Sunday, June 28, 2009

Watching Movie-#2

Benar tidak sih?

Masih penasaran triple kuadrat, sungguh. Sekali lagi, terkalahkan oleh rasa ingin tahunya, sang gadis turut menoleh kembali--bersamaan dengan anak lelaki di sampingnya. Kedua lapis cerulean miliknya bergerak abstrak, menembus kepekatan remang yang menyelimuti, mengandalkan siluet cahaya yang terpancar dari layar super besar yang terpampang di sisi depan. Pupilnya mengecil, kedua sisi kelopaknya menyempit. Tidak diragukan lagi, keriting gimbal itu hanya milik seorang Danielle Monteraz. Dan--bahkan dirinya pun heran akan kemampuan sang indera penglihatan yang mampu merekam siluet-siluet pribadi lain di baris atas, wajah-wajah yang tak asing tersapu oleh pandangannya, sedikit membuatnya tercengang. Let's see... Siapa lagi, eh? Sekali lagi matanya memicing, berusaha mengenali--oke, ada dua orang junior lainnya, seorang gadis dan--itu, Drake Lazarus?

Percaya tidak? Nama belakang itu tak berarti apa-apa lagi. Seriously.

Seseorang yang rasanya ia kenali lagi--Mallandrt. Kali ini mulutnya terbuka beberapa inchi, imbas dari rasa tak percaya yang menghampiri. Istvan, Lazarus, Mallandrt, Danielle, juniornya yang lain, dan mungkin ada lagi? Hm, Sloane Square, Royal Court Theatre lebih tepatnya, telah menjadi tempat liburan para siswa Hogwarts, eh? Tidak akan menimbulkan keheranan jika memang mereka telah mengadakan perjanjian satu sama lain, membuat rencana untuk menghabiskan masa-masa akhir liburan bersama--entah, namun baginya kemungkinan tersebut tak memiliki presentase keakuratan yang tinggi, melihat kombinasi jenis pribadi yang mengambil peran. So, ambil kemungkinan dari sisi lain--pertemuan, gathering hari ini tidak disengaja. Jika memang benar itu yang terjadi, well... luar biasa. Tujuh siswa Hogwarts bertemu muka di Sloane Square tanpa rencana--wajar. Tujuh murid Hogwarts memiliki pikiran yang sama, pergi ke Royal Court Theatre? Tidak aneh. Tujuh penyihir muda memutuskan untuk pergi menonton sekuel kedua Superman pada waktu yang bersamaan tanpa sengaja--err... oke. Ketiga fakta diatas masih berada di garis rata-rata kewajaran, fine. Tetapi, lihat--tujuh pelajar Hogwarts, atau mungkin ada lagi, entah, berada di studio yang sama, duduk di baris yang SAMA dan berdekatan--kenyataan yang mengerikan.

Hogwarts itu kompak. Wow.

"Nonton saja, Amanda."

Ya. Gadis cilik itu menghenyakkan tubuh dengan semestinya di atas tempat duduk, tertawa kecil. Nonton bareng--sama sekali tak menolak. Dikelilingi sekumpulan orang yang ia kenal selalu menghadirkan rasa nyaman tersendiri, kembali membawa angin semilir menyejukkan yang berbisik--ia tidak sendirian. Statement yang selalu membesarkan hatinya saat kelebatan Mum dan Dad mengukung benak.

Hei. Mikir apa sih?

Amanda melirik bungkusan yang baru ia sadari masih tergenggam di tangan kiri, mengeluarkan isinya--popcorn ukuran besar dan sekaleng soda, kemudian menyerahkan keduanya kepada Larry sementara kaleng miliknya diletakkan begitu saja di bagian kiri tempat duduk. "Kau--yang pegang popcorn-nya, ya?" ujar gadis itu, melempar cengiran khasnya kemudian bergegas mengalihkan pandangan ke depan, menantang layar. Sudah sampai mana? Sepertinya kesibukan memperhatikan pengunjung sekitar--dengan kata lain teman-temannya--memberi konsekuensi ketinggalan bagian awal film. Ia bersandar, membenamkan diri ke punggung kursi, berusaha mencari posisi yang nyaman, serta melepas topi birunya. Topi--kemungkinan besar akan mengganggu ruang lingkup penglihatannya, rite? Akan menjadi durasi yang panjang, menurut prediksinya, so, menontonlah senyaman mungkin.

