Friday, May 29, 2009

The Saxophone-#1

"KAU LENGAH, NATHANIEL GLADSTONE! APA SAJA SIH KERJAMU?"

Lalu terbakar begitu saja.

Shocked. Anak laki-laki itu terpaku selama beberapa saat, sorot matanya menampakkan keterkejutan--oh, man. Nathaniel mengatupkan mulutnya yang sedikit terbuka, mengangkat tangan kanannya saat kesadaran telah hadir kembali, kemudian mengacak rambut hitamnya untuk mengenyahkan serpihan perkamen hangus. Sepasang lensa kecokelatannya mengerling gusar ke arah bisikan dan tawa samar yang terdengar dari sisi sebelah kanan tempat ia duduk, nafasnya terhembus sarkastik.
Howler. Astaga.

Leander, lihat saja kau.





Awal term yang menjengkelkan. Sigh.

Langkahnya berderap samar--bergerak perlahan menerobos kepungan rerumputan berkilat yang terhampar di sepanjang area halaman kastil, kedua tangan dalam saku sementara kepalanya menunduk menatap rute yang akan dipijak sepasang kakinya dalam ruang lingkup yang hanya tertangkap beberapa jengkal. Suntuk. Keramaian yang merambati telinganya tak ia hiraukan, benak anak lelaki tiga belas tahun itu tengah berkutat dengan pikiran tersendiri. Masalah howler yang datang di hari kedua tahun ajaran baru masih menyisakan rasa kesal berlebih di hatinya, ngomong-ngomong.

Nathaniel menghentikan langkahnya ketika raganya telah tiba di bawah pohon chestnut rindang--tempat terjadinya peristiwa paling memalukan yang terjadi tahun lalu--nope, tetapi hari ini ia enggan membahas masalah tersebut, oke. Yang menyita pikirannya saat ini adalah--well, ia sudah bilang kan, masalah howler dari kakak sepupunya, yang membuatnya terpaku beberapa detik dengan semburat merah di wajah akibat rasa malu. Nice. Pemuda Gryffindor itu duduk, menyandarkan punggungnya ke batang pohon besar di belakangnya, tangan kanannya mencabut sehelai rumput di dekat kakinya yang bersila, memuntirnya tanpa tujuan. Sebenarnya, membahas dan memikirkan masalah yang satu itu, lagi, tak memberikan keuntungan baginya--tentu saja tidak, ia tahu. Hanya saja, entah, didasari rasa jengkel yang berkolaborasi dengan perasaan bersalah yang menggantung, mungkin.

Leander Steinhart, Sir, Anda terkadang terlalu over protektif. Nat salah, fine, memang. Ia salah karena tak mencari Amanda sejak awal Hogwarts Express diberangkatkan. Ia lelah, by the way, tak ada yang sempat mengantarnya dari Highbury Crescent ke Stasiun King's Cross--Dad pergi sejak sehari sebelumnya, dan Leander bertugas di Kementrian, seperti biasa--sehingga ia dengan terpaksa harus menggunakan transportasi muggle. Sendirian, karena Amanda berangkat dari rumah Baned, ha. Guess what? Dirinya tak mengerti sama sekali--tersesat amat jauh, ia beruntung tiba di peron 9 3/4 tepat saat peluit keberangkatan dibunyikan. Ck. Dan hal yang dilakukannya adalah mencari kompartemen kosong terdekat, menghenyakkan tubuh di sudut, lalu tidur. Bahkan saat peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh para oknum bertudung tak bertanggung jawab itu terjadi, ia baru terbangun di akhir, bergegas mencari sepupunya dan menemukan gadis itu meringkuk di sudut salah satu kompartemen. Sendirian dan gemetar hebat. Dimana Baned, eh? Tidak tahu.

Mau menyalahkan siapa kalau sudah begitu, hm?

Setelah itu, melengkapi kebodohannya--well, mungkin kalian menganggap apa yang ia lakukan adalah hal yang bodoh, namun baginya itu adalah hal yang seharusnya dilakukan pertama kali--mengirim surat ke Dad, menceritakan semua yang terjadi. Sayangnya, benaknya alpa bahwa mengirimkan surat kepada sang ayah sama saja dengan mengirimkan surat kepada Leander, sama saja dengan mengakui kesalahannya karena tak menjaga Amanda sesuai janji. Tetapi--oh, please, howler? Bukankah itu sedikit berlebihan melihat fakta bahwa sepupunya baik-baik saja? Baik, dirinya salah, ia minta maaf.

Tetap saja. Howler itu sukses membuat moodnya jatuh.

"Ttttoooooooooeeeeeeeetttttttt."

Nat tersentak, benaknya keluar dari topik pemikiran, berganti haluan. Apa sih? Suara itu. Familiar. Seperti... Kepalanya menoleh, mencari sumber suara. Ada, disana. Itu--Holmquist? Guratan terbentuk di keningnya seiring dengan gerakan bangkit yang anak laki-laki itu lakukan. Penasaran. Sepasang kakinya mulai melangkah lagi, kali ini tepat menuju tempat gadis Slytherin itu duduk dengan--sebuah Saxophone, tidak mungkin salah.

"Well, Holmquist. Jangan merusak alat musik favoritku seperti itu," ujarnya dengan wajah datar, lensa hazelnya mengerling sang alat musik. Tua. Tetapi tetap menarik baginya. Nat bersedekap, sorot matanya menangkap siluet kertas yang tergeletak begitu saja di atas rumput, alisnya terangkat. "Dijual, eh? Wohoo, yang benar saja. Jangan, saranku."

Menjual saxophone antik? You must be kidding him.

(OOC : Open for all now :3)

Labels: ,


3:57 PM

Wednesday, May 27, 2009

Pemakaman Ala Viking-#1

Matanya sakit. Duh. Berganti posisi lagi, kali ini ke kanan, sang gadis menghembuskan nafas dalam keputusasaan. Ia mengusap matanya yang terasa berat, merasakan cekung telah terbentuk di bawah sang kelopak. Keremangan yang menyelubungi terasa menusuk, bintik hitam putih melayang di depan titik fokus, membaur menjadi ribuan dan enggan enyah. Apa sih ini? Ia mengerjapkan mata, berusaha menghadirkan sensasi normal yang biasa. Aneh.

Amanda tidak bisa tidur.

Berguling lagi di atas tempat tidur. Pandangannya kali ini terpancang pada langit-langit kamar anak perempuan kelas empat Ravenclaw, kosong, menerawang tanpa acuan. Benaknya lelah, tubuhnya juga, tetapi ia urung memejamkan mata. Tidak bisa--karena sugestinya menolak, hatinya memaksa agar sang lensa tetap terbuka. Gadis itu menghela nafas sekali lagi. Sebenarnya... ia takut. Takut, jika ia tertidur, mimpi itu datang lagi. Mimpi buruk yang seminggu belakangan selalu menyapanya, menyeringai kejam dan menghujam batinnya--lagi, lagi, dan lagi. Mereka tak pernah bosan. Mereka tak mau tahu bahwa dirinya sudah lelah.

Mum, Dad, kalian tak mau meninggalkan anakmu ini atau bagaimana?

Amanda mengurut keningnya. Tidak tidur--pening. Entah bagaimana bisa fisiknya terkalahkan oleh paranoid semu, ia pun tak mengerti. Semenjak peristiwa penyerangan oleh para elemen pendukung Kau-Tahu-Siapa yang terjadi di Hogwarts Express beberapa waktu yang lalu, kedatangan para dementor, jeritan, luka, darah--dan yang terburuk, dibangkitkannya kenangan paling dalam, kenangan paling mengerikan yang ia miliki--semenjak saat itu film horor itu terus menerus diputar, berulangkali, scene yang sama, dan semakin lama semakin mengerikan. Setiap malam, dear. Jahat sekali. Sudah jelas kan, mengapa ia memilih untuk tak tidur malam ini. Gadis Ravenclaw itu sudah lelah ketakutan setiap saat. Letih terbangun dengan peluh di sekujur tubuh dan nafas terengah. Bosan. Kapan semuanya mampu terlupakan, ia tak tahu--karena itu yang mampu dirinya lakukan hanyalah mencegah. Tidak boleh?

Katakan ia bodoh. Memang.



Sial.

Sudah dua belas jam berlalu, mate. Dan akhirnya--ketakutannya kalah. Gadis itu tersentak, mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menemukan fokus terbaik. Haha. Tertawalah, dirinya pasti terlihat amat konyol saat ini. Well, tidak terlalu peduli sih, karena kekonyolan itu mengindikasikan satu arti lain. Mimpi buruknya bosan, hm? Bayangan mengerikan itu lelah mengikutinya, eh? Film horor tersebut letih mengejarnyakah? Berita bagus.

Amanda mengucek matanya, tersadar dimana dirinya berada. Di tepi danau. Di bawah pohon oak rindang, dalam posisi bersandar pada batangnya dengan buku rune kuno di pangkuan. Sigh, ia sudah menduga dirinya tak akan mampu bertahan tanpa tidur sama sekali. Dan, oh, bodohnya, bahkan langit pun mulai ditinggalkan sang biru, berganti jingga yang berkunjung. Berapa lama sudah ia tertidur di tempat ini? Kalau tidak salah, saat memilih tepi danau sebagai lokasi belajar siang tadi sembari menunggu kelas rune dibuka, kira-kira... pukul dua. Sekarang--

Pukul 6. 4 jam. Oh my.

Amanda melongo saat kedua lapis hazelnya menangkap angka yang tertera pada arlojinya. Jam 6? Empat jam penuh ia tertidur, dan itu berarti kelas rune terlewat begitu saja dengan suksesnya. Bodoh. Ia menggerutu kesal, merutuki kegigihannya tak tidur semalaman. Imbasnya baru terlihat sekarang, kan? Ck. Dan, tidak ada yang membangunkannya pula, astaga. Namun di samping segala rasa sesalnya--akibat ketinggalan satu kelas, terutama--terselip keheranan yang menyenangkan. Tidak ada mimpi buruk. Sama sekali. Tidurnya tak disinggahi mimpi, dan mungkin karena itulah ia tidur begitu pulas. Berhasil, untuk saat ini.

Masalahnya, kenapa bisa ia tertidur dengan nyaman di sini?

Gadis itu bangkit dengan sedikit terhuyung. Tanpa cermin pun ia tahu penampilannya tengah tak keruan saat ini. Hmph. Langkahnya bergerak perlahan menghampiri danau, berlutut, menatap refleksi dirinya yang dipantulkan dengan amat tak sempurna oleh sang air, samar akibat terbias matahari senja, namun cukup untuk mengetahui betapa kusutnya ia saat ini. Amanda membasuh wajahnya dengan air danau, membiarkan elemen bumi yang satu berkejaran melewati pipinya, turun ke leher dan membasahi jubah. Lumayan berhasil, karena fokusnya berubah lebih tajam dalam sekali basuh. Fine. Semoga tak ada yang lewat--

"Lacarnum inflamarae."

Hela nafas. Engselnya bergerak, mencari sang pencipta suara--eh? Disana, terlihat siluet dua orang yang ia kenal. Mallandrt dan... Trixie? Sedang apa? Ia bangkit, berjalan mendekat seraya mendekap buku rune kunonya erat. Hm... Itu. Katak sahabatnya, Mr. Wiebig, ter--bakar? Dan meskipun keremangan mulai jatuh, ia masih dapat melihat, dear. Sahabatnya menangis.

