Sunday, June 28, 2009

19.00-#4

What's wrong with me?
What's wrong with us?
What's wrong with we?



Ada yang tidak beres.

Untuk kedua kalinya harus terucap di dalam hati--ada yang salah disini. Bukan hanya satu hal, lebih, dan sama sekali tak terdefinisi apakah kesalahan itu buruk atau sebaliknya. Salah, ya--dua poin.

Poin satu. Ada yang mampu menjelaskan mengapa hatinya mencelos terus menerus? Mencelos saat menyadari seorang Jonathan Larson Baned berada di dekatnya, beriring dengan berlarinya sang kardio tanpa aba-aba disertai desiran asing yang anehnya terasa--menyenangkan. Apa sih ini? Seseorang, siapapun, tolong beritahu gadis itu, karena ia tak mengerti. Sindrom penyakit baru, mungkin, muncul jika bertemu dengan pribadi tertentu. Atau ada masalah dengan sistem sarafnya, mengakibatkan gejala peningkatan tempo detak jantung dan menimbulkan desiran abnormal dalam aliran darah. Atau, kemungkinan lain, diafragmanya tak bekerja dengan baik, menghadirkan efek paralel menuju organ lainnya, mencelos disana, berderap disini, berdesir di tempat lain. Tidak tahu, dan ia sama sekali tak berpura-pura bodoh.

Hah. Bohong.



Fine, benak, kau menang. Ia bohong? Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan seperti itu. Yang benar adalah, dirinya menyanggah. Ya, karena jika gadis lima belas tahun itu boleh mengungkapkan kejujuran, perasaan seperti ini pernah ia rasakan, sekali. Perlukah ia membahasnya lagi? Rasanya tidak, sudah cukup. Perasaan ini--sama seperti setahun yang lalu. Sayangnya, apa yang ia lakukan saat itu dengan gemilang telah berhasil menghujamkan kenelangsaan menyesakkan. Sang perasaan telah berkhianat, dear. Dan setelah semua fakta yang telah menghampirinya, apakah kalian pikir ia mampu untuk jatuh sekali lagi, mengundang seluruh elemen bumi untuk menertawakannya, dan terperangkap dalam kepungan kesedihan--lagi? Tidak, terima kasih banyak. Karena itu, bukankah lebih baik jika ia memilih untuk tertawa saja ketika rasa itu hadir? Mengasumsikan bahwa apa yang merambati hatinya hanya ilusi belaka, berbisik kepada sang benak untuk sadar... bahwa Larry hanyalah teman dekatnya, sahabat baiknya. Tidak lebih, dan amat tidak pantas jika ia berharap begitu. Sanggah. Itu yang terbaik.

Amanda masih bergeming dalam posisinya, menyodorkan syal kuning-hitam dalam genggaman sementara tatapannya tetap tertuju lurus, tak berani mengangkat wajah. Angin tajam kembali menyapa, bertiup kejam. Tengkuknya meremang, tetap ngilu, menjalar menuju seluruh tubuh hingga kepala. Pening. Ravenclaw macam apa ia, pergi keluar asrama di malam bersalju dengan hanya mengenakan sehelai kaus tipis, dan dengan bodohnya menolak secarik syal dari sahabatnya, hm? Tipikal Amanda Steinhart, keras kepala dan amat enggan terlihat lemah. Berujar kepada diri sendiri bahwa tubuhnya tak kedinginan, tak perlu syal, tidak sama sekali. Tampaknya pemuda di hadapannyalah yang membutuhkan sang syal--pendapat. Karena itu ia ingin Larry saja yang mengenakannya.

Tidak usah, terima kasih, katanya? Sudah Amanda duga. Kali ini ia mengerling sang anak lelaki, menghela nafas. Sama-sama keras kepala. Sama-sama menampik fakta bahwa udara begitu dingin. Nice. Kompak sangat. Jadi, apa yang harus dilakukannya? Mengenyahkan kekeraskepalaannya dan mengenakan syal tersebut, atau menjunjung tinggi rasa gengsinya dan menyerahkan kembali benda itu kepada pemilik asli?

"Kau-belum mengerti?"

Mendongak secara keseluruhan kali ini. Ah, ya. Kembali kepada masalah awal, lupakan tentang syal sejenak. Menahan diri untuk tak mengerjap, ia memberanikan diri untuk menatap dua lapis hazel milik sahabatnya, menelan ludah saat menangkap gurat kekecewaan disana. Ah, maaf, seorang Amanda Steinhart memang bodoh. Perlahan dengan ragu, ia menggeleng. Poin kedua, apa yang telah ia lakukan sehingga pertanyaan bagaimana-kalau-aku-tidak-mau-lagi-jadi-sahabatmu terilis, eh? Jika mengangkat tajuk mengerti atau tidak, secara samar yang dimengertinya hanyalah, Larry tak ingin menjadi sahabatnya lagi karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan fatal--ya kan? Tentu saja, apa lagi. Mungkin karena Larry bosan bersahabat dengannya, atau akibat Amanda meminta anak lelaki itu untuk menceritakan masalahnya-

-atau...

Apa yang melesat di benak detik berikutnya sukses membuat sang gadis terperangah. Melihat dari sudut pandang positif. Mungkinkah...?

Ahahaha. Pikiran macam apa itu? Sinting. Kau terlalu berharap, Amanda.

Sadarlah. Ia tertawa dalam hati, mencemooh dirinya sendiri yang dengan 'cerdasnya' mampu menghadirkan kelebatan spekulasi seperti itu. Tak perlu diungkapkan, sungguh. Toh itu mustahil. Menghela nafas lagi, ia bersyukur suaranya telah pulang. "Ada apa sih, Larry?" Masih menatap manik cemerlang itu sejenak. Hanya sejenak, kemudian berpaling. Amanda menggigit bibir, tangannya bergerak, terangkat dan dengan cepat menyampirkan syal dalam genggaman ke atas bahu sahabatnya. So, sang gengsi menang.

"Kau saja yang pakai." Ia mundur selangkah, berharap dengan begitu dentum kardionya dapat mereda. Tetap tidak, astaga. Bagaimanapun, ia memutuskan untuk bergeming di tempatnya, menanti penjelasan. Penjelasan mengapa Larry tak mau lagi menjadi sahabatnya, itu satu-satunya hal yang ia butuhkan saat ini, tak peduli seburuk apapun jawaban yang akan terlontar ke udara.

Semoga yang terbaik. Amin.


(c) What's Wrong (Go Away) by Jennifer Hudson

Labels: ,


10:13 PM