Tuesday, April 28, 2009

Meja Hufflepuff-#1


(Timeline : 28 April 1981)


Jangan. Terburu-buru.

Gemeresak kertas terdengar beruntun. Mengiringi, gerakan cekatan sepasang tangan sang gadis mendominasi aktivitas yang berlangsung dalam ruangan berlabel kamar asrama tersebut, sedikit terlihat terburu. Sedikit... lagi. Beberapa langkah lagi dan selesai. Berhenti untuk berpikir sejenak, ia memandang hasil pekerjaan sementara, mengangguk samar kepada diri sendiri--tak terlalu buruk. Gunting di sini, rekat di sana. Tekuk, lipat dua kali--kertas biru tua yang menjadi objek utama menurut patuh, membungkus dua objek lain, berbentuk masing-masing balok persegi panjang dalam ukuran yang berbeda. Dirinya memotong pita perekat sekali lagi, melekatkannya di bagian terakhir sebagai penutup.

Done.

Amanda menghela napas dan tersenyum puas. Akhirnya. Satu jam penuh ia berkutat dengan benda yang kini telah terbungkus rapi di hadapannya, ck ck. Hanya dua buah benda, dan ia memerlukan waktu sedemikian banyaknya. Bukan profesional dalam membungkus hadiah, tentu saja. Gadis cilik itu melirik arloji yang tergeletak di atas meja di sisi tempat tidur, memicingkan mata untuk mencari tahu pukul berapa sekarang... 19.15. Astaga. Amanda melompat dari atas tempat tidur, meraup ceceran kertas yang bertebaran, meremas seluruhnya menjadi satu sebelum melemparkannya dengan tepat ke dalam tempat sampah di ujung ruangan. Kemudian ia menyambar segala peralatan yang sukses digunakan--hanya gunting dan pita perekat, meletakkan keduanya di tempat semula, laci meja samping tempat tidur. Tujuh lewat lima belas, duh, semoga Aula Besar belum mengakhiri kegiatan rutinnya. Makan malam. Setelah mengenakan sepatu dengan asal pakai, Amanda mengambil dua benda yang menjadi pemeran utama, tersenyum sekilas sekali lagi, lalu dengan bergegas memutar pegangan pintu kamar anak perempuan kelas tiga Ravenclaw. Here she goes.

Meja Hufflepuff
Rangkaian obor menyambutnya tiap beberapa meter, menciptakan pencahayaan pudar dengan siluet abstrak pada dinding lorong. Amanda menatap kedua benda dalam genggamannya silih berganti dengan pandangan kosong sementara sepasang kakinya melangkah cepat melintasi lorong lantai dasar menuju Aula Besar. Tepatkah apa yang ia pilih, eh? Tak terlalu yakin sebenarnya, hatinya sedikit tak puas. Lima puluh galleon, hanya sejumlah itu yang mampu dirinya keluarkan, hasil jerih payah sebagai pegawai magang Leaky Cauldron. Ya, hanya lima puluh galleon, sayangnya. Ia enggan meminta lebih kepada sang paman, meskipun ia yakin dengan sangat bahwa Paman Amethyst akan memberikannya dengan senang hati. Tidak, rasanya akan berbeda, membeli dengan hasil keringat sendiri dibandingkan membeli dengan uang hasil pemberian seseorang--opsi pertama lebih menyenangkan di hati. Dan tentu, merepotkan orang lain adalah sikap yang paling ia hindari.

Dua, bukan satu. Mengapa? Amanda sendiri tak tahu persis alasannya. Benda berbentuk balok persegi yang kini berada di tangan kanannya saat ini--itu--adalah buku Menaklukkan Bludger, satuan perkamen yang terpilih diantara sekian banyak panduan Quidditch lain. Di Diagon Alley awal term lalu, Amanda menghabiskan waktu hampir dua jam penuh di dalam Toko Quidditch, berputar-putar ke seluruh penjuru ruangan, berkutat dengan benaknya sendiri, mencoba menentukan mana yang sebaiknya ia beli. Sekumpulan sapu yang berjejer rapi di dekat counter utama benar-benar membuatnya kepingin, sebenarnya. Hanya saja, harga yang terpampang membuatnya menggerutu dalam hati, merutuki diri sendiri mengapa tak mengumpulkan uang sedari dulu. Dan--buku tersebutlah yang pada akhirnya dibawanya keluar toko, mengakhiri pencariannya akan hal-hal bertemakan Quidditch.

Tidak puas sama sekali, tak perlu ditanya, saat itu Amanda memutuskan untuk menelusuri pelosok Diagon Alley--disertai Nathaniel yang entah mengapa menjadi amat pemarah--dan, well, 'benda' itulah yang ia temukan. Arloji hitam terbaik yang terpajang di sebuah toko jam besar di pinggir jalan utama. Sebuah arloji dengan latar belakang yang mampu berganti seiring suasana hati, dilengkapi kompas sihir. Wew. Bahkan dirinya sendiri kepingin. Beli, tanpa basa-basi, merogoh koceknya hingga knut terakhir. Bukan masalah, dan ia berharap hadiahnya tak mengecewakan.

Sinar terang benderang menyambut sang gadis ketika kakinya menapak Aula Besar, hiruk pikuk ramai membuat telinganya berdengung. Kelihatannya makan malam baru saja dihidangkan--menilik meja-meja panjang yang masih penuh terisi makanan. Makan malam, itu nanti. Kedua lapis lensa beningnya menyusuri tiap jengkal ruangan, sedikit cemas seseorang yang dicarinya tidak ada.

Itu dia.

Amanda memutar langkah, melewati meja asrama kebanggaannya, Ravenclaw, tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang dengan bersemangat, namun ia tak berhenti. Terus berjalan hingga tiba di jajaran para musang menikmati hidangan. Ia tersenyum ketika akhirnya sampai di tempat dimana orang-yang-dicarinya duduk, napasnya terhela perlahan.

"Hai, Larry," ujar Amanda seraya mengacak rambut sahabatnya dan mengambil posisi duduk di tempat kosong di sebelah kanan anak lelaki tersebut. Kemudian ia menyodorkan kedua benda dalam dekapannya, nyengir. "Selamat ulang tahun."

Labels: ,


10:35 AM