Amanda mengerti.

"Trix, aku... turut berduka cita," tuturnya lirih, berjongkok di samping Trixie dan menepuk kepala gadis itu perlahan. "Hei, dear. Jangan menangis, ya? Mr. Wiebig tak akan senang melihatmu menangis," lanjutnya seraya memeluk sahabatnya dari samping. Ah, ia tidak senang berada dalam situasi seperti ini.

"Sebaiknya kalian mencari tempat yang lebih memiliki privasi kalau ingin memadu kasih seperti itu."

Suara itu. Ia tahu. Amanda menghela nafas, menoleh untuk kesekian kalinya dan menatap anak laki-laki itu. Lazarus. "Diamlah, Lazarus." Ia menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar pemuda itu diam.

Tidak mengertikah anak itu bahwa Trixie tengah berduka? Payah.

Labels: ,


7:14 PM

Tuesday, May 26, 2009

Kelas 3-#1

Kelas pertama ya? Hm. Dibuka disaat yang kurang tepat. Sigh.

Langkahnya menghentak. Gadis itu tak menyangkal dirinya bersyukur karena koridor lantai satu yang tengah dilintasinya tengah kosong--sama sekali. Bagus. Tak ada yang akan berpapasan dengannya, dan itu mengartikan banyak hal. Tak akan ada pandangan heran terlontar. Tak akan ada seseorang yang bertanya--ia sedang malas berbicara, oke. Tak akan ada suara-suara yang mengganggu. Tak akan ada--fine, tak akan ada kerutan di dahi melihat seorang Amanda Steinhart yang sedang marah.

Ya. Kemarahan tengah bertamu. Jangan dekat-dekat.

Nafasnya bergulir, ditarik dalam-dalam dan dihembuskan perlahan. Sudahlah, Amanda. Tak perlu marah seperti itu. Mudah berbicara seperti itu, hei, kau, benak. Pengaplikasiannya sulit. Gadis empat belas tahun itu memperlambat jejaknya, menyamarkan gaung nyaring pantulan dinding batu yang sedari tadi menemani saat disadarinya pintu kelas telah menyambut. Kesempatan terakhir untuk menenangkan diri sebelum masuk kelas. Ia merilis nafas keras-keras, menelan ludah dan memejamkan mata sekilas, memaksa kesabaran untuk kembali hadir. Ayolah. Well, Amanda dianugerahi kesabaran di atas garis rata-rata, benar--thank God. Tetapi di atas segalanya, di antara hal-hal buruk yang dapat memancing emosi--ia paling benci dibohongi.


"Nat. Coba perhatikan. Tulisan Leander di surat kemarin... aneh."
"Hm? Aneh bagaimana?"
"Err... berbeda. Acak-acakan."
"Masa? Well, dua hari di St. Mungo tidak cukup sepertinya."
Hening.
"Apa katamu barusan?"
Hening lagi.
"Huh? Ti-tidak, aku tidak bilang apa-apa."
Hazel kecokelatan sang gadis memicing.
"Nathaniel Gladstone. Jangan bercanda. Leander--masuk St. Mungo?"
"A-aku tidak bilang begitu."
Tak ada yang berbicara selama beberapa saat, namun gadis Ravenclaw itu melempar tatapan tak percaya, kemudian bangkit.
"Baik. Biar aku tanyakan sendiri."
"Ti-tidak usah, Amanda."




Guess what? Akhirnya sepupunya mengaku. Leander masuk St. Mungo musim panas lalu akibat luka di tangan kanannya--dan Amanda tidak tahu? Nice. Mereka menyembunyikan fakta itu darinya--bodoh. Ia tidak senang sama sekali.

Menghenyakkan tubuh di atas tempat duduk yang dipilih asal, Amanda bersandar pada punggung kursi dan bersedekap. Tidak ada semangat untuk mengikuti kelas sebenarnya, moodnya rusak akibat ketidaksengajaan fatal sepupunya. Menyesakkan menjadi seseorang yang terakhir mengetahui hal yang seharusnya ia ketahui sejak awal, kalau kau mau tahu. Tak ada gunanya marah-marah, ya, karena itulah ia hanya diam, memendam kemarahan bagi dirinya sendiri--asalkan tak ada yang menyulut, semua akan baik-baik saja. Gadis itu mengangkat wajah, mendoktrin benaknya untuk memberikan fokus sejenak saat sang profesor mulai membuka mulut dan menjelaskan materi hari ini. Kementrian Sihir. Topik yang 'bagus'. Semakin mengingatkannya pada sang kakak.

Mari mencatat, dear. Amanda mengeluarkan pena bulu, tinta, dan secarik perkamen kosong, kemudian menulis judul 'Kementrian Sihir' dengan huruf besar-besar, gerakannya sedikit menghentak. Ia membuka telinga lebar-lebar, menerima segala informasi yang diberikan dan memvisualisasikannya dalam bentuk tulisan berbentuk tak keruan, berusaha mencatat sedetail yang ia mampu. Lupakan dulu masalah Leander, oke? Deal. Seiring dengan gerakan tangannya, otaknya turut bekerja, mencerna kata demi kata yang bergaung di udara. Departemen pertama yang disebutkan--Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Seperti pengadilan di dunia muggle, eh? Tempat paling tepat bagi orang-orang tak bertanggung jawab yang menyerang kakaknya tiga kali berturut-turut. Tempat penjatuhan hukuman yang pantas. Hukuman seumur hidup. Azkaban.

Hei. Konsentrasi.

Yang kedua--Departemen Bencana dan Kecelakaan Sihir. Kali ini ia tertegun. Apakah pegawai kementrian datang pada tiga penyerangan terhadap kakaknya, hm? Harusnya begitu. Jika benar begitu, mengapa tak ada kabar sama sekali mengenai pelakunya? Payah. Kementrian payah. Amanda meletakkan pena bulunya, menyerah. Tidak bisa fokus. Leander selalu hadir di benaknya hari ini. Astaga.

Memutuskan untuk mendengarkan saja tanpa menulis, Departemen ketiga yang tersebut lagi-lagi membuat pikirannya berputar. Departemen Regulasi dan Kontrol Makhluk Gaib. O-ke, mereka yang mengawasi segala instrumen yang berkaitan dengan dunia sihir, kata Profesor Binns. Well, bagaimana dengan dementor yang menyerang Hogwarts Express? Kementrian tidak tahu atau bagaimana, huh?

Sudah cukup, Amanda. Kau kenapa, sih?



"Baiklah, anak-anak. Aku ingin kalian berdiskusi tentang departemen dari kementrian sihir Inggris, hingga jam pelajaran kita habis." Diskusi. Amanda menoleh, mencari tahu siapa partner semejanya--Dutie. Siapa sajalah, terserah.

"Mulai dari mana, Mister?" tanyanya singkat, disertai helaan nafas. Ia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Tampaknya akan menjadi diskusi yang panjang.

Labels: ,


7:05 AM

Monday, May 25, 2009

Rush Hour-#1

"Amanda. Hei."

Suara itu--familiar. Tapi tidak. Keraguan masih mendominasi. Pelukan pada lututnya menguat, sementara sepasang matanya dipejamkan erat-erat, tak menerima interupsi. Dirasakannya bulu lembut sang makhluk mungil kecokelatan yang turut berada dalam dekapannya menggelitik pipi. Gadis itu tetap bergeming. Sama sekali. Ia bersyukur--ada Mimzy. Ada kelincinya yang menemani saat... saat...

Saat pembunuhan itu hadir lagi. Saat film horor itu diputar lagi untuk yang kesekian kalinya. Saat peristiwa terburuk sepanjang hidupnya kembali dihujamkan tanpa ampun. Jahat. Curang. Makhluk hitam itu hanya lewat, tetapi sudah cukup membuat traumanya bangkit. Dirinya yang bodoh, benar--karena tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa meringkuk di sudut kompartemen seperti anak kecil umur lima tahun, melupakan fakta bahwa dirinya telah beranjak lima belas tahun! Apa namanya itu kalau bukan PAYAH dengan huruf besar, hm? Sembilan tahun peristiwa mengenaskan itu berlalu, tetapi tak ada setitik kilasan pun yang berhasil terlupa. Haha. Poor you, Steinhart.

Lama-lama ia bisa gila.

Amanda terpekik saat sebuah tangan menyentuh bahunya, secara spontan ia mengibas-ngibaskan tangan, berusaha mengusir makhluk apapun itu yang menghampiri. "Pergi! Jangan dekati aku!" Bahkan dirinya sendiri terkejut akan suara pekikan yang terlontar. For God's sake, ia pasti terlihat amat konyol. Terserah, apapun yang dapat menjauhkan makhluk mengerikan itu dari sini. Pergilah. Jangan dekat-dekat. Please. Tolong--

"Astaga. Ini aku, bodoh. Nathaniel."

Tertegun. Nafasnya kali ini tercekat, ya, namun dalam artian positif. Be-benarkah? Nat? Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan, masih dengan terpaan kecemasan dalam benak. Ia tak butuh kejutan lagi, please. Yang ia butuhkan saat ini adalah kebenaran. Semoga benar... Dan betapa leganya ia ketika mendapatkan wajah cemas sepupunya menatap balik. Tubuhnya lemas, sungguh. Lemas saking leganya. Amanda menghembuskan nafas dengan penuh syukur, secara spontan meletakkan Mimzy di atas kursi kompartemen--dan detik berikutnya ia memeluk sepupunya erat. Huft.

"Kau--oke? Amanda, kau gemetar--"

"Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat, melepaskan pelukannya dan kembali mengangkat Mimzy. Benar, ia masih gemetar. Ck. Sekali lagi, payah. Dengan sedikit terhuyung ia berdiri, berusaha mengabaikan gelenyar tak nyaman yang merambati kakinya. Sudah selesai, kan? Dementor-dementor itu sudah pergi, kan?

"Maafkan aku, Amanda. Aku mencarimu kemana-mana, sungguh."

Amanda menggeleng. "Tidak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja, kok," ucapnya sengau. Bohong itu dosa, Amanda. Masa bodoh, sekali ini saja. Dari tatapan pemuda di hadapannya, ia tahu Nat tidak percaya.

"Kau perlu Madam Pomfrey. Well, kita sudah sampai, ngomong-ngomong."




Rumah sakit? Yang benar saja.

Malam ini suram. Malam tersuram yang pernah berkunjung ke Hogwarts--menurutnya. Hiruk pikuk bergema, memenuhi Aula Depan dengan keributan khas awal tahun ajaran, namun kali ini berbeda. Kekhawatiran masih berbisik, dear. Amanda bersedekap, menghela nafas letih. Ia menoleh sekali, gusar dengan raut wajah ketakutan yang lagi-lagi ia temui. Sepasang kakinya melangkah gontai menelusuri koridor remang, menjauhi Aula Depan dan bergerak menuju satu tempat yang menjadi destinasi massal para murid saat ini. Hospital Wing.

