Thursday, June 25, 2009

19.00-#3

Ia cerdas?

Tidak. Selalu terlontar dari berbagai penjuru, namun mereka tak tahu bahwa kalimat tersebut tak tepat jika ditujukan padanya. Tidak cerdas. Pintar--sebagai seorang Ravenclaw, mungkin. Hanya pintar dalam mengingat, dear. Namun tak cerdas dalam bertindak. Tak pandai dalam memilih kata-kata yang terucap. Tak handal berpikir cepat maupun mengontrol benak, selalu mengalah kepada perasaan. Itulah Amanda Steinhart. Dan itu--fakta.

Bukti?

Apakah peristiwa yang telah terjadi selama ini tak cukup untuk menunjukkan sang elemen bertajuk bukti? Ia rasa cukup. Setahun lalu--jika ia diizinkan untuk kembali membahas insiden 'aneh' di jembatan--semua terjadi akibat kebodohannya, kelalaiannya dalam menahan ucapan, hati kecil yang begitu mendominasi, dan lain-lain, dan lain-lain. Tanpa keraguan, dan apakah kalian masih menganggapnya gadis Ravenclaw yang pintar? Jangan, sarannya. Ia bukan Ravenclaw sejati, dan nampaknya tak akan pernah bisa. See, dan malam ini kebodohan itu terjadi lagi. Terjadi lagi akibat kelugasan sang indera bicara, dan tercipta tanpa membolehkan saraf otaknya berpikir dua kali.

Kuharap persahabatan kita juga seperti itu.

Naif. Gadis itu masih terpaku di tempat, sorot matanya kini terpancang tanpa fokus ke arah kepekatan di luar sana, membiarkan desau angin menusuk kulitnya dan menghempas helai kecokelatan yang jatuh di pipinya. Menggigit, nyaris beku. Namun bergeming, tak ada keinginan untuk menggubris syal dalam genggaman. Bukan enggan dan tak menghargai, bukan itu. Hanya saja benaknya terlalu sibuk tertawa, menertawakan sang diri atas statement yang meluncur begitu saja beberapa saat yang lalu. Kuharap--kata pengantar yang merujuk kepada harapan dan permintaan. Entah, ia sama sekali tak mampu memprediksi bagaimana tanggapan Larry, tetapi rasanya kalimat yang ia ucapkan barusan, yang kini berulang di dalam kepalanya, terdengar amat konyol. Terdengar memaksa, ya. Maaf, dirinya sama sekali tak bermaksud memaksa anak lelaki di sampingnya untuk berbagi, tidak--terserah Larry. So, mengapa pula ia melontarkan penjelasan panjang lebar layaknya tadi, hm? Dasar bodoh.

Belum tentu juga sahabatnya mengerti. Dan... belum tentu juga seorang Jonathan L. Baned berpikiran sama dengannya.

Hanya khawatir. Itu saja. Tak bolehkah? Salahkah ia jika mencemaskan sahabatnya? Salahkah jika hatinya hendak menawarkan bantuan?

Tubuhnya ngilu, ngomong-ngomong. Amanda mengangkat kedua tangannya, kembali menghembuskan nafas tepat ke arah jemarinya, berusaha mengenyahkan rasa dingin yang mengekang. Ck, payah.

Tersentak, kali ini. Respon itu akhirnya datang, berupa kalimat yang membuatnya terpaku di titik ia berdiri. Tak mau lagi... membentuk ikatan kovalen dativ? Amanda memutar tubuh sembilan puluh derajat, sepasang hazelnya mengerjap tak mengerti sementara guratan samar terbentuk di keningnya. Tertegun sejenak saat menyadari jarak antaranya dengan pemuda Hufflepuff telah bertambah dekat tanpa peringatan, ia merasakan dentum kardionya berjalan tak wajar.

Eh? Kenapa, Amanda?



Itu hanya Larry, dear, tak perlu gugup begitu.

Benar. Sang gadis menatap sepasang manik redup milik seseorang di hadapannya, melempar pandangan tak mengerti. Apa maksud pertanyaan itu?

Tak perlu berspekulasi terlalu lama, ternyata. Penjelasan konkrit mendarat bersamaan dengan pertanyaan kedua yang bergaung di udara. Dan hatinya mencelos. Pertanyaan yang satu ini--benar-benar terhempas kuat ke arahnya, membuat tubuhnya meremang, sensasi menyesakkan memenuhi rongga diafragmanya.

"Ke-kenapa?"

Spontan. Tak terpikir kata lain dalam benak. Kenapa? Ada apa? Kenapa Larry berkata seperti itu?

"Aku--salah apa?"

Jantungnya kian berderap cepat. Amanda menelan ludah, merilis nafas berembun yang tanpa sadar tertahan sejak tadi. Ada yang salah. Ia telah melakukan suatu kesalahan, ya kan? Sialnya, ia tak tahu apa. Ia tak sadar atau bagaimana--ia pun tak mengerti. Gadis Ravenclaw itu kini menunduk, menatap sepatunya sementara benaknya berputar cepat, membuka arsip memori yang tersimpan. Apa yang salah? Apa yang telah ia lakukan hingga Larry enggan bersahabat lagi dengannya? Terpekur, Amanda memilin syal dalam genggamannya, berbagai macam hal berkelebat dalam kepalanya. Ayolah, temukan satu alasan yang kira-kira menjadi penyebab.

Well, tampaknya kesalahannya memang banyak. Ingat--insiden di jembatan, yang nampaknya membuat Larry berubah sikap, entah mengapa. Dan ia baru sadar, dirinya telah banyak menyusahkan sahabatnya yang satu ini, merepotkan selalu. Atau mungkin, kesalahan utama terletak pada penjelasan ikatan kovalen dativ yang terpapar beberapa saat lalu? Mungkinkah?

Sama sekali tak tahu. Oh my. Ini buruk.

"Aku... minta maaf kalau begitu, Larry," ujarnya lirih, masih menunduk menatap sepatu olahraganya, dan detik berikutnya sang tangan kiri telah terayun, menyodorkan syal kuning-hitam kepada pemilik aslinya. "Ini. Kau saja yang pakai."

Action block. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Maaf.

Labels: ,


2:34 AM