Saturday, June 6, 2009

Gone with The Wind-#2

"Eh? Oh! Ungg.. tidak apa-apa, kak. Sepertinya cuma benjol saja. Aku sudah biasa kok."

Su-sudah biasa? Lagi-lagi sepasang hazelnya terkerjap sesaat, tatapannya lurus memandang gadis cilik itu, sekali mengerling memar yang tercetak di dahinya. Sudah biasa memar? Astaga. Entah harus merasa kasihan atau bagaimana. "Kau yakin? Baguslah kalau begitu," ujar Amanda, senyum simpul turut seperti biasa. Bertemu dengan gadis kecil yang sedikit ceroboh seperti itu seakan menyaksikan refleksi dirinya sendiri--seorang Amanda Steinhart yang begitu ceroboh, teledor, bahkan dapat jatuh akibat terselengkat kaki sendiri. Ck, ck. Dirinya memang seperti itu, dan ia bangga. Hoho. Bangga karena selipan peristiwa penuh kecerobohan yang seringkali hadir mampu melukis tawa lebar di wajahnya, meskipun diiringi oleh semburat kemerahan akibat rasa malu. However, that she is. Well, setidaknya saat ini sifat ceroboh tersebut telah mulai bosan menemaninya--sudah mulai sembuh, tak seakut dulu.

Duuk!

GUBRAK!

"Aw." Rasa nyeri mendarat di punggungnya selama sepersekian detik, melimbungkan tubuhnya yang tak siap--dan oh my, kali ini giliran dirinya yang jatuh tersungkur ke depan, menubruk sang gadis cilik di hadapannya pula. Amanda meringis, bergegas bangkit dari posisinya yang tertelungkup, duduk, bersyukur karena tempat ia berpijak adalah rerumputan, bukan bebatuan atau aspal. Ia melempar tatapan menyesal kepada gadis cilik yang tampaknya kembali terantuk batang pohon. Astaga, ia telah mencelakakan orang lain.

Sebentar. Tadi, ada sesuatu yang membentur punggungnya, kan?

Amanda membalikkan tubuh, mencoba mencari tahu--oke, seorang anak laki-laki, junior jika ia boleh berprediksi. See? Bahkan tubuh juniornya tersebut lebih besar dari tubuhnya, dan dalam sekali sentak mampu membuatnya terjatuh. Rasanya ia ingin tertawa. Memiliki postur tubuh kecil terkadang tak menguntungkan. Gadis Ravenclaw itu hanya mengangguk kecil saat sang anak laki-laki menuturkan permintaan maaf, mengindikasikan jawaban 'tak apa' secara non-verbal. Memangnya apa yang seharusnya ia lakukan? Marah? Tentu saja tidak. Toh pemuda itu tak sengaja. "Terima kasih, tidak usah," ujarnya seraya bangkit. Maaf, bukan bermaksud untuk menolak bantuan, Orland--itu namanya, eh?--hanya saja ia merasa sungkan, entah mengapa. Amanda menepuk bagian belakang celananya, mengangkat wajah saat suara familiar itu terasa dekat. Senior Al-Kazaf telah datang menghampiri, berbicara kepada Orland dan sang junior perempuan beremblem Hufflepuff itu, merilis nasihat agar mereka berhati-hati.

Hm, berhati-hati? Kalimat tersebut kembali membangkitkan memorinya--tiga tahun lalu, saat dirinya masih menjadi seorang newbie di Hogwarts, gadis cilik dalam artian sebenarnya, anak perempuan dengan keteledoran akut, sepertinya kalimat yang bergaung di udara barusan amat pantas dilontarkan kepadanya dalam setiap situasi. Masih ingat kali pertama seorang Amanda Steinhart menjejakkan kaki di Leaky Cauldron, eh? Ia tak pernah lupa--menumpahkan butterbeer ke atas baju seorang anak laki-laki sebaya yang membawa berudu dalam toples--pertemuan pertamanya dengan sang sahabat, Jonathan L. Baned. Benar-benar payah. Yang lain--terlemparnya pisau lipat yang tengah ia genggam tepat di hari ulang tahunnya, nyaris mengenai kaki Rainier. Hampir fatal, demi Merlin. Kemudian satu lagi, yang masih tercetak jelas di dalam benaknya adalah peristiwa di menara, saat ia dengan bodohnya membawa seluruh barang lelucon miliknya, membuat dua orang terkena ledakan Bom Kotoran serta dengan suksesnya meledakkan kembang api Fillibuster--wogh, betapa ceroboh dirinya saat duduk di kelas satu. Mencengangkan.

Ck, melantur.

Amanda tersenyum, binar di lensa kecokelatannya lagi-lagi hadir saat sang senior mengatakan bahwa kelincinya lucu. Memang! Mimzy memang lucu. Gadis empat belas tahun itu membelai Mimzy, tanpa alasan yang konkrit merasa amat senang. Leander hebat, tahu apa yang ia senangi.

"Ada yang mendengar sesuatu?"

Eh? Guratan samar terpampang di kening, dalam diam ia berusaha memfokuskan pendengarannya. Well, suara berkeresak dedaunan? "Ya, senior. Mungkin," ujarnya ragu. Tidak yakin apakah benar suara itu yang dimaksud. Detik berikutnya, ia tersentak saat Mimzy memberontak dan berhasil lolos dari dekapannya, melompat menjauh. Aneh. Ada apa? Amanda bergerak perlahan, mengikuti kemana kelincinya berpijak, tersenyum saat mengetahui dimana destinasi terletak. Larry. Ia membungkuk, memungut Mimzy dalam satu gerakan perlahan, kemudian kembali menegakkan diri dan mengedip kepada sahabatnya. "Sepertinya Mimzy menyukaimu."

Ngomong-ngomong, kenapa Mimzy lari, ya?


Mimzy =9

Labels: ,


2:54 AM