Friday, May 29, 2009

The Saxophone-#1

"KAU LENGAH, NATHANIEL GLADSTONE! APA SAJA SIH KERJAMU?"

Lalu terbakar begitu saja.

Shocked. Anak laki-laki itu terpaku selama beberapa saat, sorot matanya menampakkan keterkejutan--oh, man. Nathaniel mengatupkan mulutnya yang sedikit terbuka, mengangkat tangan kanannya saat kesadaran telah hadir kembali, kemudian mengacak rambut hitamnya untuk mengenyahkan serpihan perkamen hangus. Sepasang lensa kecokelatannya mengerling gusar ke arah bisikan dan tawa samar yang terdengar dari sisi sebelah kanan tempat ia duduk, nafasnya terhembus sarkastik.
Howler. Astaga.

Leander, lihat saja kau.





Awal term yang menjengkelkan. Sigh.

Langkahnya berderap samar--bergerak perlahan menerobos kepungan rerumputan berkilat yang terhampar di sepanjang area halaman kastil, kedua tangan dalam saku sementara kepalanya menunduk menatap rute yang akan dipijak sepasang kakinya dalam ruang lingkup yang hanya tertangkap beberapa jengkal. Suntuk. Keramaian yang merambati telinganya tak ia hiraukan, benak anak lelaki tiga belas tahun itu tengah berkutat dengan pikiran tersendiri. Masalah howler yang datang di hari kedua tahun ajaran baru masih menyisakan rasa kesal berlebih di hatinya, ngomong-ngomong.

Nathaniel menghentikan langkahnya ketika raganya telah tiba di bawah pohon chestnut rindang--tempat terjadinya peristiwa paling memalukan yang terjadi tahun lalu--nope, tetapi hari ini ia enggan membahas masalah tersebut, oke. Yang menyita pikirannya saat ini adalah--well, ia sudah bilang kan, masalah howler dari kakak sepupunya, yang membuatnya terpaku beberapa detik dengan semburat merah di wajah akibat rasa malu. Nice. Pemuda Gryffindor itu duduk, menyandarkan punggungnya ke batang pohon besar di belakangnya, tangan kanannya mencabut sehelai rumput di dekat kakinya yang bersila, memuntirnya tanpa tujuan. Sebenarnya, membahas dan memikirkan masalah yang satu itu, lagi, tak memberikan keuntungan baginya--tentu saja tidak, ia tahu. Hanya saja, entah, didasari rasa jengkel yang berkolaborasi dengan perasaan bersalah yang menggantung, mungkin.

Leander Steinhart, Sir, Anda terkadang terlalu over protektif. Nat salah, fine, memang. Ia salah karena tak mencari Amanda sejak awal Hogwarts Express diberangkatkan. Ia lelah, by the way, tak ada yang sempat mengantarnya dari Highbury Crescent ke Stasiun King's Cross--Dad pergi sejak sehari sebelumnya, dan Leander bertugas di Kementrian, seperti biasa--sehingga ia dengan terpaksa harus menggunakan transportasi muggle. Sendirian, karena Amanda berangkat dari rumah Baned, ha. Guess what? Dirinya tak mengerti sama sekali--tersesat amat jauh, ia beruntung tiba di peron 9 3/4 tepat saat peluit keberangkatan dibunyikan. Ck. Dan hal yang dilakukannya adalah mencari kompartemen kosong terdekat, menghenyakkan tubuh di sudut, lalu tidur. Bahkan saat peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh para oknum bertudung tak bertanggung jawab itu terjadi, ia baru terbangun di akhir, bergegas mencari sepupunya dan menemukan gadis itu meringkuk di sudut salah satu kompartemen. Sendirian dan gemetar hebat. Dimana Baned, eh? Tidak tahu.

Mau menyalahkan siapa kalau sudah begitu, hm?

Setelah itu, melengkapi kebodohannya--well, mungkin kalian menganggap apa yang ia lakukan adalah hal yang bodoh, namun baginya itu adalah hal yang seharusnya dilakukan pertama kali--mengirim surat ke Dad, menceritakan semua yang terjadi. Sayangnya, benaknya alpa bahwa mengirimkan surat kepada sang ayah sama saja dengan mengirimkan surat kepada Leander, sama saja dengan mengakui kesalahannya karena tak menjaga Amanda sesuai janji. Tetapi--oh, please, howler? Bukankah itu sedikit berlebihan melihat fakta bahwa sepupunya baik-baik saja? Baik, dirinya salah, ia minta maaf.

Tetap saja. Howler itu sukses membuat moodnya jatuh.

"Ttttoooooooooeeeeeeeetttttttt."

Nat tersentak, benaknya keluar dari topik pemikiran, berganti haluan. Apa sih? Suara itu. Familiar. Seperti... Kepalanya menoleh, mencari sumber suara. Ada, disana. Itu--Holmquist? Guratan terbentuk di keningnya seiring dengan gerakan bangkit yang anak laki-laki itu lakukan. Penasaran. Sepasang kakinya mulai melangkah lagi, kali ini tepat menuju tempat gadis Slytherin itu duduk dengan--sebuah Saxophone, tidak mungkin salah.

"Well, Holmquist. Jangan merusak alat musik favoritku seperti itu," ujarnya dengan wajah datar, lensa hazelnya mengerling sang alat musik. Tua. Tetapi tetap menarik baginya. Nat bersedekap, sorot matanya menangkap siluet kertas yang tergeletak begitu saja di atas rumput, alisnya terangkat. "Dijual, eh? Wohoo, yang benar saja. Jangan, saranku."

Menjual saxophone antik? You must be kidding him.

(OOC : Open for all now :3)

Labels: ,


3:57 PM