Nathaniel memaksa. Bukan kemauannya. Amanda tak pernah senang harus pergi ke rumah sakit--membuatnya terlihat lemah. Hanya pendapatnya yang berlebihan, memang. Tetapi, well, begitulah seorang Amanda Steinhart, terkesan berusaha membohongi diri sendiri. Hm. Ia mengerling sepupunya dengan sedikit kesal. Kenapa memaksa segala, sih? Sudah dibilang kan ia tak apa-apa? Tetapi sudah terlanjur berpijak disini, mau bagaimana lagi. Hazel kecokelatannya kembali bergulir, menatap koridor di depan, koridor depan rumah sakit--

For Merlin's sake. Langkahnya terhenti. Sepasang matanya mengerjap, desahan tak percaya terilis. Ini--banyak sekali yang terluka, oh my. Selama setengah menit gadis itu hanya terpaku dengan sorot mata gelisah. Astaga. Astaga. Hari ini... sungguh amat mengejutkan, ia tahu. Dementor--Pelahap Maut kurang ajar.

Amanda menoleh, mengambil posisi menghadap sepupunya. "Nathaniel, kau pergilah. Aku sendiri saja," tuturnya lirih, namun matanya menatap tajam, mengindikasikan bahwa ia sedang tak ingin berdebat. Dan ia bersyukur sepupunya mengerti. Ia menatap punggung Nat yang mulai menjauh, kemudian bergegas berbalik dan dengan langkah cepat berjalan memasuki ruangan rumah sakit.

Gosh. Di dalam sini jauh lebih sibuk. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap teman-temannya yang terluka dengan miris. Keterlaluan. Ia tidak mau diam saja, tidak. Dan lupakan bahwa dirinya pernah gemetar lima belas menit yang lalu. Amanda menapak perlahan--menghindari dua sosok peri rumah yang tengah melesat dengan gelas-gelas cokelat panas--dan menghampiri Madam Pomfrey. Kewalahan-kah ia? Prediksi Amanda sih begitu. "Permisi, Madam Poppy. Aku... adakah yang bisa kubantu?" tanyanya ragu, kecemasan kembali hadir saat melihat sosok yang ia kenali. Itu--Glows. Devindra. Dan, oh, senior Morcerf? Oh my. "Amanda Steinhart, Ravenclaw, kelas empat, Madam."

Apa yang bisa ia lakukan?

Labels: ,


2:51 PM


Gone with The Wind-#1

Pulang, ya? Lusa. Kujemput


Leander. Ck.

Makin parah saja, kan? Dunia sihir tak berubah menjadi lebih baik. Tak sesuai harapannya. Tak sesuai keinginan khalayak ramai. Salahkah berharap seperti itu, hm? Semoga tidak. Sayangnya--harapan tersebut dikhianati. Kemarin.

Langkah kecilnya mengayun perlahan, menerabas rerumputan musim panas yang berkilau akibat embun yang tertinggal. Mentari tengah tersenyum sepertinya, sinar keemasan milik penguasa langit itu mulai menyapa lembut--membelai kulitnya. Hari kedua di tahun keempatnya. Term baru, selalu menghadirkan hal baru di berbagai aspek. Perlengkapan sekolah, junior baru, nyanyian topi seleksi--hal yang baru itu menyenangkan, mate. Tetapi sungguh, sang gadis cilik sama sekali tak mengharapkan kejutan layaknya yang terjadi di Hogwarts Express kemarin. Kejutan--berupa peristiwa buruk. Begitu buruk bagi dirinya secara pribadi.

Amanda Steinhart memang melangkah dengan riang--kalian akan berpendapat seperti itu jika melihatnya, taruhan--tetapi hatinya gelisah. Terus menerus khawatir membuat hati menjadi amat sangat tak nyaman, kau tahu. Kepalanya menunduk disertai helaan nafas berat, kedua lensa kecokelatannya menatap makhluk kecil dalam dekapan. Hanya makhluk tersebutlah yang mampu menyunggingkan senyum di wajah gadis empat belas tahun tersebut, sejenak mengenyahkan kegusaran yang melanda. Mimzy, namanya. Seekor kelinci kecil berbulu kecokelatan--dari Leander. Entah ada angin apa sehingga sang kakak memberikan sesosok binatang peliharaan baru, untuk menemani Proteus, mungkin. Apapun, yang pasti keputusan Leander ia akui tepat. Mimzy-lah satu-satunya yang menjadi temannya saat para dementor menyerang. Makhluk mungil yang ia dekap erat saat kelebatan-kelebatan mengerikan mulai mengalun dalam ingatannya.

Masa lalunya lagi. Terpampang jelas tanpa cela.

Dementor--mampu membangkitkan kenangan terburuk seseorang, begitu yang selama ini ia dengar. Tetapi menghadapi makhluk hitam tersebut secara langsung dan menghadapi kenyataan bahwa apa yang selama ini ia dengar adalah tepat adanya--benar-benar di luar dugaan. Saat itu ia tak mampu berbuat apa-apa. Hanya bisa memeluk lutut dan sang kelinci di sudut kompartemen, lagi-lagi dengan tubuh gemetar. Amanda bersyukur tak ada orang lain disana, sehingga dirinya tak akan terlihat konyol. Ia sengaja menempati kompartemen yang kosong, memang. Tak ada Larry. Tak ada Nathaniel. Ia sendiri, berkutat dengan kenangan yang masih terus menyiksanya tanpa ampun. Saat itu dirinya menggeleng berkali-kali, berharap dengan begitu segala peristiwa terburuk dalam hidupnya tersebut dapat terlempar keluar dan tak lagi mengganggu. Tidak berhasil, tentu. Well, setidaknya ia selamat, tak terjadi hal yang lebih konyol--pingsan misalnya, atau menangis. Wohoo, tidak. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi. Yang satu itu berhasil.

Dan--sesuai prediksi, sepucuk surat datang saat sarapan pagi tadi. Leander. Secepat itu informasi beredar, hm? Memintanya untuk pulang, berkata panjang lebar bahwa ia sangat cemas dan berkata bahwa pemuda itu telah 'menegur' Nathaniel karena tak menemani Amanda di kompartemen yang sama. Menegur, ya, dalam artian sebenarnya. Detik berikutnya sepupunya menghampiri dengan wajah kusut dan bersungut-sungut, disertai serpihan perkamen hangus di rambut hitamnya. Demi Merlin--Howler. Terkadang Leander bisa menjadi seseorang yang terlalu berlebihan, astaga. Nathaniel turut memintanya pulang. Bodoh. Yang benar saja kalian, hah. Tidak mungkin ia pulang di awal tahun ajaran baru. Tidak mau. Lagipula bukankah Leander sendiri yang bilang bahwa Highbury Crescent tidak aman? Ia jadi tidak mengerti. Mereka terlalu over protektif. Hal yang menurutnya tak perlu, seorang Amanda Steinhart mampu menjaga dirinya sendiri.

Well, sepertinya mereka tak percaya. Fine. Yang pasti ia tak mau pulang.

Ngomong-ngomong, mau kemana, eh?

Mencari Hagrid, sebenarnya, tetapi ia sendiri tak yakin pria besar itu ada di gubuknya. Amanda ingin bertanya perihal makanan yang dapat diberikan untuk Mimzy, berharap Hagrid dapat memberitahu dimana ia dapat menemukan selada atau wortel segar. Wogh, dan kalian tahu apa yang ia temui? Orang-orang yang ia kenal tengah berada di depan sana. Ada... wew, prefek Balin, dan--err, oke, prefek McCafferty...

Please, Amanda, tidak perlu ingat kejadian di jembatan lagi, kenapa sih?



...ada sahabatnya, juga 2 orang gadis, junior sepertinya. Oh, dan Bleki. Great. Pagi hari yang keren. "Pagi, semua." Amanda mengangguk dan tersenyum lebar, kelereng kecokelatannya sedikit berbinar. Ia rindu mereka semua--kecuali Larry, mungkin, secara liburan musim panas lalu ia habiskan bersama sahabatnya itu. "Err... ada yang lihat Hagrid? Oh, ini Mimzy, by the way, kelinci--"

DUAK!

"ADUH!!"

Interupsi. Amanda menoleh cepat, mencari tahu sumber suara tersebut. Seorang gadis cilik tengah terduduk di bawah pohon--habis menabrak, sepertinya. Ya ampun. Amanda bergegas menghampiri, berjongkok disamping gadis itu. "Kau, apakah ada yang terluka?" tanyanya seraya mengerjapkan mata, memandang kening anak perempuan di hadapannya. Memar. "Itu--perlu kuantar ke rumah sakit?"

Tawarannya serius lho.

Labels: ,


2:44 PM

Sunday, May 17, 2009

Fidget-#3

Menghembuskan nafas frustasi. Man, setidaknya empat hal yang membuat wajahnya berubah datar dan mimiknya bersungut-sungut.

First, telapak kakinya berdenyut keras dan rasa nyeri itu tak jua hendak hilang, bahkan berkurangpun tidak. Ada yang salah pasti. Sialnya, entah mengapa benak terus menerus melarang kedua belah tangannya untuk bergerak turun, mengurai sepasang tali sepatu ketsnya dan melepas sang alas kaki. Sekedar untuk melihat--tidak. Bukan gengsi, hanya merasa kurang sopan. Semoga tak lebih parah dibandingkan memar yang terpampang sekitar satu setengah tahun yang lalu, tercetak di kakinya karena alasan yang sama. Terinjak--oleh seorang gadis kecil. Bedanya, saat itu benda yang menjadi biang keladi hanyalah seonggok sepatu flat, sedangkan sekarang? Sick.

Hobi baru para anak perempuan Hogwarts : menginjak kaki orang sembarangan. Amazing.

Kedua. Tepat waktu itu penting. Tahu, kan? Sayangnya, tak semua orang menyadarinya. Sepupunya tidak. Sigh. Bukan bermaksud untuk marah--nope, ia tak akan tega marah pada Amanda saat ini, sementara banyak kekacauan tengah menimpa keluarga mereka. Hanya saja, menunggu tidak terdapat di dalam list hal-hal yang disukainya, selalu menimbulkan rasa jengkel dan gusar. Keinginan kuat untuk bertemu kembali dengan sang sepupu sajalah yang menahannya disini. Ck.

Ketiga. Delapan huruf itu menerpanya lagi--menunggu. Pelaku--another Steinhart, kali ini si sulung. Nathaniel mengerling konter jauh disana, masih menemukan pemandangan yang tak jauh berbeda dengan sepuluh menit yang lalu. Keramaian bertumpah ruah dan berpusat disana, membuatnya kembali berdecak. Kelihatannya masih lama.

Terakhir. Anak lelaki tiga belas tahun itu kembali berpindah ke tempat semula, kursi kayu di bagian sudut--berkawan dengan jendela tepat di sampingnya, mengambil pose bersedekap. Harapannya masih tersedia, mate. Harapan melihat sosok mungil yang sama, yang pertama kali ditemuinya di pesta kebun Gryffindor, yang mempelopori peristiwa injak-menginjak-kaki-Gladstone, yang... cantik itu. Bodoh. Kardionya berderap dalam tempo yang lebih cepat saat ini, imbas dari kembali diputarnya ingatan-ingatan dalam benak. Well, harapan tinggal harapan, tak semudah membalik telapak tangan untuk mendapatkan realisasinya. Sepanjang penantiannya di tempat ini, tak ditemukannya siluet seseorang yang dikenalnya, no one, dan masihkah mungkin ia berharap untuk bertemu dengan gadis yang satu itu? Lebih baik jangan.

