"Amanda. Hei."
Suara itu--familiar. Tapi tidak. Keraguan masih mendominasi. Pelukan pada lututnya menguat, sementara sepasang matanya dipejamkan erat-erat, tak menerima interupsi. Dirasakannya bulu lembut sang makhluk mungil kecokelatan yang turut berada dalam dekapannya menggelitik pipi. Gadis itu tetap bergeming. Sama sekali. Ia bersyukur--ada Mimzy. Ada kelincinya yang menemani saat... saat...
Saat pembunuhan itu hadir lagi. Saat film horor itu diputar lagi untuk yang kesekian kalinya. Saat peristiwa terburuk sepanjang hidupnya kembali dihujamkan tanpa ampun. Jahat. Curang. Makhluk hitam itu hanya lewat, tetapi sudah cukup membuat traumanya bangkit. Dirinya yang bodoh, benar--karena tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa meringkuk di sudut kompartemen seperti anak kecil umur lima tahun, melupakan fakta bahwa dirinya telah beranjak lima belas tahun! Apa namanya itu kalau bukan PAYAH dengan huruf besar, hm? Sembilan tahun peristiwa mengenaskan itu berlalu, tetapi tak ada setitik kilasan pun yang berhasil terlupa. Haha. Poor you, Steinhart.
Lama-lama ia bisa gila.
Amanda terpekik saat sebuah tangan menyentuh bahunya, secara spontan ia mengibas-ngibaskan tangan, berusaha mengusir makhluk apapun itu yang menghampiri. "Pergi! Jangan dekati aku!" Bahkan dirinya sendiri terkejut akan suara pekikan yang terlontar. For God's sake, ia pasti terlihat amat konyol. Terserah, apapun yang dapat menjauhkan makhluk mengerikan itu dari sini. Pergilah. Jangan dekat-dekat. Please. Tolong--
"Astaga. Ini aku, bodoh. Nathaniel."
Tertegun. Nafasnya kali ini tercekat, ya, namun dalam artian positif. Be-benarkah? Nat? Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan, masih dengan terpaan kecemasan dalam benak. Ia tak butuh kejutan lagi, please. Yang ia butuhkan saat ini adalah kebenaran. Semoga benar... Dan betapa leganya ia ketika mendapatkan wajah cemas sepupunya menatap balik. Tubuhnya lemas, sungguh. Lemas saking leganya. Amanda menghembuskan nafas dengan penuh syukur, secara spontan meletakkan Mimzy di atas kursi kompartemen--dan detik berikutnya ia memeluk sepupunya erat. Huft.
"Kau--oke? Amanda, kau gemetar--"
"Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat, melepaskan pelukannya dan kembali mengangkat Mimzy. Benar, ia masih gemetar. Ck. Sekali lagi, payah. Dengan sedikit terhuyung ia berdiri, berusaha mengabaikan gelenyar tak nyaman yang merambati kakinya. Sudah selesai, kan? Dementor-dementor itu sudah pergi, kan?
"Maafkan aku, Amanda. Aku mencarimu kemana-mana, sungguh."
Amanda menggeleng. "Tidak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja, kok," ucapnya sengau. Bohong itu dosa, Amanda. Masa bodoh, sekali ini saja. Dari tatapan pemuda di hadapannya, ia tahu Nat tidak percaya.
"Kau perlu Madam Pomfrey. Well, kita sudah sampai, ngomong-ngomong."