Tuesday, June 23, 2009

Blind Date-#1

"SERIUS?!" Dan tawa berderai, melukis tekstur jengkel di raut sang pemuda.

"Kenapa tertawa?" tanyanya cepat, sarkastik.

Kali ini tak ada jawaban. Hanya terdengar suara tawa yang ditahan--namun tak terlalu berhasil. Sang anak laki-laki empat belas tahun mengerling sepupunya dengan jengah. Ah. Dugaannya tepat, kan. Tawalah yang akan timbul pertama kali sebagai respon. Sudah pasti.

"Iseng, Amanda."

Gadis di hadapannya mencibir, menyikut rusuknya pelan. "Hm? Yakin? Ah, sepupuku sudah dewasa rupanya." Sebuah tepukan di pucuk kepala. "Apa yang kira-kira akan Paman Amethyst katakan jika tahu sang Gladstone junior ikut kencan buta ya?"

Nathaniel mengerang. "Oh, please, Amanda--"

"Tidak, tidak, tenang saja. Rahasia. Janji." Gadis itu mengedipkan sebelah mata, mengambil sekotak cokelat kodok lagi. "Ngomong-ngomong, Nat, kukira kau hanya akan bersedia kencan dengan Marvil."

No response. Kalimat telak. Pemuda Gryffindor itu tertegun sejenak, menelan ludah sebelum mengangkat bahu. "Well... tidak tahu."





Tidak boleh menyesal.

Berjalan malas menyusuri koridor lantai empat, ia menatap batu pualam tempatnya berpijak, mengamati dengan seksama kemana langkahnya hendak bergerak dalam setiap jengkal, setiap depa. Ragu? Ya, saat ini rasa bimbang mengetuk benaknya, mempertanyakan keputusan yang telah dibuatnya. Blind date? Oh, man. Apa yang dipikirkannya waktu itu, sih? Siapa yang mengambil alih impuls sarafnya dan membuat tangannya bergerak, mendaftarkan diri? Tidak ada. It's just him, tetapi ketika saat yang ditentukan tiba, yang ada hanya kebingungan akut.

His first date is blind date. Dan itu terdengar buruk. Baginya.

Tapi tak ada yang bisa dilakukan, ha. Langkah enggannya terhenti tepat saat pintu tujuan telah terpampang di hadapannya, nafasnya terhela dengan berat. Hadapi saja--siapapun yang menjadi pasangannya, apapun yang akan terjadi, tak perlu terlalu dipikirkan. Toh hanya event iseng biasa, event asrama kebanggaannya, sekedar mengusir kepenatan dan rasa jenuh yang akhir-akhir ini sukses mendominasi. Rite? Benar begitu. Hanya begitu saja, Gladstone, tak perlu khawatir. Perlahan, masih dengan keraguan yang memeluk batin--serta keinginan kuat untuk memerintah kakinya agar berbalik dan berderap kembali menuju ruang rekreasi--ia membuka pintu kelas kosong. Dan masuk.

Dan terdiam.

Remang. Sapuan cahaya hanya menari di titik-titik tertentu, membentuk siluet-siluet yang saling menyapa abstrak, melayang dalam satuan jajar berpola. For Merlin's sake--apa yang ia saksikan, eh? Tak perlu bertanya, sebenarnya--candle light dinner. Very nice. Dirinya berbohong jika mengaku tak terkejut. Diluar prediksinya, jika boleh jujur, dan fakta ini membuat rongga diafragmanya kembali mencelos tak nyaman. Makan malam dengan gadis yang ia tahu-saja-belum-tentu sudah tampak buruk, dan sekarang ditambah dengan properti bercahaya redup dan setting tempat bak roman picisan? Great. Pasrah, Nat mulai bergerak gontai, manik kecokelatannya menelusuri tiap kartu yang melayang beberapa sentimeter di atas masing-masing meja, mencari nomor yang tertera dalam undangan miliknya.

Tiga. Disana.

Hanya kegiatan iseng, Gladstone, tenang saja./p>

Fine. Berterimakasihlah pada sang benak yang senantiasa mengingatkan, mengizinkan hatinya untuk merilis tawa tertuju kepada dirinya sendiri. Nathaniel mengambil posisi duduk dalam satu gerakan, kemudian bersedekap tanpa suara. Siapapun junior yang menjadi 'partner'-nya malam ini, gadis itu belum datang. Pandangannya kembali berputar, menatap satu persatu pribadi yang hadir--dan secara refleks mengerling setelan yang ia kenakan. Kontras. Salah kostum nampaknya--well, tak peduli. Nat mendengus samar saat menyadari pakaian apa yang ia pilih untuk event kali ini, so simple. Celana jins kelabu dengan T-shirt dan jaket hitam. Tak berlebihan. Sama sekali tak terlintas di kepalanya untuk mengenakan pakaian resmi--tidak, tentu saja tidak, ia tak seniat itu. Katakan ia payah, terserah. Toh tak ada yang spesial, dan hanya dilakukan hari ini, untuk Gryffindor. Sekali-sekali keluar dari jalan pemikirannya yang kaku dan monoton, tak ada salahnya, rite?

Benar. Tak menerima bantahan.

Apa sekarang?

Well, relakan diri kepada sang aktivitas menjengkelkan. Menunggu.

Labels: ,


7:31 AM