Friday, April 17, 2009

Le Papillon-#3


Then the unnamed feeling
It comes alive...



Thank God Amanda tak berada di sini. Entah apa yang akan sepupunya itu lakukan dan katakan jika menangkap basah dirinya sedang berada dalam posisi mencengangkan seperti ini, salah tingkah, dilengkapi wajah yang merona dengan semburat kemerahan. Jangan sampai, jangan sampai. Bisa-bisa gadis itu mengganggunya sepanjang libur musim panas, menghujaninya dengan celotehan dan tawa berderai seraya memaksanya untuk bercerita macam-macam. Setiap hari sepanjang liburan. Dan pastinya akan ditimpali oleh Leander--tidak diragukan lagi--dengan tepukan di bahu serta nasihat, mungkin? Cih, yang benar saja. Tipikal Steinhart. Kalau sudah begitu, hanya tinggal menunggu waktu hingga isu tersebut mendarat di telinga sang ayah. Kalau sudah begitu--gawat tingkat dewa.

Nathaniel masih berkutat dengan sang kancing, yang luar biasa menjengkelkan karena tak jua setuju untuk bekerja sama, properti keperakan itu tetap kukuh bersarang pada jalinan benang milik kerah baju gadis dihadapannya. Apa yang salah sih? Well, sebenarnya Nat dapat menyelesaikan masalah ini dalam sekejap mata--tarik paksa, putuskan untaian benang yang melintang, beres. Hanya saja ia tak berani.

Putra tunggal keluarga Gladstone, menimpa seorang gadis cilik hingga terjatuh, kemudian merusak bajunya.



Dad akan membunuhnya. Berlaku sopan kepada lawan jenis, prinsip yang telah mendarah daging dan tertanam di benaknya sejak dirinya mulai beranjak dewasa, hasil didikan keras-intensif sang ayah. Ia tak akan mengatakan bahwa segala apa yang diberikan Dad tak berguna--tentu saja tidak--harus ia akui seluruh prinsip dan peraturan tersebut bertujuan untuk menjadikan Nat seseorang dan pribadi yang lebih baik. Fine, ia mengerti, sangat mengerti. Hanya saja ada beberapa poin yang tak mampu ia terima dengan sukarela tanpa kerutan di dahi atau alis yang terangkat, tak mampu ia cerna dengan akal sehat, memancing pemberontak dalam salah satu sisi hatinya untuk meletup. Tetapi--tidak, berlaku sesopan yang ia mampu terutama kepada lawan jenis bukanlah salah satu prinsip yang ia abaikan. Laksanakan, meski dalam keadaan sulit. Like now.

Anak lelaki dua belas tahun itu dapat merasakan wajahnya memanas, kemudian merambat ke telinga ketika suara tawa Marvil terus terlontar beberapa saat tanpa henti. Astaga, cewek. Dalam kondisi seperti ini, yang biasanya akan secara spontan Nat lakukan adalah mendelik sembari mendengus sinis, menggelengkan kepala tak percaya. Ta-tapi, apa yang ia lakukan sekarang? Terdiam. Dengan kegugupan yang berusaha mati-matian ia sembunyikan dengan sebisa mungkin terlihat sibuk dengan kancing si biang keladi. Ada apa, hm, Nathaniel? Kau bertingkah aneh hari ini, Nak. Ya, memang. Amat sangat aneh. Sesuatu tengah menusuk-nusuk dadanya dengan pisau, perasaan janggal menggelayuti hatinya. Apa? Tidak tahu.

Karena Marvil, eh?



Pa-pardon? Karena gadis di hadapannya? Yang benar saja. Mustahil, haha. Mustahil, ya kan? Benar kan? Pastilah. Tidak mungkin.

Sialnya memang iya.

Oke, mengakui fakta bahwa dirinya bertingkah aneh dan nervous hanya karena seorang Aurore Petrabella Marvil memang sulit. Tapi... begitulah. Memangnya apa lagi? Tak ada alasan lain. Dan, well, percayalah, ini kali pertama Nat merasakan sensasi menyesakkan--sekaligus menyenangkan--mampir di benak dan batinnya hanya karena seorang gadis. Marvil, objek utama dalam kasus ini, memang berbeda dari gadis-gadis lain di Hogwarts--setidaknya bagi Nathaniel. Kontras. Unik, begitu polos meskipun terkadang tindakan dan jalan pikirannya tak tertangkap akal sehat. Ceroboh, memicu keinginan Nat untuk... melindunginya. Seperti dirinya melindungi Amanda, mungkin. Dan, satu hal yang paling menarik dari gadis ini adalah... ia sepertinya tak pernah sadar bahwa dirinya cantik. Interesting.

Ya Tuhan, apa yang barusan ia pikirkan? Astaga. Ingat, Nathaniel, kau-masih-dua-belas-tahun. Pikiran macam apa itu.

Lalu kenapa? Masa bodoh, ia tak peduli. Ia hanya mengungkapkan isi hati, tidak boleh?

Great. Akhirnya berhasil. Lilitan benang yang mengait pada kerah baju Marvil telah terurai dengan sukses. Huft. Nat menghela nafas lega. "Sudah selesai, Mar--"

Detik berikutnya anak lelaki itu telah terpaku di tempat, kaku tak mampu bergerak saat secara tiba-tiba Marvil memeluknya. Tubuh Nat meremang, jantungnya berpacu begitu cepat, sementara tanpa sadar ia menahan nafas. A-ada apa? Ke-kenapa?

"Nat-h-yel... U-usir... Usir dia..."

Dia? Nathaniel mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sesuatu atau seseorang yang berlabel 'dia' seperti yang dimaksudkan Marvil. Eh? Itu... Kupu-kupu? Hewan penyebab dirinya jatuh. Nat menurunkan tatapannya, mengerling gadis cilik yang tengah mendekapnya erat. Marvil takut kupu-kupu. Begitu. Masih berusaha meredakan detak jantungnya yang bertempo abnormal, ia mengibaskan tangan kanannya perlahan ke arah makhluk mungil bersayap tersebut. Sang kupu-kupu terbang dengan anggun, bergerak menjauh tanpa interupsi, menerabas angin dengan lembut. Nat menepuk pelan punggung Marvil dengan ragu. Ia membuka mulut, hendak menginformasikan bahwa objek antagonis telah pergi. Hm, atau lebih baik tidak usah ya? Kejadian seperti ini tak terjadi setiap hari--

Nathaniel Gladstone, kau...

Bercanda. "Kupu-kupunya sudah pergi, Ro."

(OOC : Credit to Metallica - The Unnamed Feeling)

Labels: ,


4:16 AM