Saturday, August 29, 2009

Seleksi Asrama(1979-1980)

"Sampai ketemu di kastil, Nat."

Nathaniel membalas lambaian tangan Amanda, matanya terus menatap sepupunya hingga gadis itu menghilang di kejauhan. Menghela napas, ia kemudian bergabung ke dalam barisan para calon siswa kelas satu berjalan, membiarkan dirinya terseret arus. Anak-anak sebayanya, laki-laki dan perempuan berdesak-desakan, berkompetisi untuk saling mendahului. Well, akhirnya sampai. Nat menguap. Great, entah mengapa ia merasa amat lelah, sepanjang perjalanan ia tak bisa tidur, situasi dalam kompartemennya amat sangat tak mendukung. Ia menyentuh bahu kirinya--yang dengan suksesnya tertimpa kopernya yang luar biasa berat, meringis ketika merasakan nyeri menjalari tangannya. Fine, unfortunate day for him. Untung saja bukan kakinya yang terluka. Kaki adalah bagian tubuh paling berharga bagi dirinya--mengingat karirnya sebagai seorang atlet sepakbola Muggle.

Langkahnya turut terhenti ketika iring-iringan mendadak berhenti. Mata kecokelatannya membesar ketika melihat sebuah sosok menjulang di hadapannya, sebuah sosok raksasa. Well, kata 'raksasa' terasa berlebihan sih, lagipula dalam benak Nat, seorang raksasa pastinya memiliki postur yang lebih besar. Apapun itu, sosok tersebut memimpin mereka semua--para calon siswa tahun pertama--menuju tepi danau dimana berpuluh-puluh perahu telah menanti. Naik perahu ke kastil. Nice.

Sepanjang perjalanan, Nathaniel termangu, pikirannya menerawang. Hogwarts. Sekolah yang menghujaninya dengan dilema. Memilih untuk menerima bahwa ia adalah seorang siswa Hogwarts dan berangkat kesini, itupun berarti ia harus mengorbankan banyak hal. Karirnya di tim nasional junior Inggris, teman-teman Mugglenya, dan--yah, meninggalkan ayahnya sendirian di rumah. Dalam situasi dunia sihir seperti ini. Ah, benar-benar pilihan yang sulit. Di sisi lain, jika ia memutuskan menolak bersekolah di Hogwarts, itu berarti ia harus membiarkan Amanda sendirian di Hogwarts. Well, tidak sendirian juga sih--tetapi tetap saja rasa cemas akan menggelayuti hatinya. Baginya, gadis itu adalah segalanya.

Sejak 6 tahun yang lalu, dimasa kelam saat Amanda harus menjadi seorang yatim piatu, Nat telah bertekad dan berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga sepupunya tersebut, apapun yang terjadi. So, bagaimana ia bisa merealisasikan janjinya tersebut jika ia tak turut berangkat ke Hogwarts? Dan satu lagi, bersekolah di sebuah sekolah sihir yang--katanya sih--luar biasa hebat, merupakan satu jalan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan sihirnya, menjadikannya seorang penyihir yang hebat, yang dapat melindungi seluruh anggota keluarganya dari hal-hal yang tak diinginkan.

Nathaniel terus termenung, sehingga saat ia sadar, dirinya ternyata telah berada di sebuah koridor, di hadapannya menjulang pintu kayu besar. "Selamat datang di Hogwarts!" Nat menjulurkan kepala, berusaha menemukan sang pemilik suara. Seorang wanita tua, tipikal penyihir sejati dengan jubah hitam menutupi tubuhnya. Wanita itu mengenalkan dirinya sebagai Profesor Minerva McGonagall, wakil kepala sekolah. Tak berapa lama kemudian, pintu kayu di hadapan Nat terbuka dengan suara debam yang membahana, mempersilahkan mereka semua untuk masuk.

Tercengang melihat pemandangan yang tersaji di dalam ruangan tersebut, Nat cepat-cepat menutup mulutnya ketika menyadarinya terbuka. Amanda benar, dunia sihir yang sesungguhnya memang luar biasa. Di rumah, yang notabene terletak di komunitas para Muggle, tak akan pernah ia menemukan ratusan lilin melayang tanpa suatu apapun menahannya. Panji-panji bergambar singa, musang, gagak dan ular terbentang di belakang para guru duduk. Keren.

Profesor McGonagall memerintahkan mereka semua untuk berhenti, kemudin ia mengeluarkan sebuah bangku kecil berkaki tiga dan meletakkan sebuah topi kerucut lusuh berwarna hitam di atasnya. Nathaniel memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas apa tepatnya benda itu. Dan tersentak ketika secara tiba-tiba sebuah robekan membuka dari topi tersebut, dan benda itu mulai bernyanyi. Nat tahu apa yang dinyanyikan topi itu. Keempat asrama.

Setelah nyanyian selesai, sang profesor kembali maju, mengatakan bahwa kini saatnya acara seleksi. Ia memanggil nama tiap anak satu persatu, mendudukkannya di kursi dan meletakkan topi di atas kepala mereka secara bergantian.

"Gladstone, Nathaniel."

Great. Sudah tiba gilirannya. Nat melangkah maju dan duduk. Ia menahan napas. Dimanakah ia akan ditempatkan? Well, dimanapun itu, semoga pilihan sang topi tepat.

Labels: ,


3:44 PM