Wednesday, July 15, 2009

19.00-#6

Aneh.

Terkadang takdir bisa menjadi begitu aneh. Di lain waktu mampu berubah menjadi tak terduga, dan di lain kesempatan dapat menghadirkan sesuatu yang begitu tak dapat dipercaya, sesuatu yang kau pikir tak akan pernah mungkin terjadi. Elemen kejutanlah yang membuat sesuatu bernama takdir menjadi amat unik, amat tak terprediksi, amat misterius dan memancing rasa penasaran, menuntun tiap-tiap pribadi menuju destinasi masing-masing. Tak terkecuali bagi setiap orang, termasuk bagi seorang gadis lima belas tahun bernama Amanda Steinhart. Malam ini, malam bersalju di awal bulan Desember, beberapa hari setelah ulang tahunnya tiba, sang takdir memutuskan untuk memberikan selarik nada kehidupannya dengan cara yang bahkan tak pernah terlintas di benak kecilnya. Aneh, ya. Mencengangkan. Namun juga menggembirakan. Sebuah permainan kehidupan dimana ia menjadi pemeran utama, memainkan lakon tanpa skrip terencana, tanpa persiapan dan tanpa aba-aba. Dimainkan begitu saja, seperti air sungai, tak tahu kemana menuju.

Masih terkepung sang waktu yang terus bergulir. Dalam diam. Hening lagi setelah pernyataan lugas tanpa pikir panjang terucap dari bibirnya. Apa yang Larry pikirkan? Apakah lagi-lagi ia melakukan kesalahan, eh? Seperti tahun lalu? Apakah sebenarnya anak lelaki di hadapannya memang bercanda? Hanya melontarkan lelucon tanpa maksud? Dan mungkin tengah tertawa dalam hati ketika mendapatkan kalimat aku-juga-suka darinya? Apakah begitu?

Tolong jawab dengan kata tidak. Ia mohon.

Well, siapa yang menyangka akan terjadi seperti ini? Mengingat awal mula dirinya menjejak menara tertinggi Hogwarts tak lebih dari dua puluh menit yang lalu--berawal dari teropong sang kakak, pencarian konstelasi bintang di langit kelabu yang tak menemukan hasil, kemudian melintasnya sebuah pesawat berbahan perkamen, disusul gerakan langkah yang membawanya berpindah tempat, keluar dari keremangan menara Ravenclaw dan menjejak di sini--dengan niat hanya untuk bertemu sang sahabat. Sesimpel itu. Siapa yang menyangka gurat ganjil kesedihanlah yang menyambutnya, berlanjut dengan percakapan absurd yang ia lontarkan mengenai ikatan kovalen dativ, lalu--begitulah. Begini. Tidak, sama sekali tidak protes. Terserah kalian akan berpikir apa, yang pasti adalah suatu kebohongan jika ia menyuarakan bahwa dirinya tak senang. Hanya belum bisa percaya. Itu saja.

Suara khas seorang Jonathan Larson Baned tak terdengar. Belum. Gadis Ravenclaw itu menarik nafas dalam, bersiap untuk segala kemungkinan--yang terburuk sekalipun. Jantungnya telah berdegup normal, namun kini mulai menunjukkan pertanda hendak berderap lagi. Sedekat ini, dear, dan yang timbul adalah kecanggungan, wajah yang memanas, lalu--

Pikirannya buyar. Benaknya mendadak kosong saat tubuhnya ditarik--dan sekali lagi, seperti saat di jembatan setahun yang lalu, ia tertegun ketika menemukan dirinya telah didekap, menjalarkan sensasi hangat dari kepala hingga kaki. For Merlin's sake, ini... Kembali terserang kestatisan total, Amanda terpaku untuk beberapa saat, kedua lengannya tetap berada di samping tubuh. Sebuah pelukan--lagi, menghadirkan rasa tercekat juga rasa nyaman dan aman, sama seperti waktu itu. Layaknya yang pernah benaknya ucapkan, hanya dua orang yang mampu menghadirkan ketiga perasaan itu. Leander--dan Larry. Mengapa bisa seperti itu, eh? Tidak tahu. Jangan tanya.

Dan ketika kesadarannya telah kembali, gadis itu menghembuskan nafas lega, kedua lengannya bergerak--balas memeluk anak lelaki Hufflepuff di hadapannya dengan sedikit ragu. Sudah cukup menjadi jawaban, ia rasa. Larry tidak sedang bercanda atau mengajukan lelucon. Tidak. Syukurlah.

Eh? Benarkah, katanya? Amanda tersenyum tipis. Tentu saja benar, astaga. Ah. Larry meragukannya? Seorang Steinhart pantang untuk berbohong, juga pantang untuk menjadikan sesuatu seserius ini sebagai bahan lelucon. Kata-katanya barusan diucapkan dengan amat sungguh-sungguh, dan serius.

Pertanyaan berikutnya yang bergaung hampir membuatnya tersedak. Be my girl, then--? Benaknya berputar cepat, abstrak, lagi-lagi tak terfokus, sementara rona merah mulai merambati wajahnya untuk kesekian kali. Mulai tak tahu mana yang nyata mana yang tidak. Amanda melepaskan pelukannya, perlahan, merutuki suaranya yang kembali pergi entah kemana. Tanpa alasan yang jelas, entah mengapa rasanya ia ingin menangis. "Err..." Ia membetulkan letak syal kuning-hitam yang membelit lehernya, menarik nafas dalam dan menelan ludah sekali. Tak ada keraguan sebenarnya, hanya saja ia butuh keberanian dan ketetapan hati untuk menjawab kali ini. Dirinya pun tak mengerti mengapa terasa begitu sulit. Menarik nafas. Lagi.

"With pleasure."

Keputusan yang tak main-main, dear. Amanda tahu. Apa kira-kira yang akan Leander dan Nathaniel katakan jika mendengar semua ini, hm? Bagaimana reaksi mereka? Well, tidak tahu, dan apapun yang akan mereka katakan-jika keegoisan diizinkan untuk berbicara saat ini-ia tetap tak akan berubah pikiran. Mengerling Larry dengan salah tingkah, ia tersenyum canggung. Ini aneh. Mengapa sikap mereka jadi begini? Tertawa kecil, Amanda kemudian bersuara. "Hei. Kenapa jadi canggung begini, eh?" Mengumpulkan segenap kesadarannya lagi, sang gadis masih tetap tersenyum simpul, kali ini memberanikan diri untuk menegakkan tatapan, memandang balik hazel milik sang anak laki-laki. Perasaannya bercampur aduk detik ini, tak terdefinisi dan sulit terdeskripsi. Kakinya lemas, ngomong-ngomong.

"Um..." Penutup? "Terima kasih banyak-" Tangan kanannya bergerak, menyentuh lengan pemuda di depannya, "-Jonathan Larson Baned."

Ya. Terima kasih. Untuk seluruh yang telah dilakukan. Untuk kebaikan hati yang telah diberikan. Karena selalu ada.

Dan--untuk segalanya.

Labels: ,


4:25 AM