Sunday, May 3, 2009

Shape of My Heart-#6


Benar, kan? Dirinya merasa menjadi orang yang paling bodoh di jagat raya--saat ini.

Well, seperti yang telah ia duga sebelumnya, kemungkinan terburuk tengah berjaya di bawah naungan musim gugur tahun 1980. Khususnya bagi seorang gadis cilik empat belas tahun Ravenclaw bernama Amanda Steinhart. Di antara beragam kejadian yang tersedia sebagai opsi untuk dipilih, disusul keputusan akhir serta konsekuensi yang hadir, tak dapat dipercaya--yang terburuklah yang mendominasi. Segala hal yang tak diinginkan menyerangnya bagaikan air bah, menenggelamkannya dalam kenelangsaan tak bertoleransi yang menyesakkan. Tak ada yang berhak untuk disalahkan kecuali dirinya sendiri--tidak juga secarik perkamen yang telah teremas di tangannya. Tidak. Ia yang menciptakan surat tersebut, maka tak pantas jika ia menimpakan kemarahan kepada benda tanpa kehidupan alih-alih kepada dirinya sendiri. Tak pantas tangannya terkepal erat dengan benda itu dalam genggaman, tak lagi berbentuk. Dirinya yang salah. Jangan. Menyesal.

God. Apapun yang ia lakukan untuk menguatkan diri sendiri--sungguh, ia tak mampu tegar saat ini. Dan harus ia akui... sesal itu ada.

Sekarang punggung telapak tangannya turut basah. Amanda terisak lirih, masih menutup kedua matanya dengan satu tangan--tangan yang sama, yang menggenggam sang perkamen, sementara tangan pasangannya masih menggenggam lengan sahabatnya erat. Kalimat ayo-pergi-larry yang terucap dari bibirnya beberapa saat yang lalu tak jua menghendaki sepasang kakinya untuk bekerjasama, tetap melekatkan rasa lemas yang entah bagaimana caranya malah mematrikan bagian bawah tubuhnya di atas lantai jembatan tanpa mampu bergerak. Apa, Amanda? Masih tak mampu menerima kenyataan? Mati saja kalau begitu.

Tak ada tanggapan. Belum. Kedua matanya terpejam, masih menangis--benar-benar memalukan, ya--tetapi tanpa melihatpun Amanda dapat merasakan anak lelaki di hadapannya mulai bergerak. Dan, fine, Larry benar-benar melangkah, diiringi sepatah kalimat yang menghujam hatinya hingga ke dasar.

Untuk apa menangisi orang yang bahkan tak akan menangisimu?



Isaknya terhenti. Statement itu--luar biasa benar. Klise baginya, namun keakuratan tanpa keraguan yang terkandung di dalamnya membuat Amanda terhenyak, tubuhnya meremang. Yeah, untuk apa pula ia menangis? Untuk siapa tepatnya ia menangis? Lazarus. Kebodohan tingkat dewa, benar, karena--ia berani bertaruh nyawa untuk mengatakan bahwa pemuda yang menyebabkan ia menangis sama sekali tak peduli. Sama sekali. Bahkan melirik pun tidak. Jadi? Satu hal lagi, menguatkan keberadaan label 'bodoh' yang melekat pada dirinya. Sempurna. Amanda menyeka air matanya, tetap dengan punggung tangan yang sama, bertepatan dengan terlepasnya genggaman tangannya pada lengan sahabatnya--Larry. Pergi. Ia mengangkat wajah. A-apa?

Kedua lensa bening kecokelatan sang gadis menatap punggung sang anak lelaki Hufflepuff dengan sedikit kilatan tak percaya. Lagi? Kenyataan terhempas kepadanya--lagi? Larry tidak peduli. Sahabat yang paling ia sayangi pun tak peduli. Tak ada, memang. Ia memang ditentukan menjadi seseorang yang tak digubris, seseorang yang terlupakan, dan seseorang yang ditinggalkan. Tidak perlu protes, karena toh tak ada gunanya. Terima saja, Amanda. Lengkapi kepingan kehidupanmu, ya? Ya. With pleasure. Gadis itu menyeka keras-keras keseluruhan matanya yang basah, menghapus total jejak kelemahan yang terlanjur hadir beberapa saat yang lalu. Tidak. Boleh. Menangis. Lagi.

Lihat. Larry semakin jauh. Apakah kau akan diam saja, Amanda? Membiarkan anak lelaki itu pergi tanpa penjelasan sedikitpun mengapa sikapnya begitu tak peduli seperti itu? Ia tak mengerti mengapa benaknya menyatakan bahwa sahabatnya tak melakukan hal itu--meninggalkannya--tanpa sebab. Ada sesuatu. Dan kemungkinan besar adalah kesalahan Amanda. Akhirnya sepasang kakinya mengaktifkan kembali saraf mereka dengan seharusnya, sukses bergerak, melangkah cepat mengejar sahabatnya. Dengan sedikit terhuyung--kakinya masih lemas, FYI--Amanda setengah berlari, dan setelah berada dalam jangkauan ia menarik lengan sahabatnya sekuat yang ia mampu untuk menghentikan langkah sang anak lelaki, serta menyentakkannya agar Larry berbalik dan berhadapan dengannya. Bagaimanapun. Caranya. "Larry," ujarnya dengan nafas tersengal, imbas kolaborasi kelelahan dan emosi yang sesungguhnya. "Kau. Kenapa sih? Marah padaku? Ada masalah?" Nada tinggi itu tak seharusnya kau lantunkan, Amanda. Terserah, yang pasti kali ini kemarahan yang menguasainya. Ia sudah lelah diam saja. Ia capek menjadi pribadi lemah yang tak melakukan apapun di saat dirinya terpuruk. Sudah cukup. Kau harus menjelaskan, Jonathan L. Baned. Harus.

Hei, apa-apaan sih, Steinhart?



Amanda mendesah frustasi. "Salahku, kan? Tentu saja. Aku salah--lagi." Ia memejamkan mata sekali, kemudian melempar pandang ke arah lain, enggan menatap wajah pemuda di hadapannya. "Maafkan aku, kalau begitu."

Sudah. Tak menjawab juga tak apa, Larry. Langkahkan kakimu tanpa sepatah katapun, ia pun tak keberatan. Gilirannya untuk tak peduli, ya?

Labels: ,


7:28 PM