Well, prediksi baginya hanyalah hal yang tabu. Prediksi Nat lebih sering meleset--dugaannya jarang menembus titik kebenaran. Fine, itu fakta, karena bukti telah hadir di depan mata. Kali ini biarkan hatinya memuji kesalahan prediksi yang terjadi, oke?

Dan--jangan salahkan dirinya karena terpaku saat ini.

Ada. Itu. Di depannya. Aurore Petrabella Marvil.

"Nathaniel! Tak kusangka kita bertemu di sini! Kau lagi apa? Kalau aku-"

Ya. Tak disangka. Sama sekali. Dewi fortuna tengah bertamu ke ruang takdirnya, eh? Selamat datang dan terima kasih telah mampir kalau begitu. Kelereng kecokelatan anak lelaki itu tak bergerak, terpancang pada satu titik fokus dalam kegemingan absurd--sepasang lazuli yang lain di hadapannnya. Menyertai dalam hentakan seiring, rona merah merambati wajahnya--lagi-lagi. Kegusaran yang menghampirinya di awal menguap sedikit demi sedikit, tergantikan sensasi aneh menyenangkan yang mencengkeram perutnya. Apa ini? Kenyataan perasaan yang selama ini selalu berusaha ia sanggah, ha? Akan terus berlangsung jikalau saja interupsi tak seenaknya menyela.

Siapa itu?

Lensa beningnya bergulir sedikit ke samping, mendapatkan garis konkret berbentuk seorang wanita paruh baya, tengah mengaktifkan mulutnya, bercerocos menguraikan kata-kata--itu... ditujukan untuknya? Nat mengerjapkan mata, mulutnya sedikit terbuka, tak mengerti. Sebentar. Jika ditilik dari pilihan frase dan kata yang keluar dari bibir wanita tersebut, sedikit banyak ia dapat menyimpulkan sang maksud dan tujuan. Ro, ck ck. Gadis cilik itu pasti cerita mengenai insiden jatuh dari pohon dan kancing-tersangkut yang menimpa Nat beberapa saat yang lalu, kepada wanita itu. Dan pastinya saat ini image seorang Nathaniel Gladstone berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang pemuda kurang ajar yang menimpa gadis malang tanpa basa-basi demi suatu maksud terselubung. Great. Mampus deh.

Ia tergagap, berusaha mengumpulkan suaranya yang secara tiba-tiba menghilang tanpa izin--ketika makhluk itu datang. Terkesiap, sepasang matanya melebar, terlebih lagi ketika sang makhluk mungil mendarat cuek di atas bahu Marvil. Kupu-kupu? Jangan lagi. Nat perlahan bangkit, melangkah tanpa suara menghampiri gadis Slytherin itu, kemudian mengibaskan tangan dengan lembut ke arah sosok bersayap tersebut--yang segera pergi dengan keanggunan yang sama seperti waktu itu.

Marvil, kau tak sadar ada kupu-kupu kan?

Nathaniel meneruskan gerakannya, menepuk bahu sang gadis kesayangannya, tersenyum simpul dan berujar, "Apa kabar?" Senyuman dari seorang Gladstone--langka, mate. Lalu, sadar bahwa ia belum menanggapi ucapan bibi entah-siapa-itu, mulutnya kembali terbuka, suara khasnya mengudara lagi. "Anda... salah paham, Nyonya. Waktu itu saya--tidak sengaja. Maaf." Hembusan nafas sebagai penutup. Cukupkah kalimat itu sebagai jawaban?

Sepertinya tidak.

Labels: ,


7:41 AM

Thursday, May 14, 2009

Watching Movie-#1

Seka. Kibas. Apa lagi? Kipas-kipas. Tidak mempan juga. Sigh.

Dihujani kilauan kalor keemasan tanpa toleransi seperti ini bukan kemauannya, tak perlu ditanya. Hanya saja, seratus meter di depan, destinasi menunggu, plang besar membuat senyumnya terukir tipis. Well, sejauh ini pun sebenarnya ia tak keberatan sih.

Gadis itu membuka topi birunya, untuk kesekian kalinya menyeka titik-titik peluh di kening dengan lengan sebelum kembali memakai sang topi, mengkover kepala serta rambut kecokelatan kuncir kudanya. Panas. Siang hari musim panas di pusat kota London, tak perlu buang-buang tenaga untuk berharap kesejukan menyambut. Bising, polusi, tebaran manusia tumpah ruah. Bercampur baur dengan para muggle dalam kapasitas besar, kesempatan langka, sungguh. Berkali-kali sang gadis mengerjapkan mata ingin tahu, menelengkan wajah mengamati macam pribadi yang berlalu-lalang, sedikit penasaran terhadap apa yang dikenakan, dibawa serta dikerjakan komunitas dunia seberang--melupakan kausnya yang basah, juga rasa tak nyaman di kakinya.

Amanda mengerling ke samping, menemukan siluet anak lelaki Hufflepuff--sahabatnya. Jalan yang mereka tempuh lumayan jauh, tahu. Jangan protes jika saat ini gurat kelelahan terpancar dari wajah mereka--wajah Amanda setidaknya--dan panas membakar juga merambati kakinya. Tidak, percayalah, ia tak keberatan barang sedikitpun. Merepotkan Jo, lagi, untuk mengantarnya dengan cara yang sama seperti saat pertama dirinya berangkat ke rumah sementaranya selama musim panas ini--berapparate, FYI--merupakan pilihan terakhir yang akan diambilnya untuk merealisasikan keinginan yang tanpa alasan jelas ingin ia lakukan. Memaksanya untuk merelakan sepasang kaki miliknya untuk berjalan dari Queen's Road nomor empat puluh tujuh hingga ke tempat ini, Sloane Square.

Amanda ingin nonton Superman II.

Well, sebenarnya ada seorang lagi yang pada akhirnya harus turut mengorbankan diri, repot-repot dan bersedia berjalan kaki, berpeluh dan letih bersamanya, membuat Amanda merasa sedikit bersalah. Terpaksakah Larry menemaninya? Semoga tidak--ya, firasatnya sih mengatakan tidak, hoho. Sekali lagi bibirnya melengkung simpul, merasa amat beruntung karena memiliki seorang sahabat seperti Jonathan Larson Baned, yang disadarinya selalu ada. Terima kasih banyak. Gadis itu menggamit lengan Larry, setengah menarik sang anak lelaki memasuki pintu teater Royal Court bersama binar rasa senang dan kepuasan--akhirnya sampai. Tak terlalu ramai. Mungkin hari ini termasuk pemutaran film ke sekian, sepi penonton. Atau...

Filmnya sudah mulai, eh?

Amanda melirik arlojinya, kemudian mengangkat wajah untuk membaca jam tayang yang tertera--great, satu menit lagi. Melepaskan gamitannya pada lengan Larry, ia menghampiri tempat penjualan tiket dengan sedikit tergesa. Tempat duduk, err... um... asal saja deh. "Superman II, I18 dan I19, please." Menyambar tiket dan kembali menghampiri sahabatnya setelah mengucapkan terima kasih kepada gadis penjaga loket, ia kemudian mengangsurkan salah satu lembaran. "Kau I18 ya, Larry?" Amanda mengedipkan sebelah mata disertai cengiran jenaka spontan. "Hari ini aku yang traktir. Semuanya," ujarnya lagi, melontarkan nada tak-menerima-protes. Hitung-hitung berterima kasih atas apa yang selama ini telah Larry lakukan.

Penyempurnaan. Satu konter lagi sebagai tujuan. Ia menggumamkan pesanan--satu popcorn ukuran paling besar di etalase, dan dua soda dingin. Uh-uh, satu popcorn untuk berdua saja, lagipula tampaknya ia tak akan sanggup memakan itu semua sendirian. Ia yang traktir juga, by the way. Amanda mengangguk kepada Larry, mengisyaratkan bahwa semuanya sudah beres, lalu kembali menarik sahabatnya tanpa basa-basi. Ke studio 4.

Kan. Sudah gelap. Gadis empat belas tahun itu menggenggam lengan Larry erat, merasa gamang. Payah. Selamat sampai tujuan, sih. Row I, sisi tengah, tak banyak yang menempati, tak banyak yang akan terganggu. Bagus. Tapi tetap saja, jalan ke tengah tidak keliha--

DUK!

Tersandung. "Ma-maaf," ringisnya cepat-cepat, memicingkan mata untuk mereka dimana wajah seseorang yang ia tendang kakinya. Anak lelaki sepertinya. Sekali lagi ia meminta maaf, kemudian menghenyakkan diri di atas tempat duduk yang seharusnya. Huft. Selamat, selamat.

Hei. Se-sebentar. Kesadaran itu telat hadir. Amanda tertegun, dengan sedikit tak percaya ia menoleh, benar-benar menyipitkan mata untuk mengkonfirmasi penglihatannya barusan. "Istvan?" gumamnya tak yakin. Benar, tahu. Itu... Well, kalau begitu-- Ia mengedarkan pandangan, berusaha mengalahkan kegelapan. Di baris yang sama dengannya tak ada siapapun lagi yang ia kenali. Mungkin... Amanda menoleh ke belakang--

Dan yang dilihatnya pertama kali adalah siluet rambut keriting gimbal itu.

"DANIELLE!" pekiknya keras. Bodoh. B.O.D.O.H. Seruan protes terlontar dari beberapa penjuru, membuat cengiran bersalah lagi-lagi terpampang di wajahnya. Amanda merosot di bangkunya, membenamkan tubuh pada sandaran kursi sebelum menoleh dan mencondongkan tubuh ke arah sahabatnya. Duh, telinga Larry yang mana sih? "Larry," bisiknya, "Lihat ke baris atas, deh." Ia menunjuk row H dengan ibu jarinya. "Banyak anak Hogwarts... sepertinya."

Ya, ya, ia tak suka kegelapan.

Labels: ,


7:58 PM

Wednesday, May 13, 2009

Fidget-#2
Tidak ada.

Sekali lagi, bersama kejenuhan serta kekhawatiran yang terus bergulir, kedua lapis lensa kecokelatan milik sang anak lelaki berulang kali bergerak menyapu penjuru ruangan, mencoba menemukan seseorang atau sesuatu yang ia kenal. Sejauh ini yang ditemukan--nothing. Ralat, ada. Jauh di seberang sana, di balik konter berdebu yang disesaki antrean panjang pengunjung--termasuk Leander, terdapat para pegawai magang, eh? Tidak kenal. Ia butuh seseorang yang ia kenali, bukan hanya sekedar tahu. Dan kriteria tersebut belum terpenuhi hingga saat ini. Yang terpampang di hadapannya, sebagian besar adalah para pribadi cilik yang berlalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing, berteriak-teriak bising ataupun berkerumun dalam kelompok-kelompok kecil Ck.

Calon juniornya, eh?

Tidak tahu. Dan juga tidak perduli. Calon murid Hogwarts ataupun bukan, yang pasti salah satu dari mereka saat ini tengah menghampirinya.

