Sunday, May 17, 2009

Fidget-#3

Menghembuskan nafas frustasi. Man, setidaknya empat hal yang membuat wajahnya berubah datar dan mimiknya bersungut-sungut.

First, telapak kakinya berdenyut keras dan rasa nyeri itu tak jua hendak hilang, bahkan berkurangpun tidak. Ada yang salah pasti. Sialnya, entah mengapa benak terus menerus melarang kedua belah tangannya untuk bergerak turun, mengurai sepasang tali sepatu ketsnya dan melepas sang alas kaki. Sekedar untuk melihat--tidak. Bukan gengsi, hanya merasa kurang sopan. Semoga tak lebih parah dibandingkan memar yang terpampang sekitar satu setengah tahun yang lalu, tercetak di kakinya karena alasan yang sama. Terinjak--oleh seorang gadis kecil. Bedanya, saat itu benda yang menjadi biang keladi hanyalah seonggok sepatu flat, sedangkan sekarang? Sick.

Hobi baru para anak perempuan Hogwarts : menginjak kaki orang sembarangan. Amazing.

Kedua. Tepat waktu itu penting. Tahu, kan? Sayangnya, tak semua orang menyadarinya. Sepupunya tidak. Sigh. Bukan bermaksud untuk marah--nope, ia tak akan tega marah pada Amanda saat ini, sementara banyak kekacauan tengah menimpa keluarga mereka. Hanya saja, menunggu tidak terdapat di dalam list hal-hal yang disukainya, selalu menimbulkan rasa jengkel dan gusar. Keinginan kuat untuk bertemu kembali dengan sang sepupu sajalah yang menahannya disini. Ck.

Ketiga. Delapan huruf itu menerpanya lagi--menunggu. Pelaku--another Steinhart, kali ini si sulung. Nathaniel mengerling konter jauh disana, masih menemukan pemandangan yang tak jauh berbeda dengan sepuluh menit yang lalu. Keramaian bertumpah ruah dan berpusat disana, membuatnya kembali berdecak. Kelihatannya masih lama.

Terakhir. Anak lelaki tiga belas tahun itu kembali berpindah ke tempat semula, kursi kayu di bagian sudut--berkawan dengan jendela tepat di sampingnya, mengambil pose bersedekap. Harapannya masih tersedia, mate. Harapan melihat sosok mungil yang sama, yang pertama kali ditemuinya di pesta kebun Gryffindor, yang mempelopori peristiwa injak-menginjak-kaki-Gladstone, yang... cantik itu. Bodoh. Kardionya berderap dalam tempo yang lebih cepat saat ini, imbas dari kembali diputarnya ingatan-ingatan dalam benak. Well, harapan tinggal harapan, tak semudah membalik telapak tangan untuk mendapatkan realisasinya. Sepanjang penantiannya di tempat ini, tak ditemukannya siluet seseorang yang dikenalnya, no one, dan masihkah mungkin ia berharap untuk bertemu dengan gadis yang satu itu? Lebih baik jangan.

Well, prediksi baginya hanyalah hal yang tabu. Prediksi Nat lebih sering meleset--dugaannya jarang menembus titik kebenaran. Fine, itu fakta, karena bukti telah hadir di depan mata. Kali ini biarkan hatinya memuji kesalahan prediksi yang terjadi, oke?

Dan--jangan salahkan dirinya karena terpaku saat ini.

Ada. Itu. Di depannya. Aurore Petrabella Marvil.

"Nathaniel! Tak kusangka kita bertemu di sini! Kau lagi apa? Kalau aku-"

Ya. Tak disangka. Sama sekali. Dewi fortuna tengah bertamu ke ruang takdirnya, eh? Selamat datang dan terima kasih telah mampir kalau begitu. Kelereng kecokelatan anak lelaki itu tak bergerak, terpancang pada satu titik fokus dalam kegemingan absurd--sepasang lazuli yang lain di hadapannnya. Menyertai dalam hentakan seiring, rona merah merambati wajahnya--lagi-lagi. Kegusaran yang menghampirinya di awal menguap sedikit demi sedikit, tergantikan sensasi aneh menyenangkan yang mencengkeram perutnya. Apa ini? Kenyataan perasaan yang selama ini selalu berusaha ia sanggah, ha? Akan terus berlangsung jikalau saja interupsi tak seenaknya menyela.

Siapa itu?

Lensa beningnya bergulir sedikit ke samping, mendapatkan garis konkret berbentuk seorang wanita paruh baya, tengah mengaktifkan mulutnya, bercerocos menguraikan kata-kata--itu... ditujukan untuknya? Nat mengerjapkan mata, mulutnya sedikit terbuka, tak mengerti. Sebentar. Jika ditilik dari pilihan frase dan kata yang keluar dari bibir wanita tersebut, sedikit banyak ia dapat menyimpulkan sang maksud dan tujuan. Ro, ck ck. Gadis cilik itu pasti cerita mengenai insiden jatuh dari pohon dan kancing-tersangkut yang menimpa Nat beberapa saat yang lalu, kepada wanita itu. Dan pastinya saat ini image seorang Nathaniel Gladstone berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang pemuda kurang ajar yang menimpa gadis malang tanpa basa-basi demi suatu maksud terselubung. Great. Mampus deh.

Ia tergagap, berusaha mengumpulkan suaranya yang secara tiba-tiba menghilang tanpa izin--ketika makhluk itu datang. Terkesiap, sepasang matanya melebar, terlebih lagi ketika sang makhluk mungil mendarat cuek di atas bahu Marvil. Kupu-kupu? Jangan lagi. Nat perlahan bangkit, melangkah tanpa suara menghampiri gadis Slytherin itu, kemudian mengibaskan tangan dengan lembut ke arah sosok bersayap tersebut--yang segera pergi dengan keanggunan yang sama seperti waktu itu.

Marvil, kau tak sadar ada kupu-kupu kan?

Nathaniel meneruskan gerakannya, menepuk bahu sang gadis kesayangannya, tersenyum simpul dan berujar, "Apa kabar?" Senyuman dari seorang Gladstone--langka, mate. Lalu, sadar bahwa ia belum menanggapi ucapan bibi entah-siapa-itu, mulutnya kembali terbuka, suara khasnya mengudara lagi. "Anda... salah paham, Nyonya. Waktu itu saya--tidak sengaja. Maaf." Hembusan nafas sebagai penutup. Cukupkah kalimat itu sebagai jawaban?

Sepertinya tidak.

Labels: ,


7:41 AM