Thursday, April 9, 2009

Sorry--Accidently

"Ayolah Nat, sebentar saja."

Nathaniel memutar kedua bola matanya, menghindari pandangan mengiba sepupunya. Ke Diagon Alley? Ngapain sih. "Mau apa memangnya, eh, Amanda?" tanyanya cepat, masih melempar pandang ke dinding polos di sebelah kirinya. Hanya pura-pura bertanya. Ia tahu betul apa alasan gadis itu hingga rela bersusah payah berangkat ke Diagon Alley, tempat berbelanja terpopuler sejagat dunia sihir Inggris. Tempat penuh sesak yang menghambatmu bernapas dan menguras keringat tanpa toleransi. Tempat yang tepat setahun yang lalu ia arungi dengan susah payah untuk mendapatkan segala keperluan Hogwarts saat term baru dimulai. Dan sekarang ia diminta untuk berkunjung ke sana sekali lagi, disebabkan suatu hal yang, jujur, membuatnya agak... kesal? Wohoo, tunggu dulu.

"Aku... err... ingin membeli sesuatu di... Toko Quidditch," jawab Amanda, cengiran tersungging di wajah manisnya. Hati Nat mengangguk. Ya, ia tahu. Pergi ke Toko Quidditch, dan menghabiskan uang untuk : membeli hadiah ulang tahun si Baned. Ya, ya. Bagus sekali.

"Well, kalau tidak mau juga tidak apa-apa."

Akhirnya kedua kelereng kecokelatan milik sang anak lelaki bergulir, meninggalkan dinding putih dan memancangkan tatapannya pada wajah sepupunya, menelusuri raut yang terlihat kecewa. Nat menghembuskan nafas samar, benaknya bekerja cepat, mencoba mengambil sebuah keputusan. Ikut. Tidak. Ikut. Tidak. Ikut membeli hadiah untuk Baned? No man. Lebih baik mengerjakan pekerjaan lain yang lebih berguna. Well, well, Gladstone, keegoisan itu menyeruak ke baris terdepan lagi, eh? Tidak, bukan sang egois kali ini. Mungkin akan lebih tepat jika dibilang bahwa ia iri. Tahun lalu Amanda tidak memberinya kado ulang tahun. Satu-satunya hadiah yang ia terima bersumber dari sang ayah. Selain itu--nothing. Bagaimana bisa ia tak merasa kesal? Sebut ia anak kecil. Terserah.

Nat mengerling ke arah seonggok koran yang terserak di atas meja tulis--Daily Prophet--dan merasakan sensasi tak nyaman di perutnya. Ah. Ia baru ingat. Kelebatan headline melesat di benaknya, terbang bersama impuls saraf menuju otak serta meresap ke dalam hati. Berita-berita super luar biasa mencengangkan, membuat segenap yang membacanya terhenyak sekaligus resah itu kembali terngiang--ck, menteri sihir yang malang. Hell, kemalangan sang menteri sihir kelihatannya turut memberi sinyal bahwa era kedamaian akan segera berakhir, serbuan ketidakberuntungan akan merundung dunia sihir dalam waktu yang tak singkat. Mencoba berprediksi, Nathaniel? Ya, berprediksi sekaligus menggantungkan harapan di langit agar prediksinya salah seratus persen.

B-a-i-k-l-a-h. Sudah diputuskan. Ia tak akan membiarkan Amanda berangkat sendirian, melepas gadis itu berjalan di suatu tempat yang tak memiliki jaminan keselamatan sedikitpun. Jangan harap. Sikap waspada khasnya harus dilipatgandakan. Segera.

Diagon Alley
Bayangkan, mate. Hitung berapa tahun, berapa bulan, berapa minggu, berapa hari, berapa jam, berapa menit dan detik yang telah berlalu semenjak kedatangannya terakhir kali kemari? Telah lewat satu tahun kalau kau tak keberatan untuk tahu, dan lihat--tumpukan sampah itu masih dengan setia bergeming di tempatnya. Di sana. Di depan sebuah toko bobrok anonim. Luar biasa. Amazing. Nathaniel berjengit dan mengerutkan hidung, tak percaya bahwa ia berhasil mengetahui ada seseorang yang begitu sibuk hingga kesempatan untuk membuang sampah dan membersihkan halaman toko miliknya sama sekali tak tersedia. Berani sumpah, tahun lalu tumpukan yang dimaksud sudah menampakkan diri dengan cueknya di tempat yang sama persis. Salut.

Tempat ini lebih buruk dari yang selama ini ia duga.

Meneruskan langkah--seraya merutuk diri sendiri karena telah dengan bodohnya membuang waktu untuk membahas sampah tak berguna--berusaha mengiringi langkah cepat Amanda, Nathaniel mengusap peluh yang mengalir di pelipisnya dengan menggunakan lengan kaus biru tua yang ia kenakan, tangan kanannya mendekap sang bola hitam putih di sisi pinggang. Setelai berbagai argumen berperang dalam dada, akhirnya raganya mampir juga di Diagon Alley, pasrah menerima siraman cahaya terik matahari. Demi Amanda, demi Amanda, tak perlu mengeluh. Retinanya menangkap siluet bangunan yang dituju, menyampaikan informasi secara paralel kepada para organ koordinasi sehingga hembusan nafas kelegaan dirilis sebagai pengiring. Syukurlah.

"Aku menunggu di sini saja," tutur anak lelaki dua belas tahun berambut hitam itu, senyuman singkat tersungging melihat sepupunya mengangguk, pandangannya baru ia alihkan setelah sosok Amanda menghilang di balik pintu toko. Lebih baik menunggu di sini, tentu saja. Memutuskan untuk ikut masuk sama saja dengan siap membangkitkan sifat kesal antagonis yang kini telah teredam. Apa yang akan Amanda berikan untuk Larry? Yang pasti bukan sesuatu yang jelek. Menggerutu sekali lagi, Nat memutar-mutar bola sepaknya di atas jari telunjuk, berkonsentrasi agar putaran yang tengah berlangsung tak serta merta berhenti. Bermain dengan benda favorit selama menunggu kedengaran menarik. Ia melambungkan sang bola, menerimanya dengan kepala, menggulirkannya ke perbatasan antara dahi dan ubun-ubun lalu melontarkannya ke atas berulangkali--juggling. Setelah yakin kemahirannya menyundul belum hilang, Nat membiarkan sang bola jatuh, agar ia bisa menerimanya dengan paha bagian atas, lalu kembali melontarkan--terlalu tinggi. Mengenai seseorang.

Dasar bodoh.

Labels: ,


4:56 AM