Saturday, April 25, 2009

Shape of My Heart-#5


Apa lagi sekarang? Silahkan permainkan jalan hidupnya, wahai angin. Mengapa tak sekalian saja terbangkan dirinya--terjunkan ke jurang. Habis perkara, dan bahkan hal tersebut terlihat begitu menyenangkan saat ini, menawarkan solusi termudah untuk masalahnya.

Solusi terbaik bagi pribadi yang putus asa.



Teduh. Mega beriak, berformasi rapat dalam rangkaian elemen putih bergelombang, membentuk serakan abstrak tanpa cela. Kawanan tersebut berkompromi satu sama lain, bekerjasama dengan kooperatif--mengkover bumi dalam beberapa lapis, mengenyahkan sebagian sinar matahari pagi. Pukul sembilan lewat sekian waktu Inggris Raya, musim gugur 1980. Hu-uh, musim gugur, dilengkapi angin yang hiperaktif. Herannya, saat ini sebulir kristal bening mengalir perlahan melintasi pelipis sang gadis cilik, turun ke sisi wajah hingga leher. Peluh berlatarbelakang kesejukan pagi, eh? Tidak wajar. Gadis itu mengangkat lengannya, mengusap peluh tersebut--refleks. Tampaknya rasa lelah telah menyeruak keluar, terealisasikan dengan gamblang tanpa basa-basi dan pendahuluan. Capek. Ingin rasanya ia mengundang bumi untuk menelannya. Menghilangkannya dari muka dunia.

Amanda menggigit bibir bawahnya, kilatan redup di sepasang kelereng cokelatnya menyorot lurus, lagi-lagi memvisualisasikan kepasrahan kuadrat maksimal saat menatap carik perkamen tersebut mendarat amat dekat dengan seorang anak lelaki dan sesosok gadis senior disana. Dan--tak ada yang mampu ia harapkan lagi, Larry meraih lembaran tersebut, melanjutkan dengan tindakan yang tidak mungkin tidak dilakukan--melihat dan membaca. Apa yang akan dilontarkan sahabatnya itu sebagai respon? Apa? Terserah, apapun yang akan ia terima, tak peduli. Masa bodoh. Ia pun hanya terdiam, bergeming ketika pemuda musang itu bergerak menghampiri, menyodorkan perkamen si-biang-keladi.

"Selesaikan urusanmu."

Guratan samar terbentuk di kening Amanda. Urusan... apa? Berhubungan dengan isi perkamen? Itu berarti satu. Menyelesaikan urusan dengan Lazarus. Oh. Larry mendengar ucapannya, pengakuannya kepada anak lelaki Slytherin tersebut, tak diragukan lagi. Tetapi Amanda yakin, sahabatnya tak mendengar jawaban yang terlontar sebagai balasan. Tidak, tentu. Ia menerima perkamen tersebut, tertarik luar biasa untuk meremasnya detik itu juga. Urusannya disini telah selesai, mate. Mencapai titik akhir. Amanda ingin berbicara. Tapi untuk apa? Lihat. Bahkan sahabatnya--Jonathan Larson Baned--sama sekali tak perduli, membalikkan tubuh begitu saja. Tak ada yang perlu diperdulikan sih, benar. Tak ada yang penting mengenai dirinya. Sedikitpun. Sadar diri, lebih baik ketimbang tidak--hanya akan menyakiti diri sendiri. Namun, entah, tetap saja ada siluet kekecewaan yang menyerang hatinya.

"Kau tahu, Larry?" ujarnya lirih, "Urusanku sudah selesai." Yeah, tetap terucap. Tak tahu Larry akan peduli atau tidak, yang penting ia telah menjelaskan. Amanda menghela nafas lesu. Pertahanannya akan runtuh total kalau begini terus. Usaha untuk memaksa diri untuk kuat, untuk tak putus asa, untuk bersikap dewasa dan mandiri, segalanya mulai sia-sia. Gawat.

Ia... butuh Nathaniel. Ia butuh Leander. Butuh Paman Amethyst. Butuh--ia butuh seseorang... siapapun. Trixie mungkin. Vincent. Atau Phoebus, peri rumah kesayangannya pun ia tak keberatan. Namun lagi-lagi, tak ada seorangpun, rite?

Sebenarnya... ada. Seseorang di hadapannya. Tetapi seseorang itu tak tahu kalau ia membutuhkannya saat ini. Apakah ia harus mengucapkannya? Harus? Lagi-lagi dengan resiko yang terpampang jelas di depan mata. Resiko tetap dianggap tak penting. Bahkan lebih buruk, resiko menyadari bahwa tak ada yang memperdulikannya. Does she want to take the risk? Tergantung. Hati dan benaknya yang menentukan. Sanggup berdiri sendiri? Ya sudah, tidak perlu berbicara kalau begitu.

Pada kenyataannya ia tak sanggup. Tangan kanannya meraih lengan sahabatnya, sementara kepalanya menunduk dan ia menelan ludah dengan susah payah. "Jangan pergi, kumohon," suaranya berbisik serak dengan nada putus asa. Ia lemah. Payah. Cengeng. Memang. Tak sengaja sebenarnya--matanya mengerling ke samping, menatap tempat dimana Lazarus--

--dan Prefek Aza. Itu--mereka--

Tubuhnya terasa gamang. Terpaku. Tanpa tahu alasannya, nafasnya tersengal, dan secara spontan genggaman tangannya pada lengan sahabatnya mengerat. Bodohnya ia. Semuanya benar-benar jelas. Sejelas pandangan di musim panas. Seterang pencahayaan saat siang hari menjelang. Mengapa ia tak pernah tahu? Seorang Azaria McCafferty--tentu saja. Gadis yang begitu sempurna, begitu tak sebanding dengan dirinya. Karena itu, terimalah, Amanda. Terima kenyataan. Su... lit. Tapi harus. Perasaannya tak keruan, dan kakinya lemas, wajar. Imbas dari kenelangsaan, mungkin. Begitulah.

"A-ayo kita pergi, Larry," ujarnya terbata, masih tetap menggenggam lengan anak lelaki tersebut. Tak ada gunanya pula ia berada di sini. Hanya mencabik-cabik hatinya, menoreh benaknya. Pulang ke kastil, tidur. Simpel. Asal tidak lagi di tempat ini.

Yah. Pertahanannya sungguh-sungguh terjatuh. Menangis, kan. Amanda menutup matanya yang basah dengan sebelah tangan. Untuk yang terakhir kali, izinkan bagian terapuh dirinya menerobos keluar. Terakhir kali. Janji.

Labels: ,


10:49 PM