Thursday, May 14, 2009

Watching Movie-#1

Seka. Kibas. Apa lagi? Kipas-kipas. Tidak mempan juga. Sigh.

Dihujani kilauan kalor keemasan tanpa toleransi seperti ini bukan kemauannya, tak perlu ditanya. Hanya saja, seratus meter di depan, destinasi menunggu, plang besar membuat senyumnya terukir tipis. Well, sejauh ini pun sebenarnya ia tak keberatan sih.

Gadis itu membuka topi birunya, untuk kesekian kalinya menyeka titik-titik peluh di kening dengan lengan sebelum kembali memakai sang topi, mengkover kepala serta rambut kecokelatan kuncir kudanya. Panas. Siang hari musim panas di pusat kota London, tak perlu buang-buang tenaga untuk berharap kesejukan menyambut. Bising, polusi, tebaran manusia tumpah ruah. Bercampur baur dengan para muggle dalam kapasitas besar, kesempatan langka, sungguh. Berkali-kali sang gadis mengerjapkan mata ingin tahu, menelengkan wajah mengamati macam pribadi yang berlalu-lalang, sedikit penasaran terhadap apa yang dikenakan, dibawa serta dikerjakan komunitas dunia seberang--melupakan kausnya yang basah, juga rasa tak nyaman di kakinya.

Amanda mengerling ke samping, menemukan siluet anak lelaki Hufflepuff--sahabatnya. Jalan yang mereka tempuh lumayan jauh, tahu. Jangan protes jika saat ini gurat kelelahan terpancar dari wajah mereka--wajah Amanda setidaknya--dan panas membakar juga merambati kakinya. Tidak, percayalah, ia tak keberatan barang sedikitpun. Merepotkan Jo, lagi, untuk mengantarnya dengan cara yang sama seperti saat pertama dirinya berangkat ke rumah sementaranya selama musim panas ini--berapparate, FYI--merupakan pilihan terakhir yang akan diambilnya untuk merealisasikan keinginan yang tanpa alasan jelas ingin ia lakukan. Memaksanya untuk merelakan sepasang kaki miliknya untuk berjalan dari Queen's Road nomor empat puluh tujuh hingga ke tempat ini, Sloane Square.

Amanda ingin nonton Superman II.

Well, sebenarnya ada seorang lagi yang pada akhirnya harus turut mengorbankan diri, repot-repot dan bersedia berjalan kaki, berpeluh dan letih bersamanya, membuat Amanda merasa sedikit bersalah. Terpaksakah Larry menemaninya? Semoga tidak--ya, firasatnya sih mengatakan tidak, hoho. Sekali lagi bibirnya melengkung simpul, merasa amat beruntung karena memiliki seorang sahabat seperti Jonathan Larson Baned, yang disadarinya selalu ada. Terima kasih banyak. Gadis itu menggamit lengan Larry, setengah menarik sang anak lelaki memasuki pintu teater Royal Court bersama binar rasa senang dan kepuasan--akhirnya sampai. Tak terlalu ramai. Mungkin hari ini termasuk pemutaran film ke sekian, sepi penonton. Atau...

Filmnya sudah mulai, eh?

Amanda melirik arlojinya, kemudian mengangkat wajah untuk membaca jam tayang yang tertera--great, satu menit lagi. Melepaskan gamitannya pada lengan Larry, ia menghampiri tempat penjualan tiket dengan sedikit tergesa. Tempat duduk, err... um... asal saja deh. "Superman II, I18 dan I19, please." Menyambar tiket dan kembali menghampiri sahabatnya setelah mengucapkan terima kasih kepada gadis penjaga loket, ia kemudian mengangsurkan salah satu lembaran. "Kau I18 ya, Larry?" Amanda mengedipkan sebelah mata disertai cengiran jenaka spontan. "Hari ini aku yang traktir. Semuanya," ujarnya lagi, melontarkan nada tak-menerima-protes. Hitung-hitung berterima kasih atas apa yang selama ini telah Larry lakukan.

Penyempurnaan. Satu konter lagi sebagai tujuan. Ia menggumamkan pesanan--satu popcorn ukuran paling besar di etalase, dan dua soda dingin. Uh-uh, satu popcorn untuk berdua saja, lagipula tampaknya ia tak akan sanggup memakan itu semua sendirian. Ia yang traktir juga, by the way. Amanda mengangguk kepada Larry, mengisyaratkan bahwa semuanya sudah beres, lalu kembali menarik sahabatnya tanpa basa-basi. Ke studio 4.

Kan. Sudah gelap. Gadis empat belas tahun itu menggenggam lengan Larry erat, merasa gamang. Payah. Selamat sampai tujuan, sih. Row I, sisi tengah, tak banyak yang menempati, tak banyak yang akan terganggu. Bagus. Tapi tetap saja, jalan ke tengah tidak keliha--

DUK!

Tersandung. "Ma-maaf," ringisnya cepat-cepat, memicingkan mata untuk mereka dimana wajah seseorang yang ia tendang kakinya. Anak lelaki sepertinya. Sekali lagi ia meminta maaf, kemudian menghenyakkan diri di atas tempat duduk yang seharusnya. Huft. Selamat, selamat.

Hei. Se-sebentar. Kesadaran itu telat hadir. Amanda tertegun, dengan sedikit tak percaya ia menoleh, benar-benar menyipitkan mata untuk mengkonfirmasi penglihatannya barusan. "Istvan?" gumamnya tak yakin. Benar, tahu. Itu... Well, kalau begitu-- Ia mengedarkan pandangan, berusaha mengalahkan kegelapan. Di baris yang sama dengannya tak ada siapapun lagi yang ia kenali. Mungkin... Amanda menoleh ke belakang--

Dan yang dilihatnya pertama kali adalah siluet rambut keriting gimbal itu.

"DANIELLE!" pekiknya keras. Bodoh. B.O.D.O.H. Seruan protes terlontar dari beberapa penjuru, membuat cengiran bersalah lagi-lagi terpampang di wajahnya. Amanda merosot di bangkunya, membenamkan tubuh pada sandaran kursi sebelum menoleh dan mencondongkan tubuh ke arah sahabatnya. Duh, telinga Larry yang mana sih? "Larry," bisiknya, "Lihat ke baris atas, deh." Ia menunjuk row H dengan ibu jarinya. "Banyak anak Hogwarts... sepertinya."

Ya, ya, ia tak suka kegelapan.

Labels: ,


7:58 PM