Tuesday, June 16, 2009

19.00-#2

Di tempat yang berbeda, sudut pandang turut berbeda. Berdiri pada koordinat yang berbeda pula. Kerlingan matanya kini terarah pada kepekatan sang penaung bumi di atas sana, berusaha mengabaikan para bulir putih bersih yang jatuh bebas, masih berharap dapat melihat setitik pendar keemasan mengerjap. Sama saja. Nihil. Perbedaan itu sama sekali tak berpengaruh. Bahkan menjejak di atas menara tertinggi pun tak mampu merealisasikan harapannya.

Hei. Itu tidak penting sekarang, Amanda.

Benar. Perhatiannya kali ini tertuju lurus, masih dan belum berubah, kepada wajah di hadapannya. Tidak suka. Gadis itu tak senang melihat relief wajah seperti itu. Katakan ia sok tahu, silahkan--tetapi seandainya kalian semua bersedia untuk percaya, gadis lima belas tahun yang tengah berdiri disana itu memiliki kemampuan untuk membaca mimik secara akurat. Dan tak ada gunanya kau berbohong--tertebak. Serius. Amanda mengerjap, menegakkan kepalanya dan menunggu. Ada apa dengan sahabatnya, hm?

Oho, kedutan di bibir seperti itu tak perlu kau lontarkan, Jonathan. Sang gadis tertegun sejenak, sepasang alisnya merapat saat melihat sosok di hadapannya melepas syal yang dikenakan kemudian-- memberikannya? Eh? Selama beberapa detik ia hanya terdiam, menatap syal dan pemiliknya secara bergantian, lensa kecokelatannya berpendar tak mengerti. Apakah barusan ia mengungkapkan bahwa dirinya kedinginan? Rasanya tidak. So, dua kemungkinan, Larry berspekulasi, atau--gestur tubuhnya menunjukkan seperti itu? Ia tak merasa, sungguh. Well, apapun itu, ada yang aneh--kegugupan itu hadir. Tanpa alasan yang jelas dan tanpa bisa dicegah. Amanda menunduk, menatap sepatunya sekilas, kedua tangan di dalam saku. Jadi, hendak membiarkan saja tangan Larry terulur, dear? Atau bahkan menolak? Ia tahu, itu bukan sikap yang baik. Menolak niat baik seseorang itu bukan sikap yang tepat--tetapi benaknya terus berbisik, memberi sebuah sugesti yang telah seringkali timbul di beberapa momen dan telah terpatri dalam. Jika dirinya menerima syal tersebut... ia akan terlihat lemah. Payah, dingin pun mampu mengalahkannya. Tapi--

Oh ayolah, Amanda. Akankah kau menolak untuk kedua kali? Seperti saat insiden di danau tiga tahun yang lalu?

"Larry, err--maaf... Aku... sudah mengenakan jubah... um, see?"



Seperti itukah? Tidak. Tidak lagi. Amanda menggerakkan tangannya perlahan, menerima benda khas asrama musang tersebut dengan sedikit ragu. Senyum lemah terlukis. "Terima kasih." Kemudian diam. Hanya digenggam, tak dipakai. Ia tidak kedinginan, kok. Tidak terlalu.

"Aku oke. Kenapa ada disini?"

Oke, katanya. Sang gadis memperkecil pupil miliknya, melempar tatapan menyelidik. Oh my, Larry, kau bohong. Seorang Amanda Steinhart tak dapat dibohongi, dear. Ia menghela nafas, membiarkan keheningan kembali memimpin sejenak. Kau tahu apa artinya itu? Bahkan sahabatnya tak percaya padanya. Hal yang wajar--ia bukan pendengar terbaik. Bukan tempat yang tepat untuk menumpahkan segala keluh kesah. Juga bukan sahabat yang baik. Begitukah? Ah, ya, dan mengenai pertanyaan yang terlontar... Kenapa, Amanda? Kenapa kau kesini? Itu--

Untuk bertemu denganmu, Larry, apalagi.



"Err... Langit disini... sepertinya bagus." Apakah benar ia yang berbicara barusan, ha? Terdengar aneh, sangat, nada gugup itu masih melekat. Ia tak pandai berbohong, ternyata.

"Bisa tolong temani-sebentar? Ahaha."

Amanda mengerjap, menatap manik sang pemuda Hufflepuff, tak kuasa menahan senyum heran. "Tentu. Mengapa tidak?" ujarnya gamblang, kemudian langkahnya berputar menuju ambang jendela. Boleh jujur? Ia tengah merutuki dirinya sendiri detik ini. Bertanya dan protes karena tak menemukan jawaban mengapa sensasi berdesir itu merayapi hatinya. Sensasi menyenangkan--jangan tanya kenapa. Gadis dengan surai kecokelatan itu mengangkat wajah, untuk yang kesekian kalinya menelusuri langit malam penuh kesuraman tanpa titik cerah, sadar sepenuhnya bahwa peneropongan bintangnya hari ini gagal total, berganti tujuan. Menemani sahabatnya. Hm...

Masih ada yang mengganjal di hati. Ia belum tahu ada apa dengan Larry, rite? Tidak bisa begitu. Sama sekali tak bisa. Namun dirinya juga tak memiliki hak untuk memaksa--terlebih jika menilik sikap sang sahabat yang terlihat begitu enggan memaparkan dan menjelaskan. Ya... oh, Larry harus dengar sesuatu.

"Hei, Larry," panggilnya lirih, pandangan tak beralih, tetap lurus ke atas sana, kepada sang maha langit. Ada sesuatu--yang tiba-tiba terlintas. "Apakah kau pernah mempelajari kimia? Materi muggle, yeah, memang. Menarik tapi, bagiku." Jeda sejenak, menarik nafas dan menghembuskannya cepat. "Ada satu... yang selalu kuingat hingga detik ini sejak pamanku menjelaskan panjang lebar--satu, yang selalu kujadikan perbandingan." Amanda menunduk, tercenung sebentar, kemudian menoleh dan menatap sahabatnya, lagi. "Apakah kau pernah mendengar istilah... ikatan kovalen dativ, eh, Larry?"


"Ti...dak mengerti, Paman. Haha."

"Ck. Mudah kok. Dua molekul saling berikatan, erat, dan menggunakan elektron secara bersama-sama. Itu saja."

"Itu... namanya?"

"Ikatan kovalen."

Gadis cilik itu mengangguk, mulutnya membulat. "Yang ini? Sama saja, ya?"

"Tidak. Berbeda, dear. Itu ikatan kovalen dativ."

"Bedanya?"





Tak menunggu jawaban. "Kovalen dativ, istilah yang seringkali membuatku tersenyum--well... Persahabatan itu ibarat ikatan kovalen dativ, Larry--" Engsel lehernya kembali berputar, menatap keluar jendela tanpa fokus yang jelas, kemudian melanjutkan, "--mengikat, namun tak mengekang. Dan yang membuat mereka unik, berbeda dan menyenangkan--" Amanda menyelipkan rambut kecokelatannya ke belakang telinga, tersenyum, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. "--mereka selalu berbagi."

Hei. Melantur.

"Kuharap persahabatan kita juga seperti itu."

Mengertikah? Tidak juga tak apa. Detik berikutnya gadis itu tersentak, mendengus tak percaya. Untuk apa ia berujar seperti itu? "Ah, maaf, Larry. Lupakan."

Labels: ,


3:36 PM