Tuesday, June 9, 2009

The Amulet of Samarkand-#2

Tepatkah pendapatnya?

Kali ini tuan angin yang hadir untuk bermain. Hembusan, desau abstrak mengacak rambut kecokelatannya, membuat tangannya sesekali sibuk menyelipkan sang gerai ke belakang telinga atau sekedar merapikan helainya ke belakang. Dingin. Indah, harus ia akui, menyaksikan visualisasi hujan daun kering di depan mata, merasakan sensasi ketenangan yang berbisik di telinga serta gesekan elemen lembut di pipi--namun tetap, pendapat mengenai sang musim tak akan berubah. Indah, tapi menyembunyikan kenelangsaan di baliknya. Baginya.

Masih bersimpuh, sepasang lensa kecokelatannya terpancang lurus ke arah permukaan danau. Ke sana, tepat ke arah titik dimana prefek MacKenzie terlihat menceburkan diri. Menunggu. Sudah berapa lama, eh? Tujuh detik, mungkin. Atau mungkin sepuluh. Dan bahkan prediksi yang telah terlontar dari bibirnya barusan--prefek MacKenzie menyelam, ya kan?--tak mampu mengenyahkan rasa cemas yang mulai merambati benak. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada. Apakah senior tersebut benar-benar tenggelam atau hanya menyelam--mungkin mendapatkan kesulitan? Sigh, ketidakpastian akan suatu fakta penting jauh terasa lebih menyesakkan dibandingkan saat kau tahu apa yang kau hadapi. Satu alasan--kau tak tahu apa yang harus kau lakukan. Apa yang harus ia lakukan? Hanya diam menunggu disini, duduk di atas rerumputan?

Tidak bisa berenang itu sungguh menjengkelkan.

Gadis Ravenclaw tersebut menggigit bibir bawahnya, berpikir. Apa? Jujur, kecemasan itu telah hadir, kawan. Kepalanya tertoleh spontan, titik fokus tatapannya berpindah saat selarik mantra panggil bergaung di udara. Ah, ada senior Vandrea. Amanda tersenyum simpul, menatap gadis dewasa itu dengan binar tak terdefinisi di kedua hazelnya. Selalu ia kagumi, seorang Wina Vandrea itu. Gadis anggun yang luar biasa menarik--namun sayangnya kesan terakhir yang didapatkannya mengenai sang senior sedikit bergeser setelah peristiwa yang ia saksikan di pesta awal tahun. Tidak, tetap, kekaguman itu masih ada. Salut. Pandangannya masih terpancang pada objek yang sama, mengekori saat sosok itu terbang menghampiri Windstroke, berbincang sejenak--tidak terdengar dari sini, mate--dan detik berikutnya Amanda kembali tercengang saat menyaksikan sang senior terjun tanpa basa-basi dengan menggunakan sapunya sebagai pijakan awal. Eh? Turut juga? Well, sepertinya memang ada yang tidak beres.

Dan senior Vandrea pun ikut menghilang dari pandangan, meninggalkan riak lembut di titik dimana ia menceburkan diri beberapa saat lalu. Tebak? Irvine juga melakukan hal yang sama. Menghilangkan diri dari permukaan, ikut menyelam. Ah, kali ini Amanda benar-benar dibuat bingung. Apa yang bisa ia lakukan? Diam tanpa tindakan hanya membuatnya merasa amat tak berguna--terlebih jika ternyata memang benar ada sesuatu di bawah sana.

Terkerjap. Sepasang alisnya meninggi saat melihat Windstroke terbang menghampirinya. Lagi-lagi mantra panggil kembali berperan. Gillyweed? Oh my. Dan betapa herannya ia saat dua bungkus flora yang dimaksud datang menghampiri. Bukankah tumbuhan tersebut tak tersedia dengan mudah. Oh, ayolah, Amanda. Bukan waktu yang tepat untuk berspekulasi. Mungkin Windstroke memang memiliki Gillyweed? Tidak protes, ia bersyukur.

"Oke, Amanda. Naik."

