Monday, May 25, 2009

Rush Hour-#1

"Amanda. Hei."

Suara itu--familiar. Tapi tidak. Keraguan masih mendominasi. Pelukan pada lututnya menguat, sementara sepasang matanya dipejamkan erat-erat, tak menerima interupsi. Dirasakannya bulu lembut sang makhluk mungil kecokelatan yang turut berada dalam dekapannya menggelitik pipi. Gadis itu tetap bergeming. Sama sekali. Ia bersyukur--ada Mimzy. Ada kelincinya yang menemani saat... saat...

Saat pembunuhan itu hadir lagi. Saat film horor itu diputar lagi untuk yang kesekian kalinya. Saat peristiwa terburuk sepanjang hidupnya kembali dihujamkan tanpa ampun. Jahat. Curang. Makhluk hitam itu hanya lewat, tetapi sudah cukup membuat traumanya bangkit. Dirinya yang bodoh, benar--karena tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa meringkuk di sudut kompartemen seperti anak kecil umur lima tahun, melupakan fakta bahwa dirinya telah beranjak lima belas tahun! Apa namanya itu kalau bukan PAYAH dengan huruf besar, hm? Sembilan tahun peristiwa mengenaskan itu berlalu, tetapi tak ada setitik kilasan pun yang berhasil terlupa. Haha. Poor you, Steinhart.

Lama-lama ia bisa gila.

Amanda terpekik saat sebuah tangan menyentuh bahunya, secara spontan ia mengibas-ngibaskan tangan, berusaha mengusir makhluk apapun itu yang menghampiri. "Pergi! Jangan dekati aku!" Bahkan dirinya sendiri terkejut akan suara pekikan yang terlontar. For God's sake, ia pasti terlihat amat konyol. Terserah, apapun yang dapat menjauhkan makhluk mengerikan itu dari sini. Pergilah. Jangan dekat-dekat. Please. Tolong--

"Astaga. Ini aku, bodoh. Nathaniel."

Tertegun. Nafasnya kali ini tercekat, ya, namun dalam artian positif. Be-benarkah? Nat? Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan, masih dengan terpaan kecemasan dalam benak. Ia tak butuh kejutan lagi, please. Yang ia butuhkan saat ini adalah kebenaran. Semoga benar... Dan betapa leganya ia ketika mendapatkan wajah cemas sepupunya menatap balik. Tubuhnya lemas, sungguh. Lemas saking leganya. Amanda menghembuskan nafas dengan penuh syukur, secara spontan meletakkan Mimzy di atas kursi kompartemen--dan detik berikutnya ia memeluk sepupunya erat. Huft.

"Kau--oke? Amanda, kau gemetar--"

"Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat, melepaskan pelukannya dan kembali mengangkat Mimzy. Benar, ia masih gemetar. Ck. Sekali lagi, payah. Dengan sedikit terhuyung ia berdiri, berusaha mengabaikan gelenyar tak nyaman yang merambati kakinya. Sudah selesai, kan? Dementor-dementor itu sudah pergi, kan?

"Maafkan aku, Amanda. Aku mencarimu kemana-mana, sungguh."

Amanda menggeleng. "Tidak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja, kok," ucapnya sengau. Bohong itu dosa, Amanda. Masa bodoh, sekali ini saja. Dari tatapan pemuda di hadapannya, ia tahu Nat tidak percaya.

"Kau perlu Madam Pomfrey. Well, kita sudah sampai, ngomong-ngomong."




Rumah sakit? Yang benar saja.

Malam ini suram. Malam tersuram yang pernah berkunjung ke Hogwarts--menurutnya. Hiruk pikuk bergema, memenuhi Aula Depan dengan keributan khas awal tahun ajaran, namun kali ini berbeda. Kekhawatiran masih berbisik, dear. Amanda bersedekap, menghela nafas letih. Ia menoleh sekali, gusar dengan raut wajah ketakutan yang lagi-lagi ia temui. Sepasang kakinya melangkah gontai menelusuri koridor remang, menjauhi Aula Depan dan bergerak menuju satu tempat yang menjadi destinasi massal para murid saat ini. Hospital Wing.

Nathaniel memaksa. Bukan kemauannya. Amanda tak pernah senang harus pergi ke rumah sakit--membuatnya terlihat lemah. Hanya pendapatnya yang berlebihan, memang. Tetapi, well, begitulah seorang Amanda Steinhart, terkesan berusaha membohongi diri sendiri. Hm. Ia mengerling sepupunya dengan sedikit kesal. Kenapa memaksa segala, sih? Sudah dibilang kan ia tak apa-apa? Tetapi sudah terlanjur berpijak disini, mau bagaimana lagi. Hazel kecokelatannya kembali bergulir, menatap koridor di depan, koridor depan rumah sakit--

For Merlin's sake. Langkahnya terhenti. Sepasang matanya mengerjap, desahan tak percaya terilis. Ini--banyak sekali yang terluka, oh my. Selama setengah menit gadis itu hanya terpaku dengan sorot mata gelisah. Astaga. Astaga. Hari ini... sungguh amat mengejutkan, ia tahu. Dementor--Pelahap Maut kurang ajar.

Amanda menoleh, mengambil posisi menghadap sepupunya. "Nathaniel, kau pergilah. Aku sendiri saja," tuturnya lirih, namun matanya menatap tajam, mengindikasikan bahwa ia sedang tak ingin berdebat. Dan ia bersyukur sepupunya mengerti. Ia menatap punggung Nat yang mulai menjauh, kemudian bergegas berbalik dan dengan langkah cepat berjalan memasuki ruangan rumah sakit.

Gosh. Di dalam sini jauh lebih sibuk. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap teman-temannya yang terluka dengan miris. Keterlaluan. Ia tidak mau diam saja, tidak. Dan lupakan bahwa dirinya pernah gemetar lima belas menit yang lalu. Amanda menapak perlahan--menghindari dua sosok peri rumah yang tengah melesat dengan gelas-gelas cokelat panas--dan menghampiri Madam Pomfrey. Kewalahan-kah ia? Prediksi Amanda sih begitu. "Permisi, Madam Poppy. Aku... adakah yang bisa kubantu?" tanyanya ragu, kecemasan kembali hadir saat melihat sosok yang ia kenali. Itu--Glows. Devindra. Dan, oh, senior Morcerf? Oh my. "Amanda Steinhart, Ravenclaw, kelas empat, Madam."

Apa yang bisa ia lakukan?

Labels: ,


2:51 PM