Wednesday, May 27, 2009

Pemakaman Ala Viking-#1

Matanya sakit. Duh. Berganti posisi lagi, kali ini ke kanan, sang gadis menghembuskan nafas dalam keputusasaan. Ia mengusap matanya yang terasa berat, merasakan cekung telah terbentuk di bawah sang kelopak. Keremangan yang menyelubungi terasa menusuk, bintik hitam putih melayang di depan titik fokus, membaur menjadi ribuan dan enggan enyah. Apa sih ini? Ia mengerjapkan mata, berusaha menghadirkan sensasi normal yang biasa. Aneh.

Amanda tidak bisa tidur.

Berguling lagi di atas tempat tidur. Pandangannya kali ini terpancang pada langit-langit kamar anak perempuan kelas empat Ravenclaw, kosong, menerawang tanpa acuan. Benaknya lelah, tubuhnya juga, tetapi ia urung memejamkan mata. Tidak bisa--karena sugestinya menolak, hatinya memaksa agar sang lensa tetap terbuka. Gadis itu menghela nafas sekali lagi. Sebenarnya... ia takut. Takut, jika ia tertidur, mimpi itu datang lagi. Mimpi buruk yang seminggu belakangan selalu menyapanya, menyeringai kejam dan menghujam batinnya--lagi, lagi, dan lagi. Mereka tak pernah bosan. Mereka tak mau tahu bahwa dirinya sudah lelah.

Mum, Dad, kalian tak mau meninggalkan anakmu ini atau bagaimana?

Amanda mengurut keningnya. Tidak tidur--pening. Entah bagaimana bisa fisiknya terkalahkan oleh paranoid semu, ia pun tak mengerti. Semenjak peristiwa penyerangan oleh para elemen pendukung Kau-Tahu-Siapa yang terjadi di Hogwarts Express beberapa waktu yang lalu, kedatangan para dementor, jeritan, luka, darah--dan yang terburuk, dibangkitkannya kenangan paling dalam, kenangan paling mengerikan yang ia miliki--semenjak saat itu film horor itu terus menerus diputar, berulangkali, scene yang sama, dan semakin lama semakin mengerikan. Setiap malam, dear. Jahat sekali. Sudah jelas kan, mengapa ia memilih untuk tak tidur malam ini. Gadis Ravenclaw itu sudah lelah ketakutan setiap saat. Letih terbangun dengan peluh di sekujur tubuh dan nafas terengah. Bosan. Kapan semuanya mampu terlupakan, ia tak tahu--karena itu yang mampu dirinya lakukan hanyalah mencegah. Tidak boleh?

Katakan ia bodoh. Memang.



Sial.

Sudah dua belas jam berlalu, mate. Dan akhirnya--ketakutannya kalah. Gadis itu tersentak, mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menemukan fokus terbaik. Haha. Tertawalah, dirinya pasti terlihat amat konyol saat ini. Well, tidak terlalu peduli sih, karena kekonyolan itu mengindikasikan satu arti lain. Mimpi buruknya bosan, hm? Bayangan mengerikan itu lelah mengikutinya, eh? Film horor tersebut letih mengejarnyakah? Berita bagus.

Amanda mengucek matanya, tersadar dimana dirinya berada. Di tepi danau. Di bawah pohon oak rindang, dalam posisi bersandar pada batangnya dengan buku rune kuno di pangkuan. Sigh, ia sudah menduga dirinya tak akan mampu bertahan tanpa tidur sama sekali. Dan, oh, bodohnya, bahkan langit pun mulai ditinggalkan sang biru, berganti jingga yang berkunjung. Berapa lama sudah ia tertidur di tempat ini? Kalau tidak salah, saat memilih tepi danau sebagai lokasi belajar siang tadi sembari menunggu kelas rune dibuka, kira-kira... pukul dua. Sekarang--

Pukul 6. 4 jam. Oh my.

Amanda melongo saat kedua lapis hazelnya menangkap angka yang tertera pada arlojinya. Jam 6? Empat jam penuh ia tertidur, dan itu berarti kelas rune terlewat begitu saja dengan suksesnya. Bodoh. Ia menggerutu kesal, merutuki kegigihannya tak tidur semalaman. Imbasnya baru terlihat sekarang, kan? Ck. Dan, tidak ada yang membangunkannya pula, astaga. Namun di samping segala rasa sesalnya--akibat ketinggalan satu kelas, terutama--terselip keheranan yang menyenangkan. Tidak ada mimpi buruk. Sama sekali. Tidurnya tak disinggahi mimpi, dan mungkin karena itulah ia tidur begitu pulas. Berhasil, untuk saat ini.

Masalahnya, kenapa bisa ia tertidur dengan nyaman di sini?

Gadis itu bangkit dengan sedikit terhuyung. Tanpa cermin pun ia tahu penampilannya tengah tak keruan saat ini. Hmph. Langkahnya bergerak perlahan menghampiri danau, berlutut, menatap refleksi dirinya yang dipantulkan dengan amat tak sempurna oleh sang air, samar akibat terbias matahari senja, namun cukup untuk mengetahui betapa kusutnya ia saat ini. Amanda membasuh wajahnya dengan air danau, membiarkan elemen bumi yang satu berkejaran melewati pipinya, turun ke leher dan membasahi jubah. Lumayan berhasil, karena fokusnya berubah lebih tajam dalam sekali basuh. Fine. Semoga tak ada yang lewat--

"Lacarnum inflamarae."

Hela nafas. Engselnya bergerak, mencari sang pencipta suara--eh? Disana, terlihat siluet dua orang yang ia kenal. Mallandrt dan... Trixie? Sedang apa? Ia bangkit, berjalan mendekat seraya mendekap buku rune kunonya erat. Hm... Itu. Katak sahabatnya, Mr. Wiebig, ter--bakar? Dan meskipun keremangan mulai jatuh, ia masih dapat melihat, dear. Sahabatnya menangis.

Amanda mengerti.

"Trix, aku... turut berduka cita," tuturnya lirih, berjongkok di samping Trixie dan menepuk kepala gadis itu perlahan. "Hei, dear. Jangan menangis, ya? Mr. Wiebig tak akan senang melihatmu menangis," lanjutnya seraya memeluk sahabatnya dari samping. Ah, ia tidak senang berada dalam situasi seperti ini.

"Sebaiknya kalian mencari tempat yang lebih memiliki privasi kalau ingin memadu kasih seperti itu."

Suara itu. Ia tahu. Amanda menghela nafas, menoleh untuk kesekian kalinya dan menatap anak laki-laki itu. Lazarus. "Diamlah, Lazarus." Ia menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar pemuda itu diam.

Tidak mengertikah anak itu bahwa Trixie tengah berduka? Payah.

Labels: ,


7:14 PM