Na-naik? Untuk apa? Ragu, namun sugesti akal sehatnya kali ini terjalahkan oleh dorongan untuk berbuat sesuatu--Amanda bangkit, dengan perlahan menaiki sang sapu dan menempatkan diri di belakang teman seangkatannya itu, masih tanpa keyakinan. Firasatnya sih--duh. Membiarkan dirinya diterpa angin sejenak saat dirinya mengudara, kardionya berdentum keras, tanpa sadar ia menahan nafas. Berhenti. Jaga sapu? Well, mungkin hanya itu yang mampu ia lakukan. Menjaga sapu. Tak... ada salahnya. Ia memperhatikan dalam diam saat Windstroke menelan separuh bagian Gillyweed dalam genggaman, kemudian menyerahkan separuh yang tersisa kepada dirinya. Kalimat yang kemudian bergaung di udara harus ia akui berhasil membuat hatinya tersentak sejenak. Karena, pertama, ia amat sangat tak yakin dirinya mampu bertahan lama di dalam air. Seorang Amanda Steinhart tak bisa berenang. Payah. Namun dengan Gillyweed dalam genggaman dan penuturan aku-akan-menjagamu-di-dalam-sana yang diucapkan Windstroke, kelegaan perlahan timbul. Amanda melempar senyum dan mengangguk, tatapannya mengikuti siluet sosok itu saat sang gadis Gryffindor terjun. Baik. Pilihan kini berada di tangannya. Putuskan.

Oke. Pertama-tama--ia mengambil alih sapu, terbang menuju sampan, yang kini dihuni oleh anak perempuan yang tadi dilihatnya berada di tepi danau dan--wew, ada senior Horowitz. Amanda mendarat, mengangguk seraya tersenyum kepada keduanya kemudian meletakkan sapu milik Windstroke di dasar sampan. "Mau turut menyelamkah, Senior? Sepertinya di bawah sana... ada sesuatu," ujarnya kepada pemuda di sampingnya, dengan selipan keraguan masih menemani. Tidak, sudah diputuskan. Egolah yang berbisik keras di benaknya saat ini--ia penasaran, sungguh, dan tentu saja tak akan puas hanya dengan berdiam diri di atas perahu. Akal sehatnya berusaha menyeruak mati-matian, mengingatkannya akan ketidakmampuannya untuk mengarungi perairan--ia tahu, amat tahu. Tapi lagi-lagi sosok Gillyweed dalam genggaman kembali mendorong keraguan ke pinggir. Bisa. Jika benar benda dalam genggamannya adalah Gillyweed, maka setidaknya ia dapat bernafas selama setengah jam di dalam sana. Tak perlu khawatir, kan?

Tetap saja khawatir.

Tetapi pilihan telah menjadi keputusan. Menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Amanda mengunyah Gillyweed--tidak enak, astaga--dengan sedikit susah payah, sementara tangannya berkutat melepas kedua sneaker yang membalut kakinya. Sulit, kalau kau mau tahu. Sampan itu oleng beberapa kali, membuat jantungnya berderap tak nyaman. Kau membuat terlalu banyak gerakan, dear Amanda. Ya, ia sadar. Sepasang sepatunya telah terlepas--bertepatan dengan guncangan yang menghapus keseimbangannya--

BYUR!

Bodoh.

Jatuh ke belakang, dan detak kardionya seakan terhenti. Buih-buih liquid menyambutnya dengan riang, tak peduli akan hatinya yang mencelos dan sepasang matanya yang membesar. Pada detik ini tubuhnya telah jatuh sepenuhnya, kepekatan menekan, mengaburkan pandangannya hanya dalam waktu sepersekian detik. For God's sake, ia akan tenggelam. Ia akan mati. Amanda menghentakkan kaki dengan putus asa--kebiasaan buruk, tak bisa tenang. Panik itu hanya mampu memperparah situasi, bodoh. Gadis itu tersedak, pasrah saat menyadari tubuhnya semakin turun, turun, dan ia tak bisa bernafas. Keputusannya salah?

Lalu sensasi membakar itu membelit lehernya. Amanda terbatuk saat merasakan kerongkongannya tercekat--luar biasa, tercekik lebih tepatnya. Ia menggelengkan kepala, tahu bahwa mungkin ia akan mati--tidak, tentu saja tidak, astaga. Dan, detik berikutnya lapis hazelnya terbuka, terkerjap tak percaya saat menyadari pandangannya berubah jernih. Nafasnya terhela dengan mudah. Gadis itu meraba lehernya, menemukan celah di kedua sisi, dan siluet tangannya yang berselaput membuatnya tertawa lega.

Ia cinta Gillyweed.

Tebak? Ia bisa berenang! Amanda berputar di tempat, luar biasa puas dengan apa yang didapatkannya, kemudian bergegas memutar kepala untuk mencari sosok-sosok tujuannya--ada, disana. Ia bergerak dengan lincah menghampiri Windstroke, tertawa lebar tanpa suara sekali lagi. Tangannya menepuk pundak rekan sebayanya itu, mengacungkan satu ibu jari dan memberi ucapan terima kasih, tentu juga tanpa suara. Di depan sana, sosok-sosok lainnya tampak. Syukurlah. Tak ada yang terluka, kan?

Err... mau ngapain sih, by the way?

Labels: ,


11:24 PM