Sunday, May 10, 2009

Shape of My Heart-Finale

Fine. Tidak ada masalah, katanya?

Amanda menatap tajam lantai jembatan tanpa titik fokus yang jelas, hanya berusaha tak menoleh dan memandang wajah anak lelaki di hadapannya dengan berpura-pura tertarik luar biasa kepada tempatnya berpijak selama setengah jam terakhir. Tidak cukup membantu, sebenarnya. Ia dapat merasakan tatapan terpancang ke arahnya, namun ia bergeming. Tenggelam dalam kemarahan yang berkecamuk di dalam dada, keselarasan berpikir tingkat tinggi miliknya terpinggirkan untuk sementara. Terenyahkan tanpa alasan yang jelas. Sang egoisme sukses menyeruak ke barisan terdepan pasukan benak, mengalahkan akal sehat dan kesabaran yang biasanya bertugas sebagai pemimpin. Kenapa, eh, Amanda?

Tidak percaya. Kalimat pernyataan tak-ada-masalah yang dilontarkan Larry entah mengapa tak berhasil menyentuh tombol keyakinan miliknya. Ucapan hanya ucapan, hanya rangkaian kata yang tersusun tanpa konkrit nyata, tanpa bukti bahwa rangkaian tersebut benar adanya. Firasatnya melarang hatinya untuk percaya, maaf. Hanya pendapat semata, sebenarnya. Tetapi saat ini, detik ini pendapatnyalah yang paling benar, pemikirannyalah yang akan digunakan dan dilaksanakan sebagai undang-undang. Oke?

Astaga, Steinhart. KENAPA marah-marah sih?

Ya, ada apa denganmu, ha? Amanda memejamkan mata dan menelan ludah sekali, berusaha menstabilkan sensasi menyesakkan yang menggedor-gedor dadanya cepat. Ini--God, sabar. Gadis cilik itu menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar dalam waktu sepersekian detik, kemudian merilis sang karbondioksida kembali lepas ke udara bebas. Ia mengulanginya dua kali berturut-turut, merealisasikan nasihat sang paman. Kurang berhasil rupanya. Gelenyar tak nyaman itu masih hinggap. Argh. Ia tak pernah tahu--kelelahan, rasa malu, frustasi, serta perasaan diabaikan dapat bereaksi dan menghasilkan produk berupa kemarahan. Ia baru tahu. Dan sayangnya sang gadis Ravenclaw tak tahu kalau seonggok luapan hati bernama kemarahan dapat meningkatkan tingkat keletihan beberapa level lebih tinggi. Bodoh.

Oh, sudahlah. Kembalilah menjadi dirimu, Amanda. Berpikirlah dari sudut pandang seseorang berakal jernih, please. Coba pikir--Jonathan Baned, bertindak tak sesuai harapanmu barusan, eh? Melenggang pergi dengan acuh. Apakah kau lupa bahwa memang begitu sifat sang anak lelaki yang menjadi sahabatnya? Tak ingatkah kau bahwa sikap seperti itu wajar dan biasa dilakukan dalam keseharian? Sadar. Kau payah dan egois. Benar. Dirinya hanya ingin diperhatikan lebih. Itu saja sebenarnya. Benar-benar naif dan tak dapat dipercaya, rite? Amanda tertegun saat menyadari fakta yang terlambat hadir tersebut, hatinya mendengus tertawa. Jangan menyalahkan orang lain atas apa yang kau lakukan, Amanda.

Ya. Ia harus minta maaf.

Kepalanya bergerak perlahan, hendak menoleh untuk melontarkan permintaan maaf yang terlambat. Kata-kata telah sampai di leher--namun terhenti dan tak mampu keluar. Terpaku, tertegun sekali lagi. Tubuh kecilnya tak lagi berdiri secara independen, seseorang di hadapannya, seseorang yang amat ia kenal--memeluknya. Baru mampu bergerak setelah lewat beberapa detik, Amanda menghela nafas samar, balas mendekap sahabatnya, kedua lengannya melintang di balik punggung sang anak lelaki. Helaan nafas itu... kelegaan. Ia mengangguk kecil saat kalimat yang dilontarkan Larry sampai ke telinganya. Berhasil. Jo memang hebat. Kemarahannya menguap begitu saja, seakan tersapu angin yang tengah berhembus, sementara rasa frustasinya runtuh. Ini--sama. Rasa nyaman saat Leander memeluknya di hari kakaknya pulang--rasa itu ia dapatkan saat ini. Singkat, tapi amat berarti baginya, sungguh.

Kembali berdiri bebas, Amanda menatap pemuda di hadapannya, melempar senyuman letih sebagai jawaban pertanyaan non-verbal yang tertangkap olehnya. Sudah lebih baik. Jauh lebih baik. Ia mengerjapkan mata saat mendengar kalimat berikutnya. Berantakan? Tak diragukan lagi. Amanda dapat merasakan matanya sembab, hidungnya memerah akibat menangis. Ck ck. Kembali ke asrama, tidak sendirian pula--ide terbaik hari ini. Sekali lagi kepalanya mengangguk, sepasang kakinya mulai bergerak--tunggu. Ia memberi isyarat kepada Larry untuk menunggu sebentar, kemudian beranjak menghampiri tepi jembatan, menatap jurang yang terhampar di bawah, dan senyuman itu kembali terukir. Hal terakhir sebagai penutup.

Amanda membuka genggaman tangannya, memandang gumpalan perkamen yang tanpa sadar masih berada disana. Menghela nafas, lagi, ia meraih tongkat Eldernya, berdeham kecil sebagai pengantar, kemudian berujar lirih seraya menunjuk sang perkamen dengan ujung tongkat, "Lacarnum Inflamarae." Merilis carik tersebut tanpa basa-basi, menjatuhkannya jauh menuju jurang dengan kobaran jingga menyelimuti benda itu secara keseluruhan. Selesai. Lupakan segalanya. Lupakan kebodohan yang telah ia lakukan. Lupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Lupakan Lazarus.

Ia kembali menghampiri Larry, mengangguk, memberi isyarat bahwa semuanya telah selesai. Saatnya kembali ke kastil. Kedua lensa beningnya meredup sesaat ketika menangkap dua sosok di depan, bersama, terlihat bahagia--hei, hei. Lupakan. Sudahlah. Ya. Hatinya lebih ringan saat ini, meskipun sesak itu masih tersisa. Life must go on, rite? Amanda menoleh, tersenyum kepada sahabatnya. "By the way, Larry," ucapnya mengiringi langkah yang terus beranjak.

"Terima kasih banyak."

Hm, FIN? Well yeaps, for NOW.




Thread officialy closed.

Labels: ,


3:10 PM