Tuesday, July 14, 2009

Senbazuru : 1000 Bangau

Mustahil, kata Amanda.

Gaung langkahnya bergerak. Menjejak menjauhi dapur dalam jarak teratur, siluet bayangnya mengiringi dalam diam. Sarapan eksklusif--terlambat bangun lagi untuk kesekian kalinya. Sigh. Kenapa jadi tak disiplin seperti itu, eh, Gladstone? Tidur pagi, seperti biasa. Entah mengapa itu menjadi kebiasaan akhir-akhir ini, padahal tak ada kegiatan yang berarti. Membaca buku panduan Rune Kuno tanpa mengerti benar apa yang sesungguhnya ia baca, atau membaca Weekly Football untuk entah keberapa belas kali, mencoret-coret perkamen bekas tanpa tujuan, atau hanya menatap langit-langit kamar asrama tak terfokus. Tak dapat dipercaya, memang. Tak berguna.

Dan tebak, opsi terakhirlah yang menjadi biang keladi hari ini. Tak dapat memejamkan mata hingga pukul tiga pagi hanya karena satu hal yang bersarang di pikirannya semenjak seminggu yang lalu. Seperti apa yang dituliskan dalam Weekly Football secara berulang-ulang, menjadi topik utama yang paling dibahas di dunia persepakbolaan muggle--prediksi, namun tanpa konfirmasi pun ia yakin perkiraannya benar--Piala Dunia akan segera bergulir. Di Spanyol. Event yang begitu ia tunggu bahkan sebelum tahun baru hadir, dan sekarang telah mengambang di depan mata, membangunkan segenap antusiasme dan harapan. Selama ini keinginannya tak pernah terpenuhi--menyaksikan langsung pertandingan pamungkas, final, FYI, dan itu terasa begitu mengecewakan.

Tahun ini harus bisa.

Tetapi statement yang dilontarkan sepupunya berhasil menguapkan sang harapan. Mustahil. Oh yeah, Amanda terlalu pesimis. Dan sialnya pesimisme tersebut mulai menggerogoti keyakinannya secara perlahan, meluapkan keraguan yang luar biasa menjengkelkan. Sepanjang yang seorang Nathaniel ketahui, ayahnya amat tak peduli dengan sebuah olahraga terbaik di dunia bernama sepakbola, sementara Leander tak mampu mengalihkan wajah dari tugasnya sebagai auror lebih dari dua hari. Lengkap sudah. Amat kecil kemungkinannya mereka berdua rela mengorbankan waktu untuk menonton pertandingan yang selama ini selalu mereka acuhkan, di luar negeri pula. Masalah dana tak pernah menjadi persoalan--bukankah ia sudah berkali-kali bilang?--karena itulah harapan itu masih ada. Dan segalanya kini bergantung kepada kemurahan hati sang ayah. Ck. ITU masalah terbesarnya.

Nathaniel mengacak rambutnya, memicingkan mata sejenak saat sepasang kakinya tiba di Aula Depan. Kontras dengan keremangan ruang bawah tanah, dan pupilnya harus beradaptasi selama beberapa detik. Tak ada yang istimewa dengan hari ini, sama sekali, hanya satu hari biasa sama seperti hari-hari yang telah ia lalui. Monoton. Lurus-lurus saja, tak ada yang menarik, tak ada yang mencengangkan, tak ada yang keluar dari jalur. Seperti keinginan Dad, tentu saja. Well, dan saat ini langkahnya kembali berderap, melintasi jembatan, halaman, menuju danau. Tak ada tujuan pasti, hanya bosan mendekam di dalam kastil, terkepung dinding batu suram disana sini. Meretas rerumputan, kini pemuda itu telah berdiri di tepi danau dengan kedua tangan terbenam dalam saku, wajah kusut terpampang. Harus cari cara untuk membujuk sang Gladstone senior, apapun itu. Mengetahui keinginan terbesarnya kemungkinan besar akan gagal terpenuhi terasa amat sangat menyesakkan, kalau kau belum tahu.

Mengerling, sudut matanya menangkap siluet sekumpulan benda, terserak begitu saja di atas hamparan hijau di tepi danau. Eh? Penasaran memimpin, dan disinilah ia sekarang, bersila sementara lapis hazelnya berkerjap heran. Kertas lipat--origami? Aneh. Siapa pula yang tanpa sengaja-atau mungkin sengaja-meninggalkan tumpukan kertas tersebut disini, hm? Dilengkapi botol tinta pula. Guratan kalimat tertulis di salah satu kertas, ia baru sadar. Nat mengerutkan kening, membaca satu persatu rangkaian kata disana.

Senbazuru? Seribu bangau. Permohonan akan dikabulkan.

Oke. Pernah dengar mengenai Senbazuru kalau ia tak salah ingat. Mitos, kawan-kawan. Namun kali ini tak ada dengus tak percaya yang terilis, yang tercipta malah kilasan antusiasme. Ini yang ia butuhkan. Permintaannya akan terkabul, kan? Seperti anak perempuan, memang, percaya kepada hal-hal seperti ini, tetapi benaknya saat ini tengah menjunjung tinggi sang hati, bukan rasionalisme. Ia memang menginginkan sesuatu, tak perlu mengelak, dan baginya berdoa itu tak ada salahnya. Coba saja. Nathaniel meraih secarik kertas lipat, mengambil pena bulu dan mencelupkannya ke dalam tinta, kemudian berpikir selama beberapa detik sebelum mulai menulis.

Semoga Dad memberiku kesempatan untuk menonton final Piala Dunia sepakbola muggle di Spanyol bulan Juli nanti.

Sudah? Begitu saja. Ha, tidak, mengapa tak sekaligus saja?

Semoga Dad memberiku kesempatan untuk menonton final Piala Dunia sepakbola muggle di Spanyol bulan Juli nanti.
Semoga aku bisa menjadi seorang Gladstone sesuai harapan.
Semoga aku bisa menjaga Amanda dengan baik.
Semoga Marvil memiliki perasaan yang sama denganku.


Astaga, yang terakhir terdengar begitu konyol. Masa bodoh. Sudah terlanjur, dan tak tersedia penghapus. Tangannya kemudian bergerak cepat, sedikit ragu saat mulai melipat sang kertas menjadi bentuk bangau--sesuai instruksi, dan ia bersyukur langkah-langkah membuatnya pun tersedia. Done, sama sekali tak sempurna. Sekali lagi, ia tak peduli. Toh yang akan dilihat bukan bentuk, tetapi isi--itupun jika benar akan dikabulkan. Sigh. Detik berikutnya sang bangau telah berlayar, diiringi dengan seringai tipis di wajah pemuda empat belas tahun itu. Siapapun pemilik origami ini, orang itu pintar. Kertasnya tak basah? Great.

Seperti sudah diatur. Ha.
[out]

Labels: ,


10:46 PM