Wednesday, May 6, 2009

State of Shock-#1


Bodoh.

Kedua lapis lensa kecokelatan itu terbuka, menatap kosong keremangan yang melingkupi penglihatannya. Terpejam, hanya dalam hitungan detik--kembali terbuka, disertai gerakan gelisah sekujur tubuhnya, merubah posisi berbaring yang dipilihnya. Tidur. Please. Argh.

Nathaniel menyerah. Fine, akui saja, ia tak bisa tidur. Anak lelaki itu bangkit sambil bersungut-sungut, mengacak rambut gelapnya dengan frustasi. Kenapa sih? Hanya gara-gara surat sial, eh? Ck ck. Ia beringsut menuju tepi tempat tidur, menghela nafas kesal, tangan kanannya menyambar secarik perkamen lusuh yang tergeletak sembarangan di atas meja samping tempat tidur--well, surat dari Dad. Tiba saat sarapan, berhasil dengan gemilang meruntuhkan nafsu makannya seketika.

Serangan, yeah. Tiga kali, tempat dan waktu berbeda. Tidak dijelaskan secara detail, tetapi kali terakhir terjadi di tempat yang familiar. Halaman belakang Highbury Crescent nomor empat--rumahnya. Ledakan berskala sedang, menghancurkan tembok pembatas bagian timur, memporakporandakan kebun anggrek kesayangan Mom, dan kabarnya--Leander terluka. Dalam surat dituliskan bahwa fakta yang belakangan disebutkan berstatus tertutup rapat bagi sang sepupu, Amanda Steinhart, dirahasiakan sementara. Keputusan yang tepat, Nat tahu itu, karena entah apa yang akan gadis itu lakukan jika mengetahui kakaknya positif menginap di St. Mungo selama dua hari. Dan ya, untuk turut mendukung permintaan kedua sosok tertua di keluarganya tersebut--Jangan pulang saat libur musim panas nanti, Nak.

Man, are you kidding him?

Pemuda tiga belas tahun itu bangkit, menyambar tongkat sihirnya dan sebotol plastik air mineral yang masih terisi kurang lebih setengahnya dari atas meja, kemudian tanpa berniat bersusah payah mengganti piyama kelabu yang melekat, dirinya menjejak perlahan menuju pintu kamar, berusaha tak bersuara. Tidak yakin akan arah tujuannya, Nat menenggak sang air mineral sekali, mengizinkan sepasang kaki untuk membawanya kemanapun yang mereka suka. Ia butuh udara segar untuk berpikir. Bukan ruangan suram macam kamar asrama, ruang rekreasi atau kelas kosong. Nope. Keputusan yang akan diambil akan menentukan apa yang bakal ia dan sepupunya lakukan dua minggu lagi saat tahun ajaran berakhir dan libur musim panas menghampiri. Pulang, atau tidak. Dua opsi dan hanya satu keputusan. Jika kalian semua bertanya kepadanya akan opini pribadi--dalam sekali sentak pun jawabannya sudah jelas.

Ia akan tetap pulang. Tak peduli apa yang akan dilontarkan ayahnya dan Leander--keluarganya dalam bahaya dan ia pergi layaknya seorang pengecut? Wohoo, tunggu dulu. Tidak akan terjadi dengan alasan apapun. Masalahnya sekarang adalah... Amanda. Yang jelas gadis Ravenclaw tersebut TIDAK boleh pulang. Bagaimanapun caranya, tidak. Tetapi--kemana gadis itu dapat pergi?

Langkahnya terhenti saat saraf sensoriknya berkedut sadar. Dirinya telah berdiri di ambang menara astronomi, mendengus sarkastik. Oke, menara yang terpilih, bukan halaman, atau danau, atau dedalu. Great choice, feet. Nathaniel melangkah melewati jalan masuk, mengacak rambutnya asal--lagi, berharap tak ada orang lain dengan ide yang sama, pergi ke tempat ini.

Sial. Kakinya mengambang di udara, tubuhnya terpaku bertepatan dengan tertolehnya sang leher ke arah kanan. Dua orang. Dan, menyempurnakan segalanya, salah satu dari mereka adalah--prefek. Mampus. Nat menelan ludah, mulai bergerak mundur. Detensi bukanlah sesuatu yang ia cari saat ini, rite? Sedikit tergesa, ia memutar tubuh, mengambil ancang-ancang untuk pergi tanpa suara... sama sekali tak melihat kemana langkahnya beranjak.

DUAKK!

"Argh!" Seruan spontan terilis dari mulutnya, disusul oleh gerakan semi-membungkuk seraya memegangi keningnya yang pening. Kebodohan tingkat dewa. Nat meringis, mengaduh lirih.

Gelap, tahu. Jangan salahkan kakinya.

Labels: ,


2:48 PM