Nathaniel mengangkat satu alisnya, menatap anak lelaki di hadapannya acuh. Bukankah plang Leaky Cauldron tergantung besar-besar di depan, ha? Tidak lihat atau bagaimana? Ia mengangguk singkat, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan kedua yang sampai ke telinganya. Refleks, Nat mengerling pakaian yang dikenakannya--polo shirt dan celana jeans denim--fine, so muggle. Salahkan komunitas dimana ia tinggal, menyebabkan hal-hal yang berkaitan dengan muggle berkawan erat dengan dirinya, membuat seorang Nathaniel Gladstone tak tampak seperti penyihir. But he is.

"Keberatan kalau aku bergabung di sini?"

Nat menatap lekat anak lelaki di hadapannya--sebelas tahun menurut prediksinya--masih bersedekap, berusaha menilik apakah orang asing tersebut berbahaya atau tidak. Kewaspadaan itu bertambah, mate. Levelnya bertingkat sehubungan dengan keempat serangan yang menimpa sepupunya. Dirinya kelihatan tak ramah, oke, memang. Tak perlu protes. Hm, kelihatannya sih anak lelaki baik-baik. Ia mengacak rambut hitamnya. "Tidak. Tidak perlu bertanya, sebenarnya," ujarnya, mengangkat bahu. Situasi ini. Mirip dua tahun yang lalu, dimana dirinyalah yang berperan sebagai sang anak kecil sebelas tahun, menghampiri meja dengan anak lainnya yang tak dikenal. Dan saat itu keramahan yang dilontarkan ke arahnya.

Well, sayangnya ia tak terbiasa bersikap seperti itu.

Berdeham, Nat berpindah ke kursi sebelah pinggir, kemudian menegakkan posisi duduknya. "Hogwarts, eh?" Pertanyaan standar, menebak saja. Jika prediksinya benar, berarti saat ini dirinya tengah menghadapi sang calon junior. Great, let's see. "Nathaniel Gladstone, by the--ARGH!" Perkenalan diri dengan interupsi luar biasa mengejutkan, menghadirkan denyutan keras di kaki kanannya. SIAPA SIH? Ia meringis, secara spontan menoleh sengit, mencoba mencari tahu pelaku--

Ha-ha. Seorang gadis. Menginjak kakinya. Lagi.

Nathaniel menahan emosinya mati-matian, memejamkan mata kesal sambil membungkuk dan mengusap-usap kaki kanannya yang masih terbungkus sepatu, sama sekali tak peduli dengan permintaan maaf yang diserukan gadis cilik tidak-punya-mata itu. Tak ada gunanya meminta maaf, tahu. Toh sudah terlanjur. Yang saat ini sedang benaknya lakukan adalah berusaha tidak memvisualisasikan amarahnya, mencoba tidak membentak, tidak berlaku kepada kepada seorang anak perempuan. Tidak. Jangan sampai. Ia menarik dan menghembuskan nafas berulang kali, berusaha menstabilkan tensi, sebelum akhirnya bergumam gusar, "Lain kali hati-hati, Nona."

Tidak etis membuka sepatu di tempat ini, sial. Pemuda Gryffindor itu menggerakkan kakinya dengan tak nyaman, masih disertai ringisan. Bodoh, rasa nyerinya keterlaluan. Apa sih yang anak itu pakai? Sekali kerlingan, dan dirinya mendengus tak percaya. Itu--for God's sake, apa-apaan? Seorang gadis cilik dengan sepatu boot berhak extremely tinggi, runcing pula? Ck ck, korban mode.

Mencoba untuk tak terlalu peduli, Nat kembali bersandar pada punggung kursi, berpura-pura tak merasakan nyeri yang mendera kaki kanannya. Kalau sampai terluka--lihat saja.

Ngomong-ngomong, kejadian barusan mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang selalu mengganggu benaknya akhir-akhir ini. Seseorang, yang selalu membuat kardionya berderap satu ketukan lebih cepat, bahkan hanya memikirkannya.

Aurore Petrabella Marvil, dimana kau, eh?

Labels: ,


11:02 AM

Tuesday, May 12, 2009

47 Queen's Road, London-#1

"O-oke."

Siluet kebiruan pudar dengan corak kelabu bertindak sebagai latar belakang, menaungi ketiga sosok di bawah langit itu, yang tengah berdiri berdekatan satu sama lain. Sang gadis cilik menahan nafas tanpa sadar, tangan kanannya bergerak perlahan dan menggamit lengan sahabatnya--tas koper dalam genggaman, sementara tangan satu lagi memegangi bagian lengan baju gadis dewasa di sisi lain--sesuai perintah. Apparate. Wew. Well, tidak heran sebenarnya, dan seharusnya cara bepergian seperti ini telah mampu diprediksi sejak awal. Hanya saja rasa nervous yang biasa mampir di benak seseorang saat mencoba sesuatu yang baru--mulai menyerangnya, membuat kardionya berderap lebih cepat. Err... sebenarnya masalah transportasi menuju rumah tujuan sama sekali tak terbersit di pikirannya selama perjalanan di atas Hogwarts Express, pikirannya penuh--dihantui rasa tenang bercampur dengan kekhawatiran yang tetap enggan untuk enyah. Merasa cemas terus menerus seperti ini melelahkan, kalau ia boleh jujur.

So, sudah siap, eh?

Amanda menggigit bibir bawahnya, merasa bahwa dirinya tak akan pernah siap namun sadar mau tak mau apparate akan berkawan dengan kehidupannya--dalam waktu beberapa tahun lagi, dan kali pertama tak selalu berakhir buruk seperti yang ia bayangkan. Kata siapa pula itu? However, detik berikutnya peron 9 3/4 secara tiba-tiba terlihat kabur, sepasang kaki berbalut sneaker biru miliknya tak lagi menjejak tanah, sekelebat bayangan berpusing di depan matanya, menghadirkan pening. Gadis empat belas tahun itu memejamkan kedua matanya, mengeratkan genggaman kepada kedua sosok di sampingnya, berharap sensasi aneh yang menjalari tubuhnya cepat berakhir--

GUSRAK!

DUK!

"Duh." Amanda meringis, secara refleks mengusap-usap sikunya yang nyeri akibat terbentur koper hitam yang mendarat persis di samping tubuhnya. Sampai? Sepertinya begitu. Ia mengangkat wajah, mengerjapkan mata dan melempar pandang tertarik ke arah rumah yang menjulang di hadapannya, kemudian cepat-cepat bangkit saat menyadari posisi jatuhnya--tengkurap, FYI--dan menepuk-nepuk kaus serta celananya, mengusir beberapa helai rumput yang mampir. Pendaratan yang kurang mulus sebenarnya, tidak dalam posisi berdiri, tetapi perasaan senang atas apparate-nya yang pertama kali saat ini mendominasi, mensunggingkan senyum puas di bibir--tidak peduli bahwa yang menjadi pelaku utama bukan dirinya. Amanda menoleh ketika sebuah keluhan hadir di telinganya, dan kedua matanya kembali terkerjap. Ah ya, masih ada dua orang yang lain, dan ia lupa, ck ck. Ia beranjak, menghampiri anak lelaki satu-satunya di sana dan membantu sahabatnya itu berdiri. Tidak apa-apakah?

Gadis Ravenclaw tersebut mengangguk, menanggapi pertanyaan sang senior sekaligus menyatakan persetujuan atas kalimat barusan. Kurang mulus, tak apa, ia tak keberatan, sungguh. Oh, oke, sensasi apparate memang begitu. Begitu, sama dengan keren.

"Nah Amanda. Queen's road empat puluh tujuh."

Anggukan lagi terlontar, diiringi oleh senyuman lebar serta binar di kedua lapis lensa kecokelatan miliknya. Ya, Queen's road nomor empat puluh tujuh, tempat dimana ia akan menghabiskan seluruh waktu libur musim panasnya. Tempat dimana dirinya harus menginap selama rentang waktu tersebut. Entah, Amanda merasakan sesuatu yang ganjil di hatinya, imbas dari kekhawatiran yang masih senantiasa berdentum di dalam dada--kekhawatiran yang turut serta dengan setia hingga ke tempat ini sekalipun, bercampur dengan rasa tidak enak karena harus merepotkan orang lain. 'Menumpang', istilahnya. God, kalau bukan karena Leander dan Nathaniel yang meminta dengan sangat, ia tak akan mau. Sepupunya curang, by the way, diizinkan tetap menetap di Highbury Crescent nomor empat, sementara dirinya tidak.

Mereka bertiga menganggap seorang Amanda Steinhart itu lemah. Ha-ha. Nice.

Mendengar kata 'berantakan' bergaung di udara, Amanda mengedarkan pandang, mengamati area yang sempat diprediksi olehnya sebagai halaman belakang, menelusuri setiap jengkal yang kasat mata. Berantakan? Tidak kok. Hanya saja... kelihatan telah cukup lama ditinggalkan.

"-maaf."

Ha? Ia menoleh cepat ke arah sang senior, menggeleng spontan. Kenapa minta maaf? Seharusnya dirinya yang mengucapkan kata tersebut. "Tidak, Prefek Baned," serunya seraya tersenyum canggung, "err... Ketua Murid maksudku--eh, senior..." Gadis itu menggaruk pelipisnya, bingung. Bagaimana ia harus memanggil seorang Jo Baned yang telah lulus?

"Aku--yang minta maaf--" ucap Amanda, menatap Larry sekilas, menandakan bahwa permintaan maafnya juga ditujukan bagi anak lelaki satu itu, kemudian menunduk menatap sepatunya, "--jadi merepotkan."

Labels: ,


3:48 AM

Sunday, May 10, 2009

Fidget-#1

Payah.

"Sendiri saja, kenapa sih?"
"Tidak, Nathaniel. Kau--pergi bersama Leander."
Anak lelaki itu mengerang. "Aku BUKAN anak kecil lagi, Dad!"
"Terserah. Ya, atau tidak sama sekali."
Nat mengerling Leander, sang kakak sepupu, yang tengah berkutat dengan kemeja Muggle berwarna hitam, sementara topi baseball biru tua telah bertengger santai di atas kepala pria dewasa tersebut. Menyamar, eh?
"Penyamaran yang buruk, bro," lontarnya seraya mendengus samar, sudut bibirnya sedikit terangkat--menyeringai. Namun segera terkatup ketika tatapan tajam sang ayah melesat dan menusuk, membuatnya terdiam. Kan, salah lagi.
Ia mengangkat bahu dengan acuh, mengindikasikan persetujuan tanpa minat. Terserah deh, Dad. Apapun asal dirinya diizinkan pergi ke Leaky Cauldron. "Well, jangan larang aku beli es krim, oke?"



Debu ini. Bikin kesal saja. Panas terik mampir lagi, selalu hadir tanpa mau tahu situasi. Nathaniel berdecak, mengucek mata kanannya yang dikunjungi elemen tanah berbulir kasar tersebut. Jalan di pusat kota London selalu sama di musim panas, menghadirkan peluh yang menetes deras membasahi sekujur tubuh. Hari ini pun tak berbeda. Kelereng kecokelatan miliknya melirik si sulung Steinhart, sedikit mengamati penampilan baru sang pemuda. Kewaspadaan tingkat tinggi, ya, menuntut penyamaran habis-habisan. Bukan bersembunyi, Nat tahu, hanya tak ingin terjadi serangan lagi. Apalagi untuk hari ini, dimana akan hadir sosok yang akan kembali mereka berdua temui setelah sekian lama--dua minggu itu lama, tahu.

