Saturday, April 18, 2009

Shape of My Heart-#4


Bagi sang gadis cilik berambut kecokelatan itu--saat ini jurang yang terhampar di bawah jembatan terlihat begitu menarik.

Kelihatannya menerjunkan diri ke bawah sana tak akan terlalu menyakitkan. Setidaknya ia akan mati secara langsung. Terserah, Amanda tak keberatan. Apapun. Apapun asal ia dapat keluar dari situasi dimana dirinya terjebak saat ini. Apapun yang mampu menolongnya untuk pergi dari kungkungan rasa malu yang menghujam ulu hatinya. Apapun yang bisa menghilangkannya dari muka bumi.

For God's sake, apa yang telah ia lakukan? Apa yang telah ia katakan barusan, hah? Tolong beritahu padanya bahwa tiga kata itu tak pernah meluncur keluar dari bibirnya, tak pernah bergaung di udara, dan Lazarus tak pernah mendengarnya. Ya, kan? Beritahu dirinya bahwa itu tak pernah terjadi.

Well, Steinhart. Pada kenyataannya itu semua benar terjadi. Kau telah mengucapkannya, anak malang.

Lidah, kau jahat. Sangat. Kau juga, akal. Kau diam. Tak bertindak. Tak kuasa mengontrol sang batin yang tengah berada pada tingkat kewarasan di bawah nol. Memaksa Amanda untuk menghadapi konsekuensi yang tengah menghampirinya, seorang diri. Memaksanya bertahan menunggu tanggapan--entah apa--yang akan terlontar dari mulut pemuda di hadapannya. Menunggu dengan perasaan tak keruan dan galau, komplikasi antara rasa kesal terhadap diri sendiri dengan kekhawatiran luar biasa. Sudah terlanjur, kawan-kawan, mau bagaimana lagi. Yang bisa ia lakukan hanya diam. Pasrah. Menunggu. Tanpa harapan, kalau ia boleh jujur.

Dengusan, dengar? Pertanda buruk. Amanda tak berani bergerak, tangan kirinya mencengkeram pagar jembatan dengan erat. Ia tak lagi mampu berpikir saat ini. Benaknya kosong, sepasang kelereng kecokelatannya balas menatap manik cemerlang milik Lazarus dengan hampa. Tepatkah apa yang telah dilakukannya barusan--mengatakan secara lugas? Tidak tahu. Tidak tahu. Yang ia tahu hanya satu : tak peduli tindakannya beberapa detik yang lalu itu benar atau tidak, yang pasti keberaniannya mulai bangkit. Sebuah beban telah terangkat dari lubuk hatinya, menghadirkan rasa nyaman yang begitu melegakan. Ba-baguslah. Dan satu lagi. Ia bukan pengecut, see?

Jantungnya seakan berhenti berdetak saat Lazarus mencondongkan tubuh, mempersempit jarak di antara mereka. Amanda merasakan tubuhnya meremang, sensasi menggelitik merambati telinganya saat bisikan tersebut akhirnya terdengar. The answer?

"I wish I can feel the same."

Guratan samar terbentuk di kening sang gadis. A... pa maksudnya itu? Positif? Ataukah negatif? Mulutnya telah terbuka beberapa inci, hendak merilis pertanyaan, namun urung ketika--

"-but I'm not."

But I'm not. But he's not. But Lazarus's not. Begitu. Jawaban yang telah Amanda duga sejak lama. Segalanya sudah jelas. Great.

Sudah menduganya, eh? Lalu KENAPA saat ini ia merasakan langit runtuh dan menimpanya? MENGAPA tubuhnya seakan kehilangan pijakan dan sepasang kakinya lemas? APA yang kini menyebabkan relung hatinya sesak dan mencelos? Hati tak dapat berbohong, Amanda. Hatimu tak mampu berbohong. Apapun sugesti yang berusaha ia tanamkan ke dalam hatinya untuk 'menerima' kenyataan, buktinya ia tak bisa. Penolakan terang-terangan telah dihempaskan kuat-kuat, menghantam dirinya tanpa toleransi. Tetapi bagaimanapun, betapa sulitnya, ia harus mampu. Harus. That's the final decision.

Amanda mengangkat wajahnya, mengangguk samar seraya melempar senyum lemah kepada Lazarus. "Terima kasih," ucapnya lirih, "dan maaf." Berhasil mengaktifkan kembali neuron geraknya, gadis itu memutar langkah, membalikkan tubuh dan berjalan dengan sedikit terhuyung, menjauhi sang anak lelaki Slytherin, sekaligus turut mati-matian mengenyahkan kenelangsaan yang melanda. Kepalanya menunduk--dan kristal bening itu hadir juga di kedua pelupuk matanya tanpa mampu dicegah, mengaburkan pandangan. Hei, apa-apaan, ha? Jangan cengeng, Amanda. Terima segala konsekuensi, ingat? Ia ingat. Ia tahu, itu janjinya. Tapi merealisasikan apa yang telah diucapkan tak semudah yang kalian duga. Sungguh.

Ada seseorang di sampingnya. Eh? Gadis itu menoleh beberapa derajat, cukup untuk mengenali siapa gerangan orang tersebut. Larry? Ga-gawat. Cukup sekali sahabatnya itu melihatnya menangis. Tidak untuk kedua kali. Amanda memodifikasi gerakan menghapus air mata dengan gerakan mengucek, berpura-pura menyalahkan para debu. "Hai, Larry," serunya dengan suara serak, kakinya tetap melangkah silih berganti. Ada perasaan lega yang mendarat di hatinya saat mengetahui sahabatnya berada disini, mengindikasikan bahwa dirinya tak sendiri. Amanda butuh seseorang. "Apa kabar?" Jangan salahkan keminiman kosakatanya, please. Otaknya tak dapat bekerja dengan benar saat ini. Sebuah seruan familiar terdengar, menghentikan laju sepasang kakinya. Amanda menoleh, mendapatkan senior McCafferty telah berada didekatnya, memanggil Larry, menyodorkan... buku. Oh. Sepertinya Larry punya urusan lain. Mungkin memang sebaiknya ia pergi. Mungkin memang sebaiknya ia melewati ini semua sendirian.

"Sampai jumpa, Larry," gumamnya lirih, kepalanya kembali tertunduk, kakinya kembali bergerak. Namun lagi-lagi terhenti saat sang angin sekali lagi menginterupsi, menerbangkan 'lagi' perkamen dalam genggamannya, berlawanan arah dengan arah kemana kakinya menuju. Perkamen itu terbang dengan anggun, menghampiri... Senior McCafferty. Perfect. Seniornya itu akan tahu. Atau jangan-jangan Larry dan sang senior telah mendengar ucapannya pada Lazarus, eh?

Matilah Amanda.

Labels: ,


9:42 AM