Saturday, August 29, 2009

Small Trouble

Langit biru itu.

Nathaniel membuka bungkus permen karet miliknya, kemudian melemparkan isinya ke dalam mulut, mengunyahnya sembari memelintir bola sepak di tangan kirinya dengan kelima jari. Hogwarts. Pendapat Amanda mengenai sekolah ini tak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Kira-kira satu minggu ia berada di sini, cukup untuk mengerling pribadi macam apa sajakah yang terdaftar di akademi sihir tersebut, mengisi otaknya dengan segala argumen yang tak tersampaikan. Sepupunya selalu bilang, Hogwarts-lah yang terbaik, Nat, kau akan menemukan buktinya bahkan saat kau baru menjejakkan satu kakimu di halamannya. Satu-satunya respon yang terlontar dari Nat adalah sebuah dengusan tak percaya. Gadis itu memang senang mengungkapkan segala sesuatu secara berlebihan. Fine, di luar segala kesinisan yang selalu dilemparkan Nat kepada sekolah yang satu ini, benarkah apa yang diucapkan Amanda itu?

Well, sampai saat ini ia masih belum yakin. Apa yang ia lihat, apa yang ia tangkap, dan apa yang ia dengar, secara keseluruhan hanya mampu membuat kedua alisnya menghilang dan menyatu dengan rambut hitamnya, atau sebelah sudut bibirnya terangkat, menyeringai. Penyihir cenderung memiliki satu karakter khusus dalam masing-masing diri, membedakan mereka dengan penyihir lainnya, dan terlebih lagi--membedakan mereka dari Muggle, tentu. Sayangnya--entah karena kebetulan atau apa--kebanyakan siswa yang Nat lihat dan amati hingga hari ini, laki-laki maupun perempuan, beberapa diantaranya memiliki kepribadian yang membuatnya sedikit muak. Perlu dicatat, yang ia maksudkan disini adalah beberapa anak, bukan seluruhnya. Oke, Nat akan menyebutkan secara spesifik jika tak ada yang keberatan--para pure-blood, darah murni itu, entah mengapa seakan-akan menganggap diri mereka paling tinggi, meremehkan mereka yang tak memiliki status yang sama, apalagi terhadap makhluk yang diberi label Muggle.

Anak lelaki bermata cokelat itu meneruskan langkah menuju danau, kepalanya sedikit terangkat, pandangannya menerawang menatap langit biru di atas sana. Ya, langit biru itu. Langit biru yang sama, warna menyejukkan yang seringkali ia lihat bersama teman-temannya saat mereka berlari dengan bersemangat dalam sesi latihan di lapangan milik akademi sepak bola tempat Nat bernaung. Teman-teman Mugglenya. Kau tahu? Seluruh keluarga Gladstone dan keluarga Steinhart adalah darah murni. Tetapi ia tak pernah keberatan bersahabat dengan Muggle, toh baginya tak ada bedanya. Bahkan, suasana riang dengan komunitas non-penyihir itulah yang selalu Nat rindukan, alih-alih berada di tengah sekumpulan penyihir yang sibuk membusungkan dada untuk membanggakan darah mereka, repot memilah-milah teman yang mereka inginkan. Cih, apa-apaan.

Well, sudahlah Nat. Tak akan ada habisnya jika ingin membahas masalah tersebut.

Danau terlihat ramai, tak seperti kehendak anak laki-laki itu. Ia menghela napas. Berlatih sepak bola di tempat ini sepertinya bukan ide cemerlang. Tapi, well, sudah terlanjur, biarkan saja. Siapa tahu ia bisa menemukan raut wajah sepupunya yang belum Nat lihat lagi hingga detik ini. Ah, kemana sih anak itu? Menghilang tanpa terdengar lagi kabarnya. Bikin khawatir saja.

Nathaniel kini mengedarkan pandang ke seantero area danau mencoba menemukan satu tempat yang--mungkin--tepat dan nyaman. Langkah kakinya telah sampai di bawah sebuah pohon rindang, matanya mengerling seorang gadis yang tengah berdiri serta seorang anak laki-laki yang tengah berbaring, buku menutupi sebagian wajahnya. Tidur siang, eh? Suara berkeresak nyaring membuat kepalanya mendongak, menatap bagian atas pohon, mencari tahu... What the-- Sesosok gadis terlihat meluncur ke bawah dengan cepat, tepat menuju ke arah si anak laki-laki yang tengah berbaring. Refleks, Nat melangkah cepat, dan menangkap tubuh gadis tersebut dengan kedua lengan. Wew, ia tak menyangka tindakan spontannya akan berhasil, but--yeah, ia berhasil.

Berat tubuh gadis itu menyentakkan lengannya ke bawah, membuat luka di bahunya--akibat peristiwa di kereta--kembali berdenyut. Nathaniel meringis. Sial. Kemudian, ia bergegas menurunkan tubuh gadis tersebut ke tanah dan bergumam, "Lain kali hati-hati, Nona."

Menyadari bahwa bola sepaknya telah raib dari genggaman, dengan panik Nat mencari, matanya melebar ketika melihat bola itu meluncur dengan mulus, bergulir turun... dan dengan sukses masuk ke dalam danau. Nat mengerang, mendelik ke arah gadis yang 'tanpa sengaja' ditolongnya, menatapnya dengan dingin. Nice. Sekarang ia harus bersusah payah mengambil benda kesayangannya. Damn.

(OOC : Ah, maaf, gak baca reppan Vanessa. Aneh? PM aja)

Labels: ,


3:50 PM