Saturday, August 29, 2009

Surat dari Hogwarts

"Pagi, semua." Nathaniel menguap kemudian mengucek matanya. Dua buah suara membalas sapaannya.

"Morning, Son."
"Lama sekali sih. Jangan biasakan bangun siang, Nat. Tidak baik untuk kesehatan. Dimana jam wekermu, eh? Sudah kubilang, kan, kalau...."

Nathaniel mencubit pipi 'sang pemilik suara kedua' agar gadis tersebut berhenti berceloteh. Ya, pemilik suara tersebut, siapa lagi kalau bukan Amanda Steinhart, sepupunya tercinta yang bawel minta ampun. Amanda menepis tangan Nathaniel, menjulurkan lidah, dan balas mencubit tangan anak lelaki itu. Nat mengaduh, mengusap-usap tangannya yang sakit. Ia meringis, kemudian melempar serbet di hadapannya ke arah Amanda, tepat mengenai wajahnya.

Amanda bersungut-sungut, meraih serbet miliknya, dan bersiap melempar ketika sebuah dehaman mengurungkannya. "Anak-anak, please." Nathaniel nyengir ketika mendengar seruan ayahnya, melempar pandang penuh kemenangan kepada Amanda. Sepupunya turut nyengir. Oke, waktu bertengkar sudah habis. Saatnya makan.

Seperti telah diberi aba-aba, ketiga orang tersebut secara serempak menyambar sepotong sandwich yang telah tersedia di meja, kemudian melahapnya dalam keheningan. Tak ada yang berbicara saat makan, peraturan nomor tujuh di kediaman keluarga Gladstone. Seluruh anggota keluarga telah terbiasa mematuhi segala peraturan yang berlaku, sehingga keadaan selalu tertib. Well, ralat, tidak selalu. Seringkali Nat 'secara mendadak' lupa akan peraturan yang ada. Kalau sudah begitu Mr. Gladstone, Sr. akan menegurnya, menatap Nat dengan pandangan menusuk selama beberapa detik. Sebenarnya trik seperti itu sudah tidak mempan, Nathaniel tahu ayahnya tidak bisa marah. So, ia cukup memasang tampang menyesal dan mendengarkan dengan sopan teguran yang hinggap di telinganya, dan setelah itu, done, masalah selesai. Ck, dasar Nat.

Acara sarapan beres. Nat menepuk perutnya yang kenyang. Ah, sandwich buatan Amanda memang yang terbaik. Selama ini, ketika sepupunya itu bersekolah di Hogwarts, Nat dan ayahnya selalu mendapatkan hidangan ciptaan si peri rumah, Phoebus. Rasanya tak terlalu nikmat.

"Ada yang bersedia mengambil surat hari ini?" Nathaniel menoleh ketika ayahnya bertanya. Ia kemudian memandang Amanda, melempar tatapan kau-saja-yang-ambil, namun segera menghela napas ketika menyadari sepupunya itu pura-pura tak melihat. Fine, ia yang mengalah. Nat bangkit dari kursi, kemudian menyeret langkah melintasi ruangan makan, melewati ruang keluarga menuju pintu depan. Beberapa surat terserak begitu saja di atas karpet dekat pintu. Ia memungut semuanya dalam sekali sambar, dan segera berbalik, berjalan kembali menuju meja makan. Diletakkannya seluruh berkas-berkas dalam genggamannya ke atas meja, tepat di hadapan ayahnya, lalu duduk di kursinya semula.

Tabloid Weekly Football--majalah mingguan Muggle yang khusus membahas mengenai sepak bola-- telah berada di atas meja, sepertinya Amanda telah selesai membaca majalah tersebut. Dengan antusias Nat menarik tabloid itu, mengerling sampulnya sekilas. Kevin Keegan. Great. Hanya dalam beberapa detik, anak laki-laki berambut hitam itu telah tenggelam dalam dunianya sendiri.

Di tengah kesibukannya, sebuah amplop terjatuh tepat di atas halaman yang terbuka, membuatnya tersentak. Nathaniel mengangkat wajah, terkejut ketika menemukan Amanda dan ayahnya tengah menatapnya lekat, senyuman tersungging di bibir mereka. Nat mengerutkan kening. Ada apa sih? Ia menunduk, memandang benda di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan, membalik amplop tersebut, mengamati emblem yang menyertainya. Ah, akhirnya datang juga. Ia berteriak dan memukul meja makan dengan girang.