Ah ya, sebelum lupa. Amanda menelengkan kepala ke kanan, berbisik kepada sahabatnya, "Larry. Seandainya aku tertidur di tengah-tengah film, bangunkan ya." Tersenyum sepintas, ia meraup segenggam popcorn, lalu kembali memfokuskan perhatian pada film di hadapannya. Hari ini, kali ketiga bagi seorang Amanda Steinhart bertandang ke bioskop, dan kebiasaan buruknya tak akan terulang. Dua kesempatan sebelumnya, ia sama sekali tak pernah tuntas menonton seluruh durasi film--selalu tertidur di tengah penayangan. Payah. Tetapi tidak kali ini. Tidak akan.

Karena film kali ini adalah Superman.


"Memangnya seru, Paman?"
"Seru, menurutku."
Gadis cilik itu mengerutkan kening, tidak terlalu tertarik. Apa yang seru dari sebuah kisah fantasi tak berdasar seperti itu?
"Mau ikut nonton Superman tidak, Amanda?"
"Superman itu apa sih? Film muggle, aku tidak terlalu tertarik, Nathaniel."
Ia mendongak menatap pamannya, kemudian hanya mengangkat bahu.
"Well, itu film favorit kedua orangtuamu, lho."
Tersentak. Gadis itu terdiam, memandang sang paman yang barusan berbicara. Benarkah?
"Aku ikut."




Karena itu film favorit kedua orang tuanya. Ia tidak tahu sesungguhnya Superman itu makhluk apa. Bahkan dirinya tak dapat menyingkirkan dengusan tak percaya saat melihat adegan tak realistis yang diangkat dalam film tersebut. Tetapi, bagaimanapun ia ingin mengetahui sisi menarik dari film yang satu ini, ia ingin memahami alasan Mum dan Dad memilih sang Superman sebagai tokoh favorit mereka. Apa? Jujur, selama ini ia selalu gagal menemukannya. Coba kita lihat, apakah kali ini ia berhasil.

Backsound berdentum, durasi berderap melintasi waktu. Amanda bergeming, begitu serius memperhatikan alur, seraya berkali-kali merogoh popcorn di samping. Astaga, tetap saja ia tak mampu menemukan sesuatu yang spesial dari tayangan film yang tengah terpantul di lensa kecokelatannya. Hanya seorang--atau apa? Entah--yang mampu terbang tanpa sapu, baik hati, suka menolong dan rajin menabung--oke, yang terakhir tidak serius. Tolong beritahu ia dimana letak keistimewaannya, please.

Well, setidaknya sudah setengah jalan.

Rasanya lama sekali Amanda telah duduk di dalam sini, berkutat dengan ketidakmengertian yang menderanya. Gadis cilik itu memeluk tubuhnya sendiri. Dingin. Temperatur di dalam sini berbeda jauh dengan di luar, dan faktor ini turut mendukung kebodohannya untuk hadir--lagi. Ia merutuki diri, saat sinar lensa kecokelatannya mulai meredup, matanya berulangkali tertutup. Ayolah, Amanda. Tuntaskan dulu.

Ia tahu ia tak akan pernah berhasil.

Kepala gadis itu terkulai ke samping kanan--ke atas bahu sahabatnya, nafasnya terhela teratur sementara sepasang matanya tertutup. Salahkan keegoisan tubuhnya yang letih, yang sukses mengalahkan keinginannya. Terulang lagi, kan.

Payah.

Labels: ,


9:52 PM