"Ingin segera bertemu Amanda, eh, Leander?" Nat berseru singkat, kedua tangannya dalam saku sementara sepasang kaki berbalut kets putih berayun cepat. Senyuman terbersit di wajah pemuda di sampingnya, membuat anak lelaki tiga belas tahun itu kembali menyeringai. Tentu saja. Di samping alasan 'dunia sihir sedang dalam puncak bahaya' ala Dad, fakta bahwa seorang Amanda Steinhart akan menemui mereka di Leaky Cauldron tak diragukan lagi menjadi sebab mengapa Leander amat bersikukuh menawarkan diri mengantarnya ke Diagon Alley. Well, sejujurnya, jika pertanyaan yang ia lontarkan barusan berbalik dan diajukan untuknya, jawabannya pun ya, dengan huruf besar. Perlengkapan tahun ketiga urusan belakangan, bertemu sepupu yang tak ditemuinya selama libur musim panas menjadi prioritas, tak perlu ditanya. Bagaimana kabar gadis itu, hm? Apakah Baned memperlakukannya dengan baik? Tidak? Lihat saja.

Pintu masuk berderit terbuka, merilis bunyi yang membuat Nat meringis tak nyaman. Leaky Cauldron--Kuali Bocor, ramai seperti biasa, terutama dalam rentang waktu mendekati awal tahun ajaran baru Hogwarts. Ia terbatuk sekali, bersungut-sungut merutuki pilihan tempat yang tak kondusif, mengedarkan pandang ke seantero ruangan. Tak banyak yang memutuskan untuk memesan minum dan duduk, kelihatannya. Beberapa set kursi-meja kosong tak berpenghuni, seakan memanggilnya untuk duduk. Memang itu yang akan dilakukannya, segera. Nat menepuk bahu Leander, menggumamkan permintaan tolong untuk memesankan segelas butterbeer, kemudian menunjuk sebuah meja kosong di samping jendela paling ujung. Setelah mendapatkan konfirmasi berupa anggukan, ia mulai melangkah melintasi ruangan, menyusuri jalan yang diapit meja-meja tua, mengacuhkan oknum-oknum penebar kebisingan yang tak sengaja ia lewati. Berisik. Maka dari itulah ia memilih sudut terpencil ruangan, tak ingin terganggu. Ada beberapa hal yang hendak ia pikirkan baik-baik.

Menghenyakkan diri di atas kursi tua berdebu, Nat kemudian bersandar seraya bersedekap, sementara pandangan kedua matanya terlempar ke luar jendela dan berkelana tak terfokus. Biarkan benaknya berpikir sejenak, membunuh waktu selagi menunggu Leander yang tengah berkutat dengan antrean panjang melelahkan di sana. Yang menyita pikirannya saat ini tak lain tak bukan adalah masalah penyerangan berturut-turut yang mengancam keluarganya, memporakporandakan bangunan rumahnya. Dan pelakunya masih berkeliaran dengan bebas di luar sana. Great. Apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Tak ada kontribusi yang berguna darinya, bahkan ketika serangan keempat terjadi di depan matanya saat libur musim panas lalu. Bodoh. Sampai kapan Leander akan terus diincar, ha? Apakah Amanda akan terpaksa dipindahkan ke tempat lain lagi pada musim panas tahun depan? No way.

Anak lelaki itu menghela nafas, kali ini tatapannya berkeliaran menilik ruangan. Seseorang yang dikenal mungkin bisa menghancurkan rasa frustasinya. Adakah?

Labels: ,


3:16 PM


Shape of My Heart-Finale

Fine. Tidak ada masalah, katanya?

Amanda menatap tajam lantai jembatan tanpa titik fokus yang jelas, hanya berusaha tak menoleh dan memandang wajah anak lelaki di hadapannya dengan berpura-pura tertarik luar biasa kepada tempatnya berpijak selama setengah jam terakhir. Tidak cukup membantu, sebenarnya. Ia dapat merasakan tatapan terpancang ke arahnya, namun ia bergeming. Tenggelam dalam kemarahan yang berkecamuk di dalam dada, keselarasan berpikir tingkat tinggi miliknya terpinggirkan untuk sementara. Terenyahkan tanpa alasan yang jelas. Sang egoisme sukses menyeruak ke barisan terdepan pasukan benak, mengalahkan akal sehat dan kesabaran yang biasanya bertugas sebagai pemimpin. Kenapa, eh, Amanda?

Tidak percaya. Kalimat pernyataan tak-ada-masalah yang dilontarkan Larry entah mengapa tak berhasil menyentuh tombol keyakinan miliknya. Ucapan hanya ucapan, hanya rangkaian kata yang tersusun tanpa konkrit nyata, tanpa bukti bahwa rangkaian tersebut benar adanya. Firasatnya melarang hatinya untuk percaya, maaf. Hanya pendapat semata, sebenarnya. Tetapi saat ini, detik ini pendapatnyalah yang paling benar, pemikirannyalah yang akan digunakan dan dilaksanakan sebagai undang-undang. Oke?

Astaga, Steinhart. KENAPA marah-marah sih?

Ya, ada apa denganmu, ha? Amanda memejamkan mata dan menelan ludah sekali, berusaha menstabilkan sensasi menyesakkan yang menggedor-gedor dadanya cepat. Ini--God, sabar. Gadis cilik itu menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar dalam waktu sepersekian detik, kemudian merilis sang karbondioksida kembali lepas ke udara bebas. Ia mengulanginya dua kali berturut-turut, merealisasikan nasihat sang paman. Kurang berhasil rupanya. Gelenyar tak nyaman itu masih hinggap. Argh. Ia tak pernah tahu--kelelahan, rasa malu, frustasi, serta perasaan diabaikan dapat bereaksi dan menghasilkan produk berupa kemarahan. Ia baru tahu. Dan sayangnya sang gadis Ravenclaw tak tahu kalau seonggok luapan hati bernama kemarahan dapat meningkatkan tingkat keletihan beberapa level lebih tinggi. Bodoh.

Oh, sudahlah. Kembalilah menjadi dirimu, Amanda. Berpikirlah dari sudut pandang seseorang berakal jernih, please. Coba pikir--Jonathan Baned, bertindak tak sesuai harapanmu barusan, eh? Melenggang pergi dengan acuh. Apakah kau lupa bahwa memang begitu sifat sang anak lelaki yang menjadi sahabatnya? Tak ingatkah kau bahwa sikap seperti itu wajar dan biasa dilakukan dalam keseharian? Sadar. Kau payah dan egois. Benar. Dirinya hanya ingin diperhatikan lebih. Itu saja sebenarnya. Benar-benar naif dan tak dapat dipercaya, rite? Amanda tertegun saat menyadari fakta yang terlambat hadir tersebut, hatinya mendengus tertawa. Jangan menyalahkan orang lain atas apa yang kau lakukan, Amanda.

Ya. Ia harus minta maaf.

Kepalanya bergerak perlahan, hendak menoleh untuk melontarkan permintaan maaf yang terlambat. Kata-kata telah sampai di leher--namun terhenti dan tak mampu keluar. Terpaku, tertegun sekali lagi. Tubuh kecilnya tak lagi berdiri secara independen, seseorang di hadapannya, seseorang yang amat ia kenal--memeluknya. Baru mampu bergerak setelah lewat beberapa detik, Amanda menghela nafas samar, balas mendekap sahabatnya, kedua lengannya melintang di balik punggung sang anak lelaki. Helaan nafas itu... kelegaan. Ia mengangguk kecil saat kalimat yang dilontarkan Larry sampai ke telinganya. Berhasil. Jo memang hebat. Kemarahannya menguap begitu saja, seakan tersapu angin yang tengah berhembus, sementara rasa frustasinya runtuh. Ini--sama. Rasa nyaman saat Leander memeluknya di hari kakaknya pulang--rasa itu ia dapatkan saat ini. Singkat, tapi amat berarti baginya, sungguh.

Kembali berdiri bebas, Amanda menatap pemuda di hadapannya, melempar senyuman letih sebagai jawaban pertanyaan non-verbal yang tertangkap olehnya. Sudah lebih baik. Jauh lebih baik. Ia mengerjapkan mata saat mendengar kalimat berikutnya. Berantakan? Tak diragukan lagi. Amanda dapat merasakan matanya sembab, hidungnya memerah akibat menangis. Ck ck. Kembali ke asrama, tidak sendirian pula--ide terbaik hari ini. Sekali lagi kepalanya mengangguk, sepasang kakinya mulai bergerak--tunggu. Ia memberi isyarat kepada Larry untuk menunggu sebentar, kemudian beranjak menghampiri tepi jembatan, menatap jurang yang terhampar di bawah, dan senyuman itu kembali terukir. Hal terakhir sebagai penutup.

Amanda membuka genggaman tangannya, memandang gumpalan perkamen yang tanpa sadar masih berada disana. Menghela nafas, lagi, ia meraih tongkat Eldernya, berdeham kecil sebagai pengantar, kemudian berujar lirih seraya menunjuk sang perkamen dengan ujung tongkat, "Lacarnum Inflamarae." Merilis carik tersebut tanpa basa-basi, menjatuhkannya jauh menuju jurang dengan kobaran jingga menyelimuti benda itu secara keseluruhan. Selesai. Lupakan segalanya. Lupakan kebodohan yang telah ia lakukan. Lupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Lupakan Lazarus.

Ia kembali menghampiri Larry, mengangguk, memberi isyarat bahwa semuanya telah selesai. Saatnya kembali ke kastil. Kedua lensa beningnya meredup sesaat ketika menangkap dua sosok di depan, bersama, terlihat bahagia--hei, hei. Lupakan. Sudahlah. Ya. Hatinya lebih ringan saat ini, meskipun sesak itu masih tersisa. Life must go on, rite? Amanda menoleh, tersenyum kepada sahabatnya. "By the way, Larry," ucapnya mengiringi langkah yang terus beranjak.

"Terima kasih banyak."

Hm, FIN? Well yeaps, for NOW.




Thread officialy closed.

Labels: ,


3:10 PM

Thursday, May 7, 2009

Meja Hufflepuff-#2


"Sama-sama."

Tangan kanannya menopang pipi di sisi yang sama, sementara posisi duduknya diubah sedikit menyamping. Kelereng kecokelatannya memantulkan siluet anak lelaki di hadapannya, melengkungkan senyum simpul di bibir sang gadis. Berharap apa yang dilihatnya merupakan mimik tanpa manipulasi, Amanda melirik dua bentuk bungkusan hadiah yang tergeletak manis di atas meja, merasa senang dapat menemukan senyuman tipis terlontar di wajah sahabatnya. Langka, kalau ia boleh jujur. Sensasi menggembirakan saat mengetahui kau dapat membuat seseorang gembira tengah berlaku detik ini, mampir di benaknya. Baguslah.

