Friday, June 5, 2009

Kelas 3 - Nathaniel

Hoahm.

Memicingkan mata. Silau. Sambutan cahaya keemasan dari sang penguasa langit sukses membuat sepasang hazelnya sontak terkerjap. Nathaniel melangkah gontai, perlahan menapakkan kaki menyusuri koridor lantai tiga, membiarkan naungan dinding batu mengawal di kedua sisi. Sekali lagi anak laki-laki itu menutup mulut saat kuapan lebar kembali menyerang, kemudian menggelengkan kepala untuk mengenyahkan virus kantuk yang luar biasa mendominasi detik ini. Sudah siang. Ia tahu, tentu saja. Sudah siang, ya, tetapi tubuhnya masih lemas, sepasang matanya redup dengan kelopak yang begitu berat, merindukan tempat tidur di kamar anak laki-laki Gryffindor.

Tumben.

Well, tidak bisa dibilang tumben juga sih. Beberapa kali sindrom kantuk-di-siang-bolong seperti ini pernah menjangkitinya--tiga kali termasuk hari ini. Dan alasan yang mendasarinya lagi-lagi tak jauh berbeda. Lima huruf--esai. Sudah jelas, rite? Bagus.

Entah, bahkan dirinya sendiri merasa heran atas kesungguhan sang benak. Tadi malam adalah giliran Rune Kuno, salah satu mata pelajaran tambahan di tahun ketiganya, yang berbaik hati berperan sebagai seorang teman hingga pukul lima pagi, menyita segala perhatian, konsentrasi serta waktu yang tersedia. Tak dapat dipercaya memang, tetapi pada kenyataannya ia lebih memilih untuk tidak tidur, duduk bersila di atas tempat tidur dengan perkamen serta buku panduan tergeletak di hadapan, hanya dengan tongkat sihir sebagai penerangan. Berubah menjadi para elang Ravenclaw, eh, Gladstone? Tentu saja tidak, bodoh. Cukup sang sepupu saja yang mewakili entitas bernama 'kecerdasan' itu dalam keluarga. Anyway, dirinya tak cerdas--karena itu ia berusaha, setidaknya belajar, mengerjakan tugas--fine, tertawa saja, ia tak keberatan. Satu hal yang langka melihat seorang Gladstone mempelajari sesuatu dengan sungguh-sungguh, menekuni tugas tanpa tidur--ada alasannya, tentu, sudah bisa ditebak.

Sure, Dad. Siapa lagi. Pemberian 'wejangan' selama dua jam penuh, dengan selipan kalimat-kalimat bertekstur ironi bahkan sarkasme--sudah cukup membuatnya muak, tahu. Cukup musim panas lalu saja telinganya berubah merah, bibirnya menipis disertai leher yang tercekat akibat menahan rasa kesal menerima hujan nasihat disertai genangan intonasi sinis disana-sini. Tidak akan terulang lagi, nope. Dan satu-satunya cara adalah dengan mengenyahkan huruf-huruf sial yang mendominasi laporan nilai miliknya term lalu--mensubstitusikannya dengan para entitas abjad kebanggaan para profesor. Tak berhasil? Masa bodoh. Setidaknya sang ayah tahu bahwa dirinya telah berusaha. Hopes so.

Dan kelas mantra--akan menjadi pembuktiannya yang pertama.

Gaung lemah tertinggal, berganti dengan hiruk pikuk ruang apik bernuansa--well, tak dapat mencegah sebelah alisnya untuk terangkat, Nat menarik langkahnya memasuki kelas. Hujan. Di dalam kelas. Great, dengan mudah dapat ditebak apa kegunaan jubah yang kini telah tersampir di tangan kanannya. Ia berjalan menuju sudut, sebisa mungkin tetap berada pada jalur kering, kemudian bersedekap saat suara melengking sang profesor mulai terdengar, samar dan sayup sesekali tersaingi gemuruh adiktif. Mantra Impervius, hm? Belum pernah mencoba--tak yakin sebenarnya, tetapi tak tersedia opsi penolakan dalam kelas, tentu saja. Anak laki-laki tiga belas tahun itu mencabut sang Elder, menyentuhkannya ke arah jubah seragam miliknya dan berseru tertahan, "Impervius!" Hanya begitu saja, kan? Segera, diloloskannya sang jubah melalu leher--mengenakan seragam tersebut dalam satu gerakan, kemudian melangkah menuju area kontra, membiarkan titik-titik air menyambutnya. Berhasil atau tidak--

No man.

Elemen liquid dari atas langit-langit sukses menelusup ke balik jubah, menetes membasahi pucuk kepalanya, bahu, merembes melalui kemeja. Nat bergerak kembali ke area kering sambil bersungut-sungut berdecak kesal. Payah. Ia melepas jubah--menatap pasrah kemejanya yang kini basah. Bahkan mantra yang diluncurkannya beberapa puluh detik yang lalu tak bekerja sama sekali. Sigh. Sekali lagi tangannya menyambar tongkat, merapalkan mantra, kali ini berusaha memusatkan konsentrasi sepenuhnya, "Impervius!" Let's see.

Melindungi bagian kepalanya dengan tudung, ia kembali menjamah serbuan air, diam tak bergerak selama beberapa saat. Well, sejauh ini berhasil. Seringai puas mengambang di wajahnya. Bagus. Pada percobaan kedua, tak terlalu mengecewakan--

Tes. Tes.



Ah. Nat berdecak jengkel saat merasakan dua tetes air menyapa bagian bahunya, disusul dengan tetesan berikutnya selang beberapa lama. Kebocoran di sektor strategis, ck. Hendak kembali ke tepi, mencoba memperbaiki untuk ketiga kalinya--namun urung saat kesadarannya menepuk benak. Sedang terjadi keributan di belakang punggungnya, dan ia sadar tahu sekarang. Nat berbalik, guratan dalam tercipta di keningnya saat menemukan apa yang terjadi. Oke, Dawne dan Sirius--baku hantam, hm? Nice. Membawa sepasang kakinya untuk mendekat, dengusan samar terilis tanpa sengaja. Dalam sekali pandang pun sudah jelas, karena Maraschine, eh? Wohoo, salut. Keadaan di dalam kelas berubah kacau sekarang, man. Ia hanya bersedekap, mendengarkan lontaran-lontaran kalimat peleraian yang terdengar riuh--lihat kan, ia tak perlu turut serta. Toh Flitwick akan datang sebentar lagi.

Well, ia tak tahan untuk tak berkomentar rupanya. "Hei, Sirius," serunya, cukup keras untuk didengar pemuda Slytherin itu, jaraknya dekat. "Memesan satu tiket detensi rupanya. Pintar."

Labels: ,


4:47 PM