Thursday, May 7, 2009

Meja Hufflepuff-#2


"Sama-sama."

Tangan kanannya menopang pipi di sisi yang sama, sementara posisi duduknya diubah sedikit menyamping. Kelereng kecokelatannya memantulkan siluet anak lelaki di hadapannya, melengkungkan senyum simpul di bibir sang gadis. Berharap apa yang dilihatnya merupakan mimik tanpa manipulasi, Amanda melirik dua bentuk bungkusan hadiah yang tergeletak manis di atas meja, merasa senang dapat menemukan senyuman tipis terlontar di wajah sahabatnya. Langka, kalau ia boleh jujur. Sensasi menggembirakan saat mengetahui kau dapat membuat seseorang gembira tengah berlaku detik ini, mampir di benaknya. Baguslah.

Makan? Gadis cilik itu terkerjap, sadar akan kelalaiannya memenuhi hak atas tubuhnya--belum makan dari pagi. Lupa. Ia meringis, merasakan gemuruh samar mulai bergejolak di bagian dalam perutnya. Tangan kanannya bergerak, meraih sepotong pai ayam milik Larry tanpa basa-basi, kemudian nyengir di tengah gerakan mengunyah yang segera menyusul. Cengiran tersebut betransformasi menjadi kuluman senyum saat pertanyaan sederhana yang diucapkan oleh anak lelaki di hadapannya terdengar. "Well, lihat saja sendiri, Larry," balas Amanda singkat, masih disertai senyuman simpul, jemarinya sekali lagi menyambar potongan pai--iseng. Bukan sekedar ingin membuat penasaran, sebenarnya. Lebih karena rasa khawatir senyum di wajah sahabatnya akan memudar ketika mengetahui apa yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun. Kecemasan berlebihan--well, dirinya tak berharap banyak Larry akan senang mendapatkan arloji dan buku yang tak seberapa. Err... ya, setidaknya ia berharap.

Menatap kembali wajah khas seorang Jonathan Larson Baned entah mengapa membangkitkan kembali kemelut bayangan insiden jembatan beberapa bulan lalu, peristiwa paling nekat dan memalukan sepanjang hidupnya, realisasi kebodohan tak terhingga dari seorang Amanda Steinhart. Rasa penasaran akan sikap Larry yang tak biasa ketika itu masih tersisa, kalau ia boleh jujur. Namun dirinya tak pernah berani bertanya lagi, tak siap menerima reaksi dari sahabatnya, tak ingin sikap pemuda Hufflepuff tersebut berubah. Tidak. Amanda lebih memilih terperangkap dalam keingintahuan daripada mendapatkan sikap dingin seperti waktu itu. Mungkin memang seharusnya ia mengubur sang kisah musim gugur dalam-dalam, membiarkannya lekang oleh waktu tanpa tersisa. Lupakan hal menyesakkan yang mendera--namun tidak dengan yang satu itu. A hug--seorang sahabat untuk sahabatnya, menghadirkan ketenangan yang tak terdefinisikan. Harus diakui, hal tersebut tak bisa dikatakan tidak membuatnya terkejut, but fine for her, exactly. Sebuah statement terbentuk di benaknya segera setelah kejadian tersebut--kepedulian itu ada. Diantara tebaran sikap dingin serta keacuhan yang tampak, Amanda yakin, meskipun dengan rasio perbandingan yang rendah, Larry peduli padanya. Bantah saja, bagaimanapun dirinya tetap yakin. Dan... semoga kepedulian itu hadir hari ini.

Butuh bantuanmu, Larry. Sangat.

"Err... Larry," kalimat pembukaan. Amanda menyelipkan rambut kecokelatannya ke belakang telinga sebelum melanjutkan, "Um... Aku butuh bantuanmu." Kali ini ia memainkan jemarinya dengan gelisah, menghela nafas berat melalui mulut. Kecemasan mulai menjangkiti hatinya lagi seiring detik yang berlalu. Satu-satunya orang yang mungkin ia mintai tolong hanyalah Larry, opsi lain terhapus dengan berbagai alasan klasik. Mau bagaimana lagi, ia harus bertanya. Setidaknya mencoba, dengan segenap harapan.

"Begini..."

Dan meluncurlah seluruh masalah secara gamblang melalui bibirnya, terucap disertai mimik kekhawatiran yang terpasang jelas di wajah. Segalanya. Mengenai perkamen surat yang ia dapatkan beberapa hari yang lalu dan datangnya kabar yang luar biasa menyentaknya. Dituturkannya secara keseluruhan--tiga serangan telah dilancarkan di tempat dan waktu yang berbeda, namun dengan incaran yang sama. Leander. Kakaknya. Dan yang terdekat adalah serangan terakhir, ledakan berskala medium terjadi tepat di halaman belakang tempat tinggalnya, Highbury Crescent nomor empat, menghancurkan tembok bagian timur dan memporakporandakan kebun anggrek terpelihara milik Bibi Antoinette. Sampai disitu kabar yang ia terima, meskipun hatinya amat yakin informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi tidak diberitahukan kepadanya secara keseluruhan. Ada yang disembunyikan--apapun itu, Leander dan Paman Amethyst melarangnya untuk pulang ke rumah saat libur musim panas nanti. Dilema, namun yang pasti sebuah keputusan harus diambil.

Sudah diputuskan.

"Begitulah, Larry," tutupnya dengan lesu, tetap diiringi oleh hela nafas bingung. "Yang ingin aku tanyakan, um..." Amanda menatap sahabatnya lekat, menggigit bibir bagian bawah. Berharap. "...bolehkah aku tinggal di rumahmu libur musim panas nanti?"

Tahu? Tidak ada solusi alternatif. Huft.

Labels: ,


10:27 PM