Wednesday, July 15, 2009

19.00-#5

Apakah tadi ia berkata 'sama'?

Ralat. Berbeda. Tentu saja. Entitas utamanya memang sama, tetapi--rasa yang timbul tidak serupa.

Masih menunggu dan bergeming. Nafas berembun terhembus tak nyaman melalui rongga faringnya, jemarinya saling bertaut satu sama lain. Musim dingin tengah tak bersahabat, dear. Lebih tajam dari biasanya. Amanda mengerling sekilas ke arah lautan pekat di luar sana, ke arah langit mendung tak berkonstelasi. Salju benar-benar telah menampakkan diri, bergulir dalam kawanan dan berputar lembut menghujani ambang jendela, menjejak, merebahkan diri, menciptakan hamparan karpet polos. Sang gadis kali ini menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan rasa tercekat yang memenuhi rongga dadanya akibat hembusan angin utara tanpa toleransi, juga mencoba mengusir rasa kebas dari kedua lengannya. Bertahanlah, Amanda. Sebentar saja, tak lama, hanya untuk mendengarkan alasan apa sebenarnya yang mendasari masalah besar yang tengah terangkat ke udara. Setelah itu ia dapat melangkahkan kaki menuruni tangga pualam sang menara tertinggi, kembali menuju asramanya, menghampiri perapian dan menghangatkan diri disana. Juga kembali menata hatinya lagi, mungkin--well, semua tergantung Larry. Apakah persahabatan mereka akan berakhir hari ini? Hanya sampai disini dan selesai begitu saja? Oh my. Tidak mau.

Selalu begitu. Mengapa selalu membiarkan kepesimisan tertawa lebar, eh?

Sepasang manik kecokelatannya bergerak canggung, tak tahu harus memandang kemana. Dan saat sorot cemerlang itu bertemu dengan hazel di hadapannya, tak sengaja--ia tahu. Berbeda, seperti apa yang telah ia katakan di awal. Jauh berbeda dengan apa yang ia rasakan tahun lalu. Saat itu tatapan yang ia terima begitu dingin, begitu datar dan kaku, menusuk--milik seorang Lazarus. Membuatnya selalu dirundung kecemasan ketika memandangnya. Tidak kali ini, yang ia temukan adalah tatapan teduh yang selalu menemaninya selama empat tahun terakhir, tatapan yang selalu membuat hatinya nyaman dan tenang saat melihatnya. Mengapa ia baru sadar? Mengapa impuls sarafnya baru menyentaknya detik ini, dengan informasi sederhana yang seharusnya sudah ia ketahui sejak lama? Kau memang bodoh, Amanda Steinhart. Ya, ia memang pantas dirutuki. Segalanya terlihat begitu terang dan jelas saat ini dalam benaknya, dan gadis itu luar biasa heran mengapa fakta itu baru menghampiri saat ini.

Tak sadarkah kau selama ini, Steinhart? Seorang Jonathan Larson Baned, yang kini tengah berdiri di depannya--anak laki-laki Hufflepuff itulah yang selalu ada untuknya. Selalu. Benaknya terjungkir ke masa lalu, membuka kembali album memorinya empat tahun terakhir. Diawali dengan insiden butterbeer featuring kecerobohannya--hal bodoh pertama yang ia lakukan di dunia sihir, tetapi kau tahu apa? Dirinya amat mensyukuri kebodohannya ketika itu, karena itulah kali pertama sosok Larry terekam dalam hidupnya, dalam ingatannya, mengawali persahabatan yang sebelumnya tak pernah terprediksi akan tercipta. Bergulir kembali, flashback kehidupannya di Hogwarts ditayangkan,kelebatan-kelebatan tanpa warna memenuhi kepalanya. Peristiwa aneh di danau--saat itu Larry menawarkan jubahnya, yang dengan bodohnya ia tolak. Nice. Kemudian, pesta dansa--event pertama yang sukses membuat kardio gadis sebelas tahun bermarga Steinhart berderap abnormal. Apa lagi? Peristiwa konyol di kelas transfigurasi, saat tikusnya tak berubah menjadi cangkir yang sempurna; setahun lalu, peristiwa jembatan, yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup; menginap di rumah Larry karena bahaya yang mengincar Leander; menonton Superman II di bioskop--siapakah yang berperan disana? Siapa? Jonathan Baned, dear, bukan Sylar Lazarus. Dan apa yang merasuki dirinya hingga sang hati berbisik bahwa ia menyukai sang pemuda Slytherin, seseorang yang bahkan sama sekali asing baginya? For Merlin's sake, hal tersebut merupakan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan selama lima belas tahun ia hidup. Terbesar. Dan terbodoh.

