Saturday, August 29, 2009

Just Walk Through

"Jubah?"
"Sudah."
"Kuali?"
"Sip."
"Tongkat?"
"Beres."
"Zenas?"

Nathaniel bersiul lantang. Seekor elang terbang melintasi ruangan kemudian hinggap di bahu Nat, melipat kedua sayapnya dengan anggun. Great. Sepertinya anak lelaki itu mendapatkan burung elang yang tepat. Zenas--nama yang diberikan bagi sang elang--amat patuh, selalu berlaku sesuai perintah Nat seakan mengerti bahasa manusia.

"Nat. Tinggalkan benda itu. Dan itu juga. Kau mau membawa keduanya ke Hogwarts? Oh, yang benar saja," ujar Amanda. Sepupunya itu menunjuk dua benda kesayangannya. Bola sepak. Dan saxophone. Tentu saja ia akan membawa dua barang tersebut, terserah apa kata orang. Nat menggeleng, memasukkan seluruh perlengkapannya ke dalam koper, termasuk kedua benda favoritnya tersebut. Sedari tadi ia dan sepupunya tengah memeriksa ulang segala hal yang akan mereka bawa ke Hogwarts, menyisihkan yang tak perlu. Done. Nat menarik resleting kopernya hingga menutup, kemudian ia bangkit dan mulai melangkah menuju pintu. "Sepertinya kita harus bergegas, Amanda. Setengah jam lagi keretanya berangkat."

Peron 9 3/4
Stasiun King's Cross amat bising. Pria dan wanita berlalu lalang dengan terburu-buru seakan takut kehabisan waktu. Nathaniel mendorong troli miliknya, menguntit langkah Amanda. Ia mengedarkan pandang ke seantero pelataran, memperhatikan tiap-tiap wajah dengan seksama, bertanya dalam hati apakah seseorang itu merupakan siswa Hogwarts seperti dirinya atau bukan. Sepupunya berhenti secara mendadak, membuat troli Nat berdecit nyaring karena direm tiba-tiba. Ada ap-- Oh, rite. This is it. Di hadapannya kini telah menjulang sebuah dinding--pemisah peron 9 dan 10.

Tanpa suara ia mengangguk ketika Amanda mengedikkan bahu, memberi isyarat pada Nat untuk mengikutinya. Ia memperhatikan dengan seksama ketika Amanda mulai mempercepat langkah, dan dalam hitungan detik, gadis itu telah menghilang dari pandangan. Fine. Berarti sekarang gilirannya. Ia menghela napas dan mengacak rambut. Tenang saja, batinnya berujar. Perlahan, anak laki-laki itu mendorong trolinya, entah mengapa hatinya lebih nyaman jika kedua kakinya berlari. Maka ia pun meningkatkan tempo langkahnya, menghampiri dinding, semakin dekat, semakin dekat, selangkah lagi... Dan saat ia membuka mata, di hadapannya telah berdiri tegak Hogwarts Express. Cool. He made it.

Labels: ,


3:31 PM