Saturday, August 29, 2009

Mantra Kelas 1 - Semua Asrama - #1

Memang sulit punya ayah seorang penyihir hebat. Nathaniel menghela napas dan menggerutu sepanjang perjalanan menuju Kelas Mantra, sesekali mengacak rambut hitamnya dengan sembarangan. Pertemuan kesekian kalinya dengan mata pelajaran yang satu ini entah mengapa selalu membangkitkan persepsi suram, membangunkan sisi gelap hatinya--seakan ada mantra modifikasi yang membolak-balik benaknya dan mengirimkan impuls ke otaknya untuk mengurungkan niat melanjutkan langkah menghadiri kelas kali ini. Tidak, ia bukannya tidak senang pada pendidikan mantra memantrai, hanya sedikit malas. Itu saja. Apakah belum cukup pelajaran mantra selama dua belas tahun ke belakang bersama ayahnya tercinta--yang seringkali menghabiskan waktu terlalu lama sehingga ia tak sempat berlatih sepak bola? Bosan, tahu tidak. Dad memang selalu meninggikan kepintaran akademik di atas hal lain, bahkan sedikit mengabaikan keinginan Nat dan Amanda untuk bermain bersama teman sebaya. Dan sialnya--atau untungnya?--Dad memiliki ilmu seluas dunia, seakan tak pernah habis. Fakta tersebut berarti mereka pun sepertinya harus terus belajar dan belajar, no matter what happen.

Well, itu terjadi sebelum mereka berdua terdaftar sebagai siswa Hogwarts. Setelah terdaftar? Ck, tidak jauh berbeda. Hampir setiap hari ia ditempa dengan hal-hal yang 'katanya' amat penting untuk diketahui dan dipelajari seorang penyihir, hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. "...agar kau dapat tumbuh menjadi seorang penyihir hebat, Son." Ya, hanya itu. Hanya kalimat itu yang menjadi bekal Nat untuk melawan segala kemalasan dan ketidakinginannya mempelajari sihir. Huft, mimpi besar memang membutuhkan kerja keras dan kesungguhan yang besar pula.

Sampai. Nat melangkah memasuki ruangan kelas, menjawab dalam hati ketika Profesor Flitwick mengucapkan selamat pagi. Sebuah kursi paling depan di bagian terkanan ruangan kelihatan strategis. Ia menghenyakkan diri di atas kursi yang dimaksud, merogoh saku dan mengeluarkan tongkat Eldernya. Firasat barusan melintas. Bakal praktek. "Nah, nah, anak-anak... Seperti telah kujanjikan pada pertemuan sebelumnya, hari ini kita akan mencoba mantra-mantra yang telah kalian pelajari teorinya. Masih ingat?" ujar sang Profesor. Oke, ternyata bukan firasat. Alam bawah sadarnya hanya mengantarkan memori samar tentang sesuatu yang ia lupakan. Jadi hari ini praktek? Bagus. Tidak akan semembosankan biasanya. Silangkan jari, Nat, dan berharaplah. Matanya mengerjap ketika sebuah gembok dan sehelai bulu angsa mendarat dengan mulus di atas meja di hadapannya. Sebentar. Mantra yang diajarkan pada pertemuan sebelumnya adalah... Err...

"Baik, kita akan melakukan praktik hari ini secara bertahap. Jangan ada yang mencoba mantra lain selain yang aku perintahkan! Atau-" Nat terbatuk pelan ketika melihat perubahan mimik sang profesor saat mengucapkan kalimat tersebut. Matanya yang salahkah atau memang ada sebersit seringai mengerikan di wajah itu? "-kalian akan dihadiahi ganjaran setimpal untuk yang tidak patuh, apalagi berbuat onar." Fine. Lagipula ia tidak berniat untuk membuat onar. Tak ada gunanya. Anak laki-laki berambut hitam itu memasang telinga baik-baik, mencermati tiap-tiap instruksi dengan seksama. Baiklah, mari kita coba. Ia menggulung lengan jubahnya sedikit, memantapkan genggaman tangannya pada sang tongkat, berusaha berkonsentrasi. Colloportus. Mantra Pengunci, rite? Sudah pernah diajarkan kalau tidak salah. Tinggal mempraktekkan saja, tidak sulit. Nat mengangkat tongkatnya, kemudian dalam sekali helaan napas ia menyerukan mantra yang diinstruksikan tepat ke arah gembok di hadapannya, "Colloportus!" Secara perlahan gembok tersebut melakukan pergerakan, besinya bergeser ke arah yang semestinya, dan... Locked. Suara berdecit keras membuat Nat sedikit berjengit, namun jengitan tersebut berubah seketika menjadi senyuman puas. Done. What's next?

Labels: ,


8:27 PM