Lazarus, sebuah nama di masa lalu, penuh kebodohan, yang seharusnya tak pernah terjadi. Telah ia lupakan dan ia buang jauh-jauh, ngomong-ngomong. Yang ada saat ini hanyalah perasaan sebenarnya, perasaan yang memang seharusnya timbul sejak dulu, namun baru ia sadari belakangan ini. Untuk seorang Jonathan. Dan ia harap ia tak lagi melakukan kesalahan. Semoga.

Well, meskipun amat mustahil sang sahabat memiliki rasa yang sama dengannya. Ya kan?

"Kau mau tahu, kan?"

Amanda tersentak. Jiwanya kembali ke masa kini, terbangun dari lamunan, album kenangan miliknya kembali tertutup. Kedua matanya terkerjap, sementara bibirnya tetap terkatup. Rasanya ia tak perlu menjawab. Ia amat tahu Larry tahu apa jawabannya. Detik berikutnya efek luar biasa ganjil itu lagi-lagi memeluk segenap tubuhnya--hatinya mencelos, jantungnya menggedor dadanya keras-keras saat pemuda di hadapannya kembali meminimalisir jarak, melangkah maju. Oh my, kenapa harus mendekat? Amat sulit mengatur kardionya agar berjalan normal serta mengukung rasionalisme agar tetap berada dalam benak jika Larry berada sedekat ini. Ah, astaga. Gadis Ravenclaw itu menunduk, tak berani mengangkat wajah--lagi. Dan tertegun saat merasakan bahan lembut perlahan mendarat di sekeliling tengkuknya, berhasil membuat wajahnya memanas. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak tahu.

Disusul sebuah gumaman samar. Eh? Apa? Mendongak, kali ini. Amanda mengerutkan kening, tak mampu menangkap rangkaian huruf yang diucapkan barusan. Bahkan kerutan itu tergurat lebih dalam saat suara Larry kembali meluncur dengan terbata. Suka? Suka ap--

Oke. Firasatnya berteriak. Tidak, tidak, Amanda, tidak mungkin. Sudah seringkali diperingatkan, bukan? Jangan berharap. Singkirkan pikiran konyol itu dari benak. Realistislah. Mustahil. Haha.

"Aku-suka-kau. SALAH-Aku suka kau."

Apa?

Terperangah. Tak lagi berderap, kali ini sebaliknya, sang kardio seakan berhenti berdetak. Sebongkah batu besar terjun bebas dan mendarat di perutnya, merambatkan sensasi menyenangkan ke seluruh tubuh. Tidak mungkin salah dengar. Sejelas itu, dua kali. Amanda menghela nafasnya yang tercekat, cepat-cepat menutup mulutnya yang ia sadari sedikit terbuka, menelan ludah. Larry pasti bercanda. Pasti. Ya.

Hei. Memangnya kapan Larry pernah bercanda?



Ti-tidak pernah, sejauh ini.

"Kau suka Lazarus. Aku tahu. Haha."

Bercampur aduk detik ini. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar pengakuan seperti itu, malam ini. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, ia berbohong jika mengatakan dirinya tak senang mendengarnya. Ia senang. Sangat. Kenelangsaan itu tak terulang lagi, terima kasih banyak. Tetapi--kenapa harus menyebut nama itu, eh? Kenapa?

"Aku..."

Menemukan suaranya kembali, Amanda menelan ludah sekali lagi, mengatur nafasnya agar terhela normal dan menahan diri untuk tak berteriak. Tolong beritahu apa yang harus lakukan. Tolong.

"Aku juga-"

"-suka." Sempurna. Tak ada rasionalisme saat ini. Hati tengah berbicara. "Larry," nafas yang terhembus kali ini cenderung merealisasikan rasa putus asa ketimbang gembira, "Lazarus sudah kubuang jauh-jauh. Seluruhnya. Tak berbekas."

Ia menyelipkan helai kecokelatan miliknya ke belakang telinga sebelum melanjutkan dengan lirih, "Tolong jangan sebut nama itu lagi."

Tak seperti musim gugur. Musim dingin adalah sahabatnya. Sahabat penuh senyum, memberikan hal terbaik bagi hidupnya.

Sekali lagi--terima kasih banyak.

Labels: ,


3:50 AM