Makan? Gadis cilik itu terkerjap, sadar akan kelalaiannya memenuhi hak atas tubuhnya--belum makan dari pagi. Lupa. Ia meringis, merasakan gemuruh samar mulai bergejolak di bagian dalam perutnya. Tangan kanannya bergerak, meraih sepotong pai ayam milik Larry tanpa basa-basi, kemudian nyengir di tengah gerakan mengunyah yang segera menyusul. Cengiran tersebut betransformasi menjadi kuluman senyum saat pertanyaan sederhana yang diucapkan oleh anak lelaki di hadapannya terdengar. "Well, lihat saja sendiri, Larry," balas Amanda singkat, masih disertai senyuman simpul, jemarinya sekali lagi menyambar potongan pai--iseng. Bukan sekedar ingin membuat penasaran, sebenarnya. Lebih karena rasa khawatir senyum di wajah sahabatnya akan memudar ketika mengetahui apa yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun. Kecemasan berlebihan--well, dirinya tak berharap banyak Larry akan senang mendapatkan arloji dan buku yang tak seberapa. Err... ya, setidaknya ia berharap.

Menatap kembali wajah khas seorang Jonathan Larson Baned entah mengapa membangkitkan kembali kemelut bayangan insiden jembatan beberapa bulan lalu, peristiwa paling nekat dan memalukan sepanjang hidupnya, realisasi kebodohan tak terhingga dari seorang Amanda Steinhart. Rasa penasaran akan sikap Larry yang tak biasa ketika itu masih tersisa, kalau ia boleh jujur. Namun dirinya tak pernah berani bertanya lagi, tak siap menerima reaksi dari sahabatnya, tak ingin sikap pemuda Hufflepuff tersebut berubah. Tidak. Amanda lebih memilih terperangkap dalam keingintahuan daripada mendapatkan sikap dingin seperti waktu itu. Mungkin memang seharusnya ia mengubur sang kisah musim gugur dalam-dalam, membiarkannya lekang oleh waktu tanpa tersisa. Lupakan hal menyesakkan yang mendera--namun tidak dengan yang satu itu. A hug--seorang sahabat untuk sahabatnya, menghadirkan ketenangan yang tak terdefinisikan. Harus diakui, hal tersebut tak bisa dikatakan tidak membuatnya terkejut, but fine for her, exactly. Sebuah statement terbentuk di benaknya segera setelah kejadian tersebut--kepedulian itu ada. Diantara tebaran sikap dingin serta keacuhan yang tampak, Amanda yakin, meskipun dengan rasio perbandingan yang rendah, Larry peduli padanya. Bantah saja, bagaimanapun dirinya tetap yakin. Dan... semoga kepedulian itu hadir hari ini.

Butuh bantuanmu, Larry. Sangat.

"Err... Larry," kalimat pembukaan. Amanda menyelipkan rambut kecokelatannya ke belakang telinga sebelum melanjutkan, "Um... Aku butuh bantuanmu." Kali ini ia memainkan jemarinya dengan gelisah, menghela nafas berat melalui mulut. Kecemasan mulai menjangkiti hatinya lagi seiring detik yang berlalu. Satu-satunya orang yang mungkin ia mintai tolong hanyalah Larry, opsi lain terhapus dengan berbagai alasan klasik. Mau bagaimana lagi, ia harus bertanya. Setidaknya mencoba, dengan segenap harapan.

"Begini..."

Dan meluncurlah seluruh masalah secara gamblang melalui bibirnya, terucap disertai mimik kekhawatiran yang terpasang jelas di wajah. Segalanya. Mengenai perkamen surat yang ia dapatkan beberapa hari yang lalu dan datangnya kabar yang luar biasa menyentaknya. Dituturkannya secara keseluruhan--tiga serangan telah dilancarkan di tempat dan waktu yang berbeda, namun dengan incaran yang sama. Leander. Kakaknya. Dan yang terdekat adalah serangan terakhir, ledakan berskala medium terjadi tepat di halaman belakang tempat tinggalnya, Highbury Crescent nomor empat, menghancurkan tembok bagian timur dan memporakporandakan kebun anggrek terpelihara milik Bibi Antoinette. Sampai disitu kabar yang ia terima, meskipun hatinya amat yakin informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi tidak diberitahukan kepadanya secara keseluruhan. Ada yang disembunyikan--apapun itu, Leander dan Paman Amethyst melarangnya untuk pulang ke rumah saat libur musim panas nanti. Dilema, namun yang pasti sebuah keputusan harus diambil.

Sudah diputuskan.

"Begitulah, Larry," tutupnya dengan lesu, tetap diiringi oleh hela nafas bingung. "Yang ingin aku tanyakan, um..." Amanda menatap sahabatnya lekat, menggigit bibir bagian bawah. Berharap. "...bolehkah aku tinggal di rumahmu libur musim panas nanti?"

Tahu? Tidak ada solusi alternatif. Huft.

Labels: ,


10:27 PM

Wednesday, May 6, 2009

State of Shock-#1


Bodoh.

Kedua lapis lensa kecokelatan itu terbuka, menatap kosong keremangan yang melingkupi penglihatannya. Terpejam, hanya dalam hitungan detik--kembali terbuka, disertai gerakan gelisah sekujur tubuhnya, merubah posisi berbaring yang dipilihnya. Tidur. Please. Argh.

Nathaniel menyerah. Fine, akui saja, ia tak bisa tidur. Anak lelaki itu bangkit sambil bersungut-sungut, mengacak rambut gelapnya dengan frustasi. Kenapa sih? Hanya gara-gara surat sial, eh? Ck ck. Ia beringsut menuju tepi tempat tidur, menghela nafas kesal, tangan kanannya menyambar secarik perkamen lusuh yang tergeletak sembarangan di atas meja samping tempat tidur--well, surat dari Dad. Tiba saat sarapan, berhasil dengan gemilang meruntuhkan nafsu makannya seketika.

Serangan, yeah. Tiga kali, tempat dan waktu berbeda. Tidak dijelaskan secara detail, tetapi kali terakhir terjadi di tempat yang familiar. Halaman belakang Highbury Crescent nomor empat--rumahnya. Ledakan berskala sedang, menghancurkan tembok pembatas bagian timur, memporakporandakan kebun anggrek kesayangan Mom, dan kabarnya--Leander terluka. Dalam surat dituliskan bahwa fakta yang belakangan disebutkan berstatus tertutup rapat bagi sang sepupu, Amanda Steinhart, dirahasiakan sementara. Keputusan yang tepat, Nat tahu itu, karena entah apa yang akan gadis itu lakukan jika mengetahui kakaknya positif menginap di St. Mungo selama dua hari. Dan ya, untuk turut mendukung permintaan kedua sosok tertua di keluarganya tersebut--Jangan pulang saat libur musim panas nanti, Nak.

Man, are you kidding him?

Pemuda tiga belas tahun itu bangkit, menyambar tongkat sihirnya dan sebotol plastik air mineral yang masih terisi kurang lebih setengahnya dari atas meja, kemudian tanpa berniat bersusah payah mengganti piyama kelabu yang melekat, dirinya menjejak perlahan menuju pintu kamar, berusaha tak bersuara. Tidak yakin akan arah tujuannya, Nat menenggak sang air mineral sekali, mengizinkan sepasang kaki untuk membawanya kemanapun yang mereka suka. Ia butuh udara segar untuk berpikir. Bukan ruangan suram macam kamar asrama, ruang rekreasi atau kelas kosong. Nope. Keputusan yang akan diambil akan menentukan apa yang bakal ia dan sepupunya lakukan dua minggu lagi saat tahun ajaran berakhir dan libur musim panas menghampiri. Pulang, atau tidak. Dua opsi dan hanya satu keputusan. Jika kalian semua bertanya kepadanya akan opini pribadi--dalam sekali sentak pun jawabannya sudah jelas.

Ia akan tetap pulang. Tak peduli apa yang akan dilontarkan ayahnya dan Leander--keluarganya dalam bahaya dan ia pergi layaknya seorang pengecut? Wohoo, tunggu dulu. Tidak akan terjadi dengan alasan apapun. Masalahnya sekarang adalah... Amanda. Yang jelas gadis Ravenclaw tersebut TIDAK boleh pulang. Bagaimanapun caranya, tidak. Tetapi--kemana gadis itu dapat pergi?

Langkahnya terhenti saat saraf sensoriknya berkedut sadar. Dirinya telah berdiri di ambang menara astronomi, mendengus sarkastik. Oke, menara yang terpilih, bukan halaman, atau danau, atau dedalu. Great choice, feet. Nathaniel melangkah melewati jalan masuk, mengacak rambutnya asal--lagi, berharap tak ada orang lain dengan ide yang sama, pergi ke tempat ini.

Sial. Kakinya mengambang di udara, tubuhnya terpaku bertepatan dengan tertolehnya sang leher ke arah kanan. Dua orang. Dan, menyempurnakan segalanya, salah satu dari mereka adalah--prefek. Mampus. Nat menelan ludah, mulai bergerak mundur. Detensi bukanlah sesuatu yang ia cari saat ini, rite? Sedikit tergesa, ia memutar tubuh, mengambil ancang-ancang untuk pergi tanpa suara... sama sekali tak melihat kemana langkahnya beranjak.

DUAKK!

"Argh!" Seruan spontan terilis dari mulutnya, disusul oleh gerakan semi-membungkuk seraya memegangi keningnya yang pening. Kebodohan tingkat dewa. Nat meringis, mengaduh lirih.

Gelap, tahu. Jangan salahkan kakinya.

Labels: ,


2:48 PM

Monday, May 4, 2009

The Phoenix and The Turtle-#3


Biasa--saja. Please.

Amanda menelan ludah sekali lagi. Sulit, tahu. Ketika orang yang kau kagumi tengah berdiri di hadapanmu, ada tiga hal yang biasanya akan terjadi. Pertama, bersikap norak dengan terpekik-pekik tak jelas dan ber-'oh-my-God' ria--dilakukan para gadis pengidap fanatikisme dan sindrom lebayisme akut. Kedua, kabur atau pura-pura tak melihat karena nervous--banyak kasus yang terjadi di depan matanya, serius. Dan yang ketiga, bersikap normal seakan yang berdiri di hadapannya hanyalah seseorang yang tak dikenal, tanpa mimik terkejut maupun tergagap tak jelas--dengan sukses dilaksanakan oleh para pribadi lihai yang pandai memanipulasi sikap menjadi yang seharusnya. Seorang Amanda Steinhart jelas absolutely amat sangat bukan salah satu dari pengidap fanatikisme. Tidak. Ia bukan tipe gadis seperti itu, oke. Dirinya juga bukan seseorang dari kubu opsi kedua--ia tidak kabur saat ini, rite? Dan akui saja, juga bukan anggota opsi yang ketiga. See? Sikapnya tidak tenang, ia tak pandai memasang mimik tak terpana, juga tak lihai menghilangkan kegugupannya--seorang Amanda Steinhart bukan personil ketiga pilihan di atas. Well, ketiga opsi tersebut tercampur aduk di benaknya.

Harus mampu menjadi yang ketiga, Amanda.



She's trying.

