Tuesday, May 26, 2009

Kelas 3-#1

Kelas pertama ya? Hm. Dibuka disaat yang kurang tepat. Sigh.

Langkahnya menghentak. Gadis itu tak menyangkal dirinya bersyukur karena koridor lantai satu yang tengah dilintasinya tengah kosong--sama sekali. Bagus. Tak ada yang akan berpapasan dengannya, dan itu mengartikan banyak hal. Tak akan ada pandangan heran terlontar. Tak akan ada seseorang yang bertanya--ia sedang malas berbicara, oke. Tak akan ada suara-suara yang mengganggu. Tak akan ada--fine, tak akan ada kerutan di dahi melihat seorang Amanda Steinhart yang sedang marah.

Ya. Kemarahan tengah bertamu. Jangan dekat-dekat.

Nafasnya bergulir, ditarik dalam-dalam dan dihembuskan perlahan. Sudahlah, Amanda. Tak perlu marah seperti itu. Mudah berbicara seperti itu, hei, kau, benak. Pengaplikasiannya sulit. Gadis empat belas tahun itu memperlambat jejaknya, menyamarkan gaung nyaring pantulan dinding batu yang sedari tadi menemani saat disadarinya pintu kelas telah menyambut. Kesempatan terakhir untuk menenangkan diri sebelum masuk kelas. Ia merilis nafas keras-keras, menelan ludah dan memejamkan mata sekilas, memaksa kesabaran untuk kembali hadir. Ayolah. Well, Amanda dianugerahi kesabaran di atas garis rata-rata, benar--thank God. Tetapi di atas segalanya, di antara hal-hal buruk yang dapat memancing emosi--ia paling benci dibohongi.


"Nat. Coba perhatikan. Tulisan Leander di surat kemarin... aneh."
"Hm? Aneh bagaimana?"
"Err... berbeda. Acak-acakan."
"Masa? Well, dua hari di St. Mungo tidak cukup sepertinya."
Hening.
"Apa katamu barusan?"
Hening lagi.
"Huh? Ti-tidak, aku tidak bilang apa-apa."
Hazel kecokelatan sang gadis memicing.
"Nathaniel Gladstone. Jangan bercanda. Leander--masuk St. Mungo?"
"A-aku tidak bilang begitu."
Tak ada yang berbicara selama beberapa saat, namun gadis Ravenclaw itu melempar tatapan tak percaya, kemudian bangkit.
"Baik. Biar aku tanyakan sendiri."
"Ti-tidak usah, Amanda."




Guess what? Akhirnya sepupunya mengaku. Leander masuk St. Mungo musim panas lalu akibat luka di tangan kanannya--dan Amanda tidak tahu? Nice. Mereka menyembunyikan fakta itu darinya--bodoh. Ia tidak senang sama sekali.

Menghenyakkan tubuh di atas tempat duduk yang dipilih asal, Amanda bersandar pada punggung kursi dan bersedekap. Tidak ada semangat untuk mengikuti kelas sebenarnya, moodnya rusak akibat ketidaksengajaan fatal sepupunya. Menyesakkan menjadi seseorang yang terakhir mengetahui hal yang seharusnya ia ketahui sejak awal, kalau kau mau tahu. Tak ada gunanya marah-marah, ya, karena itulah ia hanya diam, memendam kemarahan bagi dirinya sendiri--asalkan tak ada yang menyulut, semua akan baik-baik saja. Gadis itu mengangkat wajah, mendoktrin benaknya untuk memberikan fokus sejenak saat sang profesor mulai membuka mulut dan menjelaskan materi hari ini. Kementrian Sihir. Topik yang 'bagus'. Semakin mengingatkannya pada sang kakak.

Mari mencatat, dear. Amanda mengeluarkan pena bulu, tinta, dan secarik perkamen kosong, kemudian menulis judul 'Kementrian Sihir' dengan huruf besar-besar, gerakannya sedikit menghentak. Ia membuka telinga lebar-lebar, menerima segala informasi yang diberikan dan memvisualisasikannya dalam bentuk tulisan berbentuk tak keruan, berusaha mencatat sedetail yang ia mampu. Lupakan dulu masalah Leander, oke? Deal. Seiring dengan gerakan tangannya, otaknya turut bekerja, mencerna kata demi kata yang bergaung di udara. Departemen pertama yang disebutkan--Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Seperti pengadilan di dunia muggle, eh? Tempat paling tepat bagi orang-orang tak bertanggung jawab yang menyerang kakaknya tiga kali berturut-turut. Tempat penjatuhan hukuman yang pantas. Hukuman seumur hidup. Azkaban.

Hei. Konsentrasi.

Yang kedua--Departemen Bencana dan Kecelakaan Sihir. Kali ini ia tertegun. Apakah pegawai kementrian datang pada tiga penyerangan terhadap kakaknya, hm? Harusnya begitu. Jika benar begitu, mengapa tak ada kabar sama sekali mengenai pelakunya? Payah. Kementrian payah. Amanda meletakkan pena bulunya, menyerah. Tidak bisa fokus. Leander selalu hadir di benaknya hari ini. Astaga.

Memutuskan untuk mendengarkan saja tanpa menulis, Departemen ketiga yang tersebut lagi-lagi membuat pikirannya berputar. Departemen Regulasi dan Kontrol Makhluk Gaib. O-ke, mereka yang mengawasi segala instrumen yang berkaitan dengan dunia sihir, kata Profesor Binns. Well, bagaimana dengan dementor yang menyerang Hogwarts Express? Kementrian tidak tahu atau bagaimana, huh?

Sudah cukup, Amanda. Kau kenapa, sih?



"Baiklah, anak-anak. Aku ingin kalian berdiskusi tentang departemen dari kementrian sihir Inggris, hingga jam pelajaran kita habis." Diskusi. Amanda menoleh, mencari tahu siapa partner semejanya--Dutie. Siapa sajalah, terserah.

"Mulai dari mana, Mister?" tanyanya singkat, disertai helaan nafas. Ia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Tampaknya akan menjadi diskusi yang panjang.

Labels: ,


7:05 AM