"APA KUBILANG, Amanda! Pasti aku akan menyusulmu! Dan kata-kataku terbukti, right?" Ia tersenyum lebar dan memeluk sepupunya erat. Tahun ini ia akan menemani Amanda bersekolah di Hogwarts. Yeah. Nat membuka segel amplop dan dengan bersemangat membaca surat tersebut. Well, persis sama seperti tahun lalu.

Quote:


SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Kepala sekolah: Albus Dumbledore
(Order of Merlin, Kelas Pertama, Penyihir Hebat, Kepala Penyihir, Konfederasi Sihir Internasional)



Mr. Gladstone yang baik, Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan. Tahun ajaran baru mulai 1 September.

Hormat saya,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah

SEKOLAH SIHIR HOGWARTS


Seragam
Siswa kelas satu memerlikan:
1. Tiga setel jubah kerja sederhana (hitam)
2. Satu topi kerucut (hitam) untuk dipakai setiap hari
3. Sepasang sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
4. Satu mantel musim dingin (hitam, kancing perak)
Tolong diperhatikan bahwa semua pakaian siswa harus ada label namanya.

Buku
Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut:
Kitab Mantra Standar (Tingkat 1) oleh Miranda Goshawk
Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Ilmu Gaib oleh Adalbert Waffling
Pengantar Transfigurasi Bagi Pemula oleh Emeric Switch
Seribu Satu Tanaman Obat dan Jamur Gaib oleh Phyllida Spore
Cairan dan Ramuan Ajaib oleh Arsenius Jigger
Hewan-hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan oleh Newt Scamander
Kekuatan Gelap: Penuntun Perlindungan Diri oleh Quentin Trimble

Peralatan lain
1 tongkat sihir
1 kuali (bahan campuran timah putih-timah hitam, ukuran standar 2)
1 set tabung kaca atau kristal
1 teleskop
1 set timbangan kuningan

Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok

ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI



Fine. Rasa senangnya menyusut seketika saat ia teringat sesuatu. Sepak Bola Muggle. Menjadi seorang murid Hogwarts berarti mau tak mau ia harus meninggalkan akademi sepak bolanya. Selama tujuh tahun ke depan. Bagaimana ini?

Seakan dapat membaca pikirannya, Amanda menepuk bahu Nat dan berujar, "Kau tahu, Nat? Hidup adalah pilihan. You must make a right decision." Ya, gadis itu benar. Amat benar. Tapi apa yang harus ia pilih? Menjadi seorang penyihir sejati atau mendedikasikan diri pada dunia Muggle? God, kedua pilihan tersebut dapat dikatakan sebanding.

Pilihan pertama merupakan keinginan seluruh penyihir di dunia, rite? Begitupun dirinya. Dan Hogwarts merupakan tempat paling tepat untuk mengasah diri menjadi seorang penyihir hebat. Akankah ia menyia-nyiakan kesempatan ini? Namun di sisi lain, sepak bola adalah hidupnya. Kesempatan menjadi pemain tim nasional junior Inggris yang telah ia peroleh dua tahun yang lalu tak akan datang untuk kedua kalinya. Jika ia memutuskan untuk memilih Hogwarts, maka di saat yang sama ia harus merelakan karirnya.

Nathaniel menghela napas. Bingung. Oke, coba pikirkan baik-baik. Lihat dari aspek yang berbeda. Apabila ia menolak bersekolah di Hogwarts, maka Amanda akan tetap berangkat, sendirian. Lagi. Untuk enam tahun ke depan pula. Damn, tidak, tidak lagi. Keadaan sekarang tak seaman dahulu, jauh lebih berbahaya dengan Kau-Tahu-Siapa berkeliaran dengan bebas di luar sana. Kemungkinan terjadi sesuatu terhadap diri sepupunya tentu lebih besar. Dan ia tak mau itu terjadi. Nat telah bertekad untuk menjaga Amanda apapun yang terjadi. Itu janjinya. Fine, sekarang ia harus memilih, melanggar janji atau mempertahankan karirnya?

Akhirnya. Ia memilih untuk menepati janji.

"Baiklah, Amanda. Sebaiknya kita segera bersiap. Besok kita berangkat ke Diagon Alley," serunya. Nat tersenyum melihat sepupunya mengangguk dengan bersemangat. Tak apalah ia mengorbankan keinginanya, toh ia akan tetap berusaha mengakses segala informasi mengenai sepak bola Muggle. Huft, beginilah nasib seorang penyihir yang selalu berinteraksi dengan komunitas Muggle sepanjang hidupnya. Sejak saat ini hidupnya akan berubah.

Labels: ,


3:26 PM