kalang kabut berusaha mencapai Aula Depan sesegera mungkin. Catat, pelajaran pertama hari ini : sekali-sekali percayalah pada apa yang kau dengar. Kedua, sering-seringlah bertanya. Ketiga, selalu cek papan pengumuman kelas, mata pelajaran apapun itu. Ingat dan camkan baik-baik wahai siswa-siswi Hogwarts yang budiman.

Benar, kan. Menjadi seseorang yang memiliki pemikiran kritis memang baik, namun terkadang sang nasib sial memutuskan untuk mampir and ruin everything. Pertemuan perdana Pemeliharaan Satwa Gaib akan berlangsung di kelas kosong--kalimat tersebut terlontar dari mulut seseorang pada saat sarapan pagi tadi, mendarat di telinga Amanda, ya. Dan kau tahu apa? Ia tidak sepenuhnya percaya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, alih-alih bertanya, atau melihat papan pengumuman kelas, dengan yakinnya ia mengambil keputusan sendiri dan membawa kedua kakinya dengan nekat menerobos hujan, menghampiri Hutan Terlarang. Dari apa yang ia dengar selama ini, Profesor Kettleburn selalu melaksanakan praktek di tempat khusus ini. Tak perlu dijelaskan lagi apa yang ia temukan disana, rite? Nothing, tentu saja. Hanya desauan angin dan gemerisik dedaunan yang menyambutnya, melambai dengan santai serta tersentak tertimpa air hujan sesekali.

Percaya atau tidak, ia merasa ditertawakan.

Jejak sepatu membekas di lantai kelabu Aula depan, meneteskan air, membentuk genangan cekung di beberapa lokasi. Oh, bagus, kemarahan Filch telah berada di daftar tunggu--sempurna. Amanda tersengal, berusaha mengatur nafas seraya mengibaskan jubahnya. Tak terlalu kuyup, untungnya. Tangan kanannya merogoh saku, meraih arlojinya. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian. Ck, terima sajalah, Amanda. Kelas kosong berada di lantai empat, siapa tahu sesampainya disana jubahnya sudah kering. Siapa tahu. Tidak ada salahnya berharap.

Kembali melangkah, kali ini menuju tempat yang tepat, Amanda berjalan dengan sedikit jengah, jubahnya terasa kaku dan berat karena basah. Astaga, apa yang akan dikatakan sang profesor dan teman-temannya jika ia memasuki kelas dengan kondisi seperti ini? Semoga tak ada yang menyadarinya. Amin. Mengingat kecerobohan yang lagi-lagi ia lakukan kali ini, kelebatan menyesakkan bahwa ia tak pantas menjadi seorang Ravenclaw kembali menyeruak. Dua tahun, mate. Dua menuju tiga tahun di Hogwarts, tiga belas kali hari lahirnya terlewati, dan sifat bodohnya itu masih enggan untuk pergi, mengimplementasikan bahwa dirinya sama sekali belum pantas disebut seorang Ravenclaw sejati. Mampu atau tidak ia mengenyahkan elemen kecerobohan yang melekat, Amanda sendiri tak yakin. Well, bagaimanapun caranya, ia harus mampu. Harus. Seconded to Nathaniel--just have a little faith.

Fine.

Pintu berpelitur akhirnya muncul, menjulang dihadapannya dengan angkuh. Jangan terlambat, please. Amanda melangkah melewati ambang pintu yang terbuka, cepat-cepat menyelinap ke bagian belakang kelas, tepat saat Profesor Kettleburn menghampiri salah satu tirai dan menyentakkannya. Wohoo, ia tahu apa itu. Sesosok makhluk hitam berpostur mungil, identik dengan peri karena memiliki sepasang sayap di balik punggungnya, namun dilengkapi seringai bertaring. Doxy. Objek pelajaran hari ini, rite? Menarik. Kini ia mengerti mengapa diadakan pergantian lokasi di samping pengaruh faktor cuaca. Kelas kosong, tempat terbengkalai, minim perhatian dan pembersihan, tentu menjadi habitat menggiurkan bagi para hama seperti Doxy. Gadis berambut kecokelatan itu memperhatikan dengan seksama ketika sang profesor mempraktekkan langkah-langkah membasmi peri jadi-jadian tersebut dengan Doxycide sebagai pestisida utama. Hanya semprot? Easy.

Amanda mengangguk--lebih kepada dirinya sendiri--dan tetap berdiri di tempatnya ketika teman-temannya yang lain mulai maju satu persatu, masing-masing melaksanakan instruksi yang telah diberikan. Setelah yakin kawan-kawannya telah memilih teritori mereka dan disibukkan oleh Doxy-Doxy, barulah ia melangkah ke depan kelas, menyambar asal sebuah tabung semprot Doxycide, kemudian menghampiri salah satu tirai kusam berlubang di bagian kiri kelas. Oho, dan lihat siapa yang berdiri di sampingnya. Larry. Amanda tersenyum, namun kerutan segera tercetak di keningnya ketika menyadari bahwa sahabatnya tengah berbincang--bersitegang mungkin lebih tepatnya, jika mendengar nada sinis yang terlontar dari kedua belah pihak--dengan personil Gryffindor, Dutie. Ada apa, eh? Tak bermaksud memihak, namun sepertinya... Dutie yang memulai?

"Tak usah diladeni, Larry," bisik Amanda, tepat di samping telinga sahabatnya. Senyuman kembali terukir di wajahnya, mengiringi tangan kanannya yang bergerak meraih tirai. Dan menyentakkannya.

Here we go.

Labels: ,


4:36 AM