Wednesday, June 3, 2009

The Amulet of Samarkand-#1

Musim gugur?

Well... Haha.

And how the swift beat of the brain
Falters because it is in vain,
In Autumn at the fall of the leaf
Knowest thou not? and how the chief
Of joy seems--not to suffer pain?



Semburat biru pudar--itu. Tergantung nyaman di atas dengan angkuh, melempar pandangan teduh dalam desau bisikan sayu sang angin. Saat ini terabstraksi dengan jingga, dear, sudah sore. Mega terhampar, tertawa dalam keheningan, berkejaran dalam transformasi indisiplin tanpa sadar, berperan sebagai latar belakang segalanya. Teman setia mereka untuk empat bulan menjelang--liukan dedaunan kecokelatan disana-sini, lihat. Apa lagi yang kau harapkan memangnya, hm? Tidak, bukan senyum dari para peri serbuk bunga di ladang rumput hijau ketika musim semi bertamu. Atau anggukan hangat sang penguasa siang yang selalu riang ketika musim panas berkunjung. Tidak. Hanya kering. Membawa tajuk kehampaan yang nyata. Percaya? Memang begitu.

Karena itu--ia tak suka musim gugur.

Langkahnya tak seringan biasanya. Gadis itu menoleh, menelengkan kepala beberapa derajat ke kanan, hazel kecokelatan miliknya memantulkan siluet suram riak pekat sang danau. Dalam diam, bibir terkatup rapat dan tatapan tanpa fokus. Alasan apa yang mendasari jejaknya tiba di tempat ini--entah, jangan tanya. Hanya jenuh dengan kastil, mungkin, salah satunya. Jenuh dengan kumpulan perkamen yang bersatu menghadirkan kalimat-kalimat pembelajaran rumit yang memusingkan, mungkin, salah duanya. Rasa gelisah yang tengah memeluknya tanpa izin, juga mungkin. Tidak tahu. Ada yang tahu?

Apapun itu, toh Amanda telah berpijak di atas area familiar itu. Tepi danau, dan sepasang kakinya masih gemar mendahului satu sama lain, tetap dalam tempo santai tanpa tergesa. Musim gugur, selalu sama, menghadirkan kelesuan yang amat sering menelusup jauh ke dalam relung benak serta batinnya, memberikan bayangan kenelangsaan yang sedemikian rupa. Sebagian besar sukses membuat senyumnya menghilang, mendatangkan kerutan samar yang menggurat keningnya, atau bahkan isak? Be--gitulah. Sedikit aneh jika menilik fakta bahwa kesedihan selalu menerpa di musim yang sama, ya, ia sendiri heran. Tapi memang begitu. Butuh bukti? Baik.

Sedikit berkelana menuju masa lalu, jika kalian tak keberatan. Hal pertama, peristiwa paling mengguncang yang pernah hadir dalam hidupnya--terjadi tepat dua bulan setelah sang musim gugur mengetuk pintu dunia dan masuk. Peristiwa yang hingga saat ini masih senantiasa bermurah hati mampir dalam tidurnya hanya untuk membuat sang gadis gemetar--ia kehilangan kedua orangtua saat musim gugur, mate, jangan dibahas lagi. Kemudian, beberapa tahun berselang, musim yang sama mengiringi kecerobohan fatal yang ia lakukan--keteledoran paling luar biasa yang pernah tangannya perbuat, menyebabkan ibu dari sepupunya terpaksa kehilangan memori serta ingatan dan harus berpindah domisili ke St. Mungo--dengan diagnosa teracuni ramuan yang salah dicampurkan. Bahkan rasa bersalah itu masih melekat kuat-kuat di hatinya, tak pernah pergi. Bibi Antoinette hilang ingatan secara permanen saat musim gugur. Nice. Yang berikutnya, belum lama berlalu. Jembatan, tahun lalu, melibatkan empat oknum--tidak ingin ia ungkit lagi. Seorang Amanda Steinhart terlihat begitu lemah, begitu bodoh, begitu payah dan cengeng, begitu--well, semua serempak mengambil setting musim gugur, kan? Membuatnya cenderung melempar rasa tak senang kepada musim yang satu ini, harus diakui. Mau bagaimana lagi. Sigh.

Pertanyaannya sekarang, apakah musim gugur 1981 akan meneruskan sang tradisi? Semoga tidak. Ia berharap, serius. Amanda menghentikan langkah, menghadapkan tubuh ke arah danau dalam satu gerakan, memandang satuan elemen liquid di hadapannya dengan tatapan redup, kedua tangan di saku. Sayangnya, kenyataan yang tengah berlangsung adalah, kegelisahan menerpa. Untuk banyak hal--nilai akademik, Nathaniel, Leander--bingung, banyak hal yang mengganjal di hati. Kerlingan matanya menangkap sesosok gadis di atas sampan, senior MacKenzie? Sang prefek tengah berkutat melepas atribut yang ia kenakan--syal, jubah, sepatu, kaos kaki--dan dalam selang waktu beberapa detik berikutnya, suara 'byur' nyaring bergaung di udara.

Eh?

Terperangah sesaat, Amanda terpaku di tempat dengan mulut sedikit terbuka. I-itu, apa yang dilakukan seniornya itu? Sosok lain--Windstroke, di atas sapu. Tidak, gadis Gryffindor itu tak terlihat melakukan apapun, hanya terbang rendah di atas danau. Menunggu kepastian atau bagaimana? Disusul ucapan seorang junior Hufflepuff yang berada tak jauh dari tempat Amanda berdiri. Dia... tidak ditolong? Ditolong, hm...

Oke. Irvine yang bertindak.

Amanda mengerjap saat percikan air melompat ke udara. Irvine--telah terjun ke danau, kawan-kawan. Keren.

"Kemana yang tenggelam? Aku tidak menemukan apapun."

Hei, Amanda, kau sedang tak peka atau bagaimana?



Tidak. Hanya berpikir. Ia melangkahkan kaki lebih dekat ke tepi danau, kemudian duduk bersimpuh dengan kedua tangan di atas rerumputan dan tubuh sedikit condong ke depan. "Hei, Irvine," serunya, cukup keras untuk didengar oleh pemuda itu, "Kurasa... Prefek MacKenzie tengah menyelam, bukan tenggelam."

Pendapat. Kesimpulan pribadi selintas pandang.


(OOC : Credit to Autumn Song by Dante Alighieri)

Labels: ,


6:48 PM