Monday, May 4, 2009

The Phoenix and The Turtle-#3


Biasa--saja. Please.

Amanda menelan ludah sekali lagi. Sulit, tahu. Ketika orang yang kau kagumi tengah berdiri di hadapanmu, ada tiga hal yang biasanya akan terjadi. Pertama, bersikap norak dengan terpekik-pekik tak jelas dan ber-'oh-my-God' ria--dilakukan para gadis pengidap fanatikisme dan sindrom lebayisme akut. Kedua, kabur atau pura-pura tak melihat karena nervous--banyak kasus yang terjadi di depan matanya, serius. Dan yang ketiga, bersikap normal seakan yang berdiri di hadapannya hanyalah seseorang yang tak dikenal, tanpa mimik terkejut maupun tergagap tak jelas--dengan sukses dilaksanakan oleh para pribadi lihai yang pandai memanipulasi sikap menjadi yang seharusnya. Seorang Amanda Steinhart jelas absolutely amat sangat bukan salah satu dari pengidap fanatikisme. Tidak. Ia bukan tipe gadis seperti itu, oke. Dirinya juga bukan seseorang dari kubu opsi kedua--ia tidak kabur saat ini, rite? Dan akui saja, juga bukan anggota opsi yang ketiga. See? Sikapnya tidak tenang, ia tak pandai memasang mimik tak terpana, juga tak lihai menghilangkan kegugupannya--seorang Amanda Steinhart bukan personil ketiga pilihan di atas. Well, ketiga opsi tersebut tercampur aduk di benaknya.

Harus mampu menjadi yang ketiga, Amanda.



She's trying.

Kalimat tanya yang kemudian diucapkan oleh prefek Al-Kazaf membuatnya mengerjapkan sepasang matanya. Kan. Kegugupan yang melandanya memang sedikit tak wajar, dan tindak-tanduknya tersebut kelihatannya menghasilkan persepsi yang salah. Payah, deh. "Aku baik-baik saja, Prefek--" ujarnya dengan senyum yang diusahakan sekuat tenaga agar kelihatan normal, "--dan tidak ada yang salah dengan dirimu, sungguh." Yeah, cukup berhasil hingga saat ini. Setidaknya tak separah awal.

Fine, urusannya sudah selesai. Buku yang ia cari telah ia dapatkan, saatnya kembali dengan tujuannya semula. "Err, kalau begitu aku permi--" ucapannya terhenti seketika saat sudut matanya menangkap gerakan dari atas kepala senior di hadapannya. I-itu... Senyuman lebar mengembang di bibir sang gadis, matanya berkilat dengan binar ketertarikan. Seekor musang. Musang kebanggaan para punggawa Hufflepuff, dengar-dengar. Dua kali sudah ia melihat makhluk tersebut secara langsung--kesempatan lain adalah saat kejadian munculnya polusi tak sedap di dekat Dedalu Perkasa--dan oh, seandainya Ravenclaw memiliki hewan pribadi seperti asrama kuning tetangga. Amanda mengangguk paham saat prefek Al-Kazaf memberi isyarat agar ia tak berisik. Ia masih tersenyum seraya mendongak menatap makhluk lucu tersebut, melupakan keinginannya untuk beranjak kembali ke meja baca, ketika sebuah suara membuat kepalanya menoleh. Suara seorang anak lelaki--memanggil kapten Al-Kazaf.

Well, Amanda tahu pemuda itu. Salah satu yang berada di tempat kejadian perkara perusakan buku Rune Kuno miliknya oleh senior McKay--senior Eastwood, rite? Ia melempar senyum seraya mengangguk sopan kepada sang senior, benaknya berputar saat kalimat berikutnya yang diperdengarkan hinggap di telinganya. Benar juga. Prefek Al-Kazaf kelihatannya selalu membawa sang musang kemana-mana. Ke Dedalu, dan sekarang ke perpustakaan. Hanya pendapat, kesimpulan dari apa yang ia lihat. Jikalau benar--wogh, ia kepingin. Gadis itu mengangkat tangannya, hendak menyentuh makhluk mungil bernama musang yang masih tetap bertengger di atas kepala pemuda di hadapannya... dan interupsi lagi-lagi mampir.

"Pacarmu, kapten?"

A-APA? Tangannya mengambang di udara, sementara tubuhnya terpaku. Pertanyaan macam apa itu? Menyadari posisinya, Amanda cepat-cepat menurunkan tangan kanannya, kemudian menoleh ke belakang. Ada senior Beau ya? Ti-tidak ada ternyata. Ia mengerjapkan mata sekali, dua kali, menatap senior Eastwood dengan mulut sedikit terbuka. A-apakah yang dimaksud adalah dirinya? ASTAGA. "Bu-bukan, Senior," timpalnya dengan gugup, menelan ludah sekali lagi. Bagaimana bisa senior Eastwood mengambil kesimpulan seperti itu?

"Hai semuanya, benarkah ini pacarmu senior?"

HAH? Amanda mengerutkan kening dan melempar tampang tak percaya kepada seorang junior perempuan yang menudingkan jari telunjuk ke arahnya. Apa sih? Apakah dirinya dan Prefek musang itu terlihat tengah berpacaran? Statement yang terlontar di benaknya barusan secara spontan menghadirkan semburat kemerahan di wajahnya. Hei, hei, sadar Amanda. Jaga perasaanmu itu, bodoh. Suara bersin nyaring menyentakkannya dari lamunan, mengalihkan wajahnya kembali kepada gadis cilik bersapu tangan. Berdeham sekali, Amanda lalu berkata, "Bukan, anak manis, aku--bukan pacar Prefek ini," kali ini giliran telunjuknya yang menuding ke arah Prefek Al-Kazaf. Duh, maaf, tidak sopan sebenarnya menunjuk orang seperti itu. Habisnya--

"Bukannya kakak itu pacar kakak Jona yah?"

Ya ampun. Kali ini Amanda tersedak. Apa lagi ini? Seorang gadis mungil berambut keriting datang, mengajukan pertanyaan yang--well, membuatnya ingin tertawa, kalau kau mau tahu. Jona? Pacarnya? Astaga. Amanda mengulum senyum, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan wajah sang gadis-cilik-imut--siapa? Danielle kalau ia tak salah dengar barusan--kemudian bergumam pelan, "Well, kalau yang itu mungkin."

He? Ngomong apa sih kau, Amanda?



"Bercanda, dear," tawanya berderai lirih seraya mengacak rambut Danielle. "Kakak Jona itu sahabatku, Danielle yang manis," lanjutnya dengan senyuman simpul sebagai penutup.

Banyak tukang gosip di Hogwarts, ternyata.

Labels: ,


4:32 PM