Kalimat tanya yang kemudian diucapkan oleh prefek Al-Kazaf membuatnya mengerjapkan sepasang matanya. Kan. Kegugupan yang melandanya memang sedikit tak wajar, dan tindak-tanduknya tersebut kelihatannya menghasilkan persepsi yang salah. Payah, deh. "Aku baik-baik saja, Prefek--" ujarnya dengan senyum yang diusahakan sekuat tenaga agar kelihatan normal, "--dan tidak ada yang salah dengan dirimu, sungguh." Yeah, cukup berhasil hingga saat ini. Setidaknya tak separah awal.

Fine, urusannya sudah selesai. Buku yang ia cari telah ia dapatkan, saatnya kembali dengan tujuannya semula. "Err, kalau begitu aku permi--" ucapannya terhenti seketika saat sudut matanya menangkap gerakan dari atas kepala senior di hadapannya. I-itu... Senyuman lebar mengembang di bibir sang gadis, matanya berkilat dengan binar ketertarikan. Seekor musang. Musang kebanggaan para punggawa Hufflepuff, dengar-dengar. Dua kali sudah ia melihat makhluk tersebut secara langsung--kesempatan lain adalah saat kejadian munculnya polusi tak sedap di dekat Dedalu Perkasa--dan oh, seandainya Ravenclaw memiliki hewan pribadi seperti asrama kuning tetangga. Amanda mengangguk paham saat prefek Al-Kazaf memberi isyarat agar ia tak berisik. Ia masih tersenyum seraya mendongak menatap makhluk lucu tersebut, melupakan keinginannya untuk beranjak kembali ke meja baca, ketika sebuah suara membuat kepalanya menoleh. Suara seorang anak lelaki--memanggil kapten Al-Kazaf.

Well, Amanda tahu pemuda itu. Salah satu yang berada di tempat kejadian perkara perusakan buku Rune Kuno miliknya oleh senior McKay--senior Eastwood, rite? Ia melempar senyum seraya mengangguk sopan kepada sang senior, benaknya berputar saat kalimat berikutnya yang diperdengarkan hinggap di telinganya. Benar juga. Prefek Al-Kazaf kelihatannya selalu membawa sang musang kemana-mana. Ke Dedalu, dan sekarang ke perpustakaan. Hanya pendapat, kesimpulan dari apa yang ia lihat. Jikalau benar--wogh, ia kepingin. Gadis itu mengangkat tangannya, hendak menyentuh makhluk mungil bernama musang yang masih tetap bertengger di atas kepala pemuda di hadapannya... dan interupsi lagi-lagi mampir.

"Pacarmu, kapten?"

A-APA? Tangannya mengambang di udara, sementara tubuhnya terpaku. Pertanyaan macam apa itu? Menyadari posisinya, Amanda cepat-cepat menurunkan tangan kanannya, kemudian menoleh ke belakang. Ada senior Beau ya? Ti-tidak ada ternyata. Ia mengerjapkan mata sekali, dua kali, menatap senior Eastwood dengan mulut sedikit terbuka. A-apakah yang dimaksud adalah dirinya? ASTAGA. "Bu-bukan, Senior," timpalnya dengan gugup, menelan ludah sekali lagi. Bagaimana bisa senior Eastwood mengambil kesimpulan seperti itu?

"Hai semuanya, benarkah ini pacarmu senior?"

HAH? Amanda mengerutkan kening dan melempar tampang tak percaya kepada seorang junior perempuan yang menudingkan jari telunjuk ke arahnya. Apa sih? Apakah dirinya dan Prefek musang itu terlihat tengah berpacaran? Statement yang terlontar di benaknya barusan secara spontan menghadirkan semburat kemerahan di wajahnya. Hei, hei, sadar Amanda. Jaga perasaanmu itu, bodoh. Suara bersin nyaring menyentakkannya dari lamunan, mengalihkan wajahnya kembali kepada gadis cilik bersapu tangan. Berdeham sekali, Amanda lalu berkata, "Bukan, anak manis, aku--bukan pacar Prefek ini," kali ini giliran telunjuknya yang menuding ke arah Prefek Al-Kazaf. Duh, maaf, tidak sopan sebenarnya menunjuk orang seperti itu. Habisnya--

"Bukannya kakak itu pacar kakak Jona yah?"

Ya ampun. Kali ini Amanda tersedak. Apa lagi ini? Seorang gadis mungil berambut keriting datang, mengajukan pertanyaan yang--well, membuatnya ingin tertawa, kalau kau mau tahu. Jona? Pacarnya? Astaga. Amanda mengulum senyum, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan wajah sang gadis-cilik-imut--siapa? Danielle kalau ia tak salah dengar barusan--kemudian bergumam pelan, "Well, kalau yang itu mungkin."

He? Ngomong apa sih kau, Amanda?



"Bercanda, dear," tawanya berderai lirih seraya mengacak rambut Danielle. "Kakak Jona itu sahabatku, Danielle yang manis," lanjutnya dengan senyuman simpul sebagai penutup.

Banyak tukang gosip di Hogwarts, ternyata.

Labels: ,


4:32 PM

Sunday, May 3, 2009

Shape of My Heart-#6


Benar, kan? Dirinya merasa menjadi orang yang paling bodoh di jagat raya--saat ini.

Well, seperti yang telah ia duga sebelumnya, kemungkinan terburuk tengah berjaya di bawah naungan musim gugur tahun 1980. Khususnya bagi seorang gadis cilik empat belas tahun Ravenclaw bernama Amanda Steinhart. Di antara beragam kejadian yang tersedia sebagai opsi untuk dipilih, disusul keputusan akhir serta konsekuensi yang hadir, tak dapat dipercaya--yang terburuklah yang mendominasi. Segala hal yang tak diinginkan menyerangnya bagaikan air bah, menenggelamkannya dalam kenelangsaan tak bertoleransi yang menyesakkan. Tak ada yang berhak untuk disalahkan kecuali dirinya sendiri--tidak juga secarik perkamen yang telah teremas di tangannya. Tidak. Ia yang menciptakan surat tersebut, maka tak pantas jika ia menimpakan kemarahan kepada benda tanpa kehidupan alih-alih kepada dirinya sendiri. Tak pantas tangannya terkepal erat dengan benda itu dalam genggaman, tak lagi berbentuk. Dirinya yang salah. Jangan. Menyesal.

God. Apapun yang ia lakukan untuk menguatkan diri sendiri--sungguh, ia tak mampu tegar saat ini. Dan harus ia akui... sesal itu ada.

Sekarang punggung telapak tangannya turut basah. Amanda terisak lirih, masih menutup kedua matanya dengan satu tangan--tangan yang sama, yang menggenggam sang perkamen, sementara tangan pasangannya masih menggenggam lengan sahabatnya erat. Kalimat ayo-pergi-larry yang terucap dari bibirnya beberapa saat yang lalu tak jua menghendaki sepasang kakinya untuk bekerjasama, tetap melekatkan rasa lemas yang entah bagaimana caranya malah mematrikan bagian bawah tubuhnya di atas lantai jembatan tanpa mampu bergerak. Apa, Amanda? Masih tak mampu menerima kenyataan? Mati saja kalau begitu.

Tak ada tanggapan. Belum. Kedua matanya terpejam, masih menangis--benar-benar memalukan, ya--tetapi tanpa melihatpun Amanda dapat merasakan anak lelaki di hadapannya mulai bergerak. Dan, fine, Larry benar-benar melangkah, diiringi sepatah kalimat yang menghujam hatinya hingga ke dasar.

Untuk apa menangisi orang yang bahkan tak akan menangisimu?



Isaknya terhenti. Statement itu--luar biasa benar. Klise baginya, namun keakuratan tanpa keraguan yang terkandung di dalamnya membuat Amanda terhenyak, tubuhnya meremang. Yeah, untuk apa pula ia menangis? Untuk siapa tepatnya ia menangis? Lazarus. Kebodohan tingkat dewa, benar, karena--ia berani bertaruh nyawa untuk mengatakan bahwa pemuda yang menyebabkan ia menangis sama sekali tak peduli. Sama sekali. Bahkan melirik pun tidak. Jadi? Satu hal lagi, menguatkan keberadaan label 'bodoh' yang melekat pada dirinya. Sempurna. Amanda menyeka air matanya, tetap dengan punggung tangan yang sama, bertepatan dengan terlepasnya genggaman tangannya pada lengan sahabatnya--Larry. Pergi. Ia mengangkat wajah. A-apa?

Kedua lensa bening kecokelatan sang gadis menatap punggung sang anak lelaki Hufflepuff dengan sedikit kilatan tak percaya. Lagi? Kenyataan terhempas kepadanya--lagi? Larry tidak peduli. Sahabat yang paling ia sayangi pun tak peduli. Tak ada, memang. Ia memang ditentukan menjadi seseorang yang tak digubris, seseorang yang terlupakan, dan seseorang yang ditinggalkan. Tidak perlu protes, karena toh tak ada gunanya. Terima saja, Amanda. Lengkapi kepingan kehidupanmu, ya? Ya. With pleasure. Gadis itu menyeka keras-keras keseluruhan matanya yang basah, menghapus total jejak kelemahan yang terlanjur hadir beberapa saat yang lalu. Tidak. Boleh. Menangis. Lagi.

Lihat. Larry semakin jauh. Apakah kau akan diam saja, Amanda? Membiarkan anak lelaki itu pergi tanpa penjelasan sedikitpun mengapa sikapnya begitu tak peduli seperti itu? Ia tak mengerti mengapa benaknya menyatakan bahwa sahabatnya tak melakukan hal itu--meninggalkannya--tanpa sebab. Ada sesuatu. Dan kemungkinan besar adalah kesalahan Amanda. Akhirnya sepasang kakinya mengaktifkan kembali saraf mereka dengan seharusnya, sukses bergerak, melangkah cepat mengejar sahabatnya. Dengan sedikit terhuyung--kakinya masih lemas, FYI--Amanda setengah berlari, dan setelah berada dalam jangkauan ia menarik lengan sahabatnya sekuat yang ia mampu untuk menghentikan langkah sang anak lelaki, serta menyentakkannya agar Larry berbalik dan berhadapan dengannya. Bagaimanapun. Caranya. "Larry," ujarnya dengan nafas tersengal, imbas kolaborasi kelelahan dan emosi yang sesungguhnya. "Kau. Kenapa sih? Marah padaku? Ada masalah?" Nada tinggi itu tak seharusnya kau lantunkan, Amanda. Terserah, yang pasti kali ini kemarahan yang menguasainya. Ia sudah lelah diam saja. Ia capek menjadi pribadi lemah yang tak melakukan apapun di saat dirinya terpuruk. Sudah cukup. Kau harus menjelaskan, Jonathan L. Baned. Harus.

Hei, apa-apaan sih, Steinhart?



Amanda mendesah frustasi. "Salahku, kan? Tentu saja. Aku salah--lagi." Ia memejamkan mata sekali, kemudian melempar pandang ke arah lain, enggan menatap wajah pemuda di hadapannya. "Maafkan aku, kalau begitu."

Sudah. Tak menjawab juga tak apa, Larry. Langkahkan kakimu tanpa sepatah katapun, ia pun tak keberatan. Gilirannya untuk tak peduli, ya?

Labels: ,


7:28 PM