Friday, June 26, 2009

The Saxophone-#2

Menarik.

Sepasang hazelnya kembali mengerling sang alat musik disana, tangan dalam saku. Antik, terlihat jelas dalam sekali pandang, dan itu menjadi daya tarik lebih baginya. Nathaniel bergeming di tempat dalam diam, mencermati tiap jengkal struktur yang mampu tertangkap oleh indera penglihatannya. Saksofon milik Holmquist--bagus. Kali ini ia tak berkeberatan untuk berkata jujur, sungguh. Saksofon miliknya juga tak kalah bagus, tentu saja, namun sebuah kata 'antik' mampu menambah esensi keindahan sang alat musik, menyiratkan nilai tambah--dan ia yakin gadis Slytherin di hadapannya tak mengetahui hal tersebut.

Dengar kan? Nat mengangkat sepasang alisnya, menahan diri untuk tak mendengus. Ya, tentu saja, bahkan Holmquist tak tahu bagaimana cara memainkannya. Tak perlu heran kalau begitu. Sebentar--rongsokan? Kau pasti bercanda. Ia hanya melempar senyum tipis, sedikit tak percaya akan apa yang telinganya tangkap barusan. Sebuah saksofon tak akan pernah bisa menjadi rongsokan, nona manis, kau saja yang tak mengerti. Dan menilik kalimat terakhir yang terilis, benaknya dengan mudah mengambil dua kesimpulan. Pertama, saksofon tersebut merupakan sebuah pemberian, tak mungkin sang gadis membeli jika ia tak mengerti sama sekali--apa itu saksofon pun mungkin ia tak tahu. Benar atau tidak, well, tak terlalu peduli juga, whatever. Kesimpulan kedua, sebenarnya tak perlu diungkapkan pun telah banyak yang mengetahuinya, ia yakin--Slytherin memang cerdik, harus ia akui. Mengambil keuntungan dalam tiap kesempatan yang hadir dan mampu menelisik celah yang tercipta. Tak berbeda dengan seorang Isla Holmquist, nampaknya. Memasang plang 'DIJUAL' dan duduk menunggu pembeli, eh? Lucu. Serius. Tidak pernah melihat pemandangan unik seperti ini sebelumnya, ngomong-ngomong.

Kardionya sejenak terlonjak saat secara tiba-tiba sebuah tangan mengait lehernya dari belakang--seseorang yang tak asing, bisa ditebak. Pemuda empat belas tahun itu memutar leher, mengalihkan kedua matanya dari objek terdahulu. Kim, siapa lagi. Nat mengedikkan kepala dan menyeringai samar, melepaskan diri dari teman seasramanya. "Oi, Kim," ucapnya singkat, kemudian kembali menumbukkan tatapan ke arah gadis dan alat musik di hadapannya. Sejak kapan Kim memanggilnya anak muda? "Tidak sedang ngapa-ngapain." Tetap menatap lurus saat kalimat kembali terdengar dari mulut Kim, dan kali ini kening Nat berkerut. Apa maksudnya menggantungkan ucapan seperti itu, ha? "Tidak mengerti maksudmu," ujarnya kepada anak laki-laki berparas Asia di sampingnya, mengerling dengan kerutan masih tergurat di dahi. Aneh. Bagaimana kalau apa?

Dan Holmquist pun berpikiran sama dengannya. Seorang JoongBo terkadang memang memiliki pikiran yang sulit dipahami--atau memang dirinya yang payah? Terserahlah. Pertanyaan konfirmasi dari gadis di hadapannya terlontar. Ada yang mau membeli saksofon tersebut--tua namun kualitas bagus, harga bisa nego. Oh, man. Masih bersikukuh untuk menjual, rupanya, sama sekali tak mengindahkan sarannya. Membeli saksofon itu? Tertarik, sebenarnya. Hanya saja, sayang sekali saksofon perak miliknya masih baik secara keseluruhan, sama sekali tak menunjukkan tanda perlu digantikan oleh benda sejenis yang baru. Saksofon antik tak dapat ditemui dengan mudah di tepi jalan atau toko loak di London, ia amat tahu itu, dan toh masalah uang tak perlu dipermasalahkan. Sialnya, yang jadi permasalahan--satu-satunya dan yang terbesar--adalah : Dad. Apa yang akan dilakukan sang ayah jika mengetahui alat musik yang paling ia hindari untuk dilihat malah berkembang biak menjadi dua alih-alih menghilang sesuai keinginannya? Kemarahan tingkat tinggi, tak diragukan lagi. Dan kemarahan seorang Amethyst Gladstone merupakan hal terakhir yang ia cari. So-

-lupakan ide untuk membeli.

"Sudah kubilang, kan-" Nathaniel membungkuk, meraih saksofon yang tergeletak begitu saja di atas rerumputan, "-jangan dijual." Detik berikutnya sang alat musik mulai bersenandung, melontarkan nada-nada sebagaimana mestinya. Edelweiss, lagu favoritnya juga Mum. Kali kedua ia melantunkan nada yang sama di dalam Hogwarts--tetap saja hatinya mencelos selama beberapa saat, teringat lagi akan seorang wanita bernama Antoinette Gladstone. Ibunya.

Sial.

Hanya sesaat, lalu berhenti. "Saksofon itu menarik, Holmquist, kalau kau belum tahu." Nat turut mengambil tempat duduk di bawah pohon, bersila. "Well, kelihatannya kau memang tak tahu."

Labels: ,


7:16 AM