Saturday, June 13, 2009

19.00-#1

Here. Menara Ravenclaw.

Sirius? Nope.

Hanya satu--lapisan kepekatan tanpa pendar. Sigh. Gadis cilik itu menghela nafas, menurunkan sang properti utama. Benar, tidak ada Sirius. Canopus, Arcturus, atau Alpha Centauri mungkin? Tidak juga. Mereka kompak hari ini atau bagaimana? Detik berikutnya, sang telapak tangan kanan dengan patuh melaksanakan tuganya, menopang dagu gadis itu, gadis di tepi jendela, sikunya bertumpu pada ambang lengkung tanpa kaca di salah satu sisi menara. Payah. Benar-benar payah. Prediksinya salah--tak beruntung, ya, terlebih lagi disertai fakta bahwa sesungguhnya ia tak mengerti sama sekali mengenai konstelasi dan perbintangan. Sedikit mengangkat wajah, lensa kecokelatannya bergulir, berusaha menemukan setidaknya sesuatu--sesuatu yang dapat ia amati di atas sana. Tetapi tampaknya sang langit tetap bersikukuh menyembunyikan para pencipta cahaya yang biasa menyapa. Kecuali satu, tentu saja.

Bulan.

Well, teruntuk personil langit yang satu itu, alat dalam genggamannya tak begitu diperlukan. Amanda mengerling--teropong, atau teleskop, entah--apapun itu, yang berada di tangan kanannya, kemudian kembali melayangkan pandang ke luar jendela. Teleskop bintang, dear, benar, hadiah ulang tahun dari sang kakak yang tiba dua hari yang lalu. Hitam, dengan panjang awal sekitar sepuluh sentimeter namun dapat diperpanjang hingga satu meter, dan hanya diperuntukkan bagi satu sisi mata--nice, dan bukan teleskop biasa, tentu. Ia sama sekali tak mampu memprediksi apa yang berada di benak Leander hingga pemuda itu memilih sebuah teleskop sebagai hadiah, bukan sesuatu yang lain. Dirinya tak merasa pernah mengatakan bahwa ia penggemar mata pelajaran astronomi, atau seseorang yang senang memandang langit malam dengan seksama, tidak. Rasa bingung masih terselip di hati, namun rasa penasaran juga turut menyeruak ke baris terdepan, meyakinkan benaknya untuk berkompromi dengan sang raga--berangkat ke salah satu jendela di menara asrama, berharap dapat melakukan observasi singkat setelah berspekulasi asal bahwa malam ini adalah malam yang tepat. Tapi ternyata justru langit di atas sanalah yang enggan tersenyum saat ini.

Penyebab utama kegagalan telah ditemukan. Amanda membuka telapak tangan kirinya, menjulurkannya keluar--dan merasakan titik-titik lembut merebahkan diri dengan nyaman disana. Salju. Tak heran kalau begitu. Gadis itu mengangkat sang teleskop sekali lagi, mendekatkan mata kanannya dan menutup yang sebelah kiri--jangan putus asa. Dalam surat yang ditulis Leander, deskripsi serta cara penggunaan terjabarkan dengan jelas, membantunya memahami tiap-tiap bagian yang eksis pada tubuh sang teleskop. Dijelaskan, keterangan detail mengenai benda langit, apapun itu, akan muncul begitu sensor menangkap keberadaan sesuatu, memberikan informasi bagi penggunanya dengan akurat. Well, mungkin setidaknya benda ini dapat digunakan untuk mengangkat nilainya dalam mata pelajaran astronomi. Amin.

Masih bergerak--menjelajahi kepekatan tanpa titik cahaya. Amanda menggeser benda tersebut perlahan, meniti tiap jengkal langit yang terbentang jauh di hadapannya. Sudah lima belas menit, omong-omong, dan lehernya mulai pegal. Memutuskan untuk mengganti haluan, ia menurunkan sang teleskop, mengarahkannya ke objek yang berdiri dalam hening di bawah sana. Terlihat jelas dari sini--gubuk Hagrid dan hutan terlarang, desau angin teriring menghembus pucuk pepohonan. Lagi, bergeser lagi tanpa tujuan yang jelas. Tidak menarik. Tidak ada sesuatu yang dapat diama--eh? Sebentar. Itu--

Pesawat kertas?

Dahinya berkerut. Bukankah seharusnya tiap siswa tengah berada di Aula Besar untuk makan malam, hm? Ya, seharusnya sih begitu, termasuk dirinya--tidak lapar, dan Amanda enggan meneropong bintang jika banyak pribadi yang berlalu lalang di belakang punggungnya. Karena itulah, pukul tujuh dirasa tepat. Ternyata tidak. Siapa gerangan yang tidak lapar juga? Lipatan perkamen sedemikian rupa itu terus turun, turun, menghampiri hamparan pepohonan yang telah menunggu. Detik berikutnya fokus teleskop kembali berpindah. Kali ini mengarah tepat ke arah menara tertinggi--menara astronomi, there. Siapapun, atau apapun yang bertindak sebagai pencipta pesawat tersebut kemungkinan besar berada di sana, menurutnya. Tak perlu menekan tombol zoom seperti sebelumnya, menara astronomi telah terperangkap jelas dalam pandangannya, menampakkan sesosok anak laki-laki di salah satu jendela... dan gadis itu tersenyum lebar. Kenyataan yang sedikit mengherankan. Juga menggembirakan. Amanda melipat kembali teleskop hitam miliknya, memasukkan ke dalam saku, kemudian mulai melangkah. Ke menara astronomi, hendak menemui sang sosok disana.

Larry. Great.

[Menara Astronomi]
Satu hal lagi yang ia sesali. Tak ada jaket. Tak ada syal. Ck ck, Amanda. Derap langkahnya bergaung samar, meniti tiap anak tangga batu dalam keremangan. Gadis lima belas tahun itu menghembuskan nafas tepat ke arah kedua telapak tangannya, berusaha mengusir rasa dingin pekat yang menusuk. Perbedaan suhu disini dan di menara Ravenclaw cukup mencolok--tempat ini tak memiliki perapian, benar--sehingga ide untuk mengenakan baju hangat terlintas dengan amat terlambat.

Menjejak anak tangga terakhir, lengkung samar kembali terpeta di kontur wajahnya. Entah apa yang mendorongnya untuk hadir disini, ia pun tak mengerti. Mencari teman untuk meneropong bintang, mungkin? Ti--dak juga. Ingin bertemu sahabatnya, itu saja. Sepasang kakinya melangkah menghampiri sosok lain di salah satu ambang jendela, mengambil posisi di samping sang anak lelaki tersebut sebelum mengacak rambut sahabatnya--kebiasaan. "Hai, Larry." Senyumnya perlahan memudar, matanya mengerjap. Manik kecokelatannya berpendar, menatap lekat wajah pemuda Hufflepuff di sebelahnya. Boleh berpendapat? Ada sesuatu di relief wajah itu, guratan yang amat jarang ia temukan selama ini. Dan saat guratan itu hadir, rasa khawatir selalu memeluk hatinya. Larry--sedang sedih? Amanda menelengkan kepala. "Hei. Kau--" suaranya terilis lirih.

"--kenapa?"

Labels: ,


8:41 PM