Wednesday, July 15, 2009

Transfigurasi Kelas 3

Spanyol?

Pasti salah baca. Ha.

Dapat enam tiket final Piala Dunia FIFA, ngomong-ngomong. Awal juli kita berangkat ke Spanyol. Lebih dua tiket, ajak temanmu kalau mau. Aku mau nilaimu bagus, Gladstone, kalau tidak batal saja.

Kalau surat ini lelucon, sama sekali tidak lucu, Dad. Anak laki-laki itu masih terdiam dalam ketidakpercayaan, sejak pagi hari sejak sang perkamen surat melesat memasuki kamarnya hingga detik ini dimana ia terduduk kaku di dalam kelas transfigurasi. Ini--mustahil.

Baca baik-baik. Mungkin ada kata-kata yang salah ia mengerti?

Tidak ada. Nathaniel menghembuskan nafas, berusaha meredakan kardionya yang bergemuruh, tangan kanannya terangkat secara tak sadar, mengacak rambut hitamnya. Sebuah fakta mencengangkan sekaligus luar biasa menggembirakan. Ke Spanyol? Final Piala Dunia? Tidak dapat dipercaya. Anak lelaki empat belas tahun itu menghenyakkan punggungnya--membenturkan, lebih tepatnya--ke sandaran kursi, sepasang matanya berkilat cemerlang, tertumbuk pada satu titik di depan kelas, pada satu sosok wanita bernama Profesor McGonagall. Menatap, memang, namun tak terfokus sama sekali, benaknya melayang ke berbagai tempat dan waktu.

Kabar tersebut dapat mengartikan amat banyak hal. Mendapatkan enam tiket tentu bukan hal yang mudah, dan kemungkinan besar didapatkan sang ayah berkat relasinya dengan beberapa kolega--well, keluarganya memang berkecukupan, tetapi bukan termasuk ke dalam jajaran marga yang mampu mendapatkan apapun yang mereka inginkan hanya dengan menjentikkan jari. Lagipula taruhan, ia yakin seorang Amethyst Gladstone lebih senang berjerih payah dibandingkan berpangku tangan dan menitah orang lain. Kembali kepada tajuk semula, mungkin juga Leander yang memegang andil, entah. Kakak sepupunya itu tentu tak akan sungkan melakukan apapun untuk merealisasikan permintaan seorang Amanda Steinhart--keuntungan baginya, yeah. Mengakhiri perasaan was-was yang melanda selama sebulan belakangan akibat kepesimisan dominan mengenai berhasil atau tidaknya ia menyaksikan pertandingan puncak piala dunia, permohonan terbesarnya. Bahkan pemuda Gryffindor itu tak lagi mengindahkan segala rasionalisme yang selalu ia junjung, dan mempraktekkan mitos 'Senbazuru' di danau. Ck. Whatsoever, satu hal hadir dan sedikit menyentak hatinya. Satu bukti, Dad masih peduli pada apa yang ia inginkan, ternyata. Tak dapat dipungkiri, kelebatan kemungkinan tersebut menghadirkan setitik impuls kegembiraan baginya, meskipun sedikit tertekan oleh kalimat terakhir yang tergurat di dalam surat. Nilai bagus, atau batal. Hah. Tak tahukah kau betapa sulitnya merealisasikan hal tersebut?

Lamunannya buyar dalam sepersekiam detik ketika suara khas wakil kepala sekolahnya bergaung, merilis rangkaian kata penanda kelas dimulai. Memaksa sarafnya untuk bersatu dan berkonsentrasi penuh, Nathaniel menegakkan tubuh di tempat raganya duduk, sepasang hazelnya telah bertemu dengan sang fokus. Benaknya tak boleh berkeliaran lagi, tidak. Ia punya kewajiban untuk meraih poin memuaskan, dan ia sadar akan hal tersebut. Harus. Bisa.

Dan materi apa hari ini? Inanimate to animate, she said. Kebalikan dari tahun lalu. Mengubah benda mati menjadi makhluk hidup yang bernafas--tampak lebih rumit. Eh? Harus Nat akui, ia terkejut saat mendengar penjelasan tak ada mantra yang digunakan, hanya membutuhkan konsentrasi. Ah, tidak, tentu akan lebih rumit tanpa mantra, tak akan ada indikator yang menjelaskan dimana letak kesalahan yang ia lakukan jika nanti transfigurasinya tak berhasil. Terserahlah, apapun bisa terjadi, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba. Nathaniel membungkuk, menyambar piala jatahnya dari bawah dan meletakkannya dalam satu gerakan ke atas meja. Let's try. Konsentrasi. Menggenggam eldernya lebih erat, ia menatap piala di hadapannya lekat-lekat.

Konsentrasi. Piala--dunia. Harus bisa. Spanyol.



Salah. Bukan itu yang harus kau pikirkan, bodoh.

Konsentrasi. Piala. Harus bisa. Jadi marmut. Piala. Jadi marmut. Piala--dunia. Spanyol.



Masa bodoh dengan apa yang ia pikirkan. Nat melambaikan tongkatnya, dengan yakin menunjuk objek pelajarannya hari ini--tidak terjadi apapun. Menghela nafas jengkel, ia memilin sang tongkat sihir dengan sorot mata bingung. Kan. Ada yang keliru, dan ia tak tahu apa. Lagi, deh. Sang tangan kembali terangkat, bersamaan dengan memicingnya sepasang manik kecokelatan miliknya.

Marmut. Marmut. Marmut. Piala jadi marmut. Mar--



KABOOM!>

Astaga. Kali ini engsel lehernya berputar, mencari sumber suara pemecah konsentrasi. Mobbrenette. Sigh. Tak perlu dihiraukan, Gladstone. Buang seluruh elemen yang berpotensi mengganggu, tutup telinga rapat-rapat. Nilai bagus. Keberhasilan. Harus. Untuk yang ketiga kalinya Nathaniel mengeratkan genggaman pada sang elder, menghela nafas--jangan panik. Coba sekali lagi.

Piala itu adalah marmut. Marmut. Marmut dari piala. Piala jadi marmut. Piala-dunia.



Argh.

Berhasil, ngomong-ngomong. Lensa cemerlangnya mengerjap tak percaya saat piala di depannya mulai melentur, berputar di tempat dan menghilang pada detik berikutnya. Sebagai pengganti, kini telah bergelung seonggok kelinci--serius, kelinci, bukan marmut. Amat mirip dengan kelinci milik Amanda, Mimzy, namun ini... bermotif. Bulunya bercorak segi enam hitam putih. Oh man. Sepakbola. Luar biasa.

Setidaknya ia berhasil. Bahkan lebih baik. Seekor kelinci, mate, lebih besar dari marmut. Mendengus tertawa, ia bangkit, membawa kelinci ciptaannya ke depan kelas dan memasukkannya ke dalam kandang. Puas, lumayan.

Mengenai nilai--berharap saja.

Labels: ,