Tuesday, May 12, 2009

47 Queen's Road, London-#1

"O-oke."

Siluet kebiruan pudar dengan corak kelabu bertindak sebagai latar belakang, menaungi ketiga sosok di bawah langit itu, yang tengah berdiri berdekatan satu sama lain. Sang gadis cilik menahan nafas tanpa sadar, tangan kanannya bergerak perlahan dan menggamit lengan sahabatnya--tas koper dalam genggaman, sementara tangan satu lagi memegangi bagian lengan baju gadis dewasa di sisi lain--sesuai perintah. Apparate. Wew. Well, tidak heran sebenarnya, dan seharusnya cara bepergian seperti ini telah mampu diprediksi sejak awal. Hanya saja rasa nervous yang biasa mampir di benak seseorang saat mencoba sesuatu yang baru--mulai menyerangnya, membuat kardionya berderap lebih cepat. Err... sebenarnya masalah transportasi menuju rumah tujuan sama sekali tak terbersit di pikirannya selama perjalanan di atas Hogwarts Express, pikirannya penuh--dihantui rasa tenang bercampur dengan kekhawatiran yang tetap enggan untuk enyah. Merasa cemas terus menerus seperti ini melelahkan, kalau ia boleh jujur.

So, sudah siap, eh?

Amanda menggigit bibir bawahnya, merasa bahwa dirinya tak akan pernah siap namun sadar mau tak mau apparate akan berkawan dengan kehidupannya--dalam waktu beberapa tahun lagi, dan kali pertama tak selalu berakhir buruk seperti yang ia bayangkan. Kata siapa pula itu? However, detik berikutnya peron 9 3/4 secara tiba-tiba terlihat kabur, sepasang kaki berbalut sneaker biru miliknya tak lagi menjejak tanah, sekelebat bayangan berpusing di depan matanya, menghadirkan pening. Gadis empat belas tahun itu memejamkan kedua matanya, mengeratkan genggaman kepada kedua sosok di sampingnya, berharap sensasi aneh yang menjalari tubuhnya cepat berakhir--

GUSRAK!

DUK!

"Duh." Amanda meringis, secara refleks mengusap-usap sikunya yang nyeri akibat terbentur koper hitam yang mendarat persis di samping tubuhnya. Sampai? Sepertinya begitu. Ia mengangkat wajah, mengerjapkan mata dan melempar pandang tertarik ke arah rumah yang menjulang di hadapannya, kemudian cepat-cepat bangkit saat menyadari posisi jatuhnya--tengkurap, FYI--dan menepuk-nepuk kaus serta celananya, mengusir beberapa helai rumput yang mampir. Pendaratan yang kurang mulus sebenarnya, tidak dalam posisi berdiri, tetapi perasaan senang atas apparate-nya yang pertama kali saat ini mendominasi, mensunggingkan senyum puas di bibir--tidak peduli bahwa yang menjadi pelaku utama bukan dirinya. Amanda menoleh ketika sebuah keluhan hadir di telinganya, dan kedua matanya kembali terkerjap. Ah ya, masih ada dua orang yang lain, dan ia lupa, ck ck. Ia beranjak, menghampiri anak lelaki satu-satunya di sana dan membantu sahabatnya itu berdiri. Tidak apa-apakah?

Gadis Ravenclaw tersebut mengangguk, menanggapi pertanyaan sang senior sekaligus menyatakan persetujuan atas kalimat barusan. Kurang mulus, tak apa, ia tak keberatan, sungguh. Oh, oke, sensasi apparate memang begitu. Begitu, sama dengan keren.

"Nah Amanda. Queen's road empat puluh tujuh."

Anggukan lagi terlontar, diiringi oleh senyuman lebar serta binar di kedua lapis lensa kecokelatan miliknya. Ya, Queen's road nomor empat puluh tujuh, tempat dimana ia akan menghabiskan seluruh waktu libur musim panasnya. Tempat dimana dirinya harus menginap selama rentang waktu tersebut. Entah, Amanda merasakan sesuatu yang ganjil di hatinya, imbas dari kekhawatiran yang masih senantiasa berdentum di dalam dada--kekhawatiran yang turut serta dengan setia hingga ke tempat ini sekalipun, bercampur dengan rasa tidak enak karena harus merepotkan orang lain. 'Menumpang', istilahnya. God, kalau bukan karena Leander dan Nathaniel yang meminta dengan sangat, ia tak akan mau. Sepupunya curang, by the way, diizinkan tetap menetap di Highbury Crescent nomor empat, sementara dirinya tidak.

Mereka bertiga menganggap seorang Amanda Steinhart itu lemah. Ha-ha. Nice.

Mendengar kata 'berantakan' bergaung di udara, Amanda mengedarkan pandang, mengamati area yang sempat diprediksi olehnya sebagai halaman belakang, menelusuri setiap jengkal yang kasat mata. Berantakan? Tidak kok. Hanya saja... kelihatan telah cukup lama ditinggalkan.

"-maaf."

Ha? Ia menoleh cepat ke arah sang senior, menggeleng spontan. Kenapa minta maaf? Seharusnya dirinya yang mengucapkan kata tersebut. "Tidak, Prefek Baned," serunya seraya tersenyum canggung, "err... Ketua Murid maksudku--eh, senior..." Gadis itu menggaruk pelipisnya, bingung. Bagaimana ia harus memanggil seorang Jo Baned yang telah lulus?

"Aku--yang minta maaf--" ucap Amanda, menatap Larry sekilas, menandakan bahwa permintaan maafnya juga ditujukan bagi anak lelaki satu itu, kemudian menunduk menatap sepatunya, "--jadi merepotkan."

Labels